Jumat, 06 April 2012

Love the Ice part 20


Mereka tiba di sebuah toko parfum yang biasanya mereka datangi untuk membeli wewangian yang selalu mengisi hari- hari mereka. Bukan toko besar. Hanya sebuah toko kecil milik keluarga sederhana yang sudah sejak dulu mereka (atau salah satunya) kenal pemiliknya. Tempat yang nyaman untuk memilih aroma yang mereka inginkan. Dengan pelayanan yang tak kalah prima dari toko- toko besar. Lengkap, dengan kualitas yang tinggi.

Koh Along. Pemilik dari toko mungil itu. Pria keturunan etnis Tionghoa yang sudah nyaris kehilangan ciri khas fisik dari etnis Tionghoa. Hanya tersisa mata yang tak lebih lebar dari sumpit alias sedikit sipit. Dia bahkan tak pernah bicara dengan dialek yang biasa di pakai artis- artis di layar kaca. Yang mengidentikkan keturunan etnis Tionghoa dengan orang yang cadel dan selalu mengawali kata- katanya dengan kata ‘haiyya’. Bahkan dialeknya sama saja dengan orang- orang yang ada di sekitarnya.

“Siang, koh..” sapa Nino ketika melihat pemilik toko itu.

“Ah, Nino sama Riri.. Mau beli parfum lagi?” Nino dan Riri mengangguk serempak.

“Loh, bukannya kemarin udah beli banyak banget ya?”

“Kali ini yang biasa aja, koh.. Yang kemarin anggap aja buat stok setahun kedepan..” celetuk Nino. Membuat Riri mendelik padanya.

“Stok-nya kebanyakan, kak.. Ckckckc..” balas Riri. Koh Along nyengir mendengarnya. Dia tahu alasan yang membuat Nino membeli summer sebanyak itu kemarin. Dan dia juga sudah bisa melihat alasan hari ini Nino kembali membeli parfum yang biasanya dia pakai.

“Kamu pas banget, No.. Green teanya tinggal satu.. Belum dateng lagi kirimannya..” kata koh Along sambil menyerahkan sebuah tabung beling yang cukup panjang berwarna kehijauan.

“Oke, kalau gitu ini saya ambil ya..”

“Enak aja.. Beli dong..”

“Iya, maksudnya saya beli yang ini ,koh..” kata Nino sambil mengeluarkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan dari dompetnya. “Kirimannya dateng lagi kapan, koh?”

“Nanti sore juga udah dateng kayaknya..”

Mereka tak langsung pulang dari toko tersebut setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka duduk bercengkrama dulu di dalam toko. Ditemani oleh secangkir teh hijau yang nikmat untuk koh Along dan teh melati untuk Nino juga Riri.

Mereka berbincang. Bertukar kabar tentang keluarga masing- masing yang jarang mereka temui. Terlebih setelah kedua orang tua Nino dan Riri mengurusi cabang perusahaan mereka yang ada di Seoul. Juga tentang kedua anak koh Along yang kuliah di luar negeri. Teman sepermainan Nino dan Rio yang memilih untuk meneruskan pendidikannya di luar negeri sejak bangku SMA.

Dan berbincang dengan koh Along begitu menyenangkan. Hingga tak merasakan si waktu yang terus berpamitan hingga nyaris siang. Ternyata perut juga yang menyadarkan mereka kalau telah banyak waktu yang terlewati di tempat itu.

“Kita pamit pulang dulu, koh..” kata Nino sambil bangkit dari kursinya.

“Nggak ikut makan siang dulu di sini?”

“Nggak deh, koh.. Makasih.. Kalo jie Mei lagi nggak ada, nggak lagi- lagi deh ikutan makan di sini.. Takut rasanya nggak keruan kayak waktu itu.. Hahahaha..” koh Along memukul pelan bahu Nino yang selalu saja mengejek hasil masakannya yang terlalu jauh meleset dari kata enak.

“Enak aja! Sekarang kokoh bisa masak tau!”

“Oh ya?”

“Iya lah.. Kalo Cuma telor ceplok, goreng tempe tahu, sama tumis kangkung mah sekarang udah ahli.. Hahaha..”

“Tetep meragukan, koh.. Hahaha.. Kita pulang dulu ya..”

Nino dan Riri kembali masuk ke dalam mobil. Menyalakan mesinnya dan membiarkannya menghangat sebentar sebelum memacunya di jalan raya. Jakarta yang panas membuat Nino memasang pendingin mobilnya dengan kencang. Seakan ingin mengenyahkan segala macam rasa tidak nyaman karena panas itu secepat kilat.

“Ri, gimana kalau kita mampir ke sana dulu.. Kita makan es krim.. Enak kayaknya panas- panas begini makan es krim..”

“Tapi, kak.. Di sana penuh banget.. Riri udah laper.. Lagian juga abis ini Riri mau latihan di kampus.. Kita beli di minimarket aja deh ya..” dan Nino menyetujui usulan Riri. Karena memang dia juga telah merasa lapar sejak tadi.

Riri menyalakan radio yang ada di mobil. Melantunkan sebuah lagu yang dia tahu liriknya. Segera dia turut melafalkan lirik lagu itu dengan fasih.

“We could have had it all.. Rolling in the deep.. You had my heart inside of your hand.. And you played it to the beat..”

“Throw your soul through every open door.. Count your blessings to find what you look for.. Turn my sorrow into treasured gold.. You pay me back in kind and reap just what you sow..” Nino ikut bernyanyi menyambung lirik yang dituturkan Riri. Menghentak- hentakkan kepalanya seperti memberikan ketukan irama yang ikut menghentak dadanya.

“We could have had it all.. Rolling in the deep.. You had my heart inside of your hand.. And you played it to the beat..” Mereka mulai bernyanyi bersama.

Lalu tiba- tiba Nino berhenti bernyanyi. Mulai menginjak- injak pedal yang ada di bawah kakinya dengan kencang, berkali- kali. Makin lama makin cepat. Makin banyak dia menginjak pedal yang ada di bawah kakinya, kepanikan yang terpampang di wajahnya makin besar juga.

“Ri, lepas sabuk pengamannya. Kita lompat turun.”

“Hah?”

“Remnya blong!” Riri terkesiap. Tanganya bergetar saat melepaskan sabuk pengaman. Takut tiba- tiba saja datang dan menjajah hatinya. Dia tidak pernah melakukan hal ini. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Pikiranya gelap dan kosong. Kedua tangannya hanya bisa memegang erat botol parfum milik Nino.

“Tenang.. Kakak akan pastiin kamu selamat..” Nino mencoba menenangkan Riri. Walau sebenarnya perasaannya juga amat teramat sangat tidak tenang saat ini.

Nino memberikan aba- aba agar Riri bersiap melompat. Dan Riri tetap terdiam. Tak mendengar titah Nino karena telinganya tertutup dengingan yang dahsyat.

Nino yang melihat hal itu segera mengeratkan rangkulannya atas Riri. Kemudian dia melemparkan tubuhnya keluar dari mobil setelah memastikan mobilnya akan menabrak pohon besar di tepi jalan yang sepi. Kedua tangannya memeluk Riri. Mendekapnya di dadanya.

Nino mendarat di aspal jalanan yang panas dan keras dengan lengan kanannya. Membuatnya berteriak tertahan karena sakit yang menyerang lengannya. Tubuhnya sempat menggesek aspal jalanan beberapa meter. Sementara Riri masih tetap aman di dalam pelukannya.

“Kamu nggak apa- apa kan, Ri?” tanyanya.

“Kak.. Maaf..”

“Maaf kenapa? Kamu nggak kenapa- kenapa kan?”

“Parfumnya pecah..”

“Kakak nggak peduli sama parfum itu. Yang penting kamu nggak kenapa- kenapa.. Parfum bisa dibeli lagi nanti. Tapi kamu kan nggak bisa dibeli di toko, Ri..” kata Nino sambil memeluk Riri yang kini tengah ada di atas pangkuannya dengan erat. Bersyukur pada Tuhan karena telah memberinya kekuatan untuk menjaga adik kesayangannya.

 “Kak.. Kita pulang sekarang ya.. Riri mau pulang ke rumah.. Jangan ke tempat yang lain..”

“Iya.. Tunggu, kakak minta Fred buat jemput kita dulu ya..” jawab Nino sambil mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Fred.

“Halo, Fred? Bisa minta tolong buat jemput kita ga?”

“Halo? Halo? Lah, kenapa dimatiin dah?”

Nino merasakan sesuatu yang hangat membasahi muka kaus yang dia pakai. Dia melepaskan dekapannya atas Riri. Dan melihat cairan kemerahan mengalir dari hidung Riri. Sementara kedua mata Riri tertutup sempurna.

Dengan cepat dia kembali menghubungi Fred. Secepat itu pula Fred menjawab panggilannya.

“Fred, kita baru kecelakaan.”

“Di.. Dimana ini? Gue lupa nama jalannya apaan.. Tapi setelah jalan Mpu Panuluh..”

Setelah sambungannya terputus, dia kembali melihat keadaan Riri. Darah masih saja keluar dari hidungnya. Sebelah tangannya mencoba menghapus jejak- jejak darah yang tadi sempat mengalir dari hidung Riri.

“Tuan Nino..”

**********

Dia memacu mobilnya secepat yang dia bisa dan diizinkan oleh jalanan ibukota yang tak pernah lengang. Dia begitu ingin cepat sampai di sana. Melihat sendiri keadaan gadis yang telah lama bertahta di singgasana hatinya.

Sesampainya di sana, dia tak melihat seorangpun. Hanya ada seonggok bangkai mobil yang terbuka kap-nya setelah bertabrakan dengan pohon besar di tepi jalan. Dia melangkah menuju pohon itu. Berharap Riri juga Nino bersandar di baliknya. Tapi nihil.

Dia mengeluarkan ponselnya dengan tergesa. Menghubungi nomor yang tadi memintanya untuk datang ke tempat itu. Dan tak tersambung, tidak diangkat atau apalah itu. Perasaannya semakin panik.

Lalu dia ingat akan jam yang kini melingkar erat di pergelangan tangannya. Dia menekan tombol darurat di jamnya. Berharap bisa meminta bantuan untuk mencari tahu dimana keberadaan Riri dan Nino. Karena menurutnya ini adalah keadaan kepepet bin darurat.

“Tuan Fred..” kata seorang pria dari atas sepeda motor beberapa menit kemudian.

“Ya. Dimana kak Nino sama Riri? Lu bisa ngasih tahu gue dimana keberadaan mereka?” orang itu mengangguk dan mengeluarkan ponselnya. Menghubungi seseorang.

“Tuan Nino dan nona Riri sekarang ada di rumahnya.. Ada lagi yang bisa saya bantu?”

“Nggak. Makasih.” Katanya sambil kembali masuk ke mobilnya. Memacu kendaraannya menuju rumah yang telah terlalu sering dia kunjungi.

**********

Aku merasakan sakit di hidungku. Nyut-nyutan. Seperti habis menabrak tembok dengan kecepatan 90 kilometer per jam. Kepalaku juga sakit. Juga lengan kiriku. Ini tubuhku kenapa lagi sih? Kenapa pada sakit seperti ini?

Sayup- sayup aku mendengar seseorang melantunkan nada- nada. Aku seperti mengenal nada- nada ini. Ini.. ‘Amazing Grace’.

Ya, Amazing Grace. Lagu yang diciptakan oleh John Newton. Seorang yang begitu kejam. Penjual budak- budak yang tidak berperikemanusiaan. Orang yang menolak untuk dia jadikan budak akan di bunuh saat itu juga. Bahkan kapal miliknya juga dikenal sebagai kapal pembunuh. Karena di kapal itu banyak tahanan Afrika yang mati karena kekurangan oksigen setelah berdesakkan di dalamnya.

John Newton akhirnya bertobat setelah kapalnya diterjang badai ganas di laut Atlantik. Dia begitu karena takut jika anak buahnya akan membuangnya ke laut. Karena mereka beranggapan badai ganas itu adalah wujud kemarahan Tuhan yang selalu John hina. Dan setelah itu, dia baru menyadari betapa besar anugrah sudah Tuhan berikan padanya.

Aku menyukai lagu ini. Memberikan rasa hangat pada relung- relung jiwaku. Aku tahu. Aku seorang muslim. Dan ini lagu rohani umat Kristiani. Tapi itu bukan menjadi alasan untuk melarangku mendengarkannya kan? Toh, lagu ini juga yang sering mengingatkanku akan kebesaran Allah dan besarnya kasih sayang-Nya untukku selain ayat suci dan hadist.

“Ada yang sakit, Ri?”

“Hidungnya..” jawabku.

“Kayaknya kepentok dada kakak pas kita loncat dari mobil.. Maaf ya..”

Aku baru ingat dengan yang satu itu. Serentetan adegan yang terpaksa aku dan kak Nino lakoni untuk menyelamatkan nyawa kami saat mobil yang kami tumpangi tak dapat dihentikan. Dan aku rasa memang benar, hidungku terbentur dada kak Nino. Atau lebih tepatnya tulang selangkanya.

“Kok bisa sih rem mobilnya blong? Bukannya pas berangkat nggak kenapa- kenapa ya?” tanyaku.

“Kakak juga nggak tahu. Tapi kalau kata orang suruhan Hamid, minyak remnya habis..”

Aku tentu saja bingung. Bagaimana bisa? Aku tahu kak Nino selalu melakukan maintenance teratur pada kendaraannya. Bahkan dia juga yang mengingatkan aku untuk melakukan maintenance. Jadi agak tidak mungkin minyak rem mobilnya habis seperti itu.

Apa dia berbohong padaku?

“Ada yang kakak nggak ceritain ke Riri?” dan aku langsung tahu jawabannya begitu melihat kak Nino yang gelagapan.

“Ini bukan kecelakaan murni kan? Ada campur tangan orang lain kan?” desakku.

Kak Nino menghela napas panjang. Seperti makin menegaskan kalau dia berusaha menutupi sesuatu, dan gagal.

“Iya.. Ada yang motong kabel remnya..”

Sudah ku duga. Satu- satunya kandidat pelaku yang melintas di kepalaku hanya satu orang. Yang memiliki dendam kesumat padaku dan keluargaku. Siapa lagi kalau bukan Sammael.

“Mulai sekarang orang- orang suruhan Hamid nggak akan ada lebih jauh daripada lima meter dari kita.”

What?!

“Karena menurut kakak orang yang ngelakuin itu Sammael. Kakak nggak mau ngambil resiko. Semuanya juga udah setuju sama hal itu.”

Ah, kalau sudah begini akan susah untuk di bujuk lagi. Bisa- bisa dia marah- marah sendiri. Duh! Nggak lagi- lagi deh ngeliat kak Nino marah.

“Jam berapa sekarang?”

“Jam 5 sore.. Kenapa gitu?”

“Ya ampun! Riri ada latihan jam setengah lima.. Haduuuh.. Telat deh.. Si kak Alex bisa marah- marah deh nih..” aku segera membuka lemariku dan mengambil jaket yang tidak terlalu tebal. Berlari menuju meja belajarku dan mengambil kotak saxophone milikku.

“Ri, kata Fred hari ini nggak jadi latihan.. Lagian juga penyisihan babak kedua Apollo diundur sampai bulan depan..”

“Yang bener?”

“Beneran.. Makanya kakak nggak ngebangunin kamu.. Mendingan sekarang kamu istirahat lagi.. Sekalian kakak kompres hidungnya biar nggak sakit lagi..”

Dan saat kak Nino mengingatkan aku perihal hidungku ini, rasa sakit yang tadi sudah tak terasa kini malah kembali berdenyut. Tidak mengenakkan rasanya. Jadi aku menuruti saja perkataannya dengan merebahkan tubuhku di kasur.

Kak Nino duduk di sampingku. Mengompres hidungku dengan air dingin. Nyaman sekali rasanya.

“Kak, nyanyiin amazing grace lagi dong..” suaraku terdengar aneh karena tertutup kantung air dingin yang diletakkan kak Nino di atas hidungku. Menutup kedua lubang pernapasanku.

Kak Nino malah bangkit dari posisinya dan beranjak rebah di sebelahku. Membawa tubuhku untuk bersandar di tubuhnya. Kemudian sebelah tangannya kembali mengompres hidungku. Sedangkan sebelahnya lagi menjadi bantalan untuk kepalaku.

Nada- nada amazing grace  mulai terlantun dari bibir kak Nino. Menghangatkan hatiku, jiwaku. Ah, menyenangkan.

**********

“Jadi sekarang orang- orang suruhan kak Hamid akan ada di deket kita terus? Ga lebih dari lima meter? Yakin nggak akan jadi aneh nantinya kalau begitu?” tanya Nita pada lima orang lainnya yang ada di ruang tamu apartemen Darrel.

“Ancaman Sammael makin  menjadi. Kemarin aja Riri sama Nino kecelakaan gara- gara kabel remnya dipotong. Itu karena Cuma ngandelin mereka yang neken tombol darurat. Nggak efektif juga. Jadi gue pikir kenapa nggak langsung diawasin dari deket aja. Tapi mereka nggak akan 24 jam kayak begitu kok.. Kalau kalian ada di kampus, mereka paling diem di tempat parkir.. Kalau di luar kampus atau luar rumah, baru mereka ngebuntutin kemana kalian pergi..” Kata Hamid.

“Kalau kalian nggak neken tombol itu, mereka nggak akan nampakin diri mereka ke kalian. Itu buat ngejaga kenyamanan kalian juga.. Gimana? Nino udah setuju sama hal ini..” sambungnya.

“Kalau lu sama kak Nino setuju sama hal ini, berarti gue juga setuju.” Sahut Darrel.

Me too.” Kata Billy.

“Kami yang cewek- cewek sih ikut aja. Kami udah nggak ngerti lagi harus ngapain buat ngadepin masalah ini.. Daripada kami Cuma jadi beban, jadi, yah, terserah deh..” kata Nate. Disambut oleh anggukan kepala Nita.

“Kalian bukan beban.. We are Ohana.. Ohana protect each other, stay together..  Gue ke kampus dulu.. Ada rapat..” pamit Fred.

“Gue juga.. Kamu hati- hati ya, Nit.. Mid, Gue”

“Yayaya.. Dia udah ada yang akan ngawasin kok.. Tenang aja..” potong Hamid sambil mengibaskan tangannya.

“Riri nggak kenapa- kenapa kan?” tanya Nate pada Darrel.

“Nggak kenapa- kenapa kok.. Cuma hidungnya doang yang mimisan gara- gara kepentok kak Nino..” Nate menghembuskan napas lega. Bersyukur karena Riri yang keadaannya tak separah yang dia kira. Sebelah tangannya meraba kalung yang diberikan Hamid. Sebuah kalung yang katanya adalah pesanan Riri untuk dirinya juga yang lainnya.

Kalung berbandul matahari. Terlihat serasi dengan gelang pemberian Darrel yang melingkar nyaman di kakinya. Menyadari kalau Riri selalu saja memperhatikan detail bahkan hingga yang terkecil.

“Kak, aku malu..” kata Nate sambil menundukkan wajahnya.

“Kenapa malu? Kamu kan pakai baju..”

“Bukan malu karena itu.. Aku malu sama Riri.. Dia udah berbuat banyak untuk aku.. Aku udah banyak menerima pertolongan dari dia.. Tapi aku nggak pernah ngasih apapun sama dia.. Aku ngerasa jadi kayak parasit, temen yang nggak bisa apa- apa..” mereka yang mendengar hal itu juga merasa demikian.

Riri selalu berusaha untuk melindungi mereka. Riri selalu berusaha untuk membantu menyelesaikan masalah mereka. Dari mulai masalah tugas kuliah, sampai masalah cinta- cintaan. Riri selalu ada jika mereka kesusahan. Lalu mereka? Apa yang telah mereka lakukan untuk Riri?

“Suatu saat nanti, kita pasti tahu apa yang harus kita lakukan untuk Riri.. Pasti ada saatnya kita yang melakukan sesuatu untuk dia.. Pasti..” gumam Darrel.

**********

Orang- orang itu duduk melingkar. Bukan mengelilingi sesuatu. Hanya untuk mempermudah diskusi saja. Untuk mendiskusikan lagu yang akan mereka bawakan untuk penyisihan babak kedua nanti.

“Temanya apa?” tanya Alex.

Forgiveness.” Jawab Fred tanpa mengalihkan pandangannya dari computer tablet yang ada di pangkuannya.

Forgiveness? Hmmhh.. Gue nggak punya ide sama sekali mau ngebawain lagu apa..” kata Alex. Yang lain juga berpikir mengerutkan dahi.

Sementara Riri hanya diam mendengarkan suara yang dikeluarkan iPod yang tak pernah lupa dia bawa.  Hingga tak memperhatikan apa yang di sedang dibahas dalam rapat kali ini. Bibirnya menyenandungkan lagu yang tanpa putus dia dengarkan.

Amazing grace, how sweet the sound.. That saved a wretch like me.. I once was lost, but now am found.. Was blind, but now I see..

“Gue tahu lagu yang bisa dimainin buat penyisihan bulan depan!” seru Fred yang ada tepat di depan Riri.

Amazing Grace.

“Kali ini kita gubah ke versi yang lebih sederhana aja.. Jangan megah kayak biasanya.. Biar terasa ‘taste’ kidungnya..” celetuk salah seorang lainnya. Dan Riri masih tidak berekasi. Masih tenggelam dalam lagu ynag mengalun dari iPodnya.

“Dia kita suruh buka penampilan aja.. Suara soprannya kan lumayan bagus tuh..” kata Alex sambil menggedikkan dagunya kearah Riri.

“Gue sih terserah dia..” kata Fred. Billy mengangguk menanggapinya.

“Lu mau buka penampilan pake soprano nggak?” tanya Alex sambil mencopot headset yang menjuntai dari kedua telinga Riri.

“Emang kita mau mainin amazing grace?” Alex mengangguk.

“Gue pasrah aja deh..”

“Bagus! Jadi Marissa buka penampilan pake soprano, baru kita main. Bil, Fred, Ri, Gubahnya ke sederhana aja ya.. Jangan yang megah.. Bisa?” Ketiga orang yang baru saja di absen oleh Alex mengangguk menyanggupi.

Rapat bubar. Menyisakan Riri, Fred dan Billy yang masih duduk di aula kampus. Mencoba mencari inspirasi untuk mengerjakan aransemen yang mereka perlukan. Riri mulai menekan- nekan tuts piano. Memainkan lagu yang tadi telah disepakati. Sementara Fred dan Billy diam mendengarkan. Tak lupa berlembar- lembar partitur kosong mereka pegang. Hingga jika ada inspirasi sekecil apapun bisa langsung mereka catat.

Riri telah selesai memainkannya. Tapi partitur yang ada di tangan Fred dan Billy masih saja bersih. Membuat Riri mendesah dalam. Dia mengeluarkan kertas- kertas partitur dan sebuah pensil. Mulai menuliskan nada- nada yang mengalir di pikirannya. Lalu Fred mulai mengikuti. Begitu juga Billy. Mulai menuliskan nada- nada yang akan mereka semua mainkan.

Serius. Hingga tak menyadari pintu aula yang telah menutup. Juga orang yang menatap dengan senyum yang luar biasa picik dan menjijikan.

**********

“Ini yang rapat pada nggak inget buat maka siang di rumah apa ya?” rutuk Nita di dapur. Dia sedang mencuci piring bekas makan siang mereka bersama. Nate tengah menghangatkan makanan yang tersisa, sedangkan Darrel membersihkan ruang makan.

Mereka telah menunggu Riri, Fred dan Billy untuk makan siang di rumah Riri. Tapi yang ditunggu tak kunjung datang. Bahkan di hubungi pun tak dijawab. Kan mengesalkan jadinya. Yasudah. Karena lapar, akhirnya mereka makan duluan dan menyisakan makanan untuk mereka.

‘PRAANGNGNG’

Nate dan Darrel segera mendatangi tempat mencuci piring dan melihat Nita yang tengah berdiri di dekat bak cuci piring. Masih dengan tangan yang menuh dengan gumpalan busa sabun pencuci piring dan pecahan gelas yang ada di lantai dekat kakinya.

“Kenapa, Nit?” tanya Nate yang telah berdiri di sebelah Darrel.

Nita tak menjawab. Diam. Matanya tak lepas memandangi pecahan kaca itu. Seperti tengah bertanya pada benda mati yang kini terserak. Apa pesan yang ingin di sampaikannya?

Apakah ada hal buruk yang akan terjadi?

Apa?

Kapan?

Terjadi pada siapa?

**********

‘Twas grace, that taught my heart to fear.. And grace my fear relieved.. How precious did that grace appear.. The hour I first believed.. Through many dangers, toils and snares.. We have already come.. ‘Twas grace that brought us safe thus far.. And grace will lead us home..Hhhhh” nyanyian Riri terhenti. Mual menyerangnya membabi buta.

“Pusing gue bikin aransemen yang satu ini. Kebiasaan bikin yang megah- megah doang sih.. Nggak bisa diganti kayak biasa aja apa?” rutuk Fred.

“Nggak tahu.” Jawab Billy singkat. Perutnya bergejolak. Ingin mengeluarkan apapun yang tadi pagi dia masukkan ke dalam mulutnya.

Terlihat Fred yang memijat keningnya. Kepalanya sakit. Membuatnya tak bisa mengucurkan seluruh konsentrasi pada pekerjaannya kali ini.

“Gue keluar bentar. Mumet gue di sini.”

Dadanya semakin sakit dan sesak. Seakan semua udara yang selama ini disesapnya tak cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Maka dia mencoba untuk menghela udara lebih banyak lagi.

Tidak, ini bukan asma. Ini sesuatu yang berbeda dari biasanya. Dia tahu jika asma-nya sedang kambuh. Tapi ini, ada yang salah.

Fred berjalan makin cepat ke pintu aula dan menyadari kalau pintu aula telah dikunci. Dia mencengkram pergelangan tangannya. Hendak menekan tombol darurat. Tapi dia ingat kalau hari ini dia lupa membawa jam tangannya.

Dia kembali berjalan menuju dalam aula. Walau sudah terasa lemas. Dan akhirnya tumbang sebelum bisa mencapai tempat Billy dan Riri.

“Riri.. Billy.. Keluar dari sini..” teriaknya. Tapi suaranya tak melantang seperti biasa. Terlalu lemah bahkan walau menyentil perhatian Riri dan Billy yang tengah memelototi patitur di bagian dalam aula.

Riri dan Billy terlalu sibuk memikirkan aransemen yang akan mereka mainkan. Hingga mengeyampingkan segala mual yang terus bergejolak dalam perut mereka. Tak menghiraukan segala sakit yang mendera kepala mereka. Bahkan mereka tidak menyadari Fred yang belum kembali.

“Kak, coba mainkan gitarnya..” kata Riri sambil mengangkat pandangannya dari patitur.

“Kak, kak Fred belum balik ya?” tanyanya pada Billy yang tengah menopang kepalanya.

“Lu kenapa, kak?”

“Kepala gue sakit.. Perut gue mual..” jawabnya lemah.

“Kok kita samaan..” Billy tersentak mendengarnya.

Ini hampir sama dengan materi kuliah yang telah dia pelajari di semester- semester yang lalu.

Gejala keracunan CO biasanya ditandai dengan sakit kepala ringan, mudah tersingung, dan mual- muntah. Semakin banyak gas CO yang dihirup seseorang, gejala yang terlihat akan semakin berat. Mulai dari sesak napas, pingsan hingga kematian.’

Billy tercekat mengingatnya. Dia dan Riri mual. Dia juga mengalami sakit kepala. Mungkinkah mereka keracunan karbon monoksida? Apa tidak terlalu terburu- buru jika dia mengatakan kalau mereka tengah keracunan karbon monoksida?

“Ri, kita keluar dari aula dulu.” Putusnya. Dia mungkin ragu apakah saat ini mereka tengah keracunan CO atau tidak. Tapi jika benar, maka mereka harus sesegera mungkin keluar dari sini sebelum semuanya terlambat. Fred? Dimana Fred?

“Fred dimana? Fred? Fred?” teriak Billy. Riri ikut berteriak memanggil- menggil Fred. Mereka di dalam bertiga, berarti keluar juga harus bertiga.

“Dia tadi kearah pintu aula..” Riri mulai kesusahan untuk bernapas. Suaranya yang semula lantang, kini mulai memelan seiring banyaknya karbon monoksida yang dia hirup. Billy mengeluarkan sapu tangannya dari kantung dan membasahinya dengan air minum Riri.

“Pakai ini.” Katanya sambil meletakkan sapu tangan basah itu di hidung Riri. Memang tidak akan menghilangkan pengaruh yang telah mereka alami, tapi setidaknya bisa mengurangi efek yang akan terjadi selanjutnya.

“Kita keluar sekarang.” Putus Billy. Dia menarik tangan Riri yang tak digunakan untuk menutupi hidungnya.

Dan mereka menemukan Fred yang tengah terengah di dekat pintu masuk. Megap- megap tak bisa bernapas.

“Fred! Fred!”

“P- pintunya keku- hhhhh kekunci..” Riri memberikan saputangan basahnya ke Fred. Berharap saputangan basah itu bisa mengurangi efek yang terjadi pada Fred.

“Kita tarik Fred menjauh dari pintu.” Kata Billy.

Setelah menjauh, dia menekan tombol darurat yang ada di jam tangannya. Tak lama kemudian terdengar suara bedebum dari pintu aula yang terbuka. Tampak enam orang yang berperawakan tinggi besar yang berdiri di depan pintu.

Tanpa menunggu waktu yang seperti berlari, mereka membawa Riri, Fred dan Billy keluar dari aula. Menarik mereka hingga ke dekat mobil besar yang biasa mereka gunakan untuk pergi mejalankan tugas bersama.

“Mungkin karbon monoksida.” Kata Billy lemah.

Orang- orang yang tadi membawa mereka keluar mengangguk dan mengeluarkan dua tabung kecil dari dalam mobil. Mereka menyorongkan oksigen murni untuk Fred, Riri dan Billy. Tabung oksigen murni yang memang selalu mereka bawa. Bisa dibilang itu adalah peralatan wajib yang harus mereka bawa jika akan pergi bertugas.

Lalu tiga diantara mereka pergi berkeliling bagian luar aula. Seperti mencari sumber karbon monoksida sialan itu berasala. Sementara sisanya memastikan keadaan Fred, Billy dan Riri yang lemah.

Code grey.. Code grey..” kata salah seorang mereka. Menyampaikan pesan pada seseorang melalui radio komunikasi yang selalu bertengger di sebelah telinganya.

“Apa itu code grey?” tanya Riri dari balik masker oksigennya.

“Kode untuk memberitahukan kalau telah terjadi penyerangan dengan menggunakan senyawa kimia.” Jawab orang yang tadi.

“Ada kode- kode yang lainnya?”

Code red untuk penyerangan menggunakan senjata. Code black untuk penyerangan menggunakan bahan peledak. Code blue untuk pengambilan sandera dan penculikan.” Riri mengangguk mendengarnya. Lalu mulutnya kembali gatal untuk menanyakan sesuatu.

“Kalian pernah menerima pelatihan untuk menjadi bodyguard?”

“Bisa dibilang, ya.”

“Bisa dibilang?” Riri bingung dengan jawaban orang itu. Jawaban yang sepertinya ragu mengakui hal itu.

“Kami tidak pernah menerima pelatihan secara formal. Tapi sebelum direkrut oleh pak Hamid, kami diberikan pelatihan oleh beliau. Dan beliau pernah menerima pelatihan untuk menjadi bodyguard sebelumnya.”

Riri kembali mengatahui suatu hal yang tak dia ketahui mengenai Hamid. karena Hamid hampir tak pernah menjawab tiap pertanyaan yang Riri lontarkan jika hal itu berhubungan dengan masalah pribadinya. Entah apa alasannya melakukan itu.

Tiga orang yang tadi pergi akhirnya kembali setelah menjelajahi bagian luar aula selama hampir tiga puluh menit. Sambil membawa sesuatu yang terbungkus karung goni.

Crane, I found something.

To be continue..

Posted at my home at Tangerang City.

At 10 :26  p.m

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi keatas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda.. :D
Don’t be a silent reader, please.. :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar