“Crane, I found something..” kata
salah seorang diantaranya.
Dan seseorang yang tadi dipanggil dengan sebutan crane segera mendekati
orang itu. Menyingkap karung tersebut tanpa memberikan kesempatan pada Riri dan
kawan- kawan untuk mengetahui isinya. Dia segera menutupnya kembali setelah
melihat isi dari karung tersebut walau hanya sebentar. Mengangguk pada si
pembawa karung seperti memberikan isyarat kalau dia telah mengetahui apa benda
asing tersebut.
Riri dan Billy telah merasakan lebih baik daripada sebelumnya.
Setidaknya kini mereka tak lagi merasakan sakit kepala dan mual yang bertubi-
tubi. Hanya merasa sedikit lelah. Pikiran mereka pun kini terasa lebih jernih
daripada sebelumnya. Yah, efek dari karbon monoksida sialan itu sudah mulai
kehilangan pengaruhnya atas diri mereka. Jadi mereka melepaskan masker oksigen
yang memenjarakan oksigen di depan moncong mereka.
Fred merasakan kepalanya masih sakit. Hingga masker oksigennya tak
dilepaskan oleh orang- orang yang tadi menolong mereka. Mungkin carboxyhemoglobin masih mengalir deras
dalam pembuluh darahnya.
“Tunggu. Kami harus manggil kalian apa?” tanya Billy yang mulai gerah
karena bingung dengan keadaan di sekitarnya. Terlalu banyak orang yang dia
tidak ketahui namanya, atau bisa dibilang nyaris semuanya kecuali Riri dan
Fred. Itu benar- benar tidak membuatnya nyaman. Se-anti-sosialnya seorang
Billy, dia tetap harus mengetahui nama tiap orang yang bersinggungan dengan
hidupnya. Apalagi jika akan terus berputar dalam lingkaran miliknya dalam
jangka waktu yang tak bisa ditentukan yang bisa dipastikan sedikit lama.
“Saya Crane, dan ini Hawk. Kami akan bertugas menjaga anda, tuan
Billy.”
“Saya Shark. Bersama Whale bertugas menjaga tuan Fred.”
“Saya, Lion bersama Cheetah dan pak Hamid sendiri, bertugas menjaga
anda, Nona Marissa.”
Billy, Riri juga Fred menilik-nilik penampilan dari protectors mereka. Mengingat tiap postur
dari orang yang akan menjamin keselamatan mereka dari cengkraman setan Sammael
yang bisa menyerang mereka kapan saja.
Ada beberapa perbedaan antara orang- orang itu. Seperti contohnya Crane
dan Hawk. Perawakannya tinggi dan tidak lebih berisi daripada Lion dan Cheetah.
Terlihat ringan seperti burung –walau tetap saja terlihat besar-. Keduanya juga
memiliki wajah yang panjang dengan mata yang tajam.
Sedangkan Shark dan Whale memiliki tubuh yang besar. Seperti
binaragawan professional. Membuat siapapun enggan mengajak mereka bertarung
satu lawan satu. Tapi mereka menutupi bentuk tubuh mereka yang (kelewat)
atletis dengan kaos dan jas yang membungkus tubuh mereka dari pandangan orang.
Yah, walau tetap saja terlihat atletisnya sih. Bentuk wajah dari kedua orang
itu juga sama. Sedikit bulat.
Lion dan Cheetah terlihat tidak terlalu berbeda dengan orang yang
biasanya. Tubuhnya tidak terlalu berotot seperti Shark dan Whale. Tapi Riri
melihat gerakan kedua orang itu yang terlihat lebih cepat daripada empat orang
lainnya. Dan lagi- lagi bentuk wajahnya sama. Terlihat keras dengan bagian
rahang yang berbentuk kotak.
Meski mereka berbeda, ada beberapa hal yang membuat mereka terlihat
sama. Pertama, mereka semuanya men in
black dengan sebelah telinga yang tersumpal oleh alat komunikasi yang
(sepertinya) tak pernah lepas dari sana. Kedua, mereka sama- sama mengetahui
apa yang harus dilakukan jika suatu hal terjadi (iyalah!). Ketiga, mereka
berwajah datar. Maksudnya tidak berekspresi. Keempat, mereka semua bertugas
untuk menjaga Riri dan yang lainnya. Kelima, ini yang akan secara cepat dilihat
oleh orang lain. Mereka semuanya berpakaian terlalu rapi dan sedikit formal.
Semuanya memakai kaus hitam dengan jas yang juga berwarna hitam yang tak
dikancingkan.
“Perlukah kita melaporkan ini ke pihak berwajib?” tanya Lion pada lima
orang kawannya.
“Jangan. Cukup kita saja yang tahu. Gue nggak mau ini berbuntut
panjang. Yang lain juga jangan sampai tahu. Ini bisa bikin mereka ketar- ketir
sendiri.” Kata Riri.
“Tapi pusat tetap harus tahu. Kami harus melaporkan tiap hal yang
terjadi pada anda sekalian pada pusat untuk dicatat dan diarsipkan.” Jawab
Shark.
“Oke, pusat boleh dikasih tahu. Tapi the other girls jangan sampai tahu. Bisa?”
Keenam orang di hadapannya saling bertatapan. Lama. Tanpa bicara.
Seperti berkomunikasi hanya dengan pandangan mata masing- masing. Lalu serempak
melihat kearah Billy, Fred dan juga Riri dan kembali berpandangan. Kemudian
mereka mengangguk menyetujui permintaan Riri.
Melihat keadaan Fred yang telah lebih baik daripada tadi, Riri dan
Billy memutuskan untuk pulang ke rumah Riri. Mungkin saja dengan beristirahat
total, bisa membersihkan sisa- sisa pengaruh CO yang tadi sempat mampir di
tubuh mereka.
Mereka masuk ke dalam mobil yang tadi pagi Riri kendarai. Duduk
berdempetan di bagian belakang mobil. Membiarkan Lion dan Cheetah yang bertahta
di bagian depan mobil dengan Lion sebagai pengemudi. Sedangkan sisanya membawa
mobil besar yanag memuat peralatan mereka juga membawa motor yang tadi pagi
Billy dan Fred bawa ke kampus.
“Pintu aula apa kabarnya itu? Kapan mau dibetulin?” tanya Riri yang ada
di antara Fred dan Billy.
“Saya sudah meminta pada pusat untuk mengirimkan orang untuk
memperbaiki pintu aula. Tidak sampai dua jam, pintu aula akan terlihat seperti
semula.” Jawab Cheetah.
“Kalian daritadi ngomongin pusat, pusat, pusat. Itu maksudnya apa?
Berasa kayak lagi ada di dalam sebuah Negara aja ada pusatnya segala.” Celetuk
Fred yang kadar bingungnya sudah melampaui batas toleransinya.
“Pusat adalah tempat dimana kami harus melaporkan semua hal yang
terjadi dengan anda sekalian. Pusat juga yang membantu kami untuk mendapatkan
informasi keberadaan kalian dengan menggunakan alat pelacak yang ada di tangan
dan kalung kalian. Pusat jugalah yang akan memastikan TKP kembali bersih jika
hal ini tidak mau di ketahui pihak lain. Tentu saja sebelumnya kita telah
mengambil foto- foto TKP dan barang bukti yang tercecer serta mengamankannya
sebelum mengatur ulang TKP.”
“Ini mulai terdengar berlebihan tahu.” Celetuk Fred lagi. Dia menguap
lebar.
“Sorry..” kata Riri. Membuat
Billy menatap tak mengerti padanya.
“Gue yang waktu itu pengen kak Hamid buat ini semua. Tapi gue nggak
nyangka dia akan bener- bener ngejalanin ini. Gila.”
“Well, dia kan akan ngelakuin
apa yang lu minta. Apalagi yang ada sangkut pautnya sama yang namanya keamanan,
Ri.. Jadi, yasudahlah.. Biarkan saja. Toh ini buat kebaikan kita juga. Hamid
pasti tahu apa yang saat ini harus dan sedang dia lakukan..” Ucap Billy sambil
menyandarkan kepalanya di sandaran jok mobil.
“Yeah, I know..” Riri
menghembuskan napas panjang. Menyingkirkan segala rasa tak nyaman yang tadi
mampir di dadanya. Lalu kembali menghela napas dalam dan menghembuskannya. Kali
ini untuk mengatur detak jantungnya yang tiba- tiba tak berirama saat kepala
Fred jatuh ke atas bahunya.
**********
Pria itu bersembunyi di balik tembok tinggi yang memagari sekeliling
kampus. Ditangannya terdapat sebuah layar kecil yang menampilkan gambar di
dalam aula dan di tempat parkir. Wajahnya menyiratkan raut tak suka dengan apa
yang kini dia lihat.
Kesenangan mengalir di tiap deras arus darahnya saat melihat orang-
orang yang dia benci menderita hingga seperti itu. Dan kekecewaan menghantam
ulu hatinya dengan telak saat melihat orang- orang yang dibencinya bisa
melewaati hal itu dengan cepat. Padahal dia berharap hal ini adalah permainan
terakhir yang harus dia mainkan. Dia sudah mulai lelah menjalani rutinitasnya
yang seperti biasa.
Hidup dalam bayang- bayang ketakutan kalau- kalau beberapa saat lagi
pihak yang berwenang mengetahui keberadaannya. Memburunya seperti anjing liar.
Lantas kenapa dia tidak menikam dada orang- orang itu satu persatu
dengan tanganya sendiri? Membiarkan tubuhnya bermandikan darah orang- orang itu
agar puas hatinya makin menjadi.
Karena dia merasa tak sanggup jika harus menghabisi nyawa orang- orang
itu sendirian. Apalagi dengan adanya pengawal yang menurut pengamatannya sangat
lihai.
Dan otaknya langsung otomatis berpikir. Tentang permainan keji yang
mungkin bisa dia lakukan untuk
membalaskan tiap inchi sakit hati yang dia derita akibat kehilangan buah
hatinya.
‘Kenapa tidak memakai cara yang
lama saja? Ah, sepertinya seru menggunakan cara yang sama sekali lagi. Mereka
pasti takkan menyangka hal seperti itu akan terjadi lagi.’
Dia menjentikkan tangannya dan memutuskan itu adalah ide terbaik yang
akan dia lakukan. Karena dia tahu, sifat adik kakak itu begitu mirip. Pasti
akan mudah memncingnya datang ke dalam permainan yang akan dia racik nanti. Membiarkan
dirinya berpuas atas kepintarannya dalam membuat skenario permainan kotor yang
memukau hatinya.
**********
“Kakak kenapa? Kok mukanya agak pucet ya? Eh, kak Fred juga.. Loh,
kalian semua mukanya pucet.. Ini ada apaan ini?” panik Nita saat melihat wajah
lesu milik Billy (yang paling membetot perhatiannya tentu saja), Riri dan Fred.
“Ini gara- gara pusing setelah nyoba ngaransemen Amazing Grace. Susah banget sampe kita bertiga pusing sendiri. Jadi
kita menyerah dan lebih memilih buat pulang..” kilah Fred sambil melangkahkan
kakinya kedalam rumah Nino yang besar.
“Barengan? Kok agak aneh ya.. Lagian biasanya juga kalian biasa- biasa aja
tuh kalau ngaransemen lagu.. Emang susah banget ya?”
“Ehm, Nit. Makan siang masih ada sisa nggak? Gue laper belum sempet
makan..” kata Riri berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Oh, masih ada kok.. Tadi gue sama Nate masak sayur labu siam, kakap
asam manis, tempe tahu goreng sama sambel goreng serai.” Sambil berjalan
mendahului Fred dan Riri ke dapur. Mengeluarkan makanan yang tersisa dari dalam
kulkas dan beranjak untuk menghangatkannya kembali di atas wajan dan microwave.
Sementara ketiga orang yang masih terlihat lemas itu menghempaskan
tubuhnya ke kursi makan. Meletakkan kepalanya di atas meja dengan malas. Merasa
lelah dengan permainan yang terpaksa harus mereka mainkan untuk terus bertahan
menghadapi Sammael yang menjelma serupa momok paling menakutkan sekaligus
mengesalkan.
Beberapa menit kemudian, bau masakan mulai menguar di udara. Menggugah
selera makan mereka. Memancing semangat yang tadi sempat padam sedikit. Dengan
sedikit lebih bersemangat, mereka menyendok nasi dan lauk yang masih mengepul
hangat setelah dipanasi oleh Nita.
“Masakan kamu enak.” Puji Billy dengan mulutnya yang masih penuh dengan
nasi. Hingga sebutir nasi terdesak keluar dan menempel di bibirnya.
Nita yang melihat hal itu tersenyum. Sebelah tangannya tergerak untuk
membersihkan nasi yang tercecer dari bibir kekasihnya. Tangannya perlahan
menyapu bibir tipis milik Billy. Membuat Riri dan Fred memutar matanya.
Mempersiapkan diri menelan pil- pil kemesraan yang dibagikan dengan Cuma- Cuma
oleh dua orang dihadapan mereka.
“Nate kemana sekarang?” tanya Riri sambil menekuri tiap bulir nasi yang
telah berpindah tempat ke atas sendok makannya.
“Jalan sama kak Darrel. Biasa, melepas rindu.. Nggak tahu deh pulangnya
kemana..” jawab Nita sekenanya.
“Gue selesai.” Kata Fred sambil berdiri dari kursinya. Berjalan menuju
bak cuci piring bersama dengan piring dan gelas kotornya. Disusul oleh Riri
yang juga melakukan hal yang sama.
Billy juga telah selesai makan. Dan Nita membenahi bekas makan Billy.
Berniat untuk mencucinya bersama dengan yang lain.
“Gue aja yang nyuci.. Kan lu udah masak tadi sama Nate.. Sekarang
giliran gue yang bebersih..” kata Riri merebut piring bekas makan Billy dari
tangan Nita.
Dan Fred tiba- tiba sudah mencelupkan tangannya ke sabun cuci piring
dan mulai mengoleskannya ke piring yang ada di hadapannya. Tak membiarkan Riri
untuk mencegahnya melakukan pekerjaan itu.
“Kak, biar gue aja yang nyuci piringnya..” kata Riri sambil berusaha
untuk merebut spons cuci piring dari tangan Fred.
“Nggak. Gue juga mau nyuci piring. Masa iya gue leha- leha di depan
sana nggak bantu- bantu..”
“Kak, gue aja.. Gue kan cewek..”
“Lalu? Apa pula hubungannya nyuci piring sama lu cewek?” dan Fred masih
tetap mempertahankan spons agar berada di tangannya dengan cara mengangkat
tangannya yang menggenggam spons ke atas.
Hingga Riri tak bisa menjangkaunya meski telah melompat- lompat setinggi yang
dia bisa.
“Ah!” Riri mengaduh. Setetes air sabun menetes ke atas pipinya.
Memerciki bola matanya. Menimbulkan rasa perih tiada terkira pada indra
penglihatannya.
“Sorry, Ri.. Sorry..” ucap Fred. Segera dia membilas
tangannya bersih- bersih. Lalu dengan perlahan memegang kelopak mata Riri.
Berusaha membuat mata kirinya terbuka dengan perlahan. Terlihat merah sedikit.
Fred segera membawa kepala Riri agar ada di atas bak cuci piring. Air
keran yang mengalir kecil, dia kucurkan di atas mata Riri yang sengaja dia
buka. Membilas bahan kimia yang baru saja merasuk ke dalam sana.
“Masih perih?” Riri mengangguk. Wajahnya basah terkena air. Fred
menyekanya dengan bajunya yang kering.
Lagi, dia membuka mata Riri dengan kedua tangannya perlahan. Melakukan
kontak dengan cerminan hati Riri walau hal itu akan membuat tangannya bergetar
hebat.
Dan Riri merasa dunianya jungkir balik. Dengan segala kekacauan yang
membuat hatinya terlonjak senang saat menatap kelereng pribadi milik Fred.
Berkilau oleh kasih yang membuatnya hangat. Berbinar oleh rasa yang tak dia
ketahui apa artinya. Hanya satu yang dia tahu. Mata itu, menyenangkan hatinya sedemikian rupa.
************
Pria itu mengendarai motor dengan kecepatan yang tak lebih dari
80km/jam. Membuat angin menderu, bersuara di sekitar helmnya. Sementara di
punggungnya, bersandar seorang wanita cantik. Yang masih setia mendengarkan
detak jantung pria yang ada dalam pelukannya dengan khidmat, meski samar.
Tak lagi sibuk bertanya hendak kemana mereka. Karena dia tahu, pria itu
takkan menjawabnya. Lagipula ada yang lebih ingin dia dengarkan kali ini. Suara
degup jantung pria yang terus berubah temponya tiap kepalanya yang menempel
erat di punggung pria itu bergerak.
Lalu gelindingan roda motor itu melambat. Mereka telah tiba di tempat
yang ingin pria itu tuju. Sebuah tempat pemakaman umum. Gadis itu tentu saja
bingung. Kenapa ke tempat seperti ini?
Tapi genggaman tangan dari pria yang dicintainya dengan sepenuh hati
seperti sukses meredam segala tanya dalam hatinya. Membuatnya tak ragu
melangkah bersama prianya.
“Renata, aku mau ngenalin kamu sama seseorang. Ini Nate, pacar aku..”
katanya pada sebuah nisan yang telah usang.
“Kamu di sana gimana kabarnya? Aku sama Darren baik- baik dan sehat
walaafiat.. Maaf sekarang kita jarang berkunjung.. Kita berdua kuliah di London
soalnya.. Dia masih semangat kok buat jadi arsitek.. Tenang aja, kalau
semangatnya mulai kendor, pasti aku yang akan ingetin dia buat kembali
semangat..” Darrel terus melanjutkan monolognya dengan benda mati di
hadapannya. Tangannya masih saja menggenggam erat tangan Nate.
“Hhhh.. Sori aku ngak bisa lama- lama.. Masih ada kencan yang harus aku
lewatin sama gadis ini.. Terus jadi semangat buat Darren ya.. Oh iya! Jangan
lupa seleksiin cewek yang bisa nemenin Darren seterusnya..” katanya. Berpamitan
pada nisan kusam yang ada di hadapannya.
“Bye, Renata..” ucap Nate kecil sambil melambai pelan. Lalu membuang
pandangannya kebawah. Melihat tiap langkahnya agar tak menginjak kuburan orang
lain di TPU yang sudah terlalu rapat itu.
Mereka meneruskan perjalanan menuju sebuah taman kota yang cukup
rindang. Nate sendiri tak tahu dia sedang ada di mana saat ini. Tapi selama ada
Darrel di sebelahnya, dia merasa aman- aman saja.
Mereka mampir di sebuah minimarket untuk membeli es krim. Lalu duduk
santai di bangku taman yang terlindungi dari terik matahari siang yang luar
biasa menyengat. Menikmati dingin yang menyeimbangkan suhu panas di sekeliling
mereka.
“Kak, Renata itu siapa?” Darrel menghela napas dalam- dalam.
“Dia orang yang pertama kali mengajarkan aku cinta.”
**********
“Jadi dia sudah berani melakukan hal seperti itu di sana?” pria itu
bicara sendiri setelah menerima telepon dari seseorang.
Dia masih terus menerima kabar dari orang suruhannya sambil berjalan
mondar mandir di rumah kecil yang belum selesai dia rampungkan pembayarannya.
Sembari mendengarkan, dia menganalisis langkah selanjutnya yang harus dia
lakukan untuk memperbaiki sistem perlindungan yang telah dia susun. Kesalahan
kali ini tidak boleh terulang lagi untuk yang kedua kalinya. Dia harus lebih
pintar daripada Sammael.
“Keadaan mereka?”
“Mereka dalam kondisi yang lebih baik daripada tadi saat kami
menemukannya. Oksigen murni sudah diberikan dan sekarang mereka sedang
beristirahat di rumah Nona Riri.” Hamid mengangguk mendengarnya.
“Baik. Terima kasih atas kinerja baik yang telah kalian perlihatkan.
Tolong terus jaga mereka dengan sebaik mungkin.” Katanya sambil memutuskan
sambungan telepon.
Dalam hati dia bersyukur. Telah memilih orang- orang yang tepat untuk
diajak bekerja sama. Orang- orang yang tak lain adalah teman- temannya saat
masih berada di dunia hitam dulu. Tentu saja mereka sudah bertobat dan mencari
pekerjaan dengan cara yang halal.
Karena menurut pendapatnya, untuk dapat melindungi seseorang dari
penjahat sekelas Sammael, para pelindung yang dia rekrut harus bisa berpikir
seperti Sammael. Menangkap penjahat
dengan cara seperti penjahat.
Yang dia pikirkan tidak salah kan?
**********
Dia merasakan jantungnya diremas. Sakit. Mendengar penuturan pria yang
ada di sampingnya saat ini. Orang yang tertimbun dibalik nisan itu adalah orang
yang mengajarkan pria itu cinta. Dan dia tahu itu bukan cinta yang biasa. Melainkan
cinta antara lawan jenis. Cinta seperti yang kini mereka, atau dia miliki untuk
pria di sebelahnya itu.
Es krim yang dia pegang mulai mencair. Dia tidak menyesapnya. Tidak
menarik perhatiannya lagi setelah mendengar statement yang menghimpit dadanya.
Membiarkan tetesan manis mengalir menetes ke rerumputan.
“Kok es krimnya nggak di makan?”
Dan gadis itu tersadar dari dunia kesendiriannya. Dengan pelan tanpa
semangat dia menjilat lelehan es krim yang terus mengalir.
Matanya kosong menatap kedepan. Belum sepenuhnya keluar dari dunia
kesendiriannya ternyata.
“Renata itu temen kecil aku sama Darren. Dia udah kayak adik kesayangan
aku sama Darren.. Kita kemana- mana selalu barengan. Sampe kedua orangtua kami
menjuluki kami ‘triplet beda pabrik’.. Maksudnya kembar tiga lain orangtua..”
kenang Darrel. Sementara Nate menggesek-gesekkan alas sandalnya di atas rumput.
Seperti hendak membuat crop circle.
“Dia cantik. Dengan rambut bergelombang keperakkan hasil dari gen ayah
ibunya yang di import dari London dan Virginia. Tubuhnya ringkih, sering sakit
kalau kelelahan walau hanya sedikit. Tapi masalahnya, dia itu nggak bisa diam
walau hanya setengah jam.. Jadi aku sama Darren kayak baby sitternya yang selalu ngejagain dia. Dan karena itu juga, dia
jadi suka bermanja- manja sama kami..” Nate mendengarkan dongeng Darrel sambil
menyesap lelehan eskrimnya dengan hati yang panas dan sakit.
“Saat orangtuaku dan Darrel sering pergi ke London untuk memeriksa
keadaan Darren, aku sering nginep di tempat Renata.. Karena kedua orangtua
Renata nggak tega ngeliat aku harus tidur sendirian di rumah -yang lebih pantas
dibilang kastil- seorang diri, dalam umur yang masih terlalu kecil dan hanya
ditemani oleh beberapa orang pengurus rumah..” Darrel menjilat es krimnya yang
tinggal sedikit. Kemudian melenyapkannya hingga habis tak bersisa.
Lalu dia menyandarkan punggungnya ke kursi taman yang tetap sejuk meski
matahari telah meninggi sejak tadi. Terus memutar ulang kenangannya bersama
gadis yang lain.
“Kami tumbuh bersama dan semakin akrab. Bahkan setelah aku dan Darren
ketemu sama Rio dan yang lainnya pas kita masuk SD. Aku, Darren dan Renata
tetep dekat.. Rasa sayang itu tumbuh membengkak seiring bertambahnya waktu
kedekatan kami..” Darren menghela napas panjang.
“Sampai suatu saat, aku menyadari kalau aku bukan menyayanginya sebagai
adik kecil lagi.. Tapi menyayangi dia sebagai seorang lelaki yang waktu itu
tengah beranjak dewasa.. Semua yang berasal dari bibir kecilnya seperti titah
Ratu untukku.. Harus aku laksanakan walau harus membuatku kelelahan selama
berhari- hari..” Nate meraba dadanya.
Makin sakit. Kenapa Darrel harus menceritakan hal yang seperti ini
padanya? Tidak tahukah dia kalau hatinya kini terasa sakit?
“Dan saat aku ingin menyatakan semuanya pada Renata, aku mengetahui
kalau Darren juga mencintainya.. Aku bimbang.. Ingin tetap menyatakan semuanya
pada Renata atau membiarkan Darren memilikinya..” Darrel mendongakkan
kepalanya. Menentang matahari yang semakin terik.
“Aku akhirnya membiarkan semuanya terjadi.. Membiarkan dia yang memilih
satu diantara kami.. Dia sampai menangis karena harus memilih.. Dia takut
kehilangan perhatian kami jika hanya memilih salah satunya.. Tapi itu takkan
terjadi.. Biar bagaimanapun sakitnya cinta yang bertepuk sebelah tangan, salah
satu dari kami tidak akan menghentikan curahan kasih sayang untuknya..”
“Atau aku kira begitu.. Nyatanya, aku sempat menghindarinya beberapa
minggu untuk menata kembali hatiku yang berserakan karena dia memilih Darren
untuk menjadi kekasihnya.. Hahaha..” Nate tak ikut tertawa. Hanya tersenyum
miris. Mengasihani dirinya sendiri.
“Lalu aku sadar, aku telah melakukan kesalahan besar.. Aku membuat
hatinya sakit.. Berminggu- minggu aku menjauhinya, berminggu- minggu pula dia
menghabiskan waktunya dengan menangisi aku.. Akhirnya aku bisa kembali bersikap
biasa padanya.. Dan kamu tahu? Dia tersenyum manis saat mendapati aku berdiri
di depan pintu rumahnya walau dengan penampilan bangun tidur..”
Dada Nate sesak. Kenapa Darrel tak menghentikan cerita masa lalunya?
Kenapa pula lidahnya mendadak kaku kelu hingga tak bisa meminta Darrel untuk
menghentikan dongeng itu?
“Semuanya berjalan seperti biasa.. Kami pergi bertiga jika Darren
sedang ada di sini.. Jalan berdua atau bersama yang lain jika Darren sedang ada
di London.. Bibirnya tak pernah henti tersenyum.. Membuat pipinya yang tembam
selalu terangkat, membuat wajahnya terlihat sangat lucu..”
“Aku menikmati tiap momen yang kami lewati bersama, walau hanya sebagai
sahabat.. Sampai kecelakaan itu merenggutnya dariku.. Mobil yang di bawa Rio
terguling dan terbakar dengan Renata yang masih ada di dalamnya.. Terjepit oleh
badan mobil yang remuk.. Sementara Rio terlempar keluar dan harus menyaksikan
saat mobil itu meledak di hadapannya.. Memberikan dia mimpi buruk yang terus
membayangi hingga bertahun- tahun lamanya..” napas Darrel memberat.
Menceritakan kisah Renata selalu saja membuatnya bersedih seperti ini.
“Dan kecelakaan itu memberikan aku rasa bersalah yang bahkan hingga
saat ini masih membekas.. Kalau saja aku yang mengantarkan dia pulang ke
rumahnya waktu itu, seandainya aku tidak memaksa Rio untuk mengantarnya,
seandainya aku tidak lebih memilih untuk membelikan kak Prita hadiah, mungkin
saat ini Renata masih ada di sini.. Tapi itu semua hanya harapan kosong..
Semuanya sudah terjadi.. Kebahagiaan Darren sudah aku renggut secara tidak
langsung.. Membuat dia membenciku hingga berberapa tahun kemarin..”
Hati Nate sudah menjerit sejak tadi. Tapi dia seperti kehilangan
control atas tubuhnya. Es krim di genggamannya terjatuh begitu saja ke samping
bangku taman.
“Aku dan Darren semakin menjauh.. Dan aku seperti hidup di dua dunia
yang berbeda.. Di dunia yang cerah dengan Darrel yang ceria.. Dan dunia yang
gulita dengan Darrel yang durja serta dipenuhi rasa bersalah.. Terus menangisi
kepergian Renata, yang bisa dibilang cinta pertamaku..”
“Stop, kak..” kata Nate lemah. Akhirnya dia menemukan kekuatan untuk
bergerak.
“Hentikan cerita kakak..”
**********
Dia membuka mataku. Dalam arti kata yang sebenarnya. Hendak memeriksa
keadaan mataku yang tadi terpercik sabun cuci piring. Rasanya masih sakit,
perih. Tapi tak seperih tadi. Sudah lebih baik.
“Sorry..” katanya sambil
meniup mata kiriku.
Aku tahu maksudnya melakukan hal itu agar rasa perih yang ada di sini
menghilang sedikit demi sedikit. Dan yang aku rasakan justru sebaliknya. Perih
itu tetap menggantung di mataku. Tapi aku tak ingin memberitahukannya. Biarlah
seperti ini.
Ini membuatku nyaman. Menatap bola matanya yang memancarkan rasa
khawatir, entah kenapa membuatku senang. Saat menatap bola matanya yang kelam,
aku merasa jantung ini melompat tinggi. Berdebar begitu cepatnya.
“Udah mendingan?” dia bertanya padaku.
“Iya. Thanks ya..”
“Sorry..”
“Ah, stop asking for apologize..
It’s just a little accident.. Didn’t harm me so much..” kataku.
Sebelah tanganku menyambar spons yang tergeletak begitu saja di bak
cuci piring. Kakiku menginjak ceceran sabun yang ada di atas lantai. Membuatku
kehilangan keseimbangan.
‘Brukk!’
Dan aku kembali menimpah tubuhnya. Dia begitu baik hingga merelakan
tubuhnya dijadikan tempat mendarat olehku untuk yang kesekian kalinya.
Napasku terhenti. Duniaku berputar sekali lagi. Kali ini dengan cara
yang lebih beradab daripada tadi siang.
Aku bertumpu di dadanya yang bidang, hasil nge-gym selama beberapa tahun terakhir ini. Membuatku bisa melihat
wajahnya dengan lebih leluasa. Napasku masih belum kembali. Masih hilang,
tertahan entah dimana.
Dadaku makin berdebar. Ini lebih indah daripada adegan di sinetron-
sinetron yang sering dibicarakan orang. Klise, tapi sensasinya begitu
menggetarkan aku.
Lalu kurasa desah napasnya yang memberat.
Oke! Aku harus sadar diri. Bertumpu di dadanya seperti ini akan memberikan
tekanan pada tubuhnya. Membuatnya susah benapas. Aku ini wanita dewasa yang
bobot tubuhnya lebih dari lima kilogram. Wajar saja dia agak merasa kesusahan
bernapas saat tertindih olehku.
“Sorry, kak.. Nggak
sengaja..” kataku.
“No problem.. It’s just a little
accident.. Didn’t harm me so much..” katanya menirukan perkataanku
sebelumnya.
Aku menawarkan tanganku untuk membantunya berdiri. Dia mengusap- usap
bokongnya. Sepertinya sakit setelah mendarat di lantai marmer yang kelewat
kokoh. Terlihat dari wajahnya yang memperlihatkan sedikit kesakitan. Dan saat
melihat wajahnya yang seperti itu, aku malah merasa wajahku memerah. Aduh! Ada
apa sih dengan diriku ini?
**********
Matanya mengabur. Rasa sakit yang terus bertambah tiap Darrel
membicarakan Renata telah terakumulasi dalam jumlah yang terlalu besar. Membuat
air matanya bergulir deras.
“Nate?”
“Berhenti bicara tentang Renata, cinta pertama kakak itu.. Aku sakit,
kak.. Aku sakit mendengarnya..” isak Nate.
“Tapi, Nate.. Dia”
“Apa kakak lupa sama keberadaan aku? Aku ada disini, kak.. Di sebelah
kakak.. Aku sakit ngedenger kakak membicarakan wanita lain dengan ekspresi yang
seperti itu.. Aku Cuma mau ekspresi itu kakak gunakan kalau sedang membicarakan
tentang aku di depan orang lain..”
“Tapi dia”
“Aku minta sama kakak, berhenti membicarakan tentang dia..” pekik Nate.
Menghentikan kalimat yang sejak tadi ingin dia lontarkan untuk gadisnya.
“Kamu cemburu sama Renata? Nate?”
“Iya! Aku cemburu sama dia! Iya!” Nate memperlihatkan wajahnya yang
memerah karena menangis.
“Nate, dia sudah meninggal bertahun- tahun yang lalu.. Masa iya kamu
cemburu sama orang yang sudah meninggal?”
“Renata mungkin sudah meninggal.. Tapi kalau perasaan kakak untuknya,
siapa tahu? Mungkin saja rasa itu masih bersemi hingga detik ini..” katanya
sambil memutar tubuhnya hingga kini dia membelakangi Darrel.
Darrel tersenyum. Menangkap perasaan gadis yang ada di sebelahnya,
sepenuhnya. Dia memegang kedua lengan Nate dan memutarnya perlahan. Hingga
membuat Nate menghadapnya lagi.
Dia memandangi kedua bola mata Nate yang masih basah oleh air mata. Dia
menghapusnya dengan cara yang biasanya dia lakukan. Mengecup bulir- bulir
kesedihan itu satu persatu.
“Biar aku selesaikan semuanya..”
Dan telunjuknya dia letakkan di atas bibir gadisnya saat Nate akan
kembali bersuara. Memintanya untuk menyimpan semua perkataannya dalam- dalam
dan menunggunya hingga menuntaskan semua yang ingin dia katakan.
“Lalu saat aku masuk SMA, aku melihat seseorang di antara barisan anak
baru. Dengan pakaian yang anehnya luar biasa. Berkuncir banyak sekali hingga
terlihat seperti Medusa dengan rambut ularnya yang mengerikan. Tapi dia
terlihat begitu mengagumkan. Bersinar. Cantik. Murni.”
“Dia, yang entah bagaimana caranya, berhasil menyembuhkan luka akibat
kehilangan Renata. Luka yang sebelumnya terus berakumulasi membentuk pulau
kesedihan yang besar di dalam hatiku. Dia tidak aku kenal sebelumnya. Tapi
rasanya hati ini selalu ingin ada di dekatnya. Melindunginya dengan segenap
jiwa. Memilikinya, takkan melepaskannya walau hanya sekejap..” Nate tediam.
Memandangi Darrel.
“Dia itu kamu, Nately Suryadinata.. Kamu..”
“Kamu udah membuat aku untuk terus berupaya jadi manusia yang lebih
baik dan lebih kuat lagi dari yang dulu.. Kamu yang udah membuat aku jadi makin
semangat dalam menjalani hidup.. Sekarang, kamu yang jadi semangat aku.. Kamu,
yang paling utama..” Air mata Nate kembali merebak setelah mendengar perkataan
Darrel.
“Biar aku ulangi sekali lagi.. Renata adalah masa lalu yang hanya akan
menjadi kenangan.. Tapi kamu, kamu adalah masa depan yang akan terus aku
songsong dengan sekuat tenaga.. Renata mungkin cinta pertamaku, tapi kamu
adalah cinta terakhirku yang akan terus menemaniku hingga kulit ini mengeriput,
renta.. Renata adalah adik kesayanganku, dan kamu adalah wanita kesayanganku
setelah mama.. Renata adalah dunia masa kecilku.. Dan kamu adalah dunia kecilku
yang sempurna.. Takkan ada yang bisa mengubah hal itu kecuali Tuhan..” katanya
bersungguh- sungguh. Membuat air mata Nate kembali menderas.
“Yah, kok malah nangis?”
“Aku nggak nangis, kak.. Aku.. Aku terharu.. Ini tangisan bahagia
tahu..” isak Nate.
Darrel tersenyum bahagia mendengarnya. Dia menenggelamkan Nate dalam
dekapannya. Membuat perasaan Nate semakin hangat.
“Ayo nangis lagi..” katanya. Membuat Nate melepaskan pelukan Darrel.
“Dih, aku malah disuruh nangis.. Perkataan macam apa itu?” sungut Nate.
“Lah, kan tadi katanya itu tangisan kebahagiaan.. Kalau gitu kamu
nangis aja.. Kan kamu jadi bahagia..”
“Kakak maah..” katanya sambil mencubit pelan pinggang Darrel.
Kemudian tubuhnya kembali bersandar di tubuh Darrel. Menyandarkan
kepalanya di dada Darrel yang terasa begitu menenangkan. Membiarkan matahari
bersinar makin terik. Karena toh, mereka juga tak terlalu terpengaruh oleh
panas mentari. Terselimuti cinta yang menyejukkan hati.
**********
“Kok kalung yang dari Riri nggak dipake?”
“Lupa, kak.. Tadi abis mandi, buru- buru.. Soalnya kakak udah sampai di
depan.. Jadi nggak sempet pakai kalungnya dulu.. Kalau aku make dulu, takut
kakak telat latihan orchestranya..”
“Tapi kan kalung itu penting.. Kalau ada bahaya, kamu bisa cepet minta
bantuan kalau pake kalung itu.. Kalau kamu
tiba- tiba ilang entah kemana juga, aku
bisa makin gampang nyarinya..”
“Kakak kok sekarang jadi agak cerewet ya? Hihihi.. Aku nggak akan ilang
kemana- mana, kak.. Lagian juga kan hari ini aku pergi ke kampus sama kakak..
Kampus kan aman.. Nggak akan kenapa- kenapa juga.. Kan ada kakak yang selalu
bisa jagain aku..” sambungnya.
Billy mengangguk ragu. Mengingat mereka hampir celaka kemarin di aula
kampus. Dia memang sengaja tidak memberitahukan yang lain. Setuju dengan
pendapat Riri. Karena kalau yang lain tahu mereka terancam d kampus, bisa makin
ribet urusannya.
“Ayo semuanya kumpul!” teriak Alex. Mengumpulkan semua anggota
orchestra. Bersiap memulai latihan pagi hari ini. Ingin segera mendengarkan
hasil aransemen yang dibuat oleh Riri dan kawan- kawan.
Billy juga turut bangkit setelah memberikan kecupan hangat di dahi Nita
yang sengaja ikut. Ingin melihat kekasih hatinya berlatih untuk penyisihan
babak kedua.
“Amazing grace, how sweet the
sound.. That save a wretch like me.. I once was lost, but now I found.. Was
blind, but now I see..”
Suara soprano Riri yang merdu mulai menggema di aula kampus. Nita tidak
tahu lagu apa yang kini tengah dimainkan. Yang dia tahu, sepertinya dia akan
menyukai lagu ini. Terasa mendamaikan jiwanya.
Jika Nita merasa demikian, lain halnya dengan sosok yang terduduk
sembunyi beberapa bangku di belakangnya yang gelap. Mencuri dengar tiap
perkataan yang tadi diucapkan oleh Nita dan Billy. Lalu tersenyum senang
setelah benar- benar mengetahui apa yang akan dia lakukan.
To be continue..
Posted at my boarding House, Serang City.
At 10:16 a.m
Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan
inspirasi ke atas kertas, bercerita.
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari
anda.. :D
Don’t
be a silent reader, please..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar