Dia mengusap pinggiran
matanya. Menyadari kalau tetesan bening itu berasal dari sana. Merasa lebih
ringan setelah memainkan lagu itu. Seperti menghilangkan beban yang selama ini
menempel erat di pundaknya.
Dia berbalik dan menuruni
panggung. Masih dengan air mata yang mengalir sedikit. Dia menutupinya,
menunduk agar yang lain tak bisa melihat jejak air mata miliknya. Tangan
kanannya memegang bagian bawah gaunnya agar tak terinjak. Sedangkan tangannya
yang lain memegang saxophone miliknya.
“Whoooaa”
Heel dari stiletto yang dia pakai terperosok
ke lubang kecil di tepi tangga. Membuat keseimbangannya goyah. Dan dia tidak
terjatuh.
Ada sepasang tangan yang
melingkar di pinggangnya. Menjaganya agar tak menghempas ke lantai. Riri tentu
saja kaget dengan hal itu. Refleks pegangan pada gaunnya terlepas dan teralih
menuju tangan yang melingkari pinggangnya. Tangan lelaki. Kokoh, besar dan
kuat.
Tangan itu membetulkan
posisi berdiri Riri. Membantunya kembali menjejak anak tangga dengan baik. Memastikan kalau Riri takkan
terjatuh lagi. Membuat detak jantung Riri berlompatan tak berirama.
“Be careful, girl. Akhir- akhir ini lu udah sering banget jatuh.”
bisik pria itu tepat di telinga Riri.
“Thanks.” Katanya. Tanpa melihat sosok yang ada di belakangnya, Riri
sudah tahu siapa pemilik tangan itu. Fred.
Mereka kembali masuk ke
ruang persiapan. Mengemasi perlengkapan mereka yang masih tertinggal di sana.
Bersiap pergi menuju bagian luar panaggung. Menunggu saat- saat paling
menegangkan selanjutnya.
Tapi tidak dengan Riri. Dia
malah langsung meluncur ke kamar mandi. Merasakan ada yang mengalir dari
hidungnya.
**********
“Mana Riri?” tanya Nate pada
Fred.
“Ke kamar mandi mungkin.”
Jawabnya singkat sambil memasukkan gitarnya ke dalam kotak penyimpanannya.
Setelah rampung, dia
berganti pakaian di kamar mandi. Mengubah penampilannya yang tadi nyaris serba
putih menjadi serba gelap. Dark blue
jeans dan jaket kulit hitam yang pas di tubuhnya. Dia tidak turut mengganti sepatunya. Tak membawa sepatu
ganti karena akan memberatkannya saja. Jadi dia masih tetap menggunakan sepatu
kulit hitamnya.
Saat kembali dari kamar
mandi, dia berpapasan dengan Riri yang masih sibuk menyeka hidungnya dengan tissue. Terlalu sibuk hingga tidak
memperhatikan jalannya. Tapi Riri tiba- tiba
berhenti saat akan menabrak Fred. Seakan dapat merasakan kehadiran seseorang di
depannya.
“Lu kenapa?”
“Nggak kenapa- kenapa.”
“Terus itu idung lu kenapa
merah?”
“Gue tiba- tiba pilek.
Bertransformasi jadi anak ingusan dalam arti kata sebenarnya dan nggak mau
berenti- berenti.”
“Ck, ada- ada aja ini bocah.
Yang lain tadi pada nyariin lu tuh. Samperin gih.”
“Iya iya.. Ini juga mau
kesana.”
Mereka berjalan beriringan.
Menciptakan kontras yang memebetot perhatian. Seperti yin dan yang. Black and white.
“Tadi suara lu keren.” Puji
Fred.
“Makasih. Permainan kita
bener- bener bagus tadi. Semoga hasilnya memuaskan ya..”
Mereka kembali memasuki gedung
kesenian Jakarta. Berniat menyaksikan penampilan dari juara Appollo Orchestra Competition tahun
lalu. Juga menanti pengumuman yang telah diputuskan dewan juri setelah
penampilan itu. Riri dan Fred duduk bersampingan di kursi paling belakang.
Merasa segan untuk duduk di barisan yang lebih depan meski Nita dan yang
lainnya duduk di sana.
Juara tahun lalu berasal dari
universitas yang ada di timur Indonesia. Tepatnya di daerah Maluku. Universitas
Christina Martatiahahu. Memainkan sebuah lagu yang cukup sederhana menurut
Riri. Tapi entah kenapa, saat mereka yang memainkan, terasa sangat menyentuh.
Mereka juga menampilkan solo sebagai pembuka. Dan memang benar apa yang biasa
orang bilang, orang yang berasal dari timur memiliki suara yang indah. Tak
salah jika disamakan dengan mutiara hitam yang cantik.
Kini semua yang ada di dalam
ruangan berdebar tak keruan. Saatnya untuk mendengar hasil keputusan juri. Riri
tak bisa mengendalikan irama jantungnya. Cemas menunggu hasil penyisihan kali
ini. Peserta- peserta yang lain menyajikan
penampilan yang apik. Bisa dibilang, lawan- lawan mereka kali ini tangguh.
Tanpa sadar, sebelah
tangannya meremas tangan Fred yang duduk di sampingnya. Membuat Fred kaget dan
menoleh ke arahnya. Kemudian mengerti apa yang kini sedang dialami Riri.
“Gue kira lu nggak mempan
lagi sama yang namanya deg-degan.. Nggak
tahunya masih bisa deg-degan juga toh..” celetuk Fred. Riri hanya diam. Tak
melepaskan pandangannya dari depan. Tak juga melepaskan genggaman tangannya
dari tangan Fred. Masih meremasnya erat.
“Tenang aja.. Kita udah
berusaha semaksimal mungkin.. Percaya aja kalau hasilnya bakal memuaskan..”
katanya menenangkan Riri.
“Gue harap begitu..”
Fred membalas genggaman
tangan Riri. Mengehentikan getaran halus yang tercipta dari kecemasan Riri.
Menghangatkan rasa dingin yang menjalar di tiap jemari lentik milik gadis di
sebelahnya ini. Membuatnya tersenyum sendiri. Sejak kapan Riri yang dia kenal
selalu percaya diri berlebihan dan pemberani bisa
jadi panik begini.
“Dan pemenang kali ini adalah…… Universitas
Pancasila Sakti!”
Riri terkesiap. Kecewa tak
bisa dia pungkiri kehadirannya di sana. Tapi apa mau dikata. Itu keputusan
juri. Tidak dapat di ganggu gugat. Lagipula penampilan dari kampus tersebut
juga begitu memukau.
“Kita kalah..” kata Riri
pelan.
“Kata siapa? Penampilan kita
cukup bagus kok.. Lagian, lu sendiri yang bilang tadi, bermusik itu bukan
masalah menang atau kalah. Yang penting adalah gimana cara lu menghayatinya.
Karena sejatinya bermusik itu hampir sama seperti berdoa pada Tuhan..” kata
Fred. Entah untuk membesarkan hati Riri atau menyadarkannya dari kekecewaan
yang kurang tepat.
“Bukan Cuma kemenangan yang
bisa dipakai buat menghargai kerja keras dari anak- anak yang lain. Tapi juga
kepuasan batin dari yang mendengar. Dan gue udah cukup puas ngedenger permainan
kita tadi..” lanjutnya.
“Ya, you’re right. You’re always right.” Kata Riri. Dia menghela napas
panjang. Kemudian berdiri tanpa melepaskan genggamannya pada jemari Fred.
Mengajak Fred turut berdiri,
pergi ke tempat yang ingin dia
tuju.
Mereka melangkah kedepan.
Ingin menghampiri Nita dan yang lainnya. Ingin mengucapkan terima kasih karena
telah bersedia melihat penampilan mereka. Hendak mengucapkan terima kasih pada
anggota UKM orchestra lainnya yang telah dengan sepenuh hati menyiapkan
penampilan kali ini.
“Wowowowowow.. Tunggu
sebentar.. Kita baru aja dapat kabar
terbaru dari dewan juri.. Ternyata ada perubahan, saudara- saudara..” kata
pembawa acara di depan.
“Perubahan apa? Apa yang
berubah?” tanya rekan sejawatnya. Seolah ingin tahu.
“Ini kejadian yang benar-
benar mengejutkan! Baru kali ini terjadi selama penyelenggaraan Apollo
Orchestra Competition..”
“Kejadian apa? Saya
penasaran mau tahu.. Penonton yang lain juga mau tahu kan?” tanyanya pada
masing- masing kepala yang terduduk di kursi penonton. Dan semuanya menjawab
serempak. Merasa juga penasaran dengan apa yang terjadi. Sementara Riri dan
Ferd terdiam di tengah jalan. Lebih memilih untuk menunggu apa yang diubah oleh dewan juri
daripada ikut menanggapi pertanyaan pembawa acara.
“Tadi, juri baru saja memberitahukan kalau keputusan pemenang yang tadi di anulir!”
hebohnya. Membuat orang- orang yang menyaksikannya kebingungan.
“Oke, biar lebih afdhol,
kita denger langsung pengumumannya dari dewan juri ya..”
Lalu naiklah seorang pria
yang terlalu berkharisma. Dengan rambut lebat dan janggut yang sudah putih
dimakan usia. Memakai batik lengan
pendek berwarna biru dengan blue jeans panjang
dan sepatu kulit yang bunyi gemeletuknya membuat senyap ruang pertunjukan.
“Sore, semuanya.. Saya
sebagai ketua dewan juri ingin menyampaikan keputusan yang telah kami
rundingkan bersama belum lama ini. Keputusan yang baru saja tercetus setelah kami
melihat tayangan ulang dari penampilan tiap peserta yang semuanya tampak begitu
memukau. Kami melihat kesungguhan yang tiada tara mengalir dari pemenang kali
ini. Selain penampilan yang memukau, tapi pemenang kali ini juga membawakan
lagu mereka dengan penuh penghayatan. Membuat saya dan juri yang lain
merinding.. Oleh karena itu, dengan ini kami memutuskan kalau pemenang dari
babak penyisihan kali ini adalah Universitas Pancasila Sakti daaaann….
Universitas Letkol Sugiyono!” katanya.
Semua pendukung dari kedua
universitas tersebut terdiam. Masih tak percaya dengan apa yang baru saja
diucapkan oleh ketua dewan juri. Masih berpikir mungkin telinga mereka agak
korslet entah karena apa.
“Hoi! Kenapa pada diem aja?
Ini beneran lho.. Selamat buat Universitas Pancasila Sakti dan Universitas
Letkol Sugiyono… Berarti nanti akan di adakan babak
penentuan siapa yang akan masuk ke babak perempat final ya, pak..”
Kata pembawa acara. Menegaskan kalau pendengaran mereka tak rusak. Apa yang
mereka dengar benar adanya.
“Ya,
benar.. Untuk peserta dari Universitas Pancasila Sakti dan Universitas Letkol
Sugiyono, kalian harus siap- siap untuk menghadapi babak yang selanjutnya ya..”
kata ketua dewan juri.
Suasana langsung riuh
rendah. Euphoria kemenangan menguar bebas ke udara. Membuat pendukung dari dua
kampus tersebut berlonjak-lonjak kegirangan.
“Kita menang? Kita masih punya kesempatan buat lolos ke
babak selanjutnya??” tanya Riri masih tak percaya. Memang terkadang otaknya
agak sedikit lemot kalau menghadapi hal seperti ini. Tapi percayalah, ini hanya
terjadi untuk hal- hal tertentu saja. Sumpah!
“Iya, kita menang.. Kita masih punya kesempatan buat lolos ke babak selanjutnya..”
kata Fred. Membuat
senyum lebar tergambar pada gadis
yang ada di hadapannya.
“Aaaaah! Kita nggak jadi kalah.. Kita nggak jadi kelah..”
teriak Riri. Dia menubrukkan tubuhnya pada Fred. Memeluknya dengan penuh suka
cita. Membenamkan wajahnya di dekat bahu Fred. Memeluknya erat, penuh
kebahagiaan.
Fred merasa ratusan kuda
liar berlari dalam dadanya. Menghentak jantungnya sedemikian hebat. Membuat
jantungnya nyaris berhenti karena terlalu cepat berdetak. Matanya membelalak.
Merasakan pelukan kebahagiaan milik Riri yang menyelimuti tubuhnya.
Kedua tangannya masih
terjulur lemas di samping tubuhnya. Tak
membalas pelukan Riri. Masih
terlalu kaget. Atau lebih tepatnya kesenangan.
Hingga tak mampu mengendalikan tubuhnya sendiri.
Beberapa detik kemudian, dia
mulai bisa menangkap napasnya yang terburai. Membuat senyum yang sejenak sempat
hilang kembali lagi di wajahnya. Kedua tangannya perlahan mulai bergerak.
Melingkar sempurna mengelilingi tubuh gadis yang hingga saat ini masih
merengkuh tubuh besarnya. Membuat gadis itu melesak makin dalam dalam
pelukannya. Membuatnya nyaman untuk dapat menyandarkan pipinya di puncak kepala
gadis itu.
Gadis kesayangannya yang
hingga saat ini belum bisa dia miliki cintanya.
Dalam hati dia berharap agar
senyum lebar yang menyenangkan milik gadis ini tidak pernah pudar selamanya.
Agar gadis dalam dekapannya ini selalu bahagia dengan apapun yang dia jalani
dan dia terima dari si pembuat takdir. Juga agar dia diijinkan untuk bisa
memiliki hati murninya yang berkilau itu.
Kemudian dia sadar. Dia tak
bisa mengharapkan hati yang murni itu untuk dirinya sendiri. Gadis itu telah menyerahkannya pada yang
lain. Dan gadis itu bukanlah gadis yang bisa dengan mudahnya memberikan hati itu pada orang lain. Tipikal
wanita setia.
Kenyataan
itu meredupkan senyumnya. Dia mulai
menyuntikkan anastesi yang selalu tersedia pada hatinya. Menyuruh hatinya yang masih saja
bebal untuk berhenti mengharapkan sesuatu yang sulit untuk jadi
nyata. Sangat sulit untuk jadi nyata.
**********
“Hati- hati
ya di jalan..” kataku pada mereka semua. Aku memang sengaja meminta pak Sapto
untuk membawakan mobilku ke sini. Ingin segera pergi ke tempat lain sesegera
mungkin setelah acara ini berakhir. Menyampaikan berita gembira ini pada orang
itu.
Nita, Nate,
kak Billy, kak Darrel dan kak Hamid pulang menggunakan mobil kak Billy yang
tadi dibawa oleh kak Hamid. Mereka bilang ingin pergi makan di café milik
perusahaan. Menemani kak Darrel yang belum pernah sekalipun mencicipi makanan
yang di sediakan café itu. Sedangkan kak Billy pulang dengan mengendarai motor
kesayangannya. Ada janji makan malam bersama orang tuanya yang baru saja
kembali dari luar kota.
“Kita
langsung ke rumah sakit ya, pak..” kataku pada pak Sapto.
Oke, aku lagi-
lagi lupa membawa baju ganti. Dan malas untuk pulang dulu ke rumah lalu pergi
lagi ke rumah sakit. Jadi kurasa langsung saja ke rumah sakit. Toh gaun yang
aku kenakan tidak terlalu ekstrim, sepertinya.
Hanya
sebuah gaun panjang bertumpuk berbahan chiffon putih berlengan pendek yang jika
saja tertiup angin akan melambai- lambai pelan. Tidak terlalu mencolok jika
dipakai untuk menyusuri lorong rumah sakit bukan?
Ah, biarkan
sajalah. Toh nanti juga gaun ini akan tertutup baju khusus yang selalu
dikenakan jika ingin masuk ke ruang ICU.
Sepanjang
jalan aku masih saja tersenyum kesenangan. Tak bisa membebaskan diri dari euphoria
ini. Kami lolos lomba kali ini. Hanya saja karena hasilnya seri, maka diadakan
lomba sekali lagi untuk menentukan siapa yang akan ke melaju ke babak perempat
final nanti.
“Non, udah
sampai..” kata pak Sapto. Menyadarkan aku dari segala kelebatan angan- angan
manis yang terlalu menyenangkan.
“Oh, iya..
Makasih ya, pak..” kataku sambil turun dari mobil. Mulai berjalan menyusuri
lorong rumah sakit yang panjang. Menuju ruang ICU yang letaknya ada di ujung
lorong. Sebuah ruangan yang memiliki dinding kaca besar, yang memungkinkan
pengunjung untuk mengamati keadaan pasien di dalam ruangan meski tak bisa masuk
ke dalamnya.
Aku segera
mengenakan pakaian khusus untuk ruang ICU. Pintu ruang ICU berderit saat aku
membukanya perlahan. Telingaku mampu menangkap suara kardiograf yang berbunyi
di dalam ruangan. Entah menggambarkan denyut jantung milik siapa. Yang pasti,
harapanku masih tetap sama. Agar detak jantung kak Alex makin kuat dari hari ke
hari.
Aku
merangsek menuju ranjang yang di tempati kak Alex. Tertutupi tirai. Tanganku
menyingkapnya pelan. Dan tubuhku membeku. Tak ada kak Alex di sana. Tak ada
tubuhnya di sana.
Aku
menggelengkan kepalaku kencang. Mengusir semua pikiran buruk yang datang
berkunjung. Tapi begitu sulit dilakukan. Hingga kemarin lusa, keadaannya masih
belum stabil. Masih terlalu dekat dengan kata kritis. Itu. Itu yang membuat
pikiran buruk ini bisa bebas melenggang masuk ke dalam tempurung kepalaku dan
betah bercokol di sana.
Kakiku
mulai melangkah menuju tempat suster ruang ICU berjaga. Ingin meminta informasi
dimana keberadaan kak Alex saat ini.
“Suster,
pasien yang di sana kemana?”
“Namanya?”
“Alex.
Alexander Thang.” Kataku berusaha tenang.
“Aahh..
Yang kemarin sempet drop lagi keadaannya..” Aku terkesiap. Benteng
ketenangan yang tadis empat ku bangun, runtuh begitu saja saat mendengarnya. Pikiran
buruk ini makin kesenangan menari di kepalaku. Kenapa ibunya kak Alex tidak
memberitahu aku kalau keadaannya sempat drop kemarin?
“Lalu
sekarang dia dimana?”
“Pasien
sudah di pindah ke ruang rawat.. Belum lama kok dipindahnya..” sesaat pikiranku
kosong. Sudah di pindah ke ruang rawat? Berarti..
“Jadi
keadaannya udah stabil?”
“Iya..
Sekarang dia udah stabil, makanya segera dipindah ke ruang rawat 409.” aku
menghembuskan napas penuh kelegaan. Degup jantung yang hampir tak terkejar ini
juga berangsur memelan. Mengurangi suntikan adrenalin ke tiap pembuluh darahku.
“Makasih..”
Aku bergegas melepaskan pakaian khusus yang tadi sempat aku kenakan. Menyimpannya
tanpa merapikan terlebih dahulu.
Aku
berjalan cepat secepat yang aku bisa menuju lift yang akan membawaku naik ke
lantai 4. Masih saja menghentak- hentakkan kakiku ke lantai marmer yang kurasa
terasa dingin sembari menunggu lift yang masih ada entah di lantai berapa.
Hampir saja
aku berlari menuju tangga darurat jika saja lift yang ada di hadapanku ini
tidak berdenting dan terbuka. Mempersilahkan aku untuk masuk ke dalamnya.
Aku segera
masuk ke dalamnya dan menekan tombol lantai 4. Berharap makin cepat aku menekan
tombol lift, makin cepat juga aku pergi ke lantai 4. Tapi lift ini terasa
bergerak begitu lambat. Membuatku tak sabaran, terus bergerak gelisah di
dalamnya. Membuat orang- orang yang juga menggunakan lift bersamaku melemparkan
pandangannya padaku. Mungkin heran denga kehadiranku di sana. Gadis bergaun
formal yang tersasar di rumah sakit, tak bisa diam.
Lift
berdenting sekali lagi. Aku segera berlari keluar bahkan sebelum pintu lift
terbuka sempurna. Berlari sambil terus mencari keberadaan kamar 409. Sambil
sesekali menyesali kenapa kamar- kamar yang ada di sini letaknya berjauhan
sekali.
Dengan
napas menderu aku berhenti tepat di depan kamar 409 yang terletak di ujung
lorong. Jantung ini masih bergerak tak keruan setelah dibawa berlari- lari
tadi. Ditambah dengan hujan adrenalin yang tadi sempat turun dan sekarang telah
berganti dengan gerimis adrenalin.
Tanpa
mengetuk lagi, aku membuka pintu kamar. Dan tak menemukan siapapun di sana.
Pandanganku langsung menabrak jendela besar yang ada di ujung ruangan. Sambil
mengatur napasku, aku melangkah masuk. Perlahan, tak terburu- buru seperti
tadi. Bergerak ke arah ranjang pasien yang sedikit tertutupi tirai.
“Marissa?
Riri?”
“Ya,
tante.. Gimana keadaan kak Alex?”
“Keadaannya
sudah lebih baik.. Sudah lebih stabil daripada kemarin- kemarin.”
“Kemarin
dia drop lagi?” sebelah tanganku merayapi jemari panjang yang hingga kini masih
juga terdiam di tempatnya. Terlalu damai. Mendingin.
“Iya..”
ibunya kak Alex menggenggam tangan milik kak Alex yang lain.
“Kenapa-“
“Karena
tante tahu kamu hari ini penyisihan.. Tante nggak mau ngerusak konsentrasi
kamu.. Tante mau hasil yang memuaskan.. Dan hasilnya?”
“Seri.
Masih ada lomba yang harus dilewatin sebelum masuk ke perempat final. Lawan
Pancasila Sakti..”
“Good.. He should be happy to hear that..”
Yah, kurasa
dia akan bahagia mendengarnya. Ini pertama kalinya kampus kami bisa berlaga
hingga sejauh ini. Kalau saja dia tak berada dalam keadaan seperti ini, dia
pasti sudah melonjak kesenangan tak tentu arah dan berteriak- teriak histeris.
Ah, aku rindu menatap matanya yang selalu membuatku bersemu. Rindu menatap cuil
kejailan yang meletup di matanya jika kami sedang bersama.
“You look so beautiful..” aku menoleh ke
arah tante Dila –ibunya kak Alex-.
“Nggak
heran anak- anak tante jatuh cinta sama kamu..”
“Makasih..”
aku kembali memandangi wajah pias yang tertidur dalam damai.
“Tante juga
cantik.. Nggak heran anak- anak tante berhasil bikin Riri jatuh cinta sama
ketampanan mereka..”
“Tante
harap kamu akan terus menemani Alex seperti ini.. Dia sangat mencintai kamu..
Terlalu mencintai kamu..”
Aku tahu.
Aku tahu hal itu.
“Dan tante
harap kamu bisa menerima semua yang ada di diri Alex. Bisa menerimanya meski
dalam tubuhnya mengalir darah Sammael. Meski kemarin dia sempat menyakiti
hatimu sedemikian rupa. Tante harap kamu bisa mencintai Alex seperti dia
mencintai kamu..”
Aku hanya
bisa menelan ludahku dan terdiam. Mendengar perkataan tante Dila yang menyimpan
harapan terlalu padaku. Harapan seorang ibu untuk kebahagiaan putranya yang
tersisa. Harapan yang entah kenapa membuat perasaanku merasa aneh, terbebani.
**********
Dia duduk
di halaman belakang rumahnya. Memangku gitar kesayangannya hadiah dari kedua
orang tuanya saat dia berulang tahun yang kelima. Memetik senarnya dengan nada
yang tak jelas ada di mana.
Dia
menyandarkan dagunya ke badan gitar miliknya. Berlaku seakan terlalu lelah
bahkan walau untuk mengangkat kepalanya barang sejenak.
Dari tempat
dia duduk saat ini, dia bisa melihat matahari terbenam. Membakar langit hingga
berwarna oranye dengan sisa- sisa tenaganya hari ini. Indah, tapi membuat rapuh
jiwa- jiwa yang dimabuk cinta tak bersambut seperti dirinya saat ini.
Disorientasi
karena cinta. Itu yang terjadi padanya. Masih saja tak menyadari jika bulan
telah menyuruhnya untuk masuk ke dalam rumah. Meski angin sudah
memperingatkannya dengan menurunkan suhu di sekitarnya. Tapi dia masih saja
duduk di sana. Masih saja memetik- metik gitarnya.
Hanya satu
yang berbeda kini. Nada- nada hasil resonansinya tak lagi berantakan seperti
tadi. Akhirnya dia menemukan pola yang sesuai dengan hatinya kali ini. Broken.
Pasangan
yang sejak tadi sudah menunggu di meja makan juga sampai heran. Kenapa orang
yang mereka tunggu tidak juga datang. Lalu wanita itu beranjak ke atas. Hendak
mengajak turun orang yang sejak tadi dia tunggu.
Tapi orang
itu tak ada di sana. Kemudian wanita itu beranjak melangkah menuju balkon
kamar. Berharap menemukannya di sana. Dan tak ada juga. Dia hanya bisa
mendengar petikan- petikan gitar yang lirih.
Akhirnya dia mengetahui keberadaan orang yang selama ini dia cari.
Dia kembali
bergerak turun ke bawah dan pergi ke halaman belakang. Melangkah perlahan di
atas rerumputan.
“Tebak ini
siapa…” katanya sambil menutup mata orang yang ada di hadapannya dari belakang.
“Ini pasti
wanita cantik yang bikin tuan Yoga sama tuan Deni jatuh cinta tiga perempat
mati sama dia..”
“Ah, kamu..
Bisa aja deh.. Tapi makasih loh pujiannya..” katanya sambil melepaskan
tutupannya pada mata itu. Kini dia berganti memeluk orang itu dari belakang.
Menumpukan dagu di bahu yang ada di hadapannya.
“Ada
masalah? Perlu tempat sampah buat ngebuang semua masalah itu?”
“Tempat
sampah cantik kayak begini? Sayang banget kalo dipake buat tempat sampah..”
katanya. “Lagian nggak ada masalah apa-apa kok..”
“Ck, nggak
usah bohong deh.. Wanita cantik ini nggak gampang buat dibohongin..”
“Beneran..
Nggak ada masalah apa- apa..”
“Nggak ada
masalah tapi diem begini.. Berarti ada yang dipikirin.. Iya kan? Mau tahu
dong..” kata wanita itu sambil menggerakkan kepalanya yang hingga saat ini
masih setia melekat di lekukan leher pria itu. Seperti yang biasa mereka
lakukan dulu.
“Ra-ha-si-a..”
jawabnya sambil menggenggam tangan yang tersimpul di depan dadanya.
“Is it about a girl?? Ah, my little boy had
grow up!”
“Yeah.. It’s about girl.. You..” katanya sambil
mengedip.
“Hei hei
hei.. Dilarang flirting sama dia
ya..” kata pria yang sejak tadi hanya diam saja di belakang dua orang itu
sambil bersedekap dada.
“Ck, yang
baru balik dari luar kota dilarang cemburu ya..” jawabnya tanpa menolehkan
sedikitpun kepalanya.
“Mama sih..
Si papi jadi cemburu kan tuh..” bisiknya pada wanita itu.
“Ah, nggak
akan.. Kan mama tahu caranya biar dia nggak cemburu terus ngambek.. Hihihihi..”
Lani –ibunya Fred- mengecup pipi Fred dan melepaskan pelukannya. Kemudian
berjalan menuju dalam rumah. Berlenggak- lenggok dengan gembira seperti
biasanya. Kelewat ceria. Bertolak belakang dengan anaknya yang terkesan datar
tanpa emosi –walau kadang agak jahil juga-.
“Gimana
keadaan kamu selama kita nggak ada di rumah?” tanya Deni sambil duduk di
sebelah Fred. Tidak terlalu dekat jaraknya. Menyisakan ruang yang hanya diisi
udara.
“Baik- baik
aja kok..”
“Papi mau
tanya, boleh?” Fred mengangguk menjawabnya.
“Kamu
setuju papi menikah sama mama kamu?” Fred menolehkan wajahnya.
“Kenapa
papi nanya kayak gitu?”
“Cuma
penasaran..”
“Kalau Fred
nggak setuju, mana mungkin sekarang mama bisa nikah sama papi..”
“Apa
alasannya? Kenapa kamu ngijinin papi yang nikah sama mama kamu? Papi kan nggak
punya apapun yang bisa dibanggain. Pengangguran, ga jelas kerja apa.”
Fred
menghela napasnya sejenak. Mencari dalam kepalanya alasan kenapa dia menerima
Deni untuk bersanding dengan mamanya.
“Ada banyak
alasan untuk itu, pi.. Pertama, karena papi yang berhasil menarik mama keluar
dari keterpurukan setelah kematian papa, Adel dan Nenek yang begitu mendadak.
Nggak kayak Fred yang nggak bisa ngelakuin apa- apa. Kedua, karena Fred yakin
papi bisa ngejagain mama, mengisi kekosongan mama yang ditinggal papa, bisa
jadi tempat bersandar mama, tempat bermanja mama. Fred nggak mau mama terlalu
lama hidup dalam kesendirian. Ketiga karena papi sahabat papa dari kecil. Fred
yakin papi nggak akan ngecewain papa dengan nyakitin mama. Dan sekarang, mama bahagia
bersama papi. Masalah pekerjaan nggak jadi masalah. Yang penting mama bahagia.
Itu aja.”
Kemudian
dua pasang mata itu kembali bertolak memandang bulan yang tak utuh. Menikmati
kegelapan malam, disinari cahaya bulan yang redup nyaris padam. Terdiam untuk
sementara waktu.
“Papi nggak
nyangka, di umur kamu yang masih semuda itu, kamu sudah memiliki pemikiran
sepanjang ini.. Umur lima tahun? Papi bener- bener salut sama kamu..” katanya
sambil menepuk pelan bahu Fred.
“Makasih
ya.. Makasih karena udah ngijinin papi buat menikahi mama kamu waktu itu..”
“Makasih
juga papi udah mau jagain kami selama ini..”
Tak lama
kemudian, Lani kembali muncul di halaman belakang. Dengan tangan yang penuh
dengan 2 kendil hitam. Disusul dengan kehadiran pengurus rumah yang lain.
Membawa peralatan makan, minuman dan makanan. Dengan enaknya, Lani duduk di
sela Fred dan Deni. Membuat Fred dan Deni menggeser tubuhnya agar Lani bisa
duduk diantara mereka. Dengan penuh semangat Lani membuka kendil- kendil yang
tadi dia bawa dan menyendoknya.
Bergantian
dia menyuapi Deni dan Fred. Kadang bercanda dengan membelokkan sendok untuk
masuk ke dalam mulutnya sendiri, atau menyuapi tapi tidak langsung masuk ke
mulut. Menabrakkannya ke bibir atau gigi Fred dan Deni. Bahkan dia juga
menjahili Deni dengan memasukkan sambal ke nasi yang akan dia siapkan ke Deni.
Membuat Deni kelojotan karena pedas yang menggigit.
Lani
tertawa puas melihat hal itu. Tak lupa untuk memberikan gelas berisi air untuk
memadamkan sedikit rasa pedas yang membakar lidah. Sementara Fred hanya
tersenyum tipis. Melihat kebahagiaan keluarganya. Bersyukur papinya bisa membuat mamanya
kembali ceria seperti dulu. Bersyukur ada Deni –papinya- yang bisa menghujani
mamanya dengan kebahagiaan. Tidak seperti dirinya yang dulu juga turut
terperosok dalam keterpurukan. Bahakan masih belum bisa bangkit hingga hari
ini.
Kemudian
dia mendengar bisikan. Mungkin ini yang menyebabkan dia tak bisa bersanding
dengan Riri. Karena dia tak berhasil menarik Riri keluar dari keterpurukannya
saat itu.
**********
Riri melihat
jam tangan yang melingkar di tangan kanannya. Menyadari kalai hari telah malam.
Perutnya sudah keroncongan. Wajar saja. Dari pagi dia belum makan apapun
kecuali minum susu. Kebiasaannya jika akan menghadapi lomba. Tak bisa sarapan
karena mual yang disebabkan oleh gugup.
Dia
berpamitan pada Dila –Ibunya Alex- dan beranjak ke luar rumah sakit. Ingin
pergi menjalankan agenda hari ini yang telah dia rencanakan sejak kemarin.
Sebelumnya, dia mengajak pak Sapto untuk makan malam bersama.
“Pak, kita
mau makan di mana?”
“Kalau saya
sih dimana aja bisa, non.. Non Riri sendiri maunya makan di mana?”
“Bingung..
Kalau gitu kita pergi ke PIM aja deh, pak. Kita makan, terus saya bisa sekalian
belanja di sana.”
“Siap,
non!”
Riri
menyandarkan tubuhnya. Merasa lelah karena sejak pagi belum sempat
beristirahat. Tapi tak mengapa. Yang penting sekarang dia merasa senang. Pertama,
Alex keadaannyaa sudah stabil. Kedua, dia akan berbelanja. Ketiga, mungkin dia
akan berkeliling mencari teh melati atau makan es krim yang bisa membuatnya
senang.
Setelah
parkir di basement, Riri dan pak
Sapto melenggang masuk ke PIM. Dan lagi- lagi Riri dihadiahi tatapan heran oleh
orang- orang yang ada di sekitarnya. Dan Riri lagi- lagi lupa kalau dia masih
mengenakan gaun hingga saat ini. Tapi karena sudah terlanjur, jadi dia terus
saja berjalan. Dengan pak Sapto yang berjalan agak di belakangnya, mereka
memasuki sebuah restoran fastfood.
“Bapak
duduk aja dulu di sana.. Riri yang pesen..” katanya sambil menunjuk tempat
duduk yang inginkan.
“Biar saya
aja yang pesen makanannya, non..”
“Nggak,
saya aja..” kata Riri sambil melenggang pergi. Mengantri makanan yang ingin dia
makan.
Dia memesan
waffel dan segelas orange juice untuk
dirinya sendiri. Sedangkan untuk pak Sapto, dia memesankan nasi dengan ayam
goreng, sup dan lemon tea.
“Ini
makanan buat bapak..” kata Riri sambil menaruh nampan yang berisi makanan untuk
pak sapto dan orange juice miliknya.
“Ini buat
bapak semua?” Riri mengangguk menjawabnya sambil menyeruput orange juicenya. “Buat non sendiri
mana?”
“Belum
jadi.. Nanti juga di anter..”
“Tapi-“
“Nggak apa-
apa, pak.. Ini sengaja saya beliin buat bapak.. Kan bapak udah capek dari tadi
jemput saya, nganterin saya ke rumah sakit, terus sekarang nemenin saya di
sini.. Jadi bapak harus banyak makan biar nggak sakit..” katanya lagi.
Tangannya kemudian bergerak lioncah di atas keypad
ponselnya. Mengirimkan pesan pada seseorang.
Tak lama
kemudian waffel milik Riri tiba. Harumnya menggugah selera. Dengan es krim
vanilla di atasnya, terasa nikmat sekali pastinya. Tanpa menunggu lama, Riri
memotong sedikit waffel di hadapannya dan memasukkannya ke mulutnya. Memejamkan
matanya karena rasa nikmat yang tiada terkira saat merasakan es krim yang
dingin bercampur dengan waffel hangat. Pak sapto juga demikian. Makan dengan
lahap makanan yang dibelikan Riri. Menghabiskannya karena terlalu lama merasa
lapar.
Selesai
mengisi perut, Riri kemudian pergi ke sebuah toko untuk membeli sesuatu.
Sesuatu yang selama ini ingin dia berikan pada seseorang. Atau mungkin dua
orang. Dua orang yang selalu ada di dekatnya dan entah karena kebetulan atau
takdir memiliki satu persamaan.
Dia
melihat- lihat beberapa jaket kulit yang ada di toko itu. Mulai dari menilai
apakah kulit yang dipakai terasa nyaman atau tidak, warna, dan segala macamnya.
Memang, anak yang satu ini terlalu memperhatikan detil.
“Pak, coba
sini sebentar.. Bantuin saya ya..”
Pak Sapto
segera menghampiri nona mudanya. Lalu tiba- tiba saja Riri mulai mencocokkan
jaket- jaket yang ada di tangannya dengan tubuh pak Sapto.
“Yang ini..
Bahannya nyaman.. Tapi warnanya.. Grrrr..” Riri mengembalikan sebuah jaket yang
berwarna cokelat terang. Tidak sesuai dengan seleranya yang lebih menyukai
warna- warna gelap.
“Yang ini…
Warnanya bagus.. Tapi bahannya kurang enak dipakai.. Jadi, balik ke
gantungan..”
Satu per
satu dia mencocokkan jaket yang dia pilih dengan tubuh pak Sapto. Tak memperdulikan
betapa banyak waktu terbuang. Padahal kalau saja dia menyebutkan jaket seperti
apa yang dia inginkan, mungkin pramuniaga akan bisa mencarikan jaket yang dia
minta. Dan waktu yang tersita akan berkurang.
Tapi ya
begitulah dia itu. Baginya, yang paling menyenangkan saat berbelanja adalah
saat bisa memilih apa yang diinginkan. Mencarinya sampai ketemu meski harus
memakan waktu hingga berjam- jam. Di situlah seni berbelanja berada,
menurutnya.
“Oke! Yang
ini satu..” katanya sambil mengambil sebuah jaket kulit berwarna hitam. Ada
kancing yang akan menutupi bagian leher jika di kancingkan. Cocok dengan yang
dia inginkan.
“Yang satu
lagi…. Yang ini aja..” katanya sambil mengambil jaket dengan warna cokelat yang
cukup gelap. Dia tersenyum puas setelah mendapatkan apa yang dia inginkan.
“Siip. Kita
pulang sekarang, pak..” katanya setelah membayar belanjaannya.
Saat Riri
baru saja melangkah dari meja kasir, dia merasakan handphonenya bergetar. Dia
berhenti sebentar. Mengangkat penggilan yang mempir di ponselnya.
“Halo?”
“Serius?”
To be
Continue..
Posted at
my boarding house, Serang City
At 11:32 a.m
Puji
Widiastuti,
Seseorang
yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita..
Dan saya
mengharapkan kritik konstruktif dari anda.. :D
Don’t be a silent
reader, please..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar