Jumat, 20 April 2012

Love the Ice part 22


Pria itu datang ke tempat yang selama ini tidak pernah dia kunjungi. Mencoba melihat, apa yang sedang dilakukan oleh orang itu. terlihat sedikit mencurigakan.

“Persiapkan tempat yang lama.. Panggil juga yang lain.. Tapi pastikan lebih tangguh dari yang kemarin..”

“Masalah biaya, jangan cemas.. Kalau dia berhasil dihabisi, kalian bisa berenang di kolam renang yang diisi uang..”

“Ya, target utamanya adalah Marissa.. Kalau teman- temannya yang lain, anggap saja sebagai selingan..” pria yang bersembunyi itu kini tahu siapa yang menyebabkan kemalangan bertubi- tubi datang pada Marissa.

“Pertama pancing dulu dia ke tempat yang lama.. Di sana baru kita jalankan rencana kita..”

“Hari ini..”

Pria yang sejak tadi bersembunyi tersentak. Hari ini?

**********

“Kak, aku pergi nengokin temen aku dulu ya..”

“Kemana, Nate?”

“Higeia hospital..”

“Sama siapa? Perlu dianterin nggak?”

“Bukannya nanti kakak ada rapat di kantor ya? Aku sendirian juga bisa.. Lagian nanti aku kesananya sama temen- temen..”

“Bareng Nita?”

“Nggak.. Dia kemarin udah nengokin.. Terus hari ini dia ada acara keluarga juga kan..”

“Yaudah.. Hati- hati ya..” katanya sambil memeluk tubuh gadisnya.

Nate berjalan menuju jalanan besar yang ada di depan rumah Riri, yang sekarang juga menjadi tempatnya tinggal sejak peristiwa itu. Menunggu bus yang akan membawanya menuju kampus. Karena memang dia janjian dengan temannya di sana.

Selama di dalam bus, dia tak bisa duduk dengan tenang. Tidak nyaman. Kebelet buang air kecil saat jalanan macet seperti ini memang bisa membuat gelisah. Rasanya ingin turun saja di sini dan berlari mencari toilet umum. Tapi setelah dia pikir- pikir lagi, lebih baik tidak. Lebih baik dia bersabar lima belas menit lagi dan membuang segala macam gelisah itu di toilet kampus.

Karena pertama, dia ragu di sekitar sini ada toilet umum. Tidak enak juga kan kalau masuk ke tempat makan atau gedung perkantoran hanya untuk numpang memakai toiletnya. Kedua, dia harus membayar lagi jika harus turun di sini. Padahal dia belum mengambil uang bulanan di ATM. Dan uang yang ada di dompetnya sudah benar- benar habis. Jadi, ya mau tak mau dia harus menahannya sampai kampus.

Kampus masih beberapa meter di depannya. Dan kemacetan masih mengurungnya di sini. Akhirnya dia memutuskan untuk turun saja di sini. Dan berlari menuju ke kampus. Daripada harus menunggu lebih lama, yang berarti dia harus menahan hasrat ini lebih lama pula.

Dan rasa setelah menuntaskan semua itu terasa begitu melegakan. Rasanya tubuh juga jadi lebih enteng. Hahaha.

Nate tidak langsung keluar dari kamar mandi. Melainkan merapikan penampilannya yang terlihat agak tidak manusiawi setelah berlari tadi. Menyisir poninya yang berantakan tak keruan.

‘Drrrrt’

Ponselnya bergetar. Nita yang menghubunginya.

“Hal-akhh!”

Lalu tiba- tiba dia merasa bahunya sakit. Tubuhnya lemas seketika. Dan semuanya gelap.

**********

Mereka duduk dalam senyap. Memikirkan langkah yang bisa mereka ambil untuk kedepannya. Memikirkan langkah yang terbaik agar bisa bertahan di masa depan.

“Usaha toko buku sekaligus cafĂ© yang beberapa bulan lalu dibuka, sudah membuahkan hasil yang cukup besar. Lalu saya berpikir kenapa kita tidak melebarkan sayap ke usaha yang lain? Dan yang kali ini terpikirkan adalah.. Hotel..” semua orang yang ada di ruangan itu diam. Mendengarkan presentasi dari Riri yang hari ini tampak formal.

Dengan celana bahan lurus berwarna hitam, kemeja berenda warna putih dengan kerah tinggi, dan blazer berwarna hitam. Tak ketinggalan high heels sederhana yang juga berwarna hitam membungkus kakinya dengan nyaman.

“Ada sebuah lokasi di Bandung yang tidak terlalu jauh dari IPDN. Beberapa ruko yang oleh pemilik- pemiliknya ingin dijual. Tempat yang cukup strategis karena berada persis di pinggir jalan raya. Cukup luas, karena ada sekitar 4 orang yang ingin melepas rukonya ke tangan pembeli. Dan masing- masing ruko tersebut berukuran cukup besar. Selain itu di belakang ruko- ruko tersebut, ada sepetak tanah kosong milik perusahaan.”

“Oke, saya yakin anda sudah memikirkan masalah lokasi secara matang- matang. Yang sekarang perlu kita bicarakan adalah tentang masalah- masalah yang krusial. Apakah anda sudah melakukan perhitungan seperti studi kelayakan bisnis? Berapa biaya yang dibutuhkan? Bagaimana prospek dari usaha yang akan didirikan untuk kedepannya?” tanya salah seorang diantaranya. Pemegang saham dalam jumlah yang relative kecil.

“Saya sudah memperhitungkan semuanya.” Kata Riri yakin.

Lalu dia membuka sebuah file yang ada di laptopnya. Memperlihatkan apa yang selama ini telah dia kerjakan dengan susah payah. Membuat waktu tidurnya yang sudah sedikit jadi makin berkurang.

“Biaya yang diperlukan memang cukup besar. Oleh karena itu saya menyarankan untuk menjalankan proyek ini tidak dalam jangka waktu dekat dan dilakukan secara bertahap. Dan ini adalah estimasi pendapatan yang akan di dapatkan oleh usaha ini. Di waktu- waktu tertentu akan terjadi lonjakan konsumen. Diantaranya saat liburan dan saat penerimaan siswa baru di IPDN.” Terang Riri.

“Saya kurang setuju dengan niat anda mendirikan hotel saat ini. Saya rasa perusahaan masih belum siap untuk melebarkan sayapnya ke jenis usaha yang lain lagi.” Katanya.

“Saya juga berpikir demikian. Kita harus benar- benar fokus dulu dalam satu jenis usaha. Setelah benar- benar kuat, baru kita bisa masuk ke dalam jenis usaha yang lainnya.” Kata Darrel.

Lalu Riri mengalihkan pandangannya pada Fred dan Billy. Seperti meminta pendapat mereka tentang proposal yang baru saja dia kemukakan.

“Maaf, tapi saya setuju dengan pendapat Darrel juga pak Bobby. Perusahaan kita masih harus fokus pada usaha yang belum lama ini kita buka.. Jika kita terburu- buru membuka usaha lain, bisa- bisa nanti usaha yang sebelumnya telah kita dirikan bisa terguncang dan akhirnya hancur..” kata Fred.

“Saya juga berpikir demikian..” kata Billy.

Dengan demikian, usulan Riri mengenai pembangungan usaha hotel tidak dapat dilaksanakan. Karena tidak ada yang menyetujuinya. Kecewa jelas saja dirasakan oleh Riri. Mengingat dia sudah benar- benar berusaha keras dalam melakukan perhitungan- perhitungan yang tidak bisa dibilang sederhana juga.

Tapi apa mau dikata. Tidak ada yang menyetujui usulannya tersebut. Selain itu, dia juga mengakui kalau dia terlalu terburu- buru dalam mengembangkan perusahaan. Dia terlalu ingin perusahaannya memiliki jenis usaha yang beragam. Padahal jika perkiraannya tidak tepat, bisa- bisa perusahaan yang sudah Rio dirikan dengan susah payah hancur karenanya. Dan dia tidak menginginkan hal itu jika sampai terjadi.

Lalu mereka berganti topik. Membicarakan masalah kenaikan gaji karyawan. Juga strategi yang akan mereka lakukan untuk memacu semangat kerja karyawan. Selain itu mereka juga membuat master budget untuk perusahaan satu periode selanjutnya, dibantu oleh pihak manajemen.

Ini dilakukan untuk memperkecil gap antara tujuan perusahaan yaitu memaksimalkan laba dan tujuan karyawan yaitu mendapatkan gaji dan bonus. Dan menyusun master budget bukanlah suatu hal yang bisa memakan waktu cepat. Ini memakan waktu yang lumayan lama.

‘Tok tok tok’

Mereka yang ada di dalam ruang rapat serempak menoleh kearah pintu. Seperti menerka siapa yang mengganggu konsentrasi mereka di saat rapat yang penting seperti ini. Bertanya- tanya apakah Ratih yang bertugas menjadi resepsionis tidak menghalangi orang tersebut untuk terus berusaha masuk ke dalam ruang rapat?

“Ini masalah yang penting! Nggak bisa ditunda!”

“Tapi di dalam sedang ada rapat, mbak..”

Riri dan yang lainnya mengenal pemilik suara- suara itu. Dan bersama- sama mengrenyit heran. Bukankah Nita saat ini sedang ada acara keluarga? Lalu kenapa sekarang dia ada di sini?

Riri melangkah, membuka pintu ruang rapat. Dan mendapati Nita yang tengah berteriak- teriak pada Ratih.

“Ada apa, Nit?” tanyanya.

“Nate.. Nate nggak ada.. Ada apa- apa sama Nate.. Nate.. Nate hilang!” pekiknya panik.

Riri kaget. Tapi masih bisa berusaha untuk berpikir tenang. Tidak ada gunanya jika dia juga turut panik seperti Nita saat ini. Dia harus bisa berpikir dengan kepala dingin.

“Apa? Nate hilang? Nggak mungkin! Dia tadi pergi ke kampus..” kata Darrel. Sebagian hatinya menjelma kaku. Takut jika Nate benar- benar hilang.

“Kamu tahu darimana kalau Nate kenapa- kenapa?” tanya Billy berusaha tenang.

“Tadi.. Tadi aku nelpon dia.. Mau nanyain udah sampai di rumah sakit apa belum.. Niatnya mau ngajakin ke kantor bareng kalau udah selesai.. Terus kita jalan- jalan ke mana gitu..” Nita sesegukan menceritakannya.

“Tapi.. Tapi dia tiba- tiba teriak kesakitan.. Terus sambungan teleponnya putus.. Aku udah coba buat ngehubungin dia.. Tapi nggak ada jawaban.. Aku udah coba ngehubungin temen- temen yang hari ini mau ikutan nengok juga, tapi mereka bilang Nate nggak dateng..” Billy memeluk Nita. Menenangkan gadisnya dengan perasaannya yang tidak tenang saat ini.

Sedangkan Darrel membeku mendengar penuturan Nita. Tak bisa berhenti membayangkan gadisnya yang memekik kesakitan lalu menghilang tak diketahui keberadaannya. Terlintas saat dimana Nate mengalami peristiwa itu. Membayangkan apakah Nate mengalami hal yang sama, lagi. Dan tubuhnya menegang saat kilasan adegan yang membuatnya semaput setengah mati berputar di benaknya.

Riri segera menghubungi Hamid yang kini sedang ada di lokasi proyek sosialnya. Meminta bantuan. Lalu dia memutuskan hubungannya, gemas. Tidak diangkat.

Lalu Riri meraba kalungnya. Sempat bimbang, apakah harus memanggil mereka kesini atau tidak. Lalu teringat akan suatu hal. Nate menganakan kalung yang dia pesankan untuknya. Jadi dia bisa tahu dimana keberadaan Nate saat ini dengan melacak alat pemancar dari kalung itu bukan?

Riri segera berlari menuju luar kantor sambil menekan batu yang ada di tengah kalungnya. Tombol darurat. Dan Lion serta Cheetah dengan cepat menghampiri Riri. Memenuhi panggilan tugasnya yang terlihat genting. Apalagi saat melihat wajah Riri yang mengeras.

“Lacak keberadaan Nate.” Perintahnya. Cheetah segera menghubungi seseorang dan meminta hal yang sama dengan yang Riri inginkan.

“Di kampus. Melalui koordinat yang diberitahukan, sekarang mungkin ada di kamar mandi gedung Rektorat.” Kata Cheetah. Napas Riri mulai menderu kencang.

“Kunci motor mana?”

“Tapi”

“Gue bilang KUNCI MOTOR MANA?!” teriaknya. Dan Lion segera memberikan apa yang Riri minta. Kunci motor ninja yang dipinjamkan Hamid untuk mereka beraktivitas. Kendaraan yang bisa mereka gunakan untuk mengejar kalau- kalau target operasi terlihat agak jauh di depan mata.

Riri memacu motor itu dengan kecepatan yang gila- gilaan. Membuat blazernya berkibar tertabrak angin jalanan kencang yang tercipta oleh gelindingan motornya yang terus meliuk kencang. Membuat orang- orang memandanginya takjub. Penampilan feminine dengan high heels, tapi caranya mengendarai motor terlihat sangat jantan. Malah cenderung mengerikan.

Sesampainya di tempat parkir, dia memarkirkan motor rampasannya dengan seadanya saja. Lalu dia berlari ke kamar mandi rektorat. Membuka tiap bilik yang ada di dalamnya. Mencari keberadaan Nate. Dan nihil.

Dadanya sakit. Napasnya terlalu memburu. Kini dia benar- benar panik. Tubuhnya terasa semakin lemas. Dan dia jatuh begitu saja ke lantai kamar mandi yang dingin. Dia melihat secarik kertas yang berlilitkan kalung Nate dibawah jajaran wastafel. Dia menggapainya di sisa- sisa kesadarannya yang terus menipis. Rasa sakit di dadanya tak kunjung hilang. Napasnya tak bisa dia kurangi kecepatannya.

Satu hal yang dia lakukan saat itu. Menaruh kertas yang tadi dia temukan. Dia tak tahu kenapa dia melakukan hal itu. Satu yang dia tahu, dia harus menyimpan kertas itu sebaik mungkin di tempat paling tersembunyi yang dia tahu.

‘Tahan napasnya, Ri.. Tahan napasnya..’ dia mendengar suara yang dia kenal. Tapi benarkah pendengarannya itu?

 ‘Tahan napasnya.. Ayo berusaha tahan napasnya..’

‘Kak Rio?’

**********

Dia membuka matanya. Merasakan sakit yang menggigit di bahunya. Tangannya refleks bergerak untuk mengusapnya. Tapi sekeras apapun dia berusaha untuk menggerakkan tangannya, dia tak bisa menjangkau bahunya sendiri.

Lalu menyadari ada yang membelenggu kedua tangannya. Menahanya hingga terus tergantung di atas kepalanya. Dia tak tahu dimana keberadaannya saat ini.

Siapa yang membawanya ke tempat seperti ini?

Apakah Sammael yang melakukannya?

Dia merasakan tidak sendiri di ruangan ini. Dia memutar kepalanya. Dan menemukan seseorang yang juga berdiri di sebelahnya. Terikat.

Dia..

**********

“Gimana keadaan Riri, kak?”

“Dia baik- baik aja..”

“Kenapa dia bisa begini sih?” tanyanya khawatir. Jelas. Melihat gadis yang dia cintai terkapar lemah begitu, tentu saja akan membuatnya panik setengah mati.

Alkalosis respiratorik..” dia mengrenyit mendengarnya. Apa pula itu? Dia tidak mengerti apa yang baru saja diucapkan oleh Nino.

 “Kak, please kasih tahu dalam bahasa yang lebih mudah.. Gue bukan Billy yang tahu semua arti kata ajaib kayak begitu.” Katanya gemas.

Alkalosis respiratorik atau hyperventilation, keadaan dimana darah menjadi basa karena pernapasan yang cepat dan menyebabkan kadar karbondioksida dalam darah menjadi rendah. Jika keadaannya memburuk, bisa terjadi kejang otot dan penurunan kesadaran.” Gumam Billy. Menerjemahkan kosakata yang tidak dipahami sama sekali oleh Fred.

“Dan saat Riri ditemukan di toilet kampus, dia hampir kehilangan kesadarannya. Tapi untungnya, dia masih sadar walau sedikit. Dan saat itu dia sudah punya inisiatif sendiri untuk menahan napasnya. Membuat gejala hiperventilasi membaik sedikit demi sedikit.” Sambung Nino.

“Bil, kayaknya lu harus nganter Nita buat istirahat di kamar Riri.. Dia keliatan capek banget.. Lu juga..” kata Nino sambil melihat Nita yang terus mengangguk tanpa disadarinya. Sesekali jatuh tertidur.

Billy melirik jam yang melingkar di tangannya. Sudah lewat tengah malam. Dan dia tahu persis, Nita bukanlah pribadi yang bisa menahan kantuknya hingga selama ini. Sama seperti dirinya.

Dia menuntun Nita untuk berjalan menuju kamar Riri yang terletak di lantai atas. Menyeret langkahnya yang juga sudah nyaris terseok karena kantuk. Berusaha agar tak kehilangan keseimbangan.

Selesai menidurkan Nita di sebelah Riri, dia melangkah menuju kamar sebelahnya. Kamar milik Rio. Lalu dia merebahkan tubuhnya di ranjang yang telah lama tak ditempati. Mengistirahatkan tubuhnya yang telah mejerit meminta jatah istirahatnya sejak berjam- jam yang lalu.

Sementara itu di lantai bawah, masih ada pembicaraan serius diantara tiga pria yang tersisa. Nino, Fred dan Darrel.

“Lu udah ngasih tahu orang tuanya Nate?” Darrel menggeleng.

“Orang tuanya lagi dinas di Papua. Dan gue lebih seneng kalau mereka dikabarin waktu Nate udah ketemu.. Gue nggak mau dicap sebagai lelaki yang nggak becus ngejagain cewek..” katanya lesu. Wajahnya tenggelam di kedua telapak tangannya yang bersatu. Seakan memberitahukan betapa dia merasa khawatir dan takut. Nyaris putus asa.

“Darrel, ini bukan masalah harga diri lu sebagai cowok.. Ini lebih tentang hubungan orang tua dan anaknya yang nggak akan pernah bisa lu ganggu gugat.. Biar bagaimanapun, mereka berhak tahu masalah ini..” kata Nino menasihati Darrel.

“Gue tahu, kak.. Tapi tetep aja gue nggak bisa ngasih tahu mereka.. Gue lupa nanya nomor yang bisa dihubungin ke Nate..”

“Hhhhh.. Semoga ini semua cepat berlalu deh..” kata Fred. Berdoa pada Tuhan agar perrmohonannya dikabulkan. Karena terasa sangat melelahkan harus hidup di bawah bayang- bayang keresahan atas sikap Sammael.

***********

Dia mengetukkan jemarinya pada keyboard yang ada di hadapannya. Berusaha mencari informasi yang berguna untuk melaksanakan niatnya. Dia terus mencari. Hingga matanya terasa sakit karena terlalu lama memandangi layar monitor.

Lalu gerakan matanya terhenti saat melihat sepotong berita di sana.

“Mario Stevano Kusuma (17) meninggal dunia saat hendak menyelamatkan adiknya yang menjadi sandera Sammael Thang (45). Dia menahan adik Mario di sebuah gedung kosong yang terletak di jalan Pakubuwono Selatan nomor 13, Jakarta Selatan…”

Tempat ini..

**********

Aku membuka mataku cepat. Menyadari ini bukanlah tempat yang sama dengan yang tadi. Ini kamarku. Aku menoleh ke sebelahku. Dan mendapati Nita tertidur di sampingku. Berarti sekarang sudah malam. Nita tidak suka tidur siang dan tidak pernah bisa bergadang. Dan saat aku memastikan pemikiranku dengan melihat weker yang ada di sebelah ranjangku, jarum jamnya menunjukkan waktu lewat tengah malam.

Aku melangkahkan kakiku ke kamar mandi. Merogoh kantung celanaku. Mencari- cari kertas yang tadi aku temukan. Aku menarik napas dulu dalam- dalam. Berusaha untuk memupuk kesabaran dan ketenangan dari saat ini.

Aku lelah terus menyusun sekenario untukmu dan semuanya.
Kalau begitu mari kita segera tuntaskan.
Jika kau masih mengingatnya, datang ke tempat yang sama.
Tempat terakhir kita bertatap muka dan sama- sama kehilangan yang berharga.
Dan jika kau memang ingin semuanya berakhir sekarang, ketahuilah.
Hanya kau yang aku undang datang.’

Aku menggeram kecil. Dia merasa lelah terus menyusun sekenario untukku dan yang lainya? Apalagi kami yang harus terus berkutat bertahan menghadapinya dan segala macam ulahnya itu?

“Tempat yang sama? Tempat yang sama.. Tempat yang sama!”

Aku tahu tempat itu. Gedung yang tak jauh dari kantor! Di lantai 13. Di tempat itu lagi? Tuhan! Apa lagi yang si brengsek itu rencanakan? Aku meremas kertas itu dan membuangnya begitu saja ke lantai kamar mandiku.

Aku harus kesana sendiri. Tak boleh ada yang lainnya, katanya. Aku meraba kalung pemberian kak Rio. Sejenak ragu apakah aku harus membawanya ke medan pertempuran atau tidak. Kalau ya, mereka semua bisa menemukan aku dengan mudah. Kalau tidak, jika aku perlu bantuan, aku tak bisa menghubungi mereka.

“Pakai aja. Jaga- jaga.” Kataku pada diriku sendiri.

Aku memakai blazer yang tersampir di sebelah ranjangku. Tak perlu lagi mengambil jaket yang ada di lemari pakaian. Takut Nita terbangun nantinya. Lagipula jaket hitam terakhirku sedang di cuci. Hanya tersisa yang berwarna hitam. Bisa- bisa aku langsung ketahuan pergi jika memakain jaket itu. Dan tak ada sepatu lain di kamarku. Semuanya ada di lantai bawah. Hanya ada high heels yang tadi kupakai.

“Matilah gue! Masa iya mau ketemu Sammael pakai high heels? Dikira mau ketemu klien kali..” rutukku. Aku melihat sepatu Nita yang ada di samping ranjang. Menggoda. Tapi tetap saja tak bisa kupakai. Kakinya lebih kecil daripada milikku. Ampun deh!

Aku keluar ke balkon kamar. Mencoba melihat kendaraan apa yang kira- kira bisa kupakai. Kalau bisa sih motor. Biar aku bisa mendorongnya dulu hingga ke luar rumah, baru menyalakan mesinnya.

Dan aku melihatnya! Ninja milik kak Billy! Pintu pagar terbuka, dan motornya tidak ada di dalam garasi yang aku yakin sudah ditutup pintunya.

Aku kembali masuk ke kamarku. Dan membuka pintunya perlahan. Mencari kunci motornya yang biasanya dia letakkan di meja dekat kamar kak Rio. See! Pengamatanku memang tak salah. Dia selalu terbiasa meletakkan semuanya di sini.

Aku kembali masuk ke kamarku. Memilih untuk turun ke bawah melalui balkon kamar daripada melewati tangga. Tidak ada alasan logis yang bisa ku berikan pada kak Nino dan yang lainnya jika bertanya kenapa aku pergi ketika waktu sudah lewat tengah malam begini.

Aku menenteng sepatuku. Dan berjalan melangkahi pagar balkon. Merapat pada dinding luar rumah yang menyisakan sedikit pijakan. Aku melempar sepatuku ke bawah, dekat rerimbunan pohon entah apa itu. Hampir saja aku jatuh jika tak berpegangan erat dengan dinding yang sedikit menjorok keluar. Terlalu tinggi untuk langsung meloncat. Yang ada nanti kakiku malah patah atau minimal keseleo.

Aku berjongkok dengan perlahan. Meraih pijakan yang ada di bawah kakiku. Lalu bergelantungan. Dengan begini setidaknya jarak jatuhnya tidak terlalu tinggi seperti tadi. Dan suara pijakkannya takkan terdengar sampai kedalam bukan?

“Hap!”

Aku mendarat dengan selamat. Aku segera berlari mengambil sepatuku dan menyongsong motor milik kak Billy. Mendorongnya hingga ke depan gang rumah. Baru aku memasukkan kunci starter dan menyalakan mesinnya.

Jalanan sudah lumayan lengang. Membuatku bisa memacu motor ini sesuka hatiku. Tapi karena aku tidak sempat mengambil helm, aku jadi tidak bisa berkendara secepat yang aku mau. Tidak sampai 70km/jam.

Setengah jam kemudian, aku telah sampai di tempat yang tadi disebutkan oleh Sammael. Setelah memarkirkan motor kak Billy di tempat yang aman, aku berjalan masuk. Melihat lift yang ada , dan tak menyala. Dan aku tidak bisa menyalakannya. Mau tak mau aku naik dengan menggunakan tangga darurat.

Rasanya, capek sekali. Dan menaiki ratusan anak tangga menggunakan high heels dengan kecepatan tinggi seperti ini seperti neraka untukku. Kaki ini terasa ingin copot. Dan masih ada lima lantai lagi yang harus kulewati. Tuhan! Adakah keajaiban yang membuat lift di ujung sana menyala dengan tiba- tiba?

Rasa lelah ini begitu menyiksaku. Dan sesak ini hampir membunuhku. Untungnya Tuhan masih berbaik hati padaku. Sampai juga di lantai 13. Terlihat ada sinar redup dari dalam sana.

Aku menghirup udara dalam- dalam. Menghela sedikit kekuatan yang terkandung dalam udara. Menjernihkan pikiranku walau tak terlalu jernih juga pada akhirnya. Aku menghela napas sekali lagi dan lagi. Hingga detak jantung ini sedikit melambat. Hingga sesak yang tadi ada di sini sedikit menghilang.

Kuletakkan tanganku di gagang pintu dan menariknya kearahku. Membukanya.

‘Pshiiuuu’

‘Argggh!’

**********

Ini sudah jam 2 pagi. Dan mataku belum juga mengantuk. Rasanya menegangkan di sini. Aura yang tak pernah aku sukai selama ini. Lebih menegangkan daripada harus mengobrak- abrik perut seseorang di dalam ruang operasi.

Fred dan Darrel juga masih terjaga di sini bersamaku. Menunggu kabar dari orang- orang suruhan Hamid yang terus berkeliling mencari Nate. Dan aku juga sekarang bingung. Kenapa Hamid ikut- ikutan tak bisa dihubungi? Apa dia sebegitu sibuknya hingga uncontactable begini?

“Den Nino, maaf, den.. Saya bener- bener minta maaf.. Motornya den Billy hilang..”

“Apa? Kok bisa?”

“Tadi saya pergi ke kamar mandi sebentar buat buang air besar. Lalu mbok Rum minta tolong untuk gantiin lampu kamarnya yang mati. Pas saya balik lagi, motornya sudah ‘ndak ada, den..”

Ini ada apa lagi sih? Kenapa banyak sekali yang menghilang saat ini?! Membuat kepalaku sakit saja!

“Memangnya nggak bapak masukkan ke garasi?” tanya Fred.

“Ndak cukup.. Kan ada mobil temen- temennya mas Hamid tadi.. Makanya bapak nggak masukkin ke garasi.. Pas temen- temennya mas Hamid pulang, saya mau masukkin motornya, eh saya mules duluan.. Maaf, den..” jawabnya sambil menundukkan kepalanya.

“Yaudah, nggak apa- apa.. Nanti saya yang bilang ke Billy.. Bapak lebih baik kembali jaga di pos depan..” kataku. Tak tega juga memarahinya hanya karena kehilangan motor. Terlebih saat melihat wajahnya yang tampak ketakutan dan merasa bersalah hingga sedemikian hebatnya.

“Makasih, Den.. Makasih..” aku mengangguk.

Angin malam yang dingin tak henti mencubit- cubit tubuhku. Membuatku kedinginan dan merasa tak nyaman. Aku pergi menuju kamarku hendak mengambil selimut atau jaket yang dapat menghalau angin malam yang sedikit bejat ini. Dan melihat ada yang aneh dengan meja yang terletak di dekat kamar Rio.

Seperti ada benda yang harusnya ada di sana, tapi tak nampak.

Aku terdiam sebentar sambil terus memandangi meja itu. Aku tahu ada yang hilang dari sana. Tapi apa? Ah, gemas sekali memikirkannya. Pajangan anjing kecil, masih ada di sana. Miniature Borobudur dan Prambanan, juga masih ada di sana. Kunci mobilku, tergeletak pasrah di atas meja. Kunci motor Darrel dan Fred, pasti masih ada di dekat pemiliknya. Mengingat mereka berdua belum menginjakkan kakinya di kamarku, kamar Riri atau kamar Rio hari ini. Sedangkan kunci motor Billy,

Kunci motor Billy tidak ada di sana!

Jadi motor Billy tidak hilang! Ada yang membawanya pergi. Lalu siapa yang membawa motor Billy pergi tanpa meminta izin terlebih dahulu?

Kubuka pintu kamar Rio. Mendapati Billy yang tengah bergelung hangat di sana. Dan dia terlonjak kaget saat melihatku yang membuka pintu kamar dengan tergesa- gesa.

“Kenapa, kak? Nate udah ketemu?” tanyanya refleks.

“Belum. Tapi kayaknya ada yang pake motor lu.”

“Hah? Siapa? Darrel? Apa Fred?”

“Bukan mereka.. Mereka masih nunggu di bawah..”

Lalu sebuah pemikiran yang cukup mencengangkan menghampiri benakku. Apakah mungkin?

Aku segera pergi ke kamar sebelah. Membuka pintunya dengan keras hingga menimbulkan bunyi bedebum yang cukup kencang. Membuat Nita juga terjaga dari tidurnya dengan kekagetan yang jelas terbaca dari wajahnya. Dan aku tak mendapati Riri tertidur di ranjang. Aku pergi ke kamar mandi kamarnya, dan mengetahui kalau isinya kosong. Tidak ada Riri disana.

Lalu segumpal kertas menarik perhatianku. Tidak biasanya Riri membiarkan sampah berceceran di lantai. Dia orang yang selalu membuang sampah pada tempatnya.

Aku membuka gumpalan kertas itu dan langsung mengetahui siapa yang membawa pergi motor Billy.

Riri.

Dia pergi ke tempat yang sama seperti dua tahun yang lalu. Seperti hendak mengulang sejarah yang pernah dilakukan Rio.

Tunggu! Mengulang sejarah? Yang dilakukan Rio?

Tidak! Itu tidak boleh terjadi lagi! Aku tidak boleh kehilangan adik lagi karena ulah Sammael. Tidak!

Aku berlari ke luar kamar Riri, menyambar kunci motor milik Rio. Lalu menuruni tangga. Membuat Fred dan Darrel turut berdiri.

“Kak, mau kemana?”

Aku tak menjawab pertanyaan Darrel. Terlalu terburu- buru hingga merasa menjawab pertanyaan mereka hanya akan membuang- buang waktuku yang jadi demikian berharga.

“Lu mau kemana, kak? Ada apa ini?” tanya Fred sambil menahan tubuhku.

“Lepas! Gue nggak akan ngebiarin kejadian yang sama terulang lagi!” kataku sambil berusaha melepaskan cengkraman Fred.

“Apa yang mau lu lakuin, kak?” Aku diam dan menatap Fred dalam- dalam.

“Gue nggak akan ngebiarin Sammael ngambil Riri dari tangan gue.. Gue nggak akan diem aja kayak kejadian yang kemarin.. Gue nggak akan ngebiarin itu terjadi..”

***********

‘Pshiiuuu’

‘Argggh!’

“Selamat datang di tempat ini, nona Marissa..”

Riri mengerang sambil memegangi tangan kanannya. Terasa amat sakit. Darah merembes dari sana. Sebuah lubang membekas di dekat pergelangan tangannya, tak lama setelah selongsong metal peluru berdenting di lantai.

“Oh, begitu cara anda menyambut tamu yang sengaja anda undang kemari? Sebuah senjata api dengan peredam suara. How nice..” katanya sakratis.

“Hahaha…”

“Nggak usah bertele- tele. Dimana Nate?” tanyanya to the point.

“Ah, anda hanya menanyakan keberadaan teman kesayangan anda yang satu itu.. Lalu bagaimana dengan teman anda yang lain? Apakah dia tidak ada artinya dimata anda?”

Riri tentu saja bingung. Siapa lagi yang Sammael tawan?

Lalu lampu di ujung ruangan menyala begitu saja. Memberitahukan siapa lagi tawanan yang ada dalam cengkraman taring Sammael.

Hamid.

Penampilannya sudah terlalu mengenaskan. Darah bercucuran dimana- mana. Lebam di menutupi hampir seluruh wajahnya. Berdiri, atau lebih tepatnya tergantung dengan kedua tangan yang menyatu terikat keatas. Menahan tubuhnya agar tetap berdiri walau kakinya bergetar menahan tubuhnya yang telah demikian lemah kesakitan.

Riri terkesiap melihatnya. Tak menyangka Hamid yang sedemikian tangguhnya bisa juga tertangkap oleh si bedebah yang satu itu. Babak belur hingga nyaris tak berbentuk seperti ini pula. Disebelahnya, ada Nate. Dengan pose yang sama. Tangan terikat keatas. Berlumur air mata.

Riri maju selangkah. Dan tiba- tiba saja ada beberapa orang pria dengan tubuh tinggi besar berdiri melingkar di sekitarnya. Seperti bersiap menghajarnya ketika telah emndapatkan perintah dari Sammael.

“Ayam!” kata Riri sambil bersedekap.

Pardon me?

“Ayam! Chicken. Coward. Pengecut.” Rentetan kata- kata begitu lancar meluncur dari mulut Riri. Membuat Sammael kesal.

“Siapa yang pengecut?!” teriak Sammael.

“Ya anda sendiri. Memanggil anak buah yang badannya seperti binaragawan untuk menghadapi saya yang notabene hanya seorang perempuan yang datang seorang diri. Benar- benar pengecut bukan? Ck, payah sekali.”

Inilah yang dipelajarinya secara otodidak. Salah satu cara untuk bertarung saat ada beberapa ketidak-untungan berpihak padanya. Dia akan membuat lawannya merasa kesal dan marah. Dengan begitu, lawannya itu akan dikuasai amarah. Jika hal itu terjadi, dia hanya perlu menghindar dan menunggu hingga lawannya kelelahan sendiri. Dan kemenangan akan ada dalam genggamannya.

“Hahahaha.. Aku tidak memangil mereka untuk menghadapi anda, nona Marissa.. Hanya untuk memastikan anda diam di tempat sampai peluru ini bersarang di jantung anda..”

Riri tanpa disadari menahan napasnya. Lalu dia menutup matanya dan menarik napas dalam- dalam.

Saat dia membuka matanya, dia melihat Sammael telah mengarahkan senjatanya tepat kearah jantung Riri. Dan dia dapat merasakan orang- orang suruhan Sammael bergerak ingin mengunci semua gerakannya.

Sebelah tangannya menangkis pukulan yang diarahkan oleh salah seorang anak buah Sammael ke perutnya. Lalu memuntir tangan itu sampai sendinya bergeser dan menimbulkan suara memekik kesakitan dari pemiliknya. Memukul bagian vitalnya kencang. Tak ingin membuang waktu dengan memukul bagian- bagian yang kurang berpengaruh. Dan kakinya menyapu orang yang akan menyerangnya dari belakang. Membuatnya terjungkal. Lalu memukul leher depannya keras. Hingga orang itu tak sadarkan diri.

Riri bergeser kearah kiri saat merasakan ada yang akan menyerangnya dari sebelah kanan. Lalu dia memegang dagu dan kepala bagian atas dari orang itu. Dengan kencang dia menyentakannya seperti hendak memutarnya hingga 180 derajat. Satu lagi roboh.

‘Dia telah bertambah tangguh ternyata..’ batinnya. Senyum picik menghiasi wajahnya.

‘Tapi seberapapun besarnya kemajuan yang telah dia lakukan, dia takkan pernah bisa menandingi kecepatan senjata ini.. Hahahaha..’

Sammael terus membidik Riri yang selalu bergerak. Menanti saat yang tepat untuk memuntahkan kembali peluru yang terus mendesak ingin keluar.

‘Pshiiuuu’

Lubang kembali tercipta di tubuh Riri. Kali ini Riri tak bisa menghindarinya. Karena saat dia akan bergerak kearah kanan untuk menghindari peluru Sammael, salah seorang anak buahnya malah memukulnya. Membuat tubuhnya terpelanting ke kiri dan membiarkan peluru itu melubangi perutnya. Dia memukul tengkuk orang itu dengan sekencang mungkin. Merenggut kesadarannya saat itu juga.

Riri berdiri tertatih. Panas peluru itu bercampur dengan perih dan sakit yang ada di perutnya. Terlebih saat dia bergerak.

“Sial.” Rutuknya.

‘Pshiiuuu’

Kali ini peluru hanya membuat luka goresan di dahi kanannya. Tapi tetap saja mengeluarkan darah dan membuatnya kesakitan. Darah yang mengalir, melewati samping kelopak matanya.

‘Pshiiuuu’

Bahu kanannya berlubang. Dia tertatih- tatih, berjalan menghindari Sammael yang berjalan mendekatinya. Tanpa menyadari kakinya yang terus mendekati jendela besar yang membatasi dunia luar dengan bagian dalam gedung. Kakinya goyah oleh rasa sakit yang tiada terperi.

Lututnya membentur lantai dengan kencang. Hingga bunyinya mampu mengundang perhatian Hamid yang sudah kepayahan berdiri. Riri tak mampu berdiri.

Sammael bergerak mendekatinya. Menyorongkan senjatanya ke kepala Riri. Membuat Hamid juga Nate membelalak ngeri.

“Hahahaha.. Sepertinya semuanya akan berakhir sampai di sini..”  katanya sambil menarik hammer dengan ibu jarinya.

You lose..” telunjuknya perlahan menarik pelatuk. Seperti hendak menikmati detik- detik penghabisan nyawa orang yang telah membuatnya kehilangan Kenneth, anaknya. Menikmati detik- detik pencapaian kemenangannya yang manis dan berlumur darah.

‘Pshiiuuu’


To be continue.

Posted at Kontrakan Tami, Bumi Mutiara Serang

At 4:15 pm

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi keatasa kertas, bercerita..
Dan saya megnharapkan kritik dari anda.. :D
Don’t be a silent reader, please..

4 komentar:

  1. Kak lanjut kak! haha aku penasaran bgt itu yg terakhir ketembak Riri apa Sammaelnya? itu kebayang kalo jd Riri ckck -___-' ya ampuuun..

    Kak pas yang "Dan menaiki ratusan anak tangga menggunakan 'high heels' dengan kecepatan tinggi seperti ini seperti neraka untukku." bukannya Riri pake sepatunya Nita? apa pke high heels jdnya? hehehe :D

    Maaf kaka, baru bisa ninggalin jejak hehe tp aku bca semua kok tiap kaka mention, cma ga d PC jd ssah comment :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. AAAAAAAAAHHHHHHH!!!1
      akhirnya dirimu kembali....
      Kangennyoooooo.....

      hahahaha...
      Mungkin besok ya..
      mungkin lho.. itu juga kalo keadaan mendukung..

      nggak jadi pake sepatu Nita.. Kan kekecilan.. nanti sebelumberantem malah lecet duluan kakinya.. Hahahaha..

      fyuuuuhhh..
      kirain udah bosen baca makanya nggak comment2 lagi..

      Hapus
    2. ooh haha ga inget kekecilan hehe :D

      ga akan bosen dong, kan cerita kaka keren dan ga ngebosenin juga :)

      Hapus