Pria itu datang ke tempat yang selama ini tidak pernah dia kunjungi.
Mencoba melihat, apa yang sedang dilakukan oleh orang itu. terlihat sedikit
mencurigakan.
“Persiapkan tempat yang lama.. Panggil juga yang lain.. Tapi pastikan
lebih tangguh dari yang kemarin..”
“Masalah biaya, jangan cemas.. Kalau dia berhasil dihabisi, kalian bisa
berenang di kolam renang yang diisi uang..”
“Ya, target utamanya adalah Marissa.. Kalau teman- temannya yang lain,
anggap saja sebagai selingan..” pria yang bersembunyi itu kini tahu siapa yang
menyebabkan kemalangan bertubi- tubi datang pada Marissa.
“Pertama pancing dulu dia ke tempat yang lama.. Di sana baru kita
jalankan rencana kita..”
“Hari ini..”
Pria yang sejak tadi bersembunyi tersentak. Hari ini?
**********
“Kak, aku pergi nengokin temen aku dulu ya..”
“Kemana, Nate?”
“Higeia hospital..”
“Sama siapa? Perlu dianterin nggak?”
“Bukannya nanti kakak ada rapat di kantor ya? Aku sendirian juga bisa..
Lagian nanti aku kesananya sama temen- temen..”
“Bareng Nita?”
“Nggak.. Dia kemarin udah nengokin.. Terus hari ini dia ada acara
keluarga juga kan..”
“Yaudah.. Hati- hati ya..” katanya sambil memeluk tubuh gadisnya.
Nate berjalan menuju jalanan besar yang ada di depan rumah Riri, yang
sekarang juga menjadi tempatnya tinggal sejak peristiwa itu. Menunggu bus yang
akan membawanya menuju kampus. Karena memang dia janjian dengan temannya di
sana.
Selama di dalam bus, dia tak bisa duduk dengan tenang. Tidak nyaman.
Kebelet buang air kecil saat jalanan macet seperti ini memang bisa membuat
gelisah. Rasanya ingin turun saja di sini dan berlari mencari toilet umum. Tapi
setelah dia pikir- pikir lagi, lebih baik tidak. Lebih baik dia bersabar lima
belas menit lagi dan membuang segala macam gelisah itu di toilet kampus.
Karena pertama, dia ragu di sekitar sini ada toilet umum. Tidak enak
juga kan kalau masuk ke tempat makan atau gedung perkantoran hanya untuk
numpang memakai toiletnya. Kedua, dia harus membayar lagi jika harus turun di
sini. Padahal dia belum mengambil uang bulanan di ATM. Dan uang yang ada di
dompetnya sudah benar- benar habis. Jadi, ya mau tak mau dia harus menahannya
sampai kampus.
Kampus masih beberapa meter di depannya. Dan kemacetan masih
mengurungnya di sini. Akhirnya dia memutuskan untuk turun saja di sini. Dan berlari
menuju ke kampus. Daripada harus menunggu lebih lama, yang berarti dia harus menahan
hasrat ini lebih lama pula.
Dan rasa setelah menuntaskan semua itu terasa begitu melegakan. Rasanya
tubuh juga jadi lebih enteng. Hahaha.
Nate tidak langsung keluar dari kamar mandi. Melainkan merapikan
penampilannya yang terlihat agak tidak manusiawi setelah berlari tadi. Menyisir
poninya yang berantakan tak keruan.
‘Drrrrt’
Ponselnya bergetar. Nita yang menghubunginya.
“Hal-akhh!”
Lalu tiba- tiba dia merasa bahunya sakit. Tubuhnya
lemas seketika. Dan semuanya gelap.
**********
Mereka duduk dalam senyap. Memikirkan langkah yang bisa mereka ambil
untuk kedepannya. Memikirkan langkah yang terbaik agar bisa bertahan di masa
depan.
“Usaha toko buku sekaligus cafĂ© yang beberapa bulan lalu dibuka, sudah
membuahkan hasil yang cukup besar. Lalu saya berpikir kenapa kita tidak
melebarkan sayap ke usaha yang lain? Dan yang kali ini terpikirkan adalah..
Hotel..” semua orang yang ada di ruangan itu diam. Mendengarkan presentasi dari
Riri yang hari ini tampak formal.
Dengan celana bahan lurus berwarna hitam, kemeja berenda warna putih
dengan kerah tinggi, dan blazer berwarna hitam. Tak ketinggalan high heels sederhana yang juga berwarna
hitam membungkus kakinya dengan nyaman.
“Ada sebuah lokasi di Bandung yang tidak terlalu jauh dari IPDN.
Beberapa ruko yang oleh pemilik- pemiliknya ingin dijual. Tempat yang cukup
strategis karena berada persis di pinggir jalan raya. Cukup luas, karena ada
sekitar 4 orang yang ingin melepas rukonya ke tangan pembeli. Dan masing-
masing ruko tersebut berukuran cukup besar. Selain itu di belakang ruko- ruko
tersebut, ada sepetak tanah kosong milik perusahaan.”
“Oke, saya yakin anda sudah memikirkan masalah lokasi secara matang-
matang. Yang sekarang perlu kita bicarakan adalah tentang masalah- masalah yang
krusial. Apakah anda sudah melakukan perhitungan seperti studi kelayakan
bisnis? Berapa biaya yang dibutuhkan? Bagaimana prospek dari usaha yang akan
didirikan untuk kedepannya?” tanya salah seorang diantaranya. Pemegang saham
dalam jumlah yang relative kecil.
“Saya sudah memperhitungkan semuanya.” Kata Riri yakin.
Lalu dia membuka sebuah file yang ada di laptopnya. Memperlihatkan apa
yang selama ini telah dia kerjakan dengan susah payah. Membuat waktu tidurnya
yang sudah sedikit jadi makin berkurang.
“Biaya yang diperlukan memang cukup besar. Oleh karena itu saya
menyarankan untuk menjalankan proyek ini tidak dalam jangka waktu dekat dan
dilakukan secara bertahap. Dan ini adalah estimasi pendapatan yang akan di
dapatkan oleh usaha ini. Di waktu- waktu tertentu akan terjadi lonjakan
konsumen. Diantaranya saat liburan dan saat penerimaan siswa baru di IPDN.”
Terang Riri.
“Saya kurang setuju dengan niat anda mendirikan hotel saat ini. Saya
rasa perusahaan masih belum siap untuk melebarkan sayapnya ke jenis usaha yang
lain lagi.” Katanya.
“Saya juga berpikir demikian. Kita harus benar- benar fokus dulu dalam
satu jenis usaha. Setelah benar- benar kuat, baru kita bisa masuk ke dalam
jenis usaha yang lainnya.” Kata Darrel.
Lalu Riri mengalihkan pandangannya pada Fred dan Billy. Seperti meminta
pendapat mereka tentang proposal yang baru saja dia kemukakan.
“Maaf, tapi saya setuju dengan pendapat Darrel juga pak Bobby.
Perusahaan kita masih harus fokus pada usaha yang belum lama ini kita buka..
Jika kita terburu- buru membuka usaha lain, bisa- bisa nanti usaha yang
sebelumnya telah kita dirikan bisa terguncang dan akhirnya hancur..” kata Fred.
“Saya juga berpikir demikian..” kata Billy.
Dengan demikian, usulan Riri mengenai pembangungan usaha hotel tidak
dapat dilaksanakan. Karena tidak ada yang menyetujuinya. Kecewa jelas saja
dirasakan oleh Riri. Mengingat dia sudah benar- benar berusaha keras dalam
melakukan perhitungan- perhitungan yang tidak bisa dibilang sederhana juga.
Tapi apa mau dikata. Tidak ada yang menyetujui usulannya tersebut.
Selain itu, dia juga mengakui kalau dia terlalu terburu- buru dalam
mengembangkan perusahaan. Dia terlalu ingin perusahaannya memiliki jenis usaha
yang beragam. Padahal jika perkiraannya tidak tepat, bisa- bisa perusahaan yang
sudah Rio dirikan dengan susah payah hancur karenanya. Dan dia tidak
menginginkan hal itu jika sampai terjadi.
Lalu mereka berganti topik. Membicarakan masalah kenaikan gaji
karyawan. Juga strategi yang akan mereka lakukan untuk memacu semangat kerja
karyawan. Selain itu mereka juga membuat master
budget untuk perusahaan satu periode selanjutnya, dibantu oleh pihak
manajemen.
Ini dilakukan untuk memperkecil gap
antara tujuan perusahaan yaitu memaksimalkan laba dan tujuan karyawan yaitu
mendapatkan gaji dan bonus. Dan menyusun master
budget bukanlah suatu hal yang bisa memakan waktu cepat. Ini memakan waktu
yang lumayan lama.
‘Tok tok tok’
Mereka yang ada di dalam ruang rapat serempak menoleh kearah pintu.
Seperti menerka siapa yang mengganggu konsentrasi mereka di saat rapat yang
penting seperti ini. Bertanya- tanya apakah Ratih yang bertugas menjadi resepsionis
tidak menghalangi orang tersebut untuk terus berusaha masuk ke dalam ruang
rapat?
“Ini masalah yang penting! Nggak bisa ditunda!”
“Tapi di dalam sedang ada rapat, mbak..”
Riri dan yang lainnya mengenal pemilik suara- suara itu. Dan bersama-
sama mengrenyit heran. Bukankah Nita saat ini sedang ada acara keluarga? Lalu
kenapa sekarang dia ada di sini?
Riri melangkah, membuka pintu ruang rapat. Dan mendapati Nita yang
tengah berteriak- teriak pada Ratih.
“Ada apa, Nit?” tanyanya.
“Nate.. Nate nggak ada.. Ada apa- apa sama Nate.. Nate.. Nate hilang!”
pekiknya panik.
Riri kaget. Tapi masih bisa berusaha untuk berpikir tenang. Tidak ada
gunanya jika dia juga turut panik seperti Nita saat ini. Dia harus bisa
berpikir dengan kepala dingin.
“Apa? Nate hilang? Nggak mungkin! Dia tadi pergi ke kampus..” kata
Darrel. Sebagian hatinya menjelma kaku. Takut jika Nate benar- benar hilang.
“Kamu tahu darimana kalau Nate kenapa- kenapa?” tanya Billy berusaha
tenang.
“Tadi.. Tadi aku nelpon dia.. Mau nanyain udah sampai di rumah sakit
apa belum.. Niatnya mau ngajakin ke kantor bareng kalau udah selesai.. Terus
kita jalan- jalan ke mana gitu..” Nita sesegukan menceritakannya.
“Tapi.. Tapi dia tiba- tiba teriak kesakitan.. Terus sambungan
teleponnya putus.. Aku udah coba buat ngehubungin dia.. Tapi nggak ada
jawaban.. Aku udah coba ngehubungin temen- temen yang hari ini mau ikutan
nengok juga, tapi mereka bilang Nate nggak dateng..” Billy memeluk Nita.
Menenangkan gadisnya dengan perasaannya yang tidak tenang saat ini.
Sedangkan Darrel membeku mendengar penuturan Nita. Tak bisa berhenti
membayangkan gadisnya yang memekik kesakitan lalu menghilang tak diketahui
keberadaannya. Terlintas saat dimana Nate mengalami peristiwa itu. Membayangkan
apakah Nate mengalami hal yang sama, lagi. Dan tubuhnya menegang saat kilasan adegan
yang membuatnya semaput setengah mati berputar di benaknya.
Riri segera menghubungi Hamid yang kini sedang ada di lokasi proyek
sosialnya. Meminta bantuan. Lalu dia memutuskan hubungannya,
gemas.
Tidak diangkat.
Lalu Riri meraba kalungnya. Sempat bimbang, apakah harus memanggil
mereka kesini atau tidak. Lalu teringat akan suatu hal. Nate menganakan kalung
yang dia pesankan untuknya. Jadi dia bisa tahu dimana keberadaan Nate saat ini
dengan melacak alat pemancar dari kalung itu bukan?
Riri segera berlari menuju luar kantor sambil menekan batu yang ada di
tengah kalungnya. Tombol darurat. Dan Lion serta Cheetah dengan cepat
menghampiri Riri. Memenuhi panggilan tugasnya yang terlihat genting. Apalagi
saat melihat wajah Riri yang mengeras.
“Lacak keberadaan Nate.” Perintahnya. Cheetah segera menghubungi
seseorang dan meminta hal yang sama dengan yang Riri inginkan.
“Di kampus. Melalui koordinat yang diberitahukan, sekarang mungkin ada
di kamar mandi gedung Rektorat.” Kata Cheetah. Napas Riri mulai menderu
kencang.
“Kunci motor mana?”
“Tapi”
“Gue bilang KUNCI MOTOR MANA?!” teriaknya. Dan Lion segera memberikan
apa yang Riri minta. Kunci motor ninja yang dipinjamkan Hamid untuk mereka
beraktivitas. Kendaraan yang bisa mereka gunakan untuk mengejar kalau- kalau
target operasi terlihat agak jauh di depan mata.
Riri memacu motor itu dengan kecepatan yang gila- gilaan. Membuat
blazernya berkibar tertabrak angin jalanan kencang yang tercipta oleh
gelindingan motornya yang terus meliuk kencang. Membuat orang- orang
memandanginya takjub. Penampilan feminine dengan high heels, tapi caranya mengendarai motor terlihat sangat jantan.
Malah cenderung mengerikan.
Sesampainya di tempat parkir, dia memarkirkan motor rampasannya dengan
seadanya saja. Lalu dia berlari ke kamar mandi rektorat. Membuka tiap bilik
yang ada di dalamnya. Mencari keberadaan Nate. Dan nihil.
Dadanya sakit. Napasnya terlalu memburu. Kini dia benar- benar panik.
Tubuhnya terasa semakin lemas. Dan dia jatuh begitu saja ke lantai kamar mandi
yang dingin. Dia melihat secarik kertas yang berlilitkan kalung Nate dibawah
jajaran wastafel. Dia menggapainya di sisa- sisa kesadarannya yang terus
menipis. Rasa sakit di dadanya tak kunjung hilang. Napasnya tak bisa dia kurangi
kecepatannya.
Satu hal yang dia lakukan saat itu. Menaruh kertas yang tadi dia
temukan. Dia tak tahu kenapa dia melakukan hal itu. Satu yang dia tahu, dia
harus menyimpan kertas itu sebaik mungkin di tempat paling tersembunyi yang dia
tahu.
‘Tahan napasnya, Ri.. Tahan
napasnya..’ dia mendengar suara yang dia kenal. Tapi benarkah pendengarannya itu?
‘Tahan napasnya.. Ayo berusaha
tahan napasnya..’
‘Kak Rio?’
**********
Dia membuka matanya. Merasakan sakit yang menggigit di bahunya.
Tangannya refleks bergerak untuk mengusapnya. Tapi sekeras apapun dia berusaha
untuk menggerakkan tangannya, dia tak bisa menjangkau bahunya sendiri.
Lalu menyadari ada yang membelenggu kedua tangannya. Menahanya hingga
terus tergantung di atas kepalanya. Dia tak tahu dimana keberadaannya saat ini.
Siapa yang membawanya ke tempat seperti ini?
Apakah Sammael yang melakukannya?
Dia merasakan tidak sendiri di ruangan ini. Dia memutar kepalanya. Dan
menemukan seseorang yang juga berdiri di sebelahnya. Terikat.
Dia..
**********
“Gimana keadaan Riri, kak?”
“Dia baik- baik aja..”
“Kenapa dia bisa begini sih?” tanyanya khawatir. Jelas. Melihat gadis
yang dia cintai terkapar lemah begitu, tentu saja akan membuatnya panik
setengah mati.
“Alkalosis respiratorik..”
dia mengrenyit mendengarnya. Apa pula itu? Dia tidak mengerti apa yang baru
saja diucapkan oleh Nino.
“Kak, please kasih tahu dalam bahasa yang lebih mudah.. Gue bukan Billy
yang tahu semua arti kata ajaib kayak begitu.” Katanya gemas.
“Alkalosis respiratorik atau hyperventilation, keadaan dimana darah
menjadi basa karena pernapasan yang cepat dan menyebabkan kadar karbondioksida
dalam darah menjadi rendah. Jika keadaannya memburuk, bisa terjadi kejang otot
dan penurunan kesadaran.” Gumam Billy. Menerjemahkan kosakata yang tidak
dipahami sama sekali oleh Fred.
“Dan saat Riri ditemukan di toilet kampus, dia hampir kehilangan
kesadarannya. Tapi untungnya, dia masih sadar walau sedikit. Dan saat itu dia
sudah punya inisiatif sendiri untuk menahan napasnya. Membuat gejala
hiperventilasi membaik sedikit demi sedikit.” Sambung Nino.
“Bil, kayaknya lu harus nganter Nita buat istirahat di kamar Riri.. Dia
keliatan capek banget.. Lu juga..” kata Nino sambil melihat Nita yang terus
mengangguk tanpa disadarinya. Sesekali jatuh tertidur.
Billy melirik jam yang melingkar di tangannya. Sudah lewat tengah
malam. Dan dia tahu persis, Nita bukanlah pribadi yang bisa menahan kantuknya
hingga selama ini. Sama seperti dirinya.
Dia menuntun Nita untuk berjalan menuju kamar Riri yang terletak di
lantai atas. Menyeret langkahnya yang juga sudah nyaris terseok karena kantuk.
Berusaha agar tak kehilangan keseimbangan.
Selesai menidurkan Nita di sebelah Riri, dia melangkah menuju kamar
sebelahnya. Kamar milik Rio. Lalu dia merebahkan tubuhnya di ranjang yang telah
lama tak ditempati. Mengistirahatkan tubuhnya yang telah mejerit meminta jatah
istirahatnya sejak berjam- jam yang lalu.
Sementara itu di lantai bawah, masih ada pembicaraan serius diantara
tiga pria yang tersisa. Nino, Fred dan Darrel.
“Lu udah ngasih tahu orang tuanya Nate?” Darrel menggeleng.
“Orang tuanya lagi dinas di Papua. Dan gue lebih seneng kalau mereka
dikabarin waktu Nate udah ketemu.. Gue nggak mau dicap sebagai lelaki yang
nggak becus ngejagain cewek..” katanya lesu. Wajahnya
tenggelam di kedua telapak tangannya yang bersatu. Seakan memberitahukan betapa
dia merasa khawatir dan takut. Nyaris putus asa.
“Darrel, ini bukan masalah harga diri lu sebagai cowok.. Ini lebih
tentang hubungan orang tua dan anaknya yang nggak akan pernah bisa lu ganggu gugat..
Biar bagaimanapun, mereka berhak tahu masalah ini..” kata Nino menasihati
Darrel.
“Gue tahu, kak.. Tapi tetep aja gue nggak bisa ngasih tahu mereka.. Gue
lupa nanya nomor yang bisa dihubungin ke Nate..”
“Hhhhh.. Semoga ini semua cepat berlalu deh..” kata Fred. Berdoa pada
Tuhan agar perrmohonannya dikabulkan. Karena terasa sangat melelahkan harus
hidup di bawah bayang- bayang keresahan atas sikap Sammael.
***********
Dia mengetukkan jemarinya pada keyboard yang ada di hadapannya.
Berusaha mencari informasi yang berguna untuk melaksanakan niatnya. Dia terus
mencari. Hingga matanya terasa sakit karena terlalu lama memandangi layar
monitor.
Lalu gerakan matanya terhenti saat melihat sepotong berita di sana.
“Mario Stevano Kusuma (17)
meninggal dunia saat hendak menyelamatkan adiknya yang menjadi sandera Sammael
Thang (45). Dia menahan adik Mario di sebuah gedung kosong yang terletak di
jalan Pakubuwono Selatan nomor 13, Jakarta Selatan…”
Tempat ini..
**********
Aku membuka mataku cepat. Menyadari ini bukanlah tempat yang sama
dengan yang tadi. Ini kamarku. Aku menoleh ke sebelahku. Dan mendapati Nita
tertidur di sampingku. Berarti sekarang sudah malam. Nita tidak suka tidur
siang dan tidak pernah bisa bergadang. Dan saat aku memastikan pemikiranku
dengan melihat weker yang ada di sebelah ranjangku, jarum jamnya menunjukkan
waktu lewat tengah malam.
Aku melangkahkan kakiku ke kamar mandi. Merogoh kantung celanaku.
Mencari- cari kertas yang tadi aku temukan. Aku menarik napas dulu dalam-
dalam. Berusaha untuk memupuk kesabaran dan ketenangan dari saat ini.
‘Aku lelah terus menyusun sekenario
untukmu dan semuanya.
Kalau begitu mari kita segera
tuntaskan.
Jika kau masih mengingatnya,
datang ke tempat yang sama.
Tempat terakhir kita bertatap muka
dan sama- sama kehilangan yang berharga.
Dan jika kau memang ingin semuanya
berakhir sekarang, ketahuilah.
Hanya kau yang aku undang datang.’
Aku
menggeram kecil. Dia merasa lelah terus menyusun sekenario untukku dan yang
lainya? Apalagi kami yang harus terus berkutat bertahan menghadapinya dan
segala macam ulahnya itu?
“Tempat
yang sama? Tempat yang sama.. Tempat yang sama!”
Aku tahu
tempat itu. Gedung yang tak jauh dari kantor! Di lantai 13. Di tempat itu lagi?
Tuhan! Apa lagi yang si brengsek itu rencanakan? Aku meremas kertas itu dan
membuangnya begitu saja ke lantai kamar mandiku.
Aku harus
kesana sendiri. Tak boleh ada yang lainnya, katanya. Aku meraba kalung
pemberian kak Rio. Sejenak ragu apakah aku harus membawanya ke medan
pertempuran atau tidak. Kalau ya, mereka semua bisa menemukan aku dengan mudah.
Kalau tidak, jika aku perlu bantuan, aku tak bisa menghubungi mereka.
“Pakai
aja. Jaga- jaga.” Kataku pada diriku sendiri.
Aku
memakai blazer yang tersampir di sebelah ranjangku. Tak perlu lagi mengambil jaket
yang ada di lemari pakaian. Takut Nita terbangun nantinya. Lagipula jaket hitam
terakhirku sedang di cuci. Hanya tersisa yang berwarna hitam. Bisa- bisa aku
langsung ketahuan pergi jika memakain jaket itu. Dan tak ada sepatu lain di
kamarku. Semuanya ada di lantai bawah. Hanya ada high heels yang tadi kupakai.
“Matilah
gue! Masa iya mau ketemu Sammael pakai high
heels? Dikira mau ketemu klien kali..” rutukku. Aku melihat sepatu Nita
yang ada di samping ranjang. Menggoda. Tapi tetap saja tak bisa kupakai. Kakinya
lebih kecil daripada milikku. Ampun deh!
Aku keluar
ke balkon kamar. Mencoba melihat kendaraan apa yang kira- kira bisa kupakai.
Kalau bisa sih motor. Biar aku bisa mendorongnya dulu hingga ke luar rumah,
baru menyalakan mesinnya.
Dan aku
melihatnya! Ninja milik kak Billy! Pintu pagar terbuka, dan motornya tidak ada
di dalam garasi yang aku yakin sudah ditutup pintunya.
Aku
kembali masuk ke kamarku. Dan membuka pintunya perlahan. Mencari kunci motornya
yang biasanya dia letakkan di meja dekat kamar kak Rio. See! Pengamatanku memang tak salah. Dia selalu terbiasa meletakkan
semuanya di sini.
Aku
kembali masuk ke kamarku. Memilih untuk turun ke bawah melalui balkon kamar
daripada melewati tangga. Tidak ada alasan logis yang bisa ku berikan pada kak
Nino dan yang lainnya jika bertanya kenapa aku pergi ketika waktu sudah lewat
tengah malam begini.
Aku
menenteng sepatuku. Dan berjalan melangkahi pagar balkon. Merapat pada dinding
luar rumah yang menyisakan sedikit pijakan. Aku melempar sepatuku ke bawah,
dekat rerimbunan pohon entah apa itu. Hampir saja aku jatuh jika tak
berpegangan erat dengan dinding yang sedikit menjorok keluar. Terlalu tinggi
untuk langsung meloncat. Yang ada nanti kakiku malah patah atau minimal
keseleo.
Aku
berjongkok dengan perlahan. Meraih pijakan yang ada di bawah kakiku. Lalu
bergelantungan. Dengan begini setidaknya jarak jatuhnya tidak terlalu tinggi
seperti tadi. Dan suara pijakkannya takkan terdengar sampai kedalam bukan?
“Hap!”
Aku
mendarat dengan selamat. Aku segera berlari mengambil sepatuku dan menyongsong
motor milik kak Billy. Mendorongnya hingga ke depan gang rumah. Baru aku
memasukkan kunci starter dan menyalakan mesinnya.
Jalanan
sudah lumayan lengang. Membuatku bisa memacu motor ini sesuka hatiku. Tapi
karena aku tidak sempat mengambil helm, aku jadi tidak bisa berkendara secepat
yang aku mau. Tidak sampai 70km/jam.
Setengah
jam kemudian, aku telah sampai di tempat yang tadi disebutkan oleh Sammael.
Setelah memarkirkan motor kak Billy di tempat yang aman, aku berjalan masuk. Melihat
lift yang ada , dan tak menyala. Dan aku tidak bisa menyalakannya. Mau tak mau
aku naik dengan menggunakan tangga darurat.
Rasanya,
capek sekali. Dan menaiki ratusan anak tangga menggunakan high heels dengan kecepatan tinggi seperti ini seperti neraka untukku. Kaki ini terasa ingin
copot. Dan masih ada lima lantai lagi yang harus kulewati. Tuhan! Adakah
keajaiban yang membuat lift di ujung sana menyala dengan tiba- tiba?
Rasa lelah
ini begitu menyiksaku. Dan sesak ini hampir membunuhku. Untungnya Tuhan masih
berbaik hati padaku. Sampai juga di lantai 13. Terlihat ada sinar redup dari
dalam sana.
Aku
menghirup udara dalam- dalam. Menghela sedikit kekuatan yang terkandung dalam
udara. Menjernihkan pikiranku walau tak terlalu jernih juga pada akhirnya. Aku
menghela napas sekali lagi dan lagi. Hingga detak jantung ini sedikit melambat.
Hingga sesak yang tadi ada di sini sedikit menghilang.
Kuletakkan
tanganku di gagang pintu dan menariknya kearahku. Membukanya.
‘Pshiiuuu’
‘Argggh!’
**********
Ini sudah
jam 2 pagi. Dan mataku belum juga mengantuk. Rasanya menegangkan di sini. Aura
yang tak pernah aku sukai selama ini. Lebih menegangkan daripada harus
mengobrak- abrik perut seseorang di dalam ruang operasi.
Fred dan
Darrel juga masih terjaga di sini bersamaku. Menunggu kabar dari orang- orang
suruhan Hamid yang terus berkeliling mencari Nate. Dan aku juga sekarang
bingung. Kenapa Hamid ikut- ikutan tak bisa dihubungi? Apa dia sebegitu
sibuknya hingga uncontactable begini?
“Den Nino,
maaf, den.. Saya bener- bener minta maaf.. Motornya den Billy hilang..”
“Apa? Kok
bisa?”
“Tadi saya
pergi ke kamar mandi sebentar buat buang air besar. Lalu mbok Rum minta tolong
untuk gantiin lampu kamarnya yang mati. Pas saya balik lagi, motornya sudah ‘ndak ada, den..”
Ini ada
apa lagi sih? Kenapa banyak sekali yang menghilang saat ini?! Membuat kepalaku
sakit saja!
“Memangnya
nggak bapak masukkan ke garasi?” tanya Fred.
“Ndak
cukup.. Kan ada mobil temen- temennya mas Hamid tadi.. Makanya bapak nggak
masukkin ke garasi.. Pas temen- temennya mas Hamid pulang, saya mau masukkin
motornya, eh saya mules duluan.. Maaf, den..” jawabnya sambil menundukkan
kepalanya.
“Yaudah,
nggak apa- apa.. Nanti saya yang bilang ke Billy.. Bapak lebih baik kembali
jaga di pos depan..” kataku. Tak tega juga memarahinya hanya karena kehilangan
motor. Terlebih saat melihat wajahnya yang tampak ketakutan dan merasa bersalah
hingga sedemikian hebatnya.
“Makasih,
Den.. Makasih..” aku mengangguk.
Angin
malam yang dingin tak henti mencubit- cubit tubuhku. Membuatku kedinginan dan
merasa tak nyaman. Aku pergi menuju kamarku hendak mengambil selimut atau jaket
yang dapat menghalau angin malam yang sedikit bejat ini. Dan melihat ada yang
aneh dengan meja yang terletak di dekat kamar Rio.
Seperti
ada benda yang harusnya ada di sana, tapi tak nampak.
Aku
terdiam sebentar sambil terus memandangi meja itu. Aku tahu ada yang hilang
dari sana. Tapi apa? Ah, gemas sekali memikirkannya. Pajangan anjing kecil,
masih ada di sana. Miniature Borobudur dan Prambanan, juga masih ada di sana.
Kunci mobilku, tergeletak pasrah di atas meja. Kunci motor Darrel dan Fred,
pasti masih ada di dekat pemiliknya. Mengingat mereka berdua belum menginjakkan
kakinya di kamarku, kamar Riri atau kamar Rio hari ini. Sedangkan kunci motor
Billy,
Kunci
motor Billy tidak ada di sana!
Jadi motor
Billy tidak hilang! Ada yang membawanya pergi. Lalu siapa yang membawa motor
Billy pergi tanpa meminta izin terlebih dahulu?
Kubuka
pintu kamar Rio. Mendapati Billy yang tengah bergelung hangat di sana. Dan dia
terlonjak kaget saat melihatku yang membuka pintu kamar dengan tergesa- gesa.
“Kenapa,
kak? Nate udah ketemu?” tanyanya refleks.
“Belum.
Tapi kayaknya ada yang pake motor lu.”
“Hah?
Siapa? Darrel? Apa Fred?”
“Bukan
mereka.. Mereka masih nunggu di bawah..”
Lalu
sebuah pemikiran yang cukup mencengangkan menghampiri benakku. Apakah mungkin?
Aku segera
pergi ke kamar sebelah. Membuka pintunya dengan keras hingga menimbulkan bunyi
bedebum yang cukup kencang. Membuat Nita juga terjaga dari tidurnya dengan
kekagetan yang jelas terbaca dari wajahnya. Dan aku tak mendapati Riri tertidur
di ranjang. Aku pergi ke kamar mandi kamarnya, dan mengetahui kalau isinya
kosong. Tidak ada Riri disana.
Lalu
segumpal kertas menarik perhatianku. Tidak biasanya Riri membiarkan sampah
berceceran di lantai. Dia orang yang selalu membuang sampah pada tempatnya.
Aku
membuka gumpalan kertas itu dan langsung mengetahui siapa yang membawa pergi
motor Billy.
Riri.
Dia pergi
ke tempat yang sama seperti dua tahun yang lalu. Seperti hendak mengulang
sejarah yang pernah dilakukan Rio.
Tunggu!
Mengulang sejarah? Yang dilakukan Rio?
Tidak! Itu
tidak boleh terjadi lagi! Aku tidak boleh kehilangan adik lagi karena ulah
Sammael. Tidak!
Aku
berlari ke luar kamar Riri, menyambar kunci motor milik Rio. Lalu menuruni tangga. Membuat Fred dan
Darrel turut berdiri.
“Kak, mau
kemana?”
Aku tak
menjawab pertanyaan Darrel. Terlalu terburu- buru hingga merasa menjawab
pertanyaan mereka hanya akan membuang- buang waktuku yang jadi demikian berharga.
“Lu mau
kemana, kak? Ada apa ini?” tanya Fred sambil menahan tubuhku.
“Lepas!
Gue nggak akan ngebiarin kejadian yang sama terulang lagi!” kataku sambil
berusaha melepaskan cengkraman Fred.
“Apa yang
mau lu lakuin, kak?” Aku diam dan menatap Fred dalam- dalam.
“Gue nggak
akan ngebiarin Sammael ngambil Riri dari tangan gue.. Gue nggak akan diem aja
kayak kejadian yang kemarin.. Gue nggak akan ngebiarin itu terjadi..”
***********
‘Pshiiuuu’
‘Argggh!’
“Selamat
datang di tempat ini, nona Marissa..”
Riri mengerang
sambil memegangi tangan kanannya. Terasa amat sakit. Darah merembes dari sana.
Sebuah lubang membekas di dekat pergelangan tangannya, tak lama setelah
selongsong metal peluru berdenting di lantai.
“Oh,
begitu cara anda menyambut tamu yang sengaja anda undang kemari? Sebuah senjata
api dengan peredam suara. How nice..”
katanya sakratis.
“Hahaha…”
“Nggak
usah bertele- tele. Dimana Nate?” tanyanya to
the point.
“Ah, anda
hanya menanyakan keberadaan teman kesayangan anda yang satu itu.. Lalu
bagaimana dengan teman anda yang lain? Apakah dia tidak ada artinya dimata
anda?”
Riri tentu
saja bingung. Siapa lagi yang Sammael tawan?
Lalu lampu
di ujung ruangan menyala begitu saja. Memberitahukan siapa lagi tawanan yang
ada dalam cengkraman taring Sammael.
Hamid.
Penampilannya
sudah terlalu mengenaskan. Darah bercucuran dimana- mana. Lebam di menutupi
hampir seluruh wajahnya. Berdiri, atau lebih tepatnya tergantung dengan kedua
tangan yang menyatu terikat keatas. Menahan tubuhnya agar tetap berdiri walau
kakinya bergetar menahan tubuhnya yang telah demikian lemah kesakitan.
Riri
terkesiap melihatnya. Tak menyangka Hamid yang sedemikian tangguhnya bisa juga
tertangkap oleh si bedebah yang satu itu. Babak belur hingga nyaris tak
berbentuk seperti ini pula. Disebelahnya, ada Nate. Dengan pose yang sama.
Tangan terikat keatas. Berlumur air mata.
Riri maju
selangkah. Dan tiba- tiba saja ada beberapa orang pria dengan tubuh tinggi
besar berdiri melingkar di sekitarnya. Seperti bersiap menghajarnya ketika
telah emndapatkan perintah dari Sammael.
“Ayam!”
kata Riri sambil bersedekap.
“Pardon me?”
“Ayam! Chicken. Coward. Pengecut.” Rentetan
kata- kata begitu lancar meluncur dari mulut Riri. Membuat Sammael kesal.
“Siapa
yang pengecut?!” teriak Sammael.
“Ya anda
sendiri. Memanggil anak buah yang badannya seperti binaragawan untuk menghadapi
saya yang notabene hanya seorang perempuan yang datang seorang diri. Benar-
benar pengecut bukan? Ck, payah sekali.”
Inilah
yang dipelajarinya secara otodidak. Salah satu cara untuk bertarung saat ada
beberapa ketidak-untungan berpihak padanya. Dia akan membuat lawannya merasa
kesal dan marah. Dengan begitu, lawannya itu akan dikuasai amarah. Jika hal itu
terjadi, dia hanya perlu menghindar dan menunggu hingga lawannya kelelahan
sendiri. Dan kemenangan akan ada dalam genggamannya.
“Hahahaha..
Aku tidak memangil mereka untuk menghadapi anda, nona Marissa.. Hanya untuk
memastikan anda diam di tempat sampai peluru ini bersarang di jantung anda..”
Riri tanpa
disadari menahan napasnya. Lalu dia menutup matanya dan menarik napas dalam-
dalam.
Saat dia
membuka matanya, dia melihat Sammael telah mengarahkan senjatanya tepat kearah
jantung Riri. Dan dia dapat merasakan orang- orang suruhan Sammael bergerak
ingin mengunci semua gerakannya.
Sebelah
tangannya menangkis pukulan yang diarahkan oleh salah seorang anak buah Sammael
ke perutnya. Lalu memuntir tangan itu sampai sendinya bergeser dan menimbulkan
suara memekik kesakitan dari pemiliknya. Memukul bagian vitalnya kencang. Tak
ingin membuang waktu dengan memukul bagian- bagian yang kurang berpengaruh. Dan
kakinya menyapu orang yang akan menyerangnya dari belakang. Membuatnya
terjungkal. Lalu memukul leher depannya keras. Hingga orang itu tak sadarkan
diri.
Riri
bergeser kearah kiri saat merasakan ada yang akan menyerangnya dari sebelah
kanan. Lalu dia memegang dagu dan kepala bagian atas dari orang itu. Dengan
kencang dia menyentakannya seperti hendak memutarnya hingga 180 derajat. Satu lagi
roboh.
‘Dia telah bertambah tangguh ternyata..’ batinnya. Senyum picik menghiasi
wajahnya.
‘Tapi seberapapun besarnya kemajuan yang telah
dia lakukan, dia takkan pernah bisa menandingi kecepatan senjata ini..
Hahahaha..’
Sammael
terus membidik Riri yang selalu bergerak. Menanti saat yang tepat untuk
memuntahkan kembali peluru yang terus mendesak ingin keluar.
‘Pshiiuuu’
Lubang
kembali tercipta di tubuh Riri. Kali ini Riri tak bisa menghindarinya. Karena
saat dia akan bergerak kearah kanan untuk menghindari peluru Sammael, salah
seorang anak buahnya malah memukulnya. Membuat tubuhnya terpelanting ke kiri
dan membiarkan peluru itu melubangi perutnya. Dia memukul tengkuk orang itu
dengan sekencang mungkin. Merenggut kesadarannya saat itu juga.
Riri
berdiri tertatih. Panas peluru itu bercampur dengan perih dan sakit yang ada di
perutnya. Terlebih saat dia bergerak.
“Sial.”
Rutuknya.
‘Pshiiuuu’
Kali ini
peluru hanya membuat luka goresan di dahi kanannya. Tapi tetap saja
mengeluarkan darah dan membuatnya kesakitan. Darah yang mengalir, melewati
samping kelopak matanya.
‘Pshiiuuu’
Bahu
kanannya berlubang. Dia tertatih- tatih, berjalan menghindari Sammael yang
berjalan mendekatinya. Tanpa menyadari kakinya yang terus mendekati jendela
besar yang membatasi dunia luar dengan bagian dalam gedung. Kakinya goyah oleh
rasa sakit yang tiada terperi.
Lututnya
membentur lantai dengan kencang. Hingga bunyinya mampu mengundang perhatian
Hamid yang sudah kepayahan berdiri. Riri tak mampu berdiri.
Sammael
bergerak mendekatinya. Menyorongkan senjatanya ke kepala Riri. Membuat Hamid
juga Nate membelalak ngeri.
“Hahahaha..
Sepertinya semuanya akan berakhir sampai di sini..” katanya sambil menarik hammer dengan ibu jarinya.
“You lose..” telunjuknya perlahan menarik
pelatuk. Seperti hendak menikmati detik- detik penghabisan nyawa orang yang
telah membuatnya kehilangan Kenneth, anaknya. Menikmati detik- detik pencapaian
kemenangannya yang manis dan berlumur darah.
‘Pshiiuuu’
To be continue.
Posted at Kontrakan Tami, Bumi Mutiara Serang
At 4:15 pm
Puji
Widiastuti,
Seseorang
yang baru saja belajar menuangkan inspirasi keatasa kertas, bercerita..
Dan saya
megnharapkan kritik dari anda.. :D
Don’t be a silent reader, please..
Kak lanjut kak! haha aku penasaran bgt itu yg terakhir ketembak Riri apa Sammaelnya? itu kebayang kalo jd Riri ckck -___-' ya ampuuun..
BalasHapusKak pas yang "Dan menaiki ratusan anak tangga menggunakan 'high heels' dengan kecepatan tinggi seperti ini seperti neraka untukku." bukannya Riri pake sepatunya Nita? apa pke high heels jdnya? hehehe :D
Maaf kaka, baru bisa ninggalin jejak hehe tp aku bca semua kok tiap kaka mention, cma ga d PC jd ssah comment :D
AAAAAAAAAHHHHHHH!!!1
Hapusakhirnya dirimu kembali....
Kangennyoooooo.....
hahahaha...
Mungkin besok ya..
mungkin lho.. itu juga kalo keadaan mendukung..
nggak jadi pake sepatu Nita.. Kan kekecilan.. nanti sebelumberantem malah lecet duluan kakinya.. Hahahaha..
fyuuuuhhh..
kirain udah bosen baca makanya nggak comment2 lagi..
ooh haha ga inget kekecilan hehe :D
Hapusga akan bosen dong, kan cerita kaka keren dan ga ngebosenin juga :)
Makasiiih :D
Hapus