Dua pasang mata itu membelalak melihat adegan
yang tersaji di hadapannya. Melihat orang yang mereka kenal dengan baik dan
mereka sayangi dengan segenap hati, berlumur darah bukanlah sebuah pemandangan
yang ingin mereka saksikan saat ini. Terlebih saat mengetahui kalau nyawa orang
itu juga terancam bahaya.
Riri terpojok. Hanya beberapa meter jaraknya
dari kaca yang jika saja pecah akan membuat tubuhnya yang telah begitu lemah,
terjun bebas ke luar gedung. Dan dia tak bisa bergerak maju. Di depannya ada
Sammael yang masih saja menodongkan QSW-06 berperedam suara. Hanya tinggal
menunggu waktu sampai dia meletuskannya begitu saja ke tubuh Riri yang lain.
Dan mereka yakin kali ini Sammael akan mengarahkannya ke tempat yang sangat
vital.
Riri bergeser, terus mundur ke belakang
sebelum akhirnya tersimpuh. Tak mampu menahan tubuhnya yang sudah sedemikian
sakit.
Sammael tersenyum kesenangan. Keinginannya
untuk membalaskan kematian Kenneth akan segera terlaksana. Saat Riri mati
tertembus peluru yang berasal dari senjatanya, dia akan merasa lega, puas. Rasa
sakit hatinya karena kehilangan Kenneth akan terbalaskan.
“Hahahaha.. Sepertinya semuanya akan berakhir sampai di sini..” katanya sambil menarik hammer dengan ibu jarinya.
Riri menutup matanya. Pasrah dengan apa yang
akan terjadi padanya. Memikirkan kematiannya yang sudah berdiri manis di balik
tubuh Sammael. Menungu nyawanya melayang dilepaskan oleh peluru yang dimuntahkan
dari senjata Sammael.
‘Sorry
gue nggak bisa terus sama- sama kalian untuk kedepannya.. Cuma ini yang bisa
gue lakuin buat ngebebasin kalian dari Sammael.. Sorry..’ batinnya pasrah.
“You lose..” telunjuknya
perlahan menarik pelatuk. Seperti hendak menikmati detik- detik penghabisan
nyawa orang yang telah membuatnya kehilangan Kenneth, anaknya. Menikmati detik-
detik pencapaian kemenangannya yang manis dan berlumur darah.
Riri bersiap menerima kembali lontaran timah
panas yang akan bersarang di tubuhnya. yang akan membuatnya kembali kesakitan.
‘Pshiuuu’
Dia tak merasakan sakit bertambah ke
tubuhnya. Membuatnya berpikir mungkin dia telah mati seketika setelah Sammael
menembaknya. Mungkin tepat di jantung hingga langsung berhenti berdetak dan
mati. Tapi kemudian dia bertanya- tanya. Kenapa dia masih bisa mendengar suara-
suara di sekitarnya. Kenapa dia masih merasakan sakit yang
menggigit- gigit tubuhnya? Apa kematian tidak membebaskannya dari segala
kesakitan ini? Kenapa belum juga dia jumpai sesosok yang menyerupai malaikan Tuhan
menjemputnya pergi?
***********
Aku membuka mataku. Berpikir mungkin sang
malaikat pencabut nyawa akan terlihat jelas saat kedua mataku terbuka lebar.
Dan saat aku membuka kedua mataku, aku memang
melihat sesosok orang yang berdiri di hadapanku. Membelakangiku.
Mungkinkah dia malaikat yang dititahkan Tuhan
untuk mencabut nyawanya?
Tapi ada yang aneh. Sejak kapan malaikan
pencabut nyawa memakai blue jeans dan
memakai sepatu kets?
Kenapa pula dia bergulat melawan Sammael dan
bukannya mencabut nyawaku agar tugasnya cepat selesai?
Ah, darah yang telah banyak keluar dari
tubuhku ternyata juga membawa keluar intelegensiku dari otak ini. Tentu saja
dia bukan malaikat. Dia orang yang ingin melindungiku. Tapi dia bukan Lion atau
Cheetah. Bukan juga Shark, Whale, dan yang lainnya. Lalu siapa dia? Aku kenal
postur itu. Tapi aku tak bisa menyebutkan namanya. Pikiran di kepala ini
terlalu berbelit, database otakku
error karena rasa sakit ini.
Aku tahu aku harusnya segera pergi dari
tempat ini. Membebaskan belenggu dari Nate dan kak Hamid yang masih saja
menatapku dengan mata terbelalak. Atau minimal menjauh dari tempat itu agar tak
mengganggu dia yang ingin melindungiku. Tapi aku tak mampu bergerak lagi.
Rasanya terlalu sakit. Bahkan untuk bernapas pun rasanya hampir tak sanggup.
“Are
you ok, Marissa?”
Aku terkesiap. Aku mengenal suara itu. Sangat
mengenalnya. Suara baritone yang sangat aku rindukan pemiliknya. Membuat otakku
meneriakkan sebuah nama yang selalu bergema di kedalaman hatiku.
**********
Mereka duduk berdua. Gelisah. Si gadis merasa
tak nyaman. Menunggu di tempat yang sama dengan dua tahun yang lalu. Menuruti
permintaan orang yang sudah dianggap sebagai kakaknya sendiri. Menanti mereka
yang pergi berlaga ke medan pertempuran.
Ada yang berbeda kali ini. Jika dulu dia
menunggu ditemani Nate, kini Nate-lah yang menghilang dari pandangannya. Dan
lelakinya yang berada di sisinya saat ini. Duduk bersama di ruang bawah tanah
milik keluarga lelakinya.
“Kak..”
“Hmmh?”
“Riri sama yang lainnya nggak akan kenapa-
kenapa kan? Mereka semua akan kembali lagi ke sini kan? Nggak akan sama kayak
dulu kan?”
“Nita.. Nita.. Calm down.. Kali ini aku yakin akan berbeda.. Mereka akan kembali
lagi ke sini.. Kali ini ada temen- temennya Hamid yang akan bantu mereka..
Polisi juga sedang dalam perjalanan..”
“Tapi, kak.. Aku takut.. Kalau- kalau aku
harus kehilangan salah satu dari mereka kayak waktu aku kita kehilangan kak
Rio..”
“Nggak akan.. Nggak akan sama kayak waktu
itu.. Lebih baik kita sekarang berdoa semoga mereka dilindungi Tuhan..” ajak
Billy. Diangguki setuju oleh Nita.
Dalam keremangan ruang bawah tanah mereka
berdoa. Berharap segala yang mereka panjatkan dijabah olehNya kali ini. Tak
seperti tahun- tahun yang lalu saat doa mereka terlewatkan begitu saja dari
taburan bubuk ‘jadi nyata’ milikNya.
***********
Mereka telah sampai di tempat yang ingin
mereka tuju. Segera saja mereka menghambur kedalamnya. Lift di ujung lorong tak
menyala. Mereka lalu mencari pintu tangga darurat.
“Nggak bisa dibuka! Coba nyalain liftnya!”
pinta Nino.
Dan memang Hamid tak salah memilik orang.
Sebelum Nino berkata demikian, mereka telah berusaha menyalakan mesin lift yang
tak pernah dipakai selama dua tahun lebih. Sebagian dari mereka mulai mengotak- atik mesin itu. Sementara yang lainnya berusaha
membuka pintu tangga darurat.
Shark mengeluarkan kantung kulit dari
celananya. Sebuah kantung yang berisi besi- besi kecil dengan beragam bentuk.
Alat yang biasa digunakan untuk membuka kunci pintu ternyata. Dia terus
memutar- mutar besi yang telah di pilih dan di masukkannya kedalam lubang
kunci. Berharap segera mendengar bunyi ‘klek’ yang menandakan kunci pintunya
terbuka.
‘klek’
Mereka yang ada di sana segera menoleh kearah
pintu tangga darurat. Mendapati Shark yang telah berhasil membuka kuncinya.
“Tunggu dulu!” katanya. Mencegah Fred yang
ingin membuka pintu dengan cepat dan terbang ke lantai 13.
Whale menyentuh seutas benang mencurigakan
yang terhubung dengan gagang pintu. Dia melirik Shark dan mengangguk.
“Semuanya, menyingkir dari depan pintu..
Pindah ke samping..” katanya. Fred, Nino dan Darrel mengikuti instruksi itu
dengan patuh walau bingung.
Setelah memastikan tak ada yang berdiri di
depan pintu, Whale menarik benang itu.
‘Baang!’
Terdengar suara logam beradu yang memekakkan
telinga. Dan setelah dilihat, itu adalah suara peluru yang bertabrakan dengan
pintu tangga darurat yang juga terbuat dari logam.
“Kita harus lebih berhati- hati mulai
sekarang. Sammael mungkin saja menempatkan banyak jebakan untuk melukai kita
semua.” Kata Shark.
“Jangan sentuh jika ada benang atau benda
yang mencurigakan di sekitar kalian selama di tangga nanti.” Wanti Whale. Fred,
Nino dan Darrel mengangguk.
Mereka segera menaiki anak tangga. Tidak
terlalu terburu- buru. Mengingat perkataan Shark tadi. Dan benar saja. Senjata
api yang telah terkokang rapi bertebaran di sekitar tangga darurat. Membuat
Nino dan Fred keheranan. Apakah Riri bisa melalui ini semua tanpa luka
sedikitpun?
“Menurut kalian, apa Riri berhhasil lolos
dari tangga ini?” tanya Nino.
“Menurut saya, jebakan- jebakan ini dipasang
sesaat setelah nona Riri melewatinya. Mungkin untuk menghalangi masuknya orang
yang ingin menolong nona Riri..” kata Lion yang juga turut datang.
“Awas!” teriak Rocky- Nino’s protector.
‘Pshiiuuu’
Cheetah yang berjalan di samping Nino tahu-
tahu telah berada di depannya. Membuat Nino berhenti di tempat. Dia melihat
darah yang menetes ke lantai di bawah Cheetah. Mengetahui bahwa dia baru saja
tertembak.
Dan saat dia melihat kakinya, dia tahu siapa
yang telah menyebabkan itu terjadi. Kakinya menginjak benang yang aneh. Benang
yang terhubung dengan senjata api yang ada jauh di depannya.
Nino segera menangkap tubuh Cheetah yang
ambruk. Perut sampingnya yang tertembak. Membuatnya tak bisa bergerak dengan
leluasa seperti biasanya.
“Saya hanya akan memperlambat kalian untuk
menyelamatkan nona Riri. Tinggalkan saja saya di sini.” Katanya.
“Tapi-“
“Cepat! Atau Sammael telah terlebih dahulu
mencelakai nona Riri..”
“Baik, kami akan segera kembali..” kata Nino.
Dalam hati dia merutuk. Karena ketidak
waspadaannya, berkurang satu yang akan menolong Riri. Dengan langkah yang lebih
hati- hati dari yang tadi, mereka kembali menaiki anak tangga. Masih harus
melalui 8 lantai lagi sampai mereka tiba di lantai 13.
Makin ke atas, benang- benang aneh yang
terpasang terlihat semakin sedikit. Mungkin saja Sammael telah kehabisan stok
senjata. Dan terlihat benar- benar bersih setelah tiba di lantai 12.
Rocky naik duluan. Mengantisipasi jika ada
bahaya tepat di depan pintunya. Dan ternyata aman. Mereka segera merangsek
masuk ke lantai 13. Terlihat Riri yang tengah tersimpuh dengan tubuh bersimbah
darah. Dan ada seseorang yang tengah bergulat dengan Sammael. Tak diketahui
siapa namanya karena wajahyaa tertutup hoodie
yang dia kenakan.
“SAMMAEL!” teriak Nino. Geram saat melihat
Riri yang terancam seperti itu.
Fred dan Darrel dan yang lainnya segera
berlari. Menyusul Nino, hendak membantu siapapun itu yang tengah berusaha menolong
Riri. Dan saat itu pula, mereka mengetahui siapa orang itu. Hoodienya terbuka, dan tubuhnya tak lagi
membelakangi mereka.
‘Praaangngng!’
**********
“Are
you oke, Marissa?”
Tak ada jawaban. Pria itu tak
mempermasalahkannya. Karena dia tahu, gadis itu masih bernapas, hidup.
“Hentikan semuanya, Yah.. Hentikan.. Ini
hanya akan membuang waktu..”
“Lepas! Ini semua ayah lakukan untuk
membalaskan kematian Kenneth, adikmu sendiri!”
“Tapi tak ada yang salah atas kematian
Kenneth.. Bukan Mario, bukan juga salah Marissa..” ucapnya masih berupaya
menghentikan perbuatan ayahnya. Mencengkram kedua pergelangan tangan ayahnya
dengan erat. Menghindarkan moncong senjata itu mengarah ke tubuh gadis yang
hingga kini masih bersimpuh di belakangnya setelah tadi membuat
tembakan ayahnya meleset dan membentur langit- langit.
“Bukan salah mereka? Kamu tidak ada di sana
saat Kenneth meninggal! Kamu tidak tahu apa yang terjadi saat itu! Kamu tidak
melihat bagaimana Kenneth mati!”
“Aku
memang tak ada di sana saat Kenneth meninggal. Tapi aku dapat segera tahu apa
yang menyebabkan kematian Kenneth. Ayahlah yang membuat Kenneth terbunuh saat
itu. Jika saja ayah tidak terobsesi dengan rencana balas dendam ayah, dia takkan
terbunuh. Ayah yang membunuhnya. Bukan Mario atau Marissa. Dia mati karena
ingin melindungi ayah dari peluru polisi. Ayah sendirilah yang seharusnya
disalahkan!” pekiknya.
“Bohong!”
“Itu benar, yah. Ken sangat menyayangi ayah.
Dia ingin melindungi ayah. Walau itu berarti kehilangan nyawanya sendiri. Anak
macam apa yang tega menyaksikan ayah kesayangannya tenggelam dalam obsesi
kelamnya lalu ditembak mati dihadapan matanya sendiri?” Membuat Sammael terdiam
mendengarnya.
Sekilas merenungkan apa yang baru saja
dikatakan oleh anaknya. Benarkah dia yang menyebabkan kematian Kenneth?
Benarkah? Benarkah Ken begitu menyayanginya hingga lebih memilih menggunakan
tubuhnya sendiri untuk menamengi dirinya agar tak terluka oleh peluru polisi?
“SAMMAEL!” teriak Nino.
Sammael tersentak dan dengan refleks
menyentakkan tangannya yang masih di cengkram erat. Membuat orang yang sedari
tadi memegangi pergelangan tangannya terhempas, terhuyung mundur ke belakang.
Membuat semua yang melihatnya terdiam terpaku.
‘Praaangngng!’
“ALEXANDER!!”
**********
Aku mendadak bisa menggerakkan tubuhku.
Terkejut. Benar- benar terkejut setelah melihat apa yang baru saja terjadi.
Saat kak Alex, yang datang untuk menyelamatkan aku, jatuh setelah menabrak
kaca.
Aku mendatangi pinggir kaca, beringsut di
sebelah Sammael, dan memandang ke bawah. Melihat dengan jelas meski malam masih
pekat. Tubuh kak Alex yang terbujur begitu saja di roof garden yang terletak pada beberapa lantai di bawah kami. Dapat
ku lihat juga darah yang mengalir, menggenang di sekitarnya.
Kilasan itu berputar lagi.
Orang yang kini ada di sebelahku ini, orang
yang sama dengan yang telah membunuh kak Rio. Orang yang sama dengan orang yang
dilindungi Kenneth. Dan kini, dia mencelakai kak Alex. Lagi- lagi di
depan mataku.
“Kamu.. Kamu lagi- lagi melakukannya..”
“Kamu lagi- lagi mencelakai orang yang aku
sayangi.. Pertama kak Rio.. Lalu Kenneth.. Sekarang kak Alex..” aku
memandangnya dengan kebencian yang meluap- luap.
“Kenapa? Kenapa kamu melakukan ini? Apa
salahku hingga harus kamu hukum seperti ini? Apa yang telah aku perbuat hingga
membuatmu begitu membenciku?” tanyaku. Mataku panas. Nanar. Melihatnya tak
beraksi membuat hatiku semakin sakit.
Kurenggut kedua lengannya yang besar.
Kugoncangkan dengan segenap jiwa yang tersisa di sini. Menghentakkan
kesadarannya yang juga terhempas entah kemana.
“KENAPA? KENAPA KAMU MELAKUKAN HAL INI?
MEMBUATKU SAKIT BERKALI- KALI! KENAPA KAMU BEGITU MENGINGINKAN KEMATIANKU?
KATAKAN, SAMMAEL! KATAKAN!” isakkan makin menjadi. Membuat napasku tersengal
satu- satu.
“Aku bahkan tidak mengenalmu! AKU TIDAK
PERNAH MENGENALMU SEBELUM INI!! Lalu kenapa kamu TIBA- TIBA SAJA MUNCUL DI
HIDUPKU, MENJUNGKIR BALIKKANNYA DENGAN SEBEGINI TIDAK BERADABNYA?! Katakan! APA
SALAHKU?!” dadaku sesak oleh isakkan yang tak malu- malu menampakkan dirinya.
“Masih belum puaskah kamu menyiksaku? Masih
belum puas setelah merenggut kak Rio dari sisiku? Masih belum puas setelah
membuat Ken mengkhianati cintaku?! Masih belum?! Sekarang kamu mau merenggut
kak Alex juga dari sisiku?!” dia masih terdiam. Hanya memandangiku dengan
tatapan yang aku tak tahu apa artinya itu.
“Apa kamu lupa? Mereka berdua adalah anakmu! KENNETH DAN KAK ALEX
ADALAH ANAKMU SENDIRI, SAMMAEL! Kenapa kamu tega membuat mereka jadi seperti
ini?!”
“Aku mencintainya. Aku mencintai kak Rio
sebagai kakakku.. Aku masih saja mencintai Ken walau dia telah berkhianat,
walau dia tidak pernah mencintaiku.. Aku mencintai kak Alex walau dia pernah melupakan
aku.. Aku mencintai mereka semua.. Lalu kenapa kamu selalu saja merenggut semua
orang yang aku cintai?? Kenapa?” kedua tanganku terlepas dari lengan Sammael.
Kemudian basah ditetesi air mataku yang menderas. Kembali tak bertenaga.
Termakan segala rasa sakit yang kini berkembang di hati ini.
Aku mencintainya. Lalu kenapa Sammael
mencelakainya? Kenapa hal ini bisa terulang lagi? Kenapa hatiku harus sakit
lagi? Kenapa kematian seakan terus berputar di sekitarku? Kenapa? Kenapa,
Tuhan?
Kenapa Kau memberikan cobaan yang sebegini
bertubi- tubinya padaku?
Padahal aku baru merasa kalau kak Alex telah
mengingatku. Dia telah mengingatku. Aku tahu hal itu setelah melihat matanya. Tapi
kenapa hanya sekejap saja kebahagiaan ini tercipta di hatiku? Bisakah aku mati
saja agar segala rasa sakit ini berakhir?
**********
“Aku mencintainya. Aku mencintai kak Rio
sebagai kakakku.. Aku masih saja mencintai Ken walau dia telah berkhianat,
walau dia tak pernah mencintaiku.. Aku mencintai kak Alex walau dia pernah melupakan
aku.. Aku mencintai mereka semua.. Lalu kenapa kamu selalu saja merenggut semua
orang yang aku cintai?? Kenapa?” dia terdiam mendengarnya. Hatinya berdenyut
makin sakit. Dia memang tak bisa mengalahkan kebesaran cinta gadis itu pada
pria yang kini terbujur di bawah.
Dia sudah mempersiapkan hatinya untuk
kemungkinan seperti ini. Menyadari ketiadaan Alex beberapa saat kemarin tidak akan
ada pengaruhnya untuk rasa yang terus di produksi gadis itu. Walau dia mencoba
menyelinap dan menawarkan segala perhatian dan cinta yang dia miliki, semuanya
takkan berhasil. Sungguh, dia sudah mempersiapkan hatinya. Mempersiapkan bergallon-
gallon anastesi untuk hatinya yang nanti akan merasa sakit. Tapi semuanya tak
berguna. Saat ini hatinya tetap saja terasa sangat sakit.
“Ssssttt.. Alex akan baik- baik saja..” kata
Nino sambil memeluk Riri. Sementara Lion dan Whale meringkus Sammael yang
hingga saat ini masih menyerupai zombie. Shark mengamankan senjata yang sedari
tadi dipegang Sammael. Sedangkan sisanya pergi membuka ikatan Nate dan Hamid.
“Kak.. Riri sayang sama kak Alex.. Riri
kangen sama kak Alex..”
Hamid –yang harus dipapah saat berjalan- dan
Nate mendekat Riri dan Nino, lalu berhenti beberapa meter sebelumnya. Tak mampu
bergerak lebih dekat lagi, tak mampu menahan terpaan badai kepedihan
yang menguar dari tubuh Riri. Darrel hanya mampu menggenggam erat tangan
gadisnya. Seperti hendak menyembunyikan getar yang tercipta karena
kesedihan yang tersaji di hadapannya.
“Riri capek, kak.. Capek terus merasa sakit
seperti ini..”
“Ri?”
“Riri capek.. Seperti berharap mati jika
sakit ini masih harus datang lagi..” gumamnya sebelum kedua matanya tertutup
sempurna.
Nino segera menggendong Riri berlari menuruni tangga.
Takut kalau- kalau terjadi sesuatu yang tak pernah dia inginkan atas diri Riri.
Sementara Fred masih membatu. Seperti hatinya yang kembali beku.
**********
Nino terus duduk di samping tubuh adiknya.
Masih memandanginya dengan tatapan yang lega sekaligus iba. Kenapa lagi- lagi Riri harus masuk ke ruangan
ini dan menjalani serangkaian prosedur medis untuk menyelamatkan nyawanya?
Lalu kenapa hatinya terus- terusan tersakiti?
Setelah kehilangan Rio –yang juga melukai hati banyak orang lainnya-. Lalu kehilangan
Kenneth pula pada saat yang bersamaan –setelah sebelumnya mendapatkan
pengkhianatan darinya-, kini giliran Alex. Sungguh, dia tak tahan terus
meyaksikan Riri yang harus menerima cobaan yang terus bertubi seperti ini. Tapi
apa mau dikata. Tuhan sepertinya gemar sekali menguji kekuatan hati adiknya
yang satu ini.
“Tuhan.. Tak tahukah Kau? Hatinya bukan
menjadi kuat setelah menerima segala cobaan yang Kau limpahkan padanya..
Hatinya malah merapuh seiring banyaknya ujian yang terjatuh..” rintihnya.
“Kak..”
“Ya, Ri..”
“Apa kak Alex sudah sadar?” tanyanya lemah.
“Dia masih di ruang ICU..”
“Gimana keadaannya? Riri mau nengok dia,
kak..”
“Sssttt.. Kamu baru selesai dioperasi..
Masilh lemah.. Setidaknya tunggu dulu sampai nanti siang.. Baru kamu kakak
izinkan pergi ke ruangan Alex.. Ok? Sekarang istirahat ya..” bujuk Nino.
“Tapi-“
“Riri.. Please..
Sekarang istirahat.. Setelah kamu istirahat, kakak baru ngijinin kamu nengok
Alex di kamarnya.. Kakak janji..” Riri mengangguk. Dan kembali terlelap tak
lama setelahnya. Belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh obat bius.
Nino lalu keluar ruangan. Menerima panggilan
di ponselnya. Sejenak terdiam. Tak mengetahui nomor siapa yang kini tengah berdering
dalam tangannya.
“Halo, Yah? Iya.. Keadaannya udah mendingan
kok.. Tadi juga dia udah sempet siuman. Cuma tidur lagi, solanya masih kayak
setengah sadar gitu..”
“Oh nggak apa-apa, Yah.. Kalau ayah pulang ke
sini, nanti yang nemenin Ibu di sana nggak ada.. Mendingan Ayah nemenin ibu di
sana.. Kesininya kalau ibu udah sembuh.. Biar Nino yang jagain Riri di
sini..”
“Sammael juga udah ditangkap polisi kok..
Nanti deh kalau ketemu Nino ceritain.. Kalau di telepon nggak enak..”
“Iya..” sambungan telepon diputuskan oleh
kedua belah pihak.
Lalu Nino mengetikkan sebuah pesan singkat
pada orang- orang yang terus saja meminta kabar tentang perkembangan keadaan
Riri. Hendak mengurangi segala cemas yang bersemi dalam hati orang- orang itu.
**********
Mereka masih terlelap di kamar yang bukan
biasanya mereka tempati. Karena saat ini mereka tangah tertidur di rumah Riri.
Nate tertidur bersama Nita di kamar Riri. Sedangkan
Fred, Billy dan Darrel di kamar Rio. berhimpitan seperti pepes ikan teri.
Kelelahan setelah semalaman nyaris tak terpejam matanya. Dan menunggu kabar
Riri yang sampai tadi pagi belum siuman, membuat mata mereka tak juga memberat
dan tertidur.
Baru setelah Nino mengirimkan pesan pada
mereka, mereka bisa merasa tenang. Membuat kantuk bertandang datang menghuni
mata- mata mereka yang hampir 24 jam tak bisa tertidur. Terlebih Hamid yang
tubuhnya babak belur. Dia di tangkap Sammael sebelum Nate menjadi sanderanya.
Saat dia akan pergi menuju lokasi proyek sosial yang kemarin di gagas oleh
Riri, tiba- tiba mobil dinas yang dikendarainya dihadang sekawanan orang.
Dia telah mencoba melawan. Tapi orang- orang
itu terlalu banyak. Dan dia sedang tidak dalam keadaan yang baik. Tubuhnya
kurang fit. Hingga tak mampu menandingi
orang- orang itu. Dan sebuah alat pengejut listrik mengkahiri perlawanannya.
Selama di tawan oleh Sammael, dia terus
menerima kekerasan. Hingga badannya dipenuhi lebam seperti itu. Akhirnya dia
bisa beristirahat, bebas dari segala macam rasa nyeri yang menggelayuti
tubuhnya setelah menerima pengobatan dari dokter. Dia enggan bermalam di rumah
sakit. Karenanya dia menginap saja di tempat Riri. Toh, ada Billy yang notabene
adalah seorang calon dokter. Pasti dia bisa merawatnya hingga keadaannya pulih.
Lagipula dia telah terbiasa merasakan sakit seperti ini. Sudah berpengalaman
saat dia masih berkubang di dunia hitamnya di masa lalu.
Suasana sunyi. Hanya dihiasi dengkuran halus
dari masing- masin pemiliknya yang tertidur nyenyak. Meski ada satu yang hingga
saat ini masih belum bisa menyusul terbang ke alam mimpi. Masih terbayang-
bayang gadis yang dicintainya bersimbah darah. Hingga harus menerima berkantung-
kantung darah agar bisa bertahan hidup.
Bukan hanya itu yang terus membayang dalam
benaknya. Tapi juga perkataan gadis iru saat melihat Alex yang terjatuh dari
lantai 13 dan mendarat di roof garden lantai
11.
“Kamu
lagi- lagi mencelakai orang yang aku sayangi.. Pertama kak Rio.. Lalu Kenneth..
Sekarang kak Alex..”
“Aku
mencintainya. Aku mencintai kak Rio sebagai kakakku.. Aku masih saja mencintai
Ken walau dia telah berkhianat,
walau dia tak pernah mencintaiku.. Aku mencintai kak
Alex walau dia pernah melupakan aku.. Aku mencintai mereka semua.. Lalu kenapa
kamu selalu saja merenggut semua orang yang aku cintai?? Kenapa?”
“Riri
capek.. Seperti berharap mati jika sakit ini masih harus datang lagi..”
Ah, ingatan tentang hal ini lagi. Lama- lama
hatinya bisa berubah korengan dan menderita tetanus jika hal ini terus terjadi.
Karena tiap dia mengingat hal itu, hatinya tertusuk pisau berkarat.
Dia berjalan menuju balkon kamar Rio. Mencoba
menyegarkan pikirannya dengan udara pagi yang belum banyak teracuni oleh asap
kendaraan bermotor.
Dan bukannya segar, dia malah merasa makin
sesak. Karena balkon kamar Rio mengarah tepat ke timur. Membuatnya bisa melihat
fajar menyingsing dengan bebas. Dan hal itu mengingatkannya dengan Riri dan
segala harapannnya.
“Sunrise selalu bisa
mengingatkan gue untuk nggak pernah berhenti berharap. Karena harapan takkan
pernah mati. Abadi seperti matahari. Mungkin akan menghilang di telan malam.
Tapi pasti akan bangkit lagi.”
“Gue
nggak mau munafik. Gue emang seneng lihat dia bahagia. Tapi dibalik itu semua,
gue masih ngerasa sakit tiap ngeliat dia sama yang lain. But that’s alright.. Gue
akan sabar menunggu. Karena gue nggak mau kehilangan harapan. Karena gue yakin,
kesabaran gue akan berbuah manis suatu saat nanti. Gue percaya yang satu itu,
kak..”
“Aaarrrgh! Berhenti mikirin segala sesuatu
tentang mereka, Fred!” erangnya. Kedua tangannya mengacak- acak rambutnya yang
pada dasarnya memang sudah berantakan.
“Kalo lu cinta sama dia, kenapa juga lu nggak
nyatain semuanya ke dia?”
Fred berbalik dan mendapati Billy yang
berdiri beberapa langkah di belakangnya.
“Kok lu nggak tidur?” dia malah balik
bertanya.
“Gimana gue mau tidur kalo gue terus
ngedenger orang yang terus bicara sendiri kayak orang gila.” Dia melangkah maju
dan menyandarkan tubuhnya di pagar balkon. Berdiri di sebelah Fred yang telah
kembali membalikkan tubuhnya hingga matanya menubruk langit yang terbakar
mentari.
“Sorry.”
“Sekarang jawab pertanyaan gue yang tadi.” Titahnya.
Membuat Fred menghela napas panjang.
“Karena gue nggak tahu gimana caranya
ngungkapin semua perasaan gue. Gue juga ragu sama perasaan dia. Dan bener aja
kan dugaan gue. Dia masih terlalu mencintai Alex. Masih saja mencintai Ken. Dia
Cuma nganggep gue sebagai kakaknya. Nggak lebih.” Jawabnya sambil mengetuk-
ngetukkan ujung kakinya ke lantai marmer.
“Itulah salahnya. Lu harusnya nyatain aja
semuanya. Urusan cinta lu bersambut atau nggak, itu urusan nanti. Setidaknya lu
nggak akan nyesel kayak begini.” celetuk Darrel yang tiba- tiba saja ikutan
nimbrung.
“Ck, percuma juga menganalisis kesalahan gue
yang kemarin. Toh, semuanya udah terjadi. Lu lihat sendiri kemarin dia kayak
gimana.. Gue harus sadar diri aja sekarang.. Gue takut semakin keras usaha gue
buat terus menjangkau dia malah akan membuat dia makin ngejauh dari gue. Jadi
daripada hal itu terjadi, lebih baik gue diam. Setidaknya gue bisa deket terus
sama dia.”
“Dan lu yakin itu cukup? Lu yakin itu cukup
buat memuaskan keinginan lu buat memiliki dia?” tanya Billy sakratis.
“Gue harus yakin. Lagian emang lu nggak
pernah denger kalimat kalau cinta tak harus memiliki? Lu nggak pernah denger
orang bilang ‘selama dia bahagia, aku juga akan bahagia’?”
“Well, menurut
gue, itu Cuma kalimat penghiburan aja. Dan menurut gue, Cuma orang- orang yang
punya stok kesabaran dan obat bius bergudang- gudang yang bisa ngelakuin hal
itu. Mungkin lu akan mikir gue makhluk egois atau apa. Tapi kalau gue, nggak
akan bisa kayak begitu.” Kata Darrel. Menjejakkan sebelah kakinya ke dinding
tempat tubuhnya bersandar.
“Lalu apa yang harus gue lakuin?” tanyanya
lelah. Putus asa oleh segala persidangan yang dilakukan oleh para sahabatnya.
“Ungkapin semuanya. Sebelum semuanya benar-
benar terlambat.” Kata Billy cepat.
“Oh, please!
Semuanya emang udah terlambat, Bill..”
“Kalau gitu, tetap ungkapin semuanya.
Terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali.” Ralatnya cepat. Membuat Fred
diam seketika.
Dia juga ingin melakukan itu. tapi masalahnya
adalah, tiap melihat wajah Riri, yang terbayang di benaknya hanya betapa besar
rasa cintanya pada Alex. Membuatnya tak mampu mengatakan apa yang selama ini
terpendam jauh di dalam batinnya.
Dan terlalu lama terus tersakiti telah
membuatnya berubah menjadi seseorang yang tak bernyali. Lebih memilih
menghindari tikaman rasa sakit yang bisa saja mengoyak hatinya yang telah rusak
bentuknya daripada sekali lagi mengetahui kebenaran yang sudah terbukti keberadaannya.
**********
Dia membuka matanya. Terusik oleh cahaya
menyilaukan yang mengganggu tidurnya yang nyenyak. Dia reflex mengangkat tangan
kanannya, berupaya menghalangi cahaya itu. Kemudian terkejut. Kenapa ada jarum
infus di sana? Kenapa tangannya bertambal kassa begini?
Dia mencoba bangkit dari tidurnya. Dan
mendapati tubuhnya yang terasa sakit. Seperti remuk. Dia kemudian diam. Mencoba
mengingat apa yang terjadi atas dirinya. Meski itu adalah hal yang sulit
dilakukan dengan pikirannya yang masih terasa mengambang saat ini.
“Kamu udah bangun, Ri?”
“Riri di rumah sakit?” Nino mengangguk menjawabnya.
“Emang.. Hhh.. Emang Riri kenapa?” tanyanya
lemah.
“Kamu nggak inget?” Riri menggeleng pelan.
“Kamu pergi ke gedung kosong dekat kantor,
mendatangi Samael yang menyandera Nate dan Hamid, sendirian. Tanpa memberitahu
yang lain. Saat kakak kesana, kamu udah luka di sana- sini. Kakak juga ngeliat
Alex yang lagi mencoba buat ngelindungin kamu dari Sammael. Lalu-“
“Lalu dia jatuh ke roof
garden.” Potong Riri dengan pandangan kosong. Dia telah ingat semuanya.
“Ya, dia jatuh ke lantai 11.”
“Sekarang gimana keadaannya?” Nino hanya diam
tak menjawab. Membuat perasaan Riri makin bercampur aduk.
“Kak? Gimana keadaannya?”
“Dia koma.”
Riri terkseiap mendengarnya. Koma? Sebuah
kata yang membuatnya takut. Koma, saat seseorang tengah bernegosiasi dengan
malaikat pencabut nyawa untuk memperpanjang kontraknya di dunia. Jika berhasil,
dia akan hidup kembali. Jika tidak, kau tahu apa yang akan terjadi.
“Riri mau ke ruangannya, kak..” Nino terlihat
ingin menolaknya.
“Kakak udah janji ke Riri tadi..”
Dan Nino tak bisa berbuat apa- apa lagi untuk
menahannya. Dia bukan tipe orang yang suka mengingkari janjinya sendiri.
Terlalu memegang erat perkataan yang pernah terlontar dari mulut ayahnya. Bahwa
lelaki yang sebenarnya tak pernah menjilat ludahnya sendiri, tak pernah mengingkari
janji yang pernah dia ucapkan.
“Tunggu, kakak ambil kursi roda dulu..”
katanya. Sementara Riri berusaha bangun sendiri dari tidurnya. Perutnya terasa
sakit. Dari situ pula dian ingat kalau di tubuhnya banyak terdapat luka tembak.
Di tangan kanannya, perut, bahu dan di dahinya –walau hanya terserempet
peluru-.
Setelah mendapatkan apa yang dia butuhkan,
Nino segera kembali ke kamar rawat Riri. menggendong Riri. Memindahkannya ke
kursi roda dengan hati- hati. Karena tiap dia bergerak, Riri seperti tengah
menahan ringisan kesakitannya.
Dia mendorong kursi roda dengan pelan menuju
ruang dimana Alex berada. ICU.
Setelah memakai pakaian khusus, Riri memasuki
ruangan ICU. Dengan tetap mengendarai kursi rodanya. Mendekati ranjang tempat
tubuh Alex terbaring dalam diam. seperti tengah melihat kejadian yang telah
lampau. Saat melihat Darrel yang juga koma setelah kecelakaan yang hampir saja
membuat nyawanya melayang.
Masker oksigen menutupi sebagian wajahnya.
Kepalanya di bebat perban. Lehernya dipasangi penyangga.
Kini Riri tahu, darimana asalnya semua
kemiripan Alex dengan Kenneth. Mereka sama- sama anak dari Sammael. Dan dia tak
habis pikir. Apa yang Tuhan rencanakan hingga membuatnya jatuh cinta pada
keduanya.
“Marissa..”
***********
Aku kini berada di luar ruang ICU. Bersama
dengan ibu dari kak Alex. Dia bilang dia ingin mengatakan sesuatu, makanya aku
mengikutinya keluar. Lalu setelah kami duduk di sini, kami malah saling
menikmati kebisuan yang tersaji.
Dia terlihat begitu sedih. Bagaimana tidak?
Anaknya harus kembali masuk rumah sakit. Dan sekarang keadaannya masih berada
di antara hidup dan mati.
“Dia tidak amnesia.”
“Hah?” aku bingung mendengarnya. Tidak
amnesia? Lalu apa yang terjadi padanya kemari- kemarin itu kalau bukan
amnesia?
“Dia tidak benar- benar mengalami amnesia..”
“Tan, jelas- jelas kemarin kak Alex lupa sama
saya..”
“Sebenarnya dia hanya berpura- pura
amnesia..”
“Jangan bikin saya bingung, tante..” kataku.
Meminta penjelasan lebih.
“Dia melakukan hal itu karena merasa tidak
pantas untuk kamu. Karena di dalam tubuhnya mengalir darah Sammael, orang yang
telah menyebabkan kematian Mario, kakak kamu..”
Apa.. Apa- apaan ini? Apa maksud dari
perkataannya? Aku.. aku benar- benar tidak mengerti.
“Kalau dia merasa tidak pantas untuk saya,
lalu kenapa dia membuat saya jatuh cinta padanya? Kenapa dia menjalin hubungan
dengan saya, tan?”
“Karena dia sebelumnya mengalami amnesia.”
Tuhan! Informasi macam apa ini?
“Tante, tolong ceitakan semuanya.. Jangan
membuat saya makin pusing dengan informasi yang acak- acakan seperti ini..”
pintaku gemas.
“Beberapa minggu sebelum kejadian itu, Alex
pernah bilang sama tante. Dia mau ngasih hadiah sekembalinya dia dari
studinya di Jepang. Dia bilang akan mempertemukan tante sama Ken. Karena setelah tante
pergi meninggalkan Samamel, Sammael selalu menghalangi tante untuk bertemu sama
Ken. Dan katanya ada seseorang lagi yang ingin mereka kenalkan sama tante. Tapi
kemudian tante mendengar kabar kalau Ken meninggal. Alex yang terlalu bersedih mengalami
kecelakaan sesaat setelah pemakaman Ken dilaksanakan. Membuatnya melupakan
ingatanya. Melupakan semuanya, bersih.” aku diam mendengarkan.
“Dan saat dia bertemu denganmu, dia pernah
berkata kalau dia seperti familiar dengan wajahmu. Kemudian dia jatuh cinta
padamu.”ibunya kak Alex menghela napas dalam.
“Kamu masih ingat saat perlombaan di Pelita
Harapan?” aku mengangguk. Bagaimana bisa aku melupakan lomba itu. Di saat lomba
itulah kak Alex kehilangan ingatannya.
“Dia terlambat datang karena tidak sengaja
menjatuhkan kotak yang berisi semua barang- barang pribadi milik Ken yang tante
simpan di atas lemari pakaiannya. Saat itu dia mengingat semuanya. Mengingat
siapa kamu sebenarnya. Itu alasan kenapa dia terlambat datang.”
Apa? Aku masih tidak mengerti.
“Kamu pasti juga ingat kalau di perlombaan
itu Alex terjatuh dari tangga.” Aku kembali mengangguk. Masih tak bisa
menemukan syaraf yang tepat untuk menggerakkan mulutku.
“Saat itu, dia memutuskan untuk mencoba
menjauhimu. Karena dia takut akan menjadi alat Sammael untuk membalaskan
dendamnya sama kamu. Dia juga merasa tidak pantas untuk kamu. Dan satu lagi
alasan dia melakukan hal itu. Karena dia amat merasa bersalah jika melihat
wajah kamu yang terlihat begitu mirip dengan Mario. Tiap melihat kamu, dia
ingat kalau orang yang telah membuat Mario pergi adalah Sammael, ayahnya
sendiri..”
“Nggak mungkin, tan.. Kak Alex emang bener-
bener lupa sama Riri..”
“Nggak, Ri.. Itu semua nggak bener.. Dia
selalu ingat sama kamu.. Kalau benar dia melupakan kamu, kenapa dia meminta Lea
untuk terus memantau keadaan kamu? Kenapa dia pergi untuk menghalangi Sammael
melaksanakan rencananya atas diri kamu?”
“Tapi.. Tapi kenapa dia melakukan hal itu?”
“Karena dia begitu mencintai kamu..”
“Hanya ini yang terpikirkan olehnya untuk melindungimu dari rasa sakit
yang berkelanjutan, rasa sakit yang ditimbulkan oleh Sammael..”
“Ha ha ha..” dia tertawa
miris. Membuatku merasa aneh dengan sikapnya.
Dia menerawang. Entah memandang apa.
Tersenyum sendu. Menimbulkan iba di hatiku. Matanya tergenang. Bulir
air mata itu tengah bersiap terjun bebas dari pelupuk mata ibunya kak Alex.
Memprovokasi air mataku untuk melakukan hal serupa.
“Tante nggak pernah habis pikir.. Bagaimana
bisa kedua anak tante jatuh cinta, cinta mati, pada orang yang sama. Mengalami
nasib yang hampir sama seperti ini.. Mengorbankan nyawanya hingga terlihat
seperti orang yang memiliki banyak nyawa cadangan untuk melindungi orang yang
mereka cintai..”
Tunggu sebentar. Kenneth juga mencintaiku?
Bukanya dia hanya sosok pengkhianat yang mempermainkan cintaku? Memanfaatkan
kepercayaan milik kak Rio untuk memancingnya masuk ke dalam permainan Sammael?
“Ken juga mencintai saya?”
Dia menoleh kencang padaku. Seakan bertanya-
tanya. Apakah peluru yang dilontarkan Sammael mengenai otakku dan merusaknya
hingga aku menjadi bodoh seperti ini.
“Tentu saja! Memangnya apa yang selama ini
kamu pikirkan, Marissa?” katanya sengit.
“Tante salah kali ini. Ken menjalin hubungan
dengan saya hanya untuk membantu Sammael membalaskan dendamnya pada kak Rio,
melalui saya.. Saya memang dulu mencintai Ken, tapi dia tidak pernah mencintai
saya..” kataku yakin.
“Pasti Sammael yang mengatakan itu, bukan?”
aku mengangguk. Mengingat saat itu Ken hanya terdiam membisu. Dan diamnya saat
itu seperti kata ‘benar’ bagiku. Menanamkan kekecewaan berlebihan di hatiku.
“Ternyata kamu benar- benar lugu. Terlalu
lugu hingga bisa dengan mudahnya dibodohi oleh Sammael yang bodoh itu.. Sammael
tak pernah tahu isi hati Ken yang sebenarnya.. Dia benar- benar mencintai kamu,
Marissa.. Amat teramat sangat mencintaimu..”
To be
continue..
Posted
at my boarding house, Serang City..
At 10:38 p.m
Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan
inspirasi ke atas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari
anda.. :D
Don’t
be a silent reader, please..