Jumat, 11 Mei 2012

Love the Ice Part 25


Dia mengusap pinggiran matanya. Menyadari kalau tetesan bening itu berasal dari sana. Merasa lebih ringan setelah memainkan lagu itu. Seperti menghilangkan beban yang selama ini menempel erat di pundaknya.

Dia berbalik dan menuruni panggung. Masih dengan air mata yang mengalir sedikit. Dia menutupinya, menunduk agar yang lain tak bisa melihat jejak air mata miliknya. Tangan kanannya memegang bagian bawah gaunnya agar tak terinjak. Sedangkan tangannya yang lain memegang saxophone miliknya.

“Whoooaa”

Heel dari stiletto yang  dia pakai terperosok ke lubang kecil di tepi tangga. Membuat keseimbangannya goyah. Dan dia tidak terjatuh.

Ada sepasang tangan yang melingkar di pinggangnya. Menjaganya agar tak menghempas ke lantai. Riri tentu saja kaget dengan hal itu. Refleks pegangan pada gaunnya terlepas dan teralih menuju tangan yang melingkari pinggangnya. Tangan lelaki. Kokoh, besar dan kuat.

Tangan itu membetulkan posisi berdiri Riri. Membantunya kembali menjejak anak tangga dengan baik. Memastikan kalau Riri takkan terjatuh lagi. Membuat detak jantung Riri berlompatan tak berirama.

Be careful, girl. Akhir- akhir ini lu udah sering banget jatuh.” bisik pria itu tepat di telinga Riri.

Thanks.” Katanya. Tanpa melihat sosok yang ada di belakangnya, Riri sudah tahu siapa pemilik tangan itu. Fred.

Mereka kembali masuk ke ruang persiapan. Mengemasi perlengkapan mereka yang masih tertinggal di sana. Bersiap pergi menuju bagian luar panaggung. Menunggu saat- saat paling menegangkan selanjutnya.

Tapi tidak dengan Riri. Dia malah langsung meluncur ke kamar mandi. Merasakan ada yang mengalir dari hidungnya.

**********

“Mana Riri?” tanya Nate pada Fred.

“Ke kamar mandi mungkin.” Jawabnya singkat sambil memasukkan gitarnya ke dalam kotak penyimpanannya.

Setelah rampung, dia berganti pakaian di kamar mandi. Mengubah penampilannya yang tadi nyaris serba putih menjadi serba gelap. Dark blue jeans dan jaket kulit hitam yang pas di tubuhnya. Dia tidak turut mengganti sepatunya. Tak membawa sepatu ganti karena akan memberatkannya saja. Jadi dia masih tetap menggunakan sepatu kulit hitamnya.

Saat kembali dari kamar mandi, dia berpapasan dengan Riri yang masih sibuk menyeka hidungnya dengan tissue. Terlalu sibuk hingga tidak memperhatikan jalannya. Tapi Riri tiba- tiba berhenti saat akan menabrak Fred. Seakan dapat merasakan kehadiran seseorang di depannya.

“Lu kenapa?”

“Nggak kenapa- kenapa.”

“Terus itu idung lu kenapa merah?”

“Gue tiba- tiba pilek. Bertransformasi jadi anak ingusan dalam arti kata sebenarnya dan nggak mau berenti- berenti.”

“Ck, ada- ada aja ini bocah. Yang lain tadi pada nyariin lu tuh. Samperin gih.”

“Iya iya.. Ini juga mau kesana.”

Mereka berjalan beriringan. Menciptakan kontras yang memebetot perhatian. Seperti yin dan yang. Black and white.

“Tadi suara lu keren.” Puji Fred.

“Makasih. Permainan kita bener- bener bagus tadi. Semoga hasilnya memuaskan ya..”

Mereka kembali memasuki gedung kesenian Jakarta. Berniat menyaksikan penampilan dari juara Appollo Orchestra Competition tahun lalu. Juga menanti pengumuman yang telah diputuskan dewan juri setelah penampilan itu. Riri dan Fred duduk bersampingan di kursi paling belakang. Merasa segan untuk duduk di barisan yang lebih depan meski Nita dan yang lainnya duduk di sana.

Juara tahun lalu berasal dari universitas yang ada di timur Indonesia. Tepatnya di daerah Maluku. Universitas Christina Martatiahahu. Memainkan sebuah lagu yang cukup sederhana menurut Riri. Tapi entah kenapa, saat mereka yang memainkan, terasa sangat menyentuh. Mereka juga menampilkan solo sebagai pembuka. Dan memang benar apa yang biasa orang bilang, orang yang berasal dari timur memiliki suara yang indah. Tak salah jika disamakan dengan mutiara hitam yang cantik.

Kini semua yang ada di dalam ruangan berdebar tak keruan. Saatnya untuk mendengar hasil keputusan juri. Riri tak bisa mengendalikan irama jantungnya. Cemas menunggu hasil penyisihan kali ini. Peserta- peserta yang lain menyajikan penampilan yang apik. Bisa dibilang, lawan- lawan mereka kali ini tangguh.

Tanpa sadar, sebelah tangannya meremas tangan Fred yang duduk di sampingnya. Membuat Fred kaget dan menoleh ke arahnya. Kemudian mengerti apa yang kini sedang dialami Riri.

“Gue kira lu nggak mempan lagi sama yang namanya deg-degan.. Nggak tahunya masih bisa deg-degan juga toh..” celetuk Fred. Riri hanya diam. Tak melepaskan pandangannya dari depan. Tak juga melepaskan genggaman tangannya dari tangan Fred. Masih meremasnya erat.

“Tenang aja.. Kita udah berusaha semaksimal mungkin.. Percaya aja kalau hasilnya bakal memuaskan..” katanya menenangkan Riri.

“Gue harap begitu..”

Fred membalas genggaman tangan Riri. Mengehentikan getaran halus yang tercipta dari kecemasan Riri. Menghangatkan rasa dingin yang menjalar di tiap jemari lentik milik gadis di sebelahnya ini. Membuatnya tersenyum sendiri. Sejak kapan Riri yang dia kenal selalu percaya diri berlebihan dan pemberani bisa jadi panik begini.

 “Dan pemenang kali ini adalah…… Universitas Pancasila Sakti!”

Riri terkesiap. Kecewa tak bisa dia pungkiri kehadirannya di sana. Tapi apa mau dikata. Itu keputusan juri. Tidak dapat di ganggu gugat. Lagipula penampilan dari kampus tersebut juga begitu memukau.

“Kita kalah..” kata Riri pelan.

“Kata siapa? Penampilan kita cukup bagus kok.. Lagian, lu sendiri yang bilang tadi, bermusik itu bukan masalah menang atau kalah. Yang penting adalah gimana cara lu menghayatinya. Karena sejatinya bermusik itu hampir sama seperti berdoa pada Tuhan..” kata Fred. Entah untuk membesarkan hati Riri atau menyadarkannya dari kekecewaan yang kurang tepat.

“Bukan Cuma kemenangan yang bisa dipakai buat menghargai kerja keras dari anak- anak yang lain. Tapi juga kepuasan batin dari yang mendengar. Dan gue udah cukup puas ngedenger permainan kita tadi..” lanjutnya.

“Ya, you’re right. You’re always right.” Kata Riri. Dia menghela napas panjang. Kemudian berdiri tanpa melepaskan genggamannya pada jemari Fred. Mengajak Fred turut berdiri, pergi ke tempat yang ingin dia tuju.

Mereka melangkah kedepan. Ingin menghampiri Nita dan yang lainnya. Ingin mengucapkan terima kasih karena telah bersedia melihat penampilan mereka. Hendak mengucapkan terima kasih pada anggota UKM orchestra lainnya yang telah dengan sepenuh hati menyiapkan penampilan kali ini.

“Wowowowowow.. Tunggu sebentar.. Kita baru aja dapat kabar terbaru dari dewan juri.. Ternyata ada perubahan, saudara- saudara..” kata pembawa acara di depan.

“Perubahan apa? Apa yang berubah?” tanya rekan sejawatnya. Seolah ingin tahu.

“Ini kejadian yang benar- benar mengejutkan! Baru kali ini terjadi selama penyelenggaraan Apollo Orchestra Competition..”

“Kejadian apa? Saya penasaran mau tahu.. Penonton yang lain juga mau tahu kan?” tanyanya pada masing- masing kepala yang terduduk di kursi penonton. Dan semuanya menjawab serempak. Merasa juga penasaran dengan apa yang terjadi. Sementara Riri dan Ferd terdiam di tengah jalan. Lebih memilih untuk menunggu apa yang diubah oleh dewan juri daripada ikut menanggapi pertanyaan pembawa acara.

“Tadi, juri baru saja memberitahukan kalau keputusan pemenang yang tadi di anulir!” hebohnya. Membuat orang- orang yang menyaksikannya kebingungan.

“Oke, biar lebih afdhol, kita denger langsung pengumumannya dari dewan juri ya..”

Lalu naiklah seorang pria yang terlalu berkharisma. Dengan rambut lebat dan janggut yang sudah putih dimakan usia. Memakai batik lengan pendek berwarna biru dengan blue jeans panjang dan sepatu kulit yang bunyi gemeletuknya membuat senyap ruang pertunjukan.

“Sore, semuanya.. Saya sebagai ketua dewan juri ingin menyampaikan keputusan yang telah kami rundingkan bersama belum lama ini. Keputusan yang baru saja tercetus setelah kami melihat tayangan ulang dari penampilan tiap peserta yang semuanya tampak begitu memukau. Kami melihat kesungguhan yang tiada tara mengalir dari pemenang kali ini. Selain penampilan yang memukau, tapi pemenang kali ini juga membawakan lagu mereka dengan penuh penghayatan. Membuat saya dan juri yang lain merinding.. Oleh karena itu, dengan ini kami memutuskan kalau pemenang dari babak penyisihan kali ini adalah Universitas Pancasila Sakti daaaann…. Universitas Letkol Sugiyono!” katanya.

Semua pendukung dari kedua universitas tersebut terdiam. Masih tak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan oleh ketua dewan juri. Masih berpikir mungkin telinga mereka agak korslet entah karena apa.

“Hoi! Kenapa pada diem aja? Ini beneran lho.. Selamat buat Universitas Pancasila Sakti dan Universitas Letkol Sugiyono… Berarti nanti akan di adakan babak penentuan siapa yang akan masuk ke babak perempat final ya, pak..” Kata pembawa acara. Menegaskan kalau pendengaran mereka tak rusak. Apa yang mereka dengar benar adanya.

“Ya, benar.. Untuk peserta dari Universitas Pancasila Sakti dan Universitas Letkol Sugiyono, kalian harus siap- siap untuk menghadapi babak yang selanjutnya ya..” kata ketua dewan juri.

Suasana langsung riuh rendah. Euphoria kemenangan menguar bebas ke udara. Membuat pendukung dari dua kampus tersebut berlonjak-lonjak kegirangan.

“Kita menang? Kita masih punya kesempatan buat lolos ke babak selanjutnya??” tanya Riri masih tak percaya. Memang terkadang otaknya agak sedikit lemot kalau menghadapi hal seperti ini. Tapi percayalah, ini hanya terjadi untuk hal- hal tertentu saja. Sumpah!

“Iya, kita menang.. Kita masih punya kesempatan buat lolos ke babak selanjutnya..” kata Fred. Membuat senyum lebar tergambar pada gadis yang ada di hadapannya.

“Aaaaah! Kita nggak jadi kalah.. Kita nggak jadi kelah..” teriak Riri. Dia menubrukkan tubuhnya pada Fred. Memeluknya dengan penuh suka cita. Membenamkan wajahnya di dekat bahu Fred. Memeluknya erat, penuh kebahagiaan.

Fred merasa ratusan kuda liar berlari dalam dadanya. Menghentak jantungnya sedemikian hebat. Membuat jantungnya nyaris berhenti karena terlalu cepat berdetak. Matanya membelalak. Merasakan pelukan kebahagiaan milik Riri yang menyelimuti tubuhnya.

Kedua tangannya masih terjulur lemas di samping tubuhnya. Tak membalas pelukan Riri. Masih terlalu kaget. Atau lebih tepatnya kesenangan. Hingga tak mampu mengendalikan tubuhnya sendiri.

Beberapa detik kemudian, dia mulai bisa menangkap napasnya yang terburai. Membuat senyum yang sejenak sempat hilang kembali lagi di wajahnya. Kedua tangannya perlahan mulai bergerak. Melingkar sempurna mengelilingi tubuh gadis yang hingga saat ini masih merengkuh tubuh besarnya. Membuat gadis itu melesak makin dalam dalam pelukannya. Membuatnya nyaman untuk dapat menyandarkan pipinya di puncak kepala gadis itu.

Gadis kesayangannya yang hingga saat ini belum bisa dia miliki cintanya.

Dalam hati dia berharap agar senyum lebar yang menyenangkan milik gadis ini tidak pernah pudar selamanya. Agar gadis dalam dekapannya ini selalu bahagia dengan apapun yang dia jalani dan dia terima dari si pembuat takdir. Juga agar dia diijinkan untuk bisa memiliki hati murninya yang berkilau itu.

Kemudian dia sadar. Dia tak bisa mengharapkan hati yang murni itu untuk dirinya sendiri.  Gadis itu telah menyerahkannya pada yang lain. Dan gadis itu bukanlah gadis yang bisa dengan mudahnya memberikan hati itu pada orang lain. Tipikal wanita setia.

Kenyataan itu meredupkan senyumnya. Dia mulai menyuntikkan anastesi yang selalu tersedia pada hatinya. Menyuruh hatinya yang masih saja bebal untuk berhenti mengharapkan sesuatu yang sulit untuk jadi nyata. Sangat sulit untuk jadi nyata.

**********

“Hati- hati ya di jalan..” kataku pada mereka semua. Aku memang sengaja meminta pak Sapto untuk membawakan mobilku ke sini. Ingin segera pergi ke tempat lain sesegera mungkin setelah acara ini berakhir. Menyampaikan berita gembira ini pada orang itu.

Nita, Nate, kak Billy, kak Darrel dan kak Hamid pulang menggunakan mobil kak Billy yang tadi dibawa oleh kak Hamid. Mereka bilang ingin pergi makan di café milik perusahaan. Menemani kak Darrel yang belum pernah sekalipun mencicipi makanan yang di sediakan café itu. Sedangkan kak Billy pulang dengan mengendarai motor kesayangannya. Ada janji makan malam bersama orang tuanya yang baru saja kembali dari luar kota.

“Kita langsung ke rumah sakit ya, pak..” kataku pada pak Sapto.

Oke, aku lagi- lagi lupa membawa baju ganti. Dan malas untuk pulang dulu ke rumah lalu pergi lagi ke rumah sakit. Jadi kurasa langsung saja ke rumah sakit. Toh gaun yang aku kenakan tidak terlalu ekstrim, sepertinya.

Hanya sebuah gaun panjang bertumpuk berbahan chiffon putih berlengan pendek yang jika saja tertiup angin akan melambai- lambai pelan. Tidak terlalu mencolok jika dipakai untuk menyusuri lorong rumah sakit bukan?

Ah, biarkan sajalah. Toh nanti juga gaun ini akan tertutup baju khusus yang selalu dikenakan jika ingin masuk ke ruang ICU.

Sepanjang jalan aku masih saja tersenyum kesenangan. Tak bisa membebaskan diri dari euphoria ini. Kami lolos lomba kali ini. Hanya saja karena hasilnya seri, maka diadakan lomba sekali lagi untuk menentukan siapa yang akan ke melaju ke babak perempat final nanti.

“Non, udah sampai..” kata pak Sapto. Menyadarkan aku dari segala kelebatan angan- angan manis yang terlalu menyenangkan.

“Oh, iya.. Makasih ya, pak..” kataku sambil turun dari mobil. Mulai berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang panjang. Menuju ruang ICU yang letaknya ada di ujung lorong. Sebuah ruangan yang memiliki dinding kaca besar, yang memungkinkan pengunjung untuk mengamati keadaan pasien di dalam ruangan meski tak bisa masuk ke dalamnya.

Aku segera mengenakan pakaian khusus untuk ruang ICU. Pintu ruang ICU berderit saat aku membukanya perlahan. Telingaku mampu menangkap suara kardiograf yang berbunyi di dalam ruangan. Entah menggambarkan denyut jantung milik siapa. Yang pasti, harapanku masih tetap sama. Agar detak jantung kak Alex makin kuat dari hari ke hari.

Aku merangsek menuju ranjang yang di tempati kak Alex. Tertutupi tirai. Tanganku menyingkapnya pelan. Dan tubuhku membeku. Tak ada kak Alex di sana. Tak ada tubuhnya di sana.

Aku menggelengkan kepalaku kencang. Mengusir semua pikiran buruk yang datang berkunjung. Tapi begitu sulit dilakukan. Hingga kemarin lusa, keadaannya masih belum stabil. Masih terlalu dekat dengan kata kritis. Itu. Itu yang membuat pikiran buruk ini bisa bebas melenggang masuk ke dalam tempurung kepalaku dan betah bercokol di sana.

Kakiku mulai melangkah menuju tempat suster ruang ICU berjaga. Ingin meminta informasi dimana keberadaan kak Alex saat ini.

“Suster, pasien yang di sana kemana?”

“Namanya?”

“Alex. Alexander Thang.” Kataku berusaha tenang.

 “Aahh..  Yang kemarin sempet drop lagi keadaannya..” Aku terkesiap. Benteng ketenangan yang tadis empat ku bangun, runtuh begitu saja saat mendengarnya. Pikiran buruk ini makin kesenangan menari di kepalaku. Kenapa ibunya kak Alex tidak memberitahu aku kalau keadaannya sempat drop kemarin?

“Lalu sekarang dia dimana?”

“Pasien sudah di pindah ke ruang rawat.. Belum lama kok dipindahnya..” sesaat pikiranku kosong. Sudah di pindah ke ruang rawat? Berarti..

“Jadi keadaannya udah stabil?”

“Iya.. Sekarang dia udah stabil, makanya segera dipindah ke ruang rawat 409.” aku menghembuskan napas penuh kelegaan. Degup jantung yang hampir tak terkejar ini juga berangsur memelan. Mengurangi suntikan adrenalin ke tiap pembuluh darahku.

“Makasih..” Aku bergegas melepaskan pakaian khusus yang tadi sempat aku kenakan. Menyimpannya tanpa merapikan terlebih dahulu.

Aku berjalan cepat secepat yang aku bisa menuju lift yang akan membawaku naik ke lantai 4. Masih saja menghentak- hentakkan kakiku ke lantai marmer yang kurasa terasa dingin sembari menunggu lift yang masih ada entah di lantai berapa.

Hampir saja aku berlari menuju tangga darurat jika saja lift yang ada di hadapanku ini tidak berdenting dan terbuka. Mempersilahkan aku untuk masuk ke dalamnya.

Aku segera masuk ke dalamnya dan menekan tombol lantai 4. Berharap makin cepat aku menekan tombol lift, makin cepat juga aku pergi ke lantai 4. Tapi lift ini terasa bergerak begitu lambat. Membuatku tak sabaran, terus bergerak gelisah di dalamnya. Membuat orang- orang yang juga menggunakan lift bersamaku melemparkan pandangannya padaku. Mungkin heran denga kehadiranku di sana. Gadis bergaun formal yang tersasar di rumah sakit, tak bisa diam.

Lift berdenting sekali lagi. Aku segera berlari keluar bahkan sebelum pintu lift terbuka sempurna. Berlari sambil terus mencari keberadaan kamar 409. Sambil sesekali menyesali kenapa kamar- kamar yang ada di sini letaknya berjauhan sekali.

Dengan napas menderu aku berhenti tepat di depan kamar 409 yang terletak di ujung lorong. Jantung ini masih bergerak tak keruan setelah dibawa berlari- lari tadi. Ditambah dengan hujan adrenalin yang tadi sempat turun dan sekarang telah berganti dengan gerimis adrenalin.

Tanpa mengetuk lagi, aku membuka pintu kamar. Dan tak menemukan siapapun di sana. Pandanganku langsung menabrak jendela besar yang ada di ujung ruangan. Sambil mengatur napasku, aku melangkah masuk. Perlahan, tak terburu- buru seperti tadi. Bergerak ke arah ranjang pasien yang sedikit tertutupi tirai.

“Marissa? Riri?”

“Ya, tante.. Gimana keadaan kak Alex?”

“Keadaannya sudah lebih baik.. Sudah lebih stabil daripada kemarin- kemarin.”

“Kemarin dia drop lagi?” sebelah tanganku merayapi jemari panjang yang hingga kini masih juga terdiam di tempatnya. Terlalu damai. Mendingin.

“Iya..” ibunya kak Alex menggenggam tangan milik kak Alex yang lain.

“Kenapa-“

“Karena tante tahu kamu hari ini penyisihan.. Tante nggak mau ngerusak konsentrasi kamu.. Tante mau hasil yang memuaskan.. Dan hasilnya?”

“Seri. Masih ada lomba yang harus dilewatin sebelum masuk ke perempat final. Lawan Pancasila Sakti..”

Good.. He should be happy to hear that..

Yah, kurasa dia akan bahagia mendengarnya. Ini pertama kalinya kampus kami bisa berlaga hingga sejauh ini. Kalau saja dia tak berada dalam keadaan seperti ini, dia pasti sudah melonjak kesenangan tak tentu arah dan berteriak- teriak histeris. Ah, aku rindu menatap matanya yang selalu membuatku bersemu. Rindu menatap cuil kejailan yang meletup di matanya jika kami sedang bersama.

You look so beautiful..” aku menoleh ke arah tante Dila –ibunya kak Alex-.

“Nggak heran anak- anak tante jatuh cinta sama kamu..”

“Makasih..” aku kembali memandangi wajah pias yang tertidur dalam damai.

“Tante juga cantik.. Nggak heran anak- anak tante berhasil bikin Riri jatuh cinta sama ketampanan mereka..”

“Tante harap kamu akan terus menemani Alex seperti ini.. Dia sangat mencintai kamu.. Terlalu mencintai kamu..”

Aku tahu. Aku tahu hal itu.

“Dan tante harap kamu bisa menerima semua yang ada di diri Alex. Bisa menerimanya meski dalam tubuhnya mengalir darah Sammael. Meski kemarin dia sempat menyakiti hatimu sedemikian rupa. Tante harap kamu bisa mencintai Alex seperti dia mencintai kamu..”

Aku hanya bisa menelan ludahku dan terdiam. Mendengar perkataan tante Dila yang menyimpan harapan terlalu padaku. Harapan seorang ibu untuk kebahagiaan putranya yang tersisa. Harapan yang entah kenapa membuat perasaanku merasa aneh, terbebani.

**********

Dia duduk di halaman belakang rumahnya. Memangku gitar kesayangannya hadiah dari kedua orang tuanya saat dia berulang tahun yang kelima. Memetik senarnya dengan nada yang tak jelas ada di mana.

Dia menyandarkan dagunya ke badan gitar miliknya. Berlaku seakan terlalu lelah bahkan walau untuk mengangkat kepalanya barang sejenak.

Dari tempat dia duduk saat ini, dia bisa melihat matahari terbenam. Membakar langit hingga berwarna oranye dengan sisa- sisa tenaganya hari ini. Indah, tapi membuat rapuh jiwa- jiwa yang dimabuk cinta tak bersambut seperti dirinya saat ini.

Disorientasi karena cinta. Itu yang terjadi padanya. Masih saja tak menyadari jika bulan telah menyuruhnya untuk masuk ke dalam rumah. Meski angin sudah memperingatkannya dengan menurunkan suhu di sekitarnya. Tapi dia masih saja duduk di sana. Masih saja memetik- metik gitarnya.

Hanya satu yang berbeda kini. Nada- nada hasil resonansinya tak lagi berantakan seperti tadi. Akhirnya dia menemukan pola yang sesuai dengan hatinya kali ini. Broken.

Pasangan yang sejak tadi sudah menunggu di meja makan juga sampai heran. Kenapa orang yang mereka tunggu tidak juga datang. Lalu wanita itu beranjak ke atas. Hendak mengajak turun orang yang sejak tadi dia tunggu.

Tapi orang itu tak ada di sana. Kemudian wanita itu beranjak melangkah menuju balkon kamar. Berharap menemukannya di sana. Dan tak ada juga. Dia hanya bisa mendengar petikan- petikan gitar yang lirih.  Akhirnya dia mengetahui keberadaan orang yang selama ini dia cari.

Dia kembali bergerak turun ke bawah dan pergi ke halaman belakang. Melangkah perlahan di atas rerumputan.

“Tebak ini siapa…” katanya sambil menutup mata orang yang ada di hadapannya dari belakang.

“Ini pasti wanita cantik yang bikin tuan Yoga sama tuan Deni jatuh cinta tiga perempat mati sama dia..”

“Ah, kamu.. Bisa aja deh.. Tapi makasih loh pujiannya..” katanya sambil melepaskan tutupannya pada mata itu. Kini dia berganti memeluk orang itu dari belakang. Menumpukan dagu di bahu yang ada di hadapannya.

“Ada masalah? Perlu tempat sampah buat ngebuang semua masalah itu?”

“Tempat sampah cantik kayak begini? Sayang banget kalo dipake buat tempat sampah..” katanya. “Lagian nggak ada masalah apa-apa kok..”

“Ck, nggak usah bohong deh.. Wanita cantik ini nggak gampang buat dibohongin..”

“Beneran.. Nggak ada masalah apa- apa..”

“Nggak ada masalah tapi diem begini.. Berarti ada yang dipikirin.. Iya kan? Mau tahu dong..” kata wanita itu sambil menggerakkan kepalanya yang hingga saat ini masih setia melekat di lekukan leher pria itu. Seperti yang biasa mereka lakukan dulu.

“Ra-ha-si-a..” jawabnya sambil menggenggam tangan yang tersimpul di depan dadanya.

Is it about a girl?? Ah, my little boy had grow up!

“Yeah.. It’s about girl.. You..” katanya sambil mengedip.

“Hei hei hei.. Dilarang flirting sama dia ya..” kata pria yang sejak tadi hanya diam saja di belakang dua orang itu sambil bersedekap dada.

“Ck, yang baru balik dari luar kota dilarang cemburu ya..” jawabnya tanpa menolehkan sedikitpun kepalanya.

“Mama sih.. Si papi jadi cemburu kan tuh..” bisiknya pada wanita itu.

“Ah, nggak akan.. Kan mama tahu caranya biar dia nggak cemburu terus ngambek.. Hihihihi..” Lani –ibunya Fred- mengecup pipi Fred dan melepaskan pelukannya. Kemudian berjalan menuju dalam rumah. Berlenggak- lenggok dengan gembira seperti biasanya. Kelewat ceria. Bertolak belakang dengan anaknya yang terkesan datar tanpa emosi –walau kadang agak jahil juga-.

“Gimana keadaan kamu selama kita nggak ada di rumah?” tanya Deni sambil duduk di sebelah Fred. Tidak terlalu dekat jaraknya. Menyisakan ruang yang hanya diisi udara.

“Baik- baik aja kok..”

“Papi mau tanya, boleh?” Fred mengangguk menjawabnya.

“Kamu setuju papi menikah sama mama kamu?” Fred menolehkan wajahnya.

“Kenapa papi nanya kayak gitu?”

“Cuma penasaran..”

“Kalau Fred nggak setuju, mana mungkin sekarang mama bisa nikah sama papi..”

“Apa alasannya? Kenapa kamu ngijinin papi yang nikah sama mama kamu? Papi kan nggak punya apapun yang bisa dibanggain. Pengangguran, ga jelas kerja apa.”

Fred menghela napasnya sejenak. Mencari dalam kepalanya alasan kenapa dia menerima Deni untuk bersanding dengan mamanya.

“Ada banyak alasan untuk itu, pi.. Pertama, karena papi yang berhasil menarik mama keluar dari keterpurukan setelah kematian papa, Adel dan Nenek yang begitu mendadak. Nggak kayak Fred yang nggak bisa ngelakuin apa- apa. Kedua, karena Fred yakin papi bisa ngejagain mama, mengisi kekosongan mama yang ditinggal papa, bisa jadi tempat bersandar mama, tempat bermanja mama. Fred nggak mau mama terlalu lama hidup dalam kesendirian. Ketiga karena papi sahabat papa dari kecil. Fred yakin papi nggak akan ngecewain papa dengan nyakitin mama. Dan sekarang, mama bahagia bersama papi. Masalah pekerjaan nggak jadi masalah. Yang penting mama bahagia. Itu aja.”

Kemudian dua pasang mata itu kembali bertolak memandang bulan yang tak utuh. Menikmati kegelapan malam, disinari cahaya bulan yang redup nyaris padam. Terdiam untuk sementara waktu.

“Papi nggak nyangka, di umur kamu yang masih semuda itu, kamu sudah memiliki pemikiran sepanjang ini.. Umur lima tahun? Papi bener- bener salut sama kamu..” katanya sambil menepuk pelan bahu Fred.

“Makasih ya.. Makasih karena udah ngijinin papi buat menikahi mama kamu waktu itu..”

“Makasih juga papi udah mau jagain kami selama ini..”

Tak lama kemudian, Lani kembali muncul di halaman belakang. Dengan tangan yang penuh dengan 2 kendil hitam. Disusul dengan kehadiran pengurus rumah yang lain. Membawa peralatan makan, minuman dan makanan. Dengan enaknya, Lani duduk di sela Fred dan Deni. Membuat Fred dan Deni menggeser tubuhnya agar Lani bisa duduk diantara mereka. Dengan penuh semangat Lani membuka kendil- kendil yang tadi dia bawa dan menyendoknya.

Bergantian dia menyuapi Deni dan Fred. Kadang bercanda dengan membelokkan sendok untuk masuk ke dalam mulutnya sendiri, atau menyuapi tapi tidak langsung masuk ke mulut. Menabrakkannya ke bibir atau gigi Fred dan Deni. Bahkan dia juga menjahili Deni dengan memasukkan sambal ke nasi yang akan dia siapkan ke Deni. Membuat Deni kelojotan karena pedas yang menggigit.

Lani tertawa puas melihat hal itu. Tak lupa untuk memberikan gelas berisi air untuk memadamkan sedikit rasa pedas yang membakar lidah. Sementara Fred hanya tersenyum tipis. Melihat kebahagiaan keluarganya.  Bersyukur papinya bisa membuat mamanya kembali ceria seperti dulu. Bersyukur ada Deni –papinya- yang bisa menghujani mamanya dengan kebahagiaan. Tidak seperti dirinya yang dulu juga turut terperosok dalam keterpurukan. Bahakan masih belum bisa bangkit hingga hari ini.

Kemudian dia mendengar bisikan. Mungkin ini yang menyebabkan dia tak bisa bersanding dengan Riri. Karena dia tak berhasil menarik Riri keluar dari keterpurukannya saat itu.

**********

Riri melihat jam tangan yang melingkar di tangan kanannya. Menyadari kalai hari telah malam. Perutnya sudah keroncongan. Wajar saja. Dari pagi dia belum makan apapun kecuali minum susu. Kebiasaannya jika akan menghadapi lomba. Tak bisa sarapan karena mual yang disebabkan oleh gugup.

Dia berpamitan pada Dila –Ibunya Alex- dan beranjak ke luar rumah sakit. Ingin pergi menjalankan agenda hari ini yang telah dia rencanakan sejak kemarin. Sebelumnya, dia mengajak pak Sapto untuk makan malam bersama.

“Pak, kita mau makan di mana?”

“Kalau saya sih dimana aja bisa, non.. Non Riri sendiri maunya makan di mana?”

“Bingung.. Kalau gitu kita pergi ke PIM aja deh, pak. Kita makan, terus saya bisa sekalian belanja di sana.”

“Siap, non!”

Riri menyandarkan tubuhnya. Merasa lelah karena sejak pagi belum sempat beristirahat. Tapi tak mengapa. Yang penting sekarang dia merasa senang. Pertama, Alex keadaannyaa sudah stabil. Kedua, dia akan berbelanja. Ketiga, mungkin dia akan berkeliling mencari teh melati atau makan es krim yang bisa membuatnya senang.

Setelah parkir di basement, Riri dan pak Sapto melenggang masuk ke PIM. Dan lagi- lagi Riri dihadiahi tatapan heran oleh orang- orang yang ada di sekitarnya. Dan Riri lagi- lagi lupa kalau dia masih mengenakan gaun hingga saat ini. Tapi karena sudah terlanjur, jadi dia terus saja berjalan. Dengan pak Sapto yang berjalan agak di belakangnya, mereka memasuki sebuah restoran fastfood.

“Bapak duduk aja dulu di sana.. Riri yang pesen..” katanya sambil menunjuk tempat duduk yang inginkan.

“Biar saya aja yang pesen makanannya, non..”

“Nggak, saya aja..” kata Riri sambil melenggang pergi. Mengantri makanan yang ingin dia makan.

Dia memesan waffel dan segelas orange juice untuk dirinya sendiri. Sedangkan untuk pak Sapto, dia memesankan nasi dengan ayam goreng, sup dan lemon tea.

“Ini makanan buat bapak..” kata Riri sambil menaruh nampan yang berisi makanan untuk pak sapto dan orange juice miliknya.

“Ini buat bapak semua?” Riri mengangguk menjawabnya sambil menyeruput orange juicenya. “Buat non sendiri mana?”

“Belum jadi.. Nanti juga di anter..”

“Tapi-“

“Nggak apa- apa, pak.. Ini sengaja saya beliin buat bapak.. Kan bapak udah capek dari tadi jemput saya, nganterin saya ke rumah sakit, terus sekarang nemenin saya di sini.. Jadi bapak harus banyak makan biar nggak sakit..” katanya lagi. Tangannya kemudian bergerak lioncah di atas keypad ponselnya. Mengirimkan pesan pada seseorang.

Tak lama kemudian waffel milik Riri tiba. Harumnya menggugah selera. Dengan es krim vanilla di atasnya, terasa nikmat sekali pastinya. Tanpa menunggu lama, Riri memotong sedikit waffel di hadapannya dan memasukkannya ke mulutnya. Memejamkan matanya karena rasa nikmat yang tiada terkira saat merasakan es krim yang dingin bercampur dengan waffel hangat. Pak sapto juga demikian. Makan dengan lahap makanan yang dibelikan Riri. Menghabiskannya karena terlalu lama merasa lapar.

Selesai mengisi perut, Riri kemudian pergi ke sebuah toko untuk membeli sesuatu. Sesuatu yang selama ini ingin dia berikan pada seseorang. Atau mungkin dua orang. Dua orang yang selalu ada di dekatnya dan entah karena kebetulan atau takdir memiliki satu persamaan.

Dia melihat- lihat beberapa jaket kulit yang ada di toko itu. Mulai dari menilai apakah kulit yang dipakai terasa nyaman atau tidak, warna, dan segala macamnya. Memang, anak yang satu ini terlalu memperhatikan detil.

“Pak, coba sini sebentar.. Bantuin saya ya..”

Pak Sapto segera menghampiri nona mudanya. Lalu tiba- tiba saja Riri mulai mencocokkan jaket- jaket yang ada di tangannya dengan tubuh pak Sapto.

“Yang ini.. Bahannya nyaman.. Tapi warnanya.. Grrrr..” Riri mengembalikan sebuah jaket yang berwarna cokelat terang. Tidak sesuai dengan seleranya yang lebih menyukai warna- warna gelap.

“Yang ini… Warnanya bagus.. Tapi bahannya kurang enak dipakai.. Jadi, balik ke gantungan..”

Satu per satu dia mencocokkan jaket yang dia pilih dengan tubuh pak Sapto. Tak memperdulikan betapa banyak waktu terbuang. Padahal kalau saja dia menyebutkan jaket seperti apa yang dia inginkan, mungkin pramuniaga akan bisa mencarikan jaket yang dia minta. Dan waktu yang tersita akan berkurang.

Tapi ya begitulah dia itu. Baginya, yang paling menyenangkan saat berbelanja adalah saat bisa memilih apa yang diinginkan. Mencarinya sampai ketemu meski harus memakan waktu hingga berjam- jam. Di situlah seni berbelanja berada, menurutnya.

“Oke! Yang ini satu..” katanya sambil mengambil sebuah jaket kulit berwarna hitam. Ada kancing yang akan menutupi bagian leher jika di kancingkan. Cocok dengan yang dia inginkan.

“Yang satu lagi…. Yang ini aja..” katanya sambil mengambil jaket dengan warna cokelat yang cukup gelap. Dia tersenyum puas setelah mendapatkan apa yang dia inginkan.

“Siip. Kita pulang sekarang, pak..” katanya setelah membayar belanjaannya.
Saat Riri baru saja melangkah dari meja kasir, dia merasakan handphonenya bergetar. Dia berhenti sebentar. Mengangkat penggilan yang mempir di ponselnya.

“Halo?”

“Serius?”

To be Continue..

Posted at my boarding house, Serang City

At 11:32 a.m

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda.. :D
Don’t be a silent reader, please..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar