Selasa, 24 April 2012

Love the Ice part 23


Dua pasang mata itu membelalak melihat adegan yang tersaji di hadapannya. Melihat orang yang mereka kenal dengan baik dan mereka sayangi dengan segenap hati, berlumur darah bukanlah sebuah pemandangan yang ingin mereka saksikan saat ini. Terlebih saat mengetahui kalau nyawa orang itu juga terancam bahaya.

Riri terpojok. Hanya beberapa meter jaraknya dari kaca yang jika saja pecah akan membuat tubuhnya yang telah begitu lemah, terjun bebas ke luar gedung. Dan dia tak bisa bergerak maju. Di depannya ada Sammael yang masih saja menodongkan QSW-06 berperedam suara. Hanya tinggal menunggu waktu sampai dia meletuskannya begitu saja ke tubuh Riri yang lain. Dan mereka yakin kali ini Sammael akan mengarahkannya ke tempat yang sangat vital.

Riri bergeser, terus mundur ke belakang sebelum akhirnya tersimpuh. Tak mampu menahan tubuhnya yang sudah sedemikian sakit.

Sammael tersenyum kesenangan. Keinginannya untuk membalaskan kematian Kenneth akan segera terlaksana. Saat Riri mati tertembus peluru yang berasal dari senjatanya, dia akan merasa lega, puas. Rasa sakit hatinya karena kehilangan Kenneth akan terbalaskan.

“Hahahaha.. Sepertinya semuanya akan berakhir sampai di sini..”  katanya sambil menarik hammer dengan ibu jarinya.

Riri menutup matanya. Pasrah dengan apa yang akan terjadi padanya. Memikirkan kematiannya yang sudah berdiri manis di balik tubuh Sammael. Menungu nyawanya melayang dilepaskan oleh peluru yang dimuntahkan dari senjata Sammael.

‘Sorry gue nggak bisa terus sama- sama kalian untuk kedepannya.. Cuma ini yang bisa gue lakuin buat ngebebasin kalian dari Sammael.. Sorry..’ batinnya pasrah.

You lose..” telunjuknya perlahan menarik pelatuk. Seperti hendak menikmati detik- detik penghabisan nyawa orang yang telah membuatnya kehilangan Kenneth, anaknya. Menikmati detik- detik pencapaian kemenangannya yang manis dan berlumur darah.

Riri bersiap menerima kembali lontaran timah panas yang akan bersarang di tubuhnya. yang akan membuatnya kembali kesakitan.

‘Pshiuuu’

Dia tak merasakan sakit bertambah ke tubuhnya. Membuatnya berpikir mungkin dia telah mati seketika setelah Sammael menembaknya. Mungkin tepat di jantung hingga langsung berhenti berdetak dan mati. Tapi kemudian dia bertanya- tanya. Kenapa dia masih bisa mendengar suara- suara di sekitarnya. Kenapa dia masih merasakan sakit yang menggigit- gigit tubuhnya? Apa kematian tidak membebaskannya dari segala kesakitan ini? Kenapa belum juga dia jumpai sesosok yang menyerupai malaikan Tuhan menjemputnya pergi?

***********

Aku membuka mataku. Berpikir mungkin sang malaikat pencabut nyawa akan terlihat jelas saat kedua mataku terbuka lebar.

Dan saat aku membuka kedua mataku, aku memang melihat sesosok orang yang berdiri di hadapanku. Membelakangiku.

Mungkinkah dia malaikat yang dititahkan Tuhan untuk mencabut nyawanya?

Tapi ada yang aneh. Sejak kapan malaikan pencabut nyawa memakai blue jeans dan memakai sepatu kets?

Kenapa pula dia bergulat melawan Sammael dan bukannya mencabut nyawaku agar tugasnya cepat selesai?

Ah, darah yang telah banyak keluar dari tubuhku ternyata juga membawa keluar intelegensiku dari otak ini. Tentu saja dia bukan malaikat. Dia orang yang ingin melindungiku. Tapi dia bukan Lion atau Cheetah. Bukan juga Shark, Whale, dan yang lainnya. Lalu siapa dia? Aku kenal postur itu. Tapi aku tak bisa menyebutkan namanya. Pikiran di kepala ini terlalu berbelit, database otakku error karena rasa sakit ini.

Aku tahu aku harusnya segera pergi dari tempat ini. Membebaskan belenggu dari Nate dan kak Hamid yang masih saja menatapku dengan mata terbelalak. Atau minimal menjauh dari tempat itu agar tak mengganggu dia yang ingin melindungiku. Tapi aku tak mampu bergerak lagi. Rasanya terlalu sakit. Bahkan untuk bernapas pun rasanya hampir tak sanggup.

Are you ok, Marissa?

Aku terkesiap. Aku mengenal suara itu. Sangat mengenalnya. Suara baritone yang sangat aku rindukan pemiliknya. Membuat otakku meneriakkan sebuah nama yang selalu bergema di kedalaman hatiku.

**********

Mereka duduk berdua. Gelisah. Si gadis merasa tak nyaman. Menunggu di tempat yang sama dengan dua tahun yang lalu. Menuruti permintaan orang yang sudah dianggap sebagai kakaknya sendiri. Menanti mereka yang pergi berlaga ke medan pertempuran.

Ada yang berbeda kali ini. Jika dulu dia menunggu ditemani Nate, kini Nate-lah yang menghilang dari pandangannya. Dan lelakinya yang berada di sisinya saat ini. Duduk bersama di ruang bawah tanah milik keluarga lelakinya.

“Kak..”

“Hmmh?”

“Riri sama yang lainnya nggak akan kenapa- kenapa kan? Mereka semua akan kembali lagi ke sini kan? Nggak akan sama kayak dulu kan?”

“Nita.. Nita.. Calm down.. Kali ini aku yakin akan berbeda.. Mereka akan kembali lagi ke sini.. Kali ini ada temen- temennya Hamid yang akan bantu mereka.. Polisi juga sedang dalam perjalanan..”

“Tapi, kak.. Aku takut.. Kalau- kalau aku harus kehilangan salah satu dari mereka kayak waktu aku kita kehilangan kak Rio..”

“Nggak akan.. Nggak akan sama kayak waktu itu.. Lebih baik kita sekarang berdoa semoga mereka dilindungi Tuhan..” ajak Billy. Diangguki setuju oleh Nita.

Dalam keremangan ruang bawah tanah mereka berdoa. Berharap segala yang mereka panjatkan dijabah olehNya kali ini. Tak seperti tahun- tahun yang lalu saat doa mereka terlewatkan begitu saja dari taburan bubuk ‘jadi nyata’ milikNya.

***********

Mereka telah sampai di tempat yang ingin mereka tuju. Segera saja mereka menghambur kedalamnya. Lift di ujung lorong tak menyala. Mereka lalu mencari pintu tangga darurat.

“Nggak bisa dibuka! Coba nyalain liftnya!” pinta Nino.

Dan memang Hamid tak salah memilik orang. Sebelum Nino berkata demikian, mereka telah berusaha menyalakan mesin lift yang tak pernah dipakai selama dua tahun lebih.  Sebagian dari mereka mulai mengotak- atik  mesin itu. Sementara yang lainnya berusaha membuka pintu tangga darurat.

Shark mengeluarkan kantung kulit dari celananya. Sebuah kantung yang berisi besi- besi kecil dengan beragam bentuk. Alat yang biasa digunakan untuk membuka kunci pintu ternyata. Dia terus memutar- mutar besi yang telah di pilih dan di masukkannya kedalam lubang kunci. Berharap segera mendengar bunyi ‘klek’ yang menandakan kunci pintunya terbuka.

‘klek’

Mereka yang ada di sana segera menoleh kearah pintu tangga darurat. Mendapati Shark yang telah berhasil membuka kuncinya.

“Tunggu dulu!” katanya. Mencegah Fred yang ingin membuka pintu dengan cepat dan terbang ke lantai 13.

Whale menyentuh seutas benang mencurigakan yang terhubung dengan gagang pintu. Dia melirik Shark dan mengangguk.

“Semuanya, menyingkir dari depan pintu.. Pindah ke samping..” katanya. Fred, Nino dan Darrel mengikuti instruksi itu dengan patuh walau bingung.

Setelah memastikan tak ada yang berdiri di depan pintu, Whale menarik benang itu.

‘Baang!’

Terdengar suara logam beradu yang memekakkan telinga. Dan setelah dilihat, itu adalah suara peluru yang bertabrakan dengan pintu tangga darurat yang juga terbuat dari logam.

“Kita harus lebih berhati- hati mulai sekarang. Sammael mungkin saja menempatkan banyak jebakan untuk melukai kita semua.” Kata Shark.

“Jangan sentuh jika ada benang atau benda yang mencurigakan di sekitar kalian selama di tangga nanti.” Wanti Whale. Fred, Nino dan Darrel mengangguk.

Mereka segera menaiki anak tangga. Tidak terlalu terburu- buru. Mengingat perkataan Shark tadi. Dan benar saja. Senjata api yang telah terkokang rapi bertebaran di sekitar tangga darurat. Membuat Nino dan Fred keheranan. Apakah Riri bisa melalui ini semua tanpa luka sedikitpun?

“Menurut kalian, apa Riri berhhasil lolos dari tangga ini?” tanya Nino.

“Menurut saya, jebakan- jebakan ini dipasang sesaat setelah nona Riri melewatinya. Mungkin untuk menghalangi masuknya orang yang ingin menolong nona Riri..” kata Lion yang juga turut datang.

“Awas!” teriak Rocky- Nino’s protector.

‘Pshiiuuu’

Cheetah yang berjalan di samping Nino tahu- tahu telah berada di depannya. Membuat Nino berhenti di tempat. Dia melihat darah yang menetes ke lantai di bawah Cheetah. Mengetahui bahwa dia baru saja tertembak.

Dan saat dia melihat kakinya, dia tahu siapa yang telah menyebabkan itu terjadi. Kakinya menginjak benang yang aneh. Benang yang terhubung dengan senjata api yang ada jauh di depannya.

Nino segera menangkap tubuh Cheetah yang ambruk. Perut sampingnya yang tertembak. Membuatnya tak bisa bergerak dengan leluasa seperti biasanya.

“Saya hanya akan memperlambat kalian untuk menyelamatkan nona Riri. Tinggalkan saja saya di sini.” Katanya.

“Tapi-“

“Cepat! Atau Sammael telah terlebih dahulu mencelakai nona Riri..”

“Baik, kami akan segera kembali..” kata Nino.

Dalam hati dia merutuk. Karena ketidak waspadaannya, berkurang satu yang akan menolong Riri. Dengan langkah yang lebih hati- hati dari yang tadi, mereka kembali menaiki anak tangga. Masih harus melalui 8 lantai lagi sampai mereka tiba di lantai 13.

Makin ke atas, benang- benang aneh yang terpasang terlihat semakin sedikit. Mungkin saja Sammael telah kehabisan stok senjata. Dan terlihat benar- benar bersih setelah tiba di lantai 12.

Rocky naik duluan. Mengantisipasi jika ada bahaya tepat di depan pintunya. Dan ternyata aman. Mereka segera merangsek masuk ke lantai 13. Terlihat Riri yang tengah tersimpuh dengan tubuh bersimbah darah. Dan ada seseorang yang tengah bergulat dengan Sammael. Tak diketahui siapa namanya karena wajahyaa tertutup hoodie yang dia kenakan.

“SAMMAEL!” teriak Nino. Geram saat melihat Riri yang terancam seperti itu.

Fred dan Darrel dan yang lainnya segera berlari. Menyusul Nino, hendak membantu siapapun itu yang tengah berusaha menolong Riri. Dan saat itu pula, mereka mengetahui siapa orang itu. Hoodienya terbuka, dan tubuhnya tak lagi membelakangi mereka.

‘Praaangngng!’

**********

Are you oke, Marissa?”

Tak ada jawaban. Pria itu tak mempermasalahkannya. Karena dia tahu, gadis itu masih bernapas, hidup.

“Hentikan semuanya, Yah.. Hentikan.. Ini hanya akan membuang waktu..”

“Lepas! Ini semua ayah lakukan untuk membalaskan kematian Kenneth, adikmu sendiri!”

“Tapi tak ada yang salah atas kematian Kenneth.. Bukan Mario, bukan juga salah Marissa..” ucapnya masih berupaya menghentikan perbuatan ayahnya. Mencengkram kedua pergelangan tangan ayahnya dengan erat. Menghindarkan moncong senjata itu mengarah ke tubuh gadis yang hingga kini masih bersimpuh di belakangnya setelah tadi membuat tembakan ayahnya meleset dan membentur langit- langit.

“Bukan salah mereka? Kamu tidak ada di sana saat Kenneth meninggal! Kamu tidak tahu apa yang terjadi saat itu! Kamu tidak melihat bagaimana Kenneth mati!”

 “Aku memang tak ada di sana saat Kenneth meninggal. Tapi aku dapat segera tahu apa yang menyebabkan kematian Kenneth.  Ayahlah yang membuat Kenneth terbunuh saat itu. Jika saja ayah tidak terobsesi dengan rencana balas dendam ayah, dia takkan terbunuh. Ayah yang membunuhnya. Bukan Mario atau Marissa. Dia mati karena ingin melindungi ayah dari peluru polisi. Ayah sendirilah yang seharusnya disalahkan!” pekiknya.

“Bohong!”

“Itu benar, yah. Ken sangat menyayangi ayah. Dia ingin melindungi ayah. Walau itu berarti kehilangan nyawanya sendiri. Anak macam apa yang tega menyaksikan ayah kesayangannya tenggelam dalam obsesi kelamnya lalu ditembak mati dihadapan matanya sendiri?” Membuat Sammael terdiam mendengarnya.

Sekilas merenungkan apa yang baru saja dikatakan oleh anaknya. Benarkah dia yang menyebabkan kematian Kenneth? Benarkah? Benarkah Ken begitu menyayanginya hingga lebih memilih menggunakan tubuhnya sendiri untuk menamengi dirinya agar tak terluka oleh peluru polisi?

“SAMMAEL!” teriak Nino.

Sammael tersentak dan dengan refleks menyentakkan tangannya yang masih di cengkram erat. Membuat orang yang sedari tadi memegangi pergelangan tangannya terhempas, terhuyung mundur ke belakang. Membuat semua yang melihatnya terdiam terpaku.

‘Praaangngng!’

 “ALEXANDER!!”

**********

Aku mendadak bisa menggerakkan tubuhku. Terkejut. Benar- benar terkejut setelah melihat apa yang baru saja terjadi. Saat kak Alex, yang datang untuk menyelamatkan aku, jatuh setelah menabrak kaca.

Aku mendatangi pinggir kaca, beringsut di sebelah Sammael, dan memandang ke bawah. Melihat dengan jelas meski malam masih pekat. Tubuh kak Alex yang terbujur begitu saja di roof garden yang terletak pada beberapa lantai di bawah kami. Dapat ku lihat juga darah yang mengalir, menggenang di sekitarnya.

Kilasan itu berputar lagi.

Orang yang kini ada di sebelahku ini, orang yang sama dengan yang telah membunuh kak Rio. Orang yang sama dengan orang yang dilindungi Kenneth. Dan kini, dia mencelakai kak Alex. Lagi- lagi di depan mataku.

“Kamu.. Kamu lagi- lagi melakukannya..”

“Kamu lagi- lagi mencelakai orang yang aku sayangi.. Pertama kak Rio.. Lalu Kenneth.. Sekarang kak Alex..” aku memandangnya dengan kebencian yang meluap- luap.

“Kenapa? Kenapa kamu melakukan ini? Apa salahku hingga harus kamu hukum seperti ini? Apa yang telah aku perbuat hingga membuatmu begitu membenciku?” tanyaku. Mataku panas. Nanar. Melihatnya tak beraksi membuat hatiku semakin sakit.

Kurenggut kedua lengannya yang besar. Kugoncangkan dengan segenap jiwa yang tersisa di sini. Menghentakkan kesadarannya yang juga terhempas entah kemana.

“KENAPA? KENAPA KAMU MELAKUKAN HAL INI? MEMBUATKU SAKIT BERKALI- KALI! KENAPA KAMU BEGITU MENGINGINKAN KEMATIANKU? KATAKAN, SAMMAEL! KATAKAN!” isakkan makin menjadi. Membuat napasku tersengal satu- satu.

“Aku bahkan tidak mengenalmu! AKU TIDAK PERNAH MENGENALMU SEBELUM INI!! Lalu kenapa kamu TIBA- TIBA SAJA MUNCUL DI HIDUPKU, MENJUNGKIR BALIKKANNYA DENGAN SEBEGINI TIDAK BERADABNYA?! Katakan! APA SALAHKU?!” dadaku sesak oleh isakkan yang tak malu- malu menampakkan dirinya.

“Masih belum puaskah kamu menyiksaku? Masih belum puas setelah merenggut kak Rio dari sisiku? Masih belum puas setelah membuat Ken mengkhianati cintaku?! Masih belum?! Sekarang kamu mau merenggut kak Alex juga dari sisiku?!” dia masih terdiam. Hanya memandangiku dengan tatapan yang aku tak tahu apa artinya itu.

 “Apa kamu lupa? Mereka berdua adalah anakmu! KENNETH DAN KAK ALEX ADALAH ANAKMU SENDIRI, SAMMAEL! Kenapa kamu tega membuat mereka jadi seperti ini?!”

“Aku mencintainya. Aku mencintai kak Rio sebagai kakakku.. Aku masih saja mencintai Ken walau dia telah berkhianat, walau dia tidak pernah mencintaiku.. Aku mencintai kak Alex walau dia pernah melupakan aku.. Aku mencintai mereka semua.. Lalu kenapa kamu selalu saja merenggut semua orang yang aku cintai?? Kenapa?” kedua tanganku terlepas dari lengan Sammael. Kemudian basah ditetesi air mataku yang menderas. Kembali tak bertenaga. Termakan segala rasa sakit yang kini berkembang di hati ini.

Aku mencintainya. Lalu kenapa Sammael mencelakainya? Kenapa hal ini bisa terulang lagi? Kenapa hatiku harus sakit lagi? Kenapa kematian seakan terus berputar di sekitarku? Kenapa? Kenapa, Tuhan?

Kenapa Kau memberikan cobaan yang sebegini bertubi- tubinya padaku?

Padahal aku baru merasa kalau kak Alex telah mengingatku. Dia telah mengingatku. Aku tahu hal itu setelah melihat matanya. Tapi kenapa hanya sekejap saja kebahagiaan ini tercipta di hatiku? Bisakah aku mati saja agar segala rasa sakit ini berakhir?

**********

“Aku mencintainya. Aku mencintai kak Rio sebagai kakakku.. Aku masih saja mencintai Ken walau dia telah berkhianat, walau dia tak pernah mencintaiku.. Aku mencintai kak Alex walau dia pernah melupakan aku.. Aku mencintai mereka semua.. Lalu kenapa kamu selalu saja merenggut semua orang yang aku cintai?? Kenapa?” dia terdiam mendengarnya. Hatinya berdenyut makin sakit. Dia memang tak bisa mengalahkan kebesaran cinta gadis itu pada pria yang kini terbujur di bawah.

Dia sudah mempersiapkan hatinya untuk kemungkinan seperti ini. Menyadari ketiadaan Alex beberapa saat kemarin tidak akan ada pengaruhnya untuk rasa yang terus di produksi gadis itu. Walau dia mencoba menyelinap dan menawarkan segala perhatian dan cinta yang dia miliki, semuanya takkan berhasil. Sungguh, dia sudah mempersiapkan hatinya. Mempersiapkan bergallon- gallon anastesi untuk hatinya yang nanti akan merasa sakit. Tapi semuanya tak berguna. Saat ini hatinya tetap saja terasa sangat sakit.

“Ssssttt.. Alex akan baik- baik saja..” kata Nino sambil memeluk Riri. Sementara Lion dan Whale meringkus Sammael yang hingga saat ini masih menyerupai zombie. Shark mengamankan senjata yang sedari tadi dipegang Sammael. Sedangkan sisanya pergi membuka ikatan Nate dan Hamid.

“Kak.. Riri sayang sama kak Alex.. Riri kangen sama kak Alex..”

Hamid –yang harus dipapah saat berjalan- dan Nate mendekat Riri dan Nino, lalu berhenti beberapa meter sebelumnya. Tak mampu bergerak lebih dekat lagi, tak mampu menahan terpaan badai kepedihan yang menguar dari tubuh Riri. Darrel hanya mampu menggenggam erat tangan gadisnya. Seperti hendak menyembunyikan getar yang tercipta karena kesedihan yang tersaji di hadapannya.

“Riri capek, kak.. Capek terus merasa sakit seperti ini..”

“Ri?”

“Riri capek.. Seperti berharap mati jika sakit ini masih harus datang lagi..” gumamnya sebelum kedua matanya tertutup sempurna.

Nino segera menggendong Riri berlari menuruni tangga. Takut kalau- kalau terjadi sesuatu yang tak pernah dia inginkan atas diri Riri. Sementara Fred masih membatu. Seperti hatinya yang kembali beku.

**********

Nino terus duduk di samping tubuh adiknya. Masih memandanginya dengan tatapan yang lega sekaligus iba.  Kenapa lagi- lagi Riri harus masuk ke ruangan ini dan menjalani serangkaian prosedur medis untuk menyelamatkan nyawanya?

Lalu kenapa hatinya terus- terusan tersakiti? Setelah kehilangan Rio –yang juga melukai hati banyak orang lainnya-. Lalu kehilangan Kenneth pula pada saat yang bersamaan –setelah sebelumnya mendapatkan pengkhianatan darinya-, kini giliran Alex. Sungguh, dia tak tahan terus meyaksikan Riri yang harus menerima cobaan yang terus bertubi seperti ini. Tapi apa mau dikata. Tuhan sepertinya gemar sekali menguji kekuatan hati adiknya yang satu ini.

“Tuhan.. Tak tahukah Kau? Hatinya bukan menjadi kuat setelah menerima segala cobaan yang Kau limpahkan padanya.. Hatinya malah merapuh seiring banyaknya ujian yang terjatuh..” rintihnya.

“Kak..”

“Ya, Ri..”

“Apa kak Alex sudah sadar?” tanyanya lemah.

“Dia masih di ruang ICU..”

“Gimana keadaannya? Riri mau nengok dia, kak..”

“Sssttt.. Kamu baru selesai dioperasi.. Masilh lemah.. Setidaknya tunggu dulu sampai nanti siang.. Baru kamu kakak izinkan pergi ke ruangan Alex.. Ok? Sekarang istirahat ya..” bujuk Nino.

“Tapi-“

“Riri.. Please.. Sekarang istirahat.. Setelah kamu istirahat, kakak baru ngijinin kamu nengok Alex di kamarnya.. Kakak janji..” Riri mengangguk. Dan kembali terlelap tak lama setelahnya. Belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh obat bius.

Nino lalu keluar ruangan. Menerima panggilan di ponselnya. Sejenak terdiam. Tak mengetahui nomor siapa yang kini tengah berdering dalam tangannya.

“Halo, Yah? Iya.. Keadaannya udah mendingan kok.. Tadi juga dia udah sempet siuman. Cuma tidur lagi, solanya masih kayak setengah sadar gitu..”

“Oh nggak apa-apa, Yah.. Kalau ayah pulang ke sini, nanti yang nemenin Ibu di sana nggak ada.. Mendingan Ayah nemenin ibu di sana.. Kesininya kalau ibu udah sembuh.. Biar Nino yang jagain Riri di sini..”

“Sammael juga udah ditangkap polisi kok.. Nanti deh kalau ketemu Nino ceritain.. Kalau di telepon nggak enak..”

“Iya..” sambungan telepon diputuskan oleh kedua belah pihak.

Lalu Nino mengetikkan sebuah pesan singkat pada orang- orang yang terus saja meminta kabar tentang perkembangan keadaan Riri. Hendak mengurangi segala cemas yang bersemi dalam hati orang- orang itu.

**********

Mereka masih terlelap di kamar yang bukan biasanya mereka tempati. Karena saat ini mereka tangah tertidur di rumah Riri.

Nate tertidur bersama Nita di kamar Riri. Sedangkan Fred, Billy dan Darrel di kamar Rio. berhimpitan seperti pepes ikan teri. Kelelahan setelah semalaman nyaris tak terpejam matanya. Dan menunggu kabar Riri yang sampai tadi pagi belum siuman, membuat mata mereka tak juga memberat dan tertidur.

Baru setelah Nino mengirimkan pesan pada mereka, mereka bisa merasa tenang. Membuat kantuk bertandang datang menghuni mata- mata mereka yang hampir 24 jam tak bisa tertidur. Terlebih Hamid yang tubuhnya babak belur. Dia di tangkap Sammael sebelum Nate menjadi sanderanya. Saat dia akan pergi menuju lokasi proyek sosial yang kemarin di gagas oleh Riri, tiba- tiba mobil dinas yang dikendarainya dihadang sekawanan orang.

Dia telah mencoba melawan. Tapi orang- orang itu terlalu banyak. Dan dia sedang tidak dalam keadaan yang baik. Tubuhnya kurang fit.  Hingga tak mampu menandingi orang- orang itu. Dan sebuah alat pengejut listrik mengkahiri perlawanannya.

Selama di tawan oleh Sammael, dia terus menerima kekerasan. Hingga badannya dipenuhi lebam seperti itu. Akhirnya dia bisa beristirahat, bebas dari segala macam rasa nyeri yang menggelayuti tubuhnya setelah menerima pengobatan dari dokter. Dia enggan bermalam di rumah sakit. Karenanya dia menginap saja di tempat Riri. Toh, ada Billy yang notabene adalah seorang calon dokter. Pasti dia bisa merawatnya hingga keadaannya pulih. Lagipula dia telah terbiasa merasakan sakit seperti ini. Sudah berpengalaman saat dia masih berkubang di dunia hitamnya di masa lalu.

Suasana sunyi. Hanya dihiasi dengkuran halus dari masing- masin pemiliknya yang tertidur nyenyak. Meski ada satu yang hingga saat ini masih belum bisa menyusul terbang ke alam mimpi. Masih terbayang- bayang gadis yang dicintainya bersimbah darah. Hingga harus menerima berkantung- kantung darah agar bisa bertahan hidup.

Bukan hanya itu yang terus membayang dalam benaknya. Tapi juga perkataan gadis iru saat melihat Alex yang terjatuh dari lantai 13 dan mendarat di roof garden lantai 11.

“Kamu lagi- lagi mencelakai orang yang aku sayangi.. Pertama kak Rio.. Lalu Kenneth.. Sekarang kak Alex..”

“Aku mencintainya. Aku mencintai kak Rio sebagai kakakku.. Aku masih saja mencintai Ken walau dia telah berkhianat, walau dia tak pernah mencintaiku.. Aku mencintai kak Alex walau dia pernah melupakan aku.. Aku mencintai mereka semua.. Lalu kenapa kamu selalu saja merenggut semua orang yang aku cintai?? Kenapa?”

“Riri capek.. Seperti berharap mati jika sakit ini masih harus datang lagi..”

Ah, ingatan tentang hal ini lagi. Lama- lama hatinya bisa berubah korengan dan menderita tetanus jika hal ini terus terjadi. Karena tiap dia mengingat hal itu, hatinya tertusuk pisau berkarat.

Dia berjalan menuju balkon kamar Rio. Mencoba menyegarkan pikirannya dengan udara pagi yang belum banyak teracuni oleh asap kendaraan bermotor.

Dan bukannya segar, dia malah merasa makin sesak. Karena balkon kamar Rio mengarah tepat ke timur. Membuatnya bisa melihat fajar menyingsing dengan bebas. Dan hal itu mengingatkannya dengan Riri dan segala harapannnya.

 Sunrise selalu bisa mengingatkan gue untuk nggak pernah berhenti berharap. Karena harapan takkan pernah mati. Abadi seperti matahari. Mungkin akan menghilang di telan malam. Tapi pasti akan bangkit lagi.”

“Gue nggak mau munafik. Gue emang seneng lihat dia bahagia. Tapi dibalik itu semua, gue masih ngerasa sakit tiap ngeliat dia sama yang lain. But that’s alright..  Gue akan sabar menunggu. Karena gue nggak mau kehilangan harapan. Karena gue yakin, kesabaran gue akan berbuah manis suatu saat nanti. Gue percaya yang satu itu, kak..”

“Aaarrrgh! Berhenti mikirin segala sesuatu tentang mereka, Fred!” erangnya. Kedua tangannya mengacak- acak rambutnya yang pada dasarnya memang sudah berantakan.

“Kalo lu cinta sama dia, kenapa juga lu nggak nyatain semuanya ke dia?”

Fred berbalik dan mendapati Billy yang berdiri beberapa langkah di belakangnya.

“Kok lu nggak tidur?” dia malah balik bertanya.

“Gimana gue mau tidur kalo gue terus ngedenger orang yang terus bicara sendiri kayak orang gila.” Dia melangkah maju dan menyandarkan tubuhnya di pagar balkon. Berdiri di sebelah Fred yang telah kembali membalikkan tubuhnya hingga matanya menubruk langit yang terbakar mentari.

Sorry.”

“Sekarang jawab pertanyaan gue yang tadi.” Titahnya. Membuat Fred menghela napas panjang.

“Karena gue nggak tahu gimana caranya ngungkapin semua perasaan gue. Gue juga ragu sama perasaan dia. Dan bener aja kan dugaan gue. Dia masih terlalu mencintai Alex. Masih saja mencintai Ken. Dia Cuma nganggep gue sebagai kakaknya. Nggak lebih.” Jawabnya sambil mengetuk- ngetukkan ujung kakinya ke lantai marmer.

“Itulah salahnya. Lu harusnya nyatain aja semuanya. Urusan cinta lu bersambut atau nggak, itu urusan nanti. Setidaknya lu nggak akan nyesel kayak begini.” celetuk Darrel yang tiba- tiba saja ikutan nimbrung.

“Ck, percuma juga menganalisis kesalahan gue yang kemarin. Toh, semuanya udah terjadi. Lu lihat sendiri kemarin dia kayak gimana.. Gue harus sadar diri aja sekarang.. Gue takut semakin keras usaha gue buat terus menjangkau dia malah akan membuat dia makin ngejauh dari gue. Jadi daripada hal itu terjadi, lebih baik gue diam. Setidaknya gue bisa deket terus sama dia.”

“Dan lu yakin itu cukup? Lu yakin itu cukup buat memuaskan keinginan lu buat memiliki dia?” tanya Billy sakratis.

“Gue harus yakin. Lagian emang lu nggak pernah denger kalimat kalau cinta tak harus memiliki? Lu nggak pernah denger orang bilang ‘selama dia bahagia, aku juga akan bahagia’?”

Well, menurut gue, itu Cuma kalimat penghiburan aja. Dan menurut gue, Cuma orang- orang yang punya stok kesabaran dan obat bius bergudang- gudang yang bisa ngelakuin hal itu. Mungkin lu akan mikir gue makhluk egois atau apa. Tapi kalau gue, nggak akan bisa kayak begitu.” Kata Darrel. Menjejakkan sebelah kakinya ke dinding tempat tubuhnya bersandar.

“Lalu apa yang harus gue lakuin?” tanyanya lelah. Putus asa oleh segala persidangan yang dilakukan oleh para sahabatnya.

“Ungkapin semuanya. Sebelum semuanya benar- benar terlambat.” Kata Billy cepat.

“Oh, please! Semuanya emang udah terlambat, Bill..”

“Kalau gitu, tetap ungkapin semuanya. Terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali.” Ralatnya cepat. Membuat Fred diam seketika.

Dia juga ingin melakukan itu. tapi masalahnya adalah, tiap melihat wajah Riri, yang terbayang di benaknya hanya betapa besar rasa cintanya pada Alex. Membuatnya tak mampu mengatakan apa yang selama ini terpendam jauh di dalam batinnya.

Dan terlalu lama terus tersakiti telah membuatnya berubah menjadi seseorang yang tak bernyali. Lebih memilih menghindari tikaman rasa sakit yang bisa saja mengoyak hatinya yang telah rusak bentuknya daripada sekali lagi mengetahui kebenaran yang sudah terbukti keberadaannya.

**********

Dia membuka matanya. Terusik oleh cahaya menyilaukan yang mengganggu tidurnya yang nyenyak. Dia reflex mengangkat tangan kanannya, berupaya menghalangi cahaya itu. Kemudian terkejut. Kenapa ada jarum infus di sana? Kenapa tangannya bertambal kassa begini?

Dia mencoba bangkit dari tidurnya. Dan mendapati tubuhnya yang terasa sakit. Seperti remuk. Dia kemudian diam. Mencoba mengingat apa yang terjadi atas dirinya. Meski itu adalah hal yang sulit dilakukan dengan pikirannya yang masih terasa mengambang saat ini.

“Kamu udah bangun, Ri?”

“Riri di rumah sakit?” Nino mengangguk menjawabnya.

“Emang.. Hhh.. Emang Riri kenapa?” tanyanya lemah.

“Kamu nggak inget?” Riri menggeleng pelan.

“Kamu pergi ke gedung kosong dekat kantor, mendatangi Samael yang menyandera Nate dan Hamid, sendirian. Tanpa memberitahu yang lain. Saat kakak kesana, kamu udah luka di sana- sini. Kakak juga ngeliat Alex yang lagi mencoba buat ngelindungin kamu dari Sammael. Lalu-“

“Lalu dia jatuh  ke roof garden.” Potong Riri dengan pandangan kosong. Dia telah ingat semuanya.

“Ya, dia jatuh ke lantai 11.”

“Sekarang gimana keadaannya?” Nino hanya diam tak menjawab. Membuat perasaan Riri makin bercampur aduk.

“Kak? Gimana keadaannya?”

“Dia koma.”

Riri terkseiap mendengarnya. Koma? Sebuah kata yang membuatnya takut. Koma, saat seseorang tengah bernegosiasi dengan malaikat pencabut nyawa untuk memperpanjang kontraknya di dunia. Jika berhasil, dia akan hidup kembali. Jika tidak, kau tahu apa yang akan terjadi.

“Riri mau ke ruangannya, kak..” Nino terlihat ingin menolaknya.

“Kakak udah janji ke Riri tadi..”

Dan Nino tak bisa berbuat apa- apa lagi untuk menahannya. Dia bukan tipe orang yang suka mengingkari janjinya sendiri. Terlalu memegang erat perkataan yang pernah terlontar dari mulut ayahnya. Bahwa lelaki yang sebenarnya tak pernah menjilat ludahnya sendiri, tak pernah mengingkari janji yang pernah dia ucapkan.

“Tunggu, kakak ambil kursi roda dulu..” katanya. Sementara Riri berusaha bangun sendiri dari tidurnya. Perutnya terasa sakit. Dari situ pula dian ingat kalau di tubuhnya banyak terdapat luka tembak. Di tangan kanannya, perut, bahu dan di dahinya –walau hanya terserempet peluru-.

Setelah mendapatkan apa yang dia butuhkan, Nino segera kembali ke kamar rawat Riri. menggendong Riri. Memindahkannya ke kursi roda dengan hati- hati. Karena tiap dia bergerak, Riri seperti tengah menahan ringisan kesakitannya.

Dia mendorong kursi roda dengan pelan menuju ruang dimana Alex berada. ICU.

Setelah memakai pakaian khusus, Riri memasuki ruangan ICU. Dengan tetap mengendarai kursi rodanya. Mendekati ranjang tempat tubuh Alex terbaring dalam diam. seperti tengah melihat kejadian yang telah lampau. Saat melihat Darrel yang juga koma setelah kecelakaan yang hampir saja membuat nyawanya melayang.

Masker oksigen menutupi sebagian wajahnya. Kepalanya di bebat perban. Lehernya dipasangi penyangga.

Kini Riri tahu, darimana asalnya semua kemiripan Alex dengan Kenneth. Mereka sama- sama anak dari Sammael. Dan dia tak habis pikir. Apa yang Tuhan rencanakan hingga membuatnya jatuh cinta pada keduanya.

“Marissa..”

***********

Aku kini berada di luar ruang ICU. Bersama dengan ibu dari kak Alex. Dia bilang dia ingin mengatakan sesuatu, makanya aku mengikutinya keluar. Lalu setelah kami duduk di sini, kami malah saling menikmati kebisuan yang tersaji.

Dia terlihat begitu sedih. Bagaimana tidak? Anaknya harus kembali masuk rumah sakit. Dan sekarang keadaannya masih berada di antara hidup dan mati.

“Dia tidak amnesia.”

“Hah?” aku bingung mendengarnya. Tidak amnesia? Lalu apa yang terjadi padanya kemari- kemarin itu kalau bukan amnesia?

“Dia tidak benar- benar mengalami amnesia..”

“Tan, jelas- jelas kemarin kak Alex lupa sama saya..”

“Sebenarnya dia hanya berpura- pura amnesia..”

“Jangan bikin saya bingung, tante..” kataku. Meminta penjelasan lebih.

“Dia melakukan hal itu karena merasa tidak pantas untuk kamu. Karena di dalam tubuhnya mengalir darah Sammael, orang yang telah menyebabkan kematian Mario, kakak kamu..”

Apa.. Apa- apaan ini? Apa maksud dari perkataannya? Aku.. aku benar- benar tidak mengerti.

“Kalau dia merasa tidak pantas untuk saya, lalu kenapa dia membuat saya jatuh cinta padanya? Kenapa dia menjalin hubungan dengan saya, tan?”

“Karena dia sebelumnya mengalami amnesia.”

Tuhan! Informasi macam apa ini?

“Tante, tolong ceitakan semuanya.. Jangan membuat saya makin pusing dengan informasi yang acak- acakan seperti ini..” pintaku gemas.

“Beberapa minggu sebelum kejadian itu, Alex pernah bilang sama tante. Dia mau ngasih hadiah sekembalinya dia dari studinya di Jepang. Dia bilang akan mempertemukan tante sama Ken. Karena setelah tante pergi meninggalkan Samamel, Sammael selalu menghalangi tante untuk bertemu sama Ken. Dan katanya ada seseorang lagi yang ingin mereka kenalkan sama tante. Tapi kemudian tante mendengar kabar kalau Ken meninggal.  Alex yang terlalu bersedih mengalami kecelakaan sesaat setelah pemakaman Ken dilaksanakan. Membuatnya melupakan ingatanya. Melupakan semuanya, bersih.” aku diam mendengarkan.

“Dan saat dia bertemu denganmu, dia pernah berkata kalau dia seperti familiar dengan wajahmu. Kemudian dia jatuh cinta padamu.”ibunya kak Alex menghela napas dalam.

“Kamu masih ingat saat perlombaan di Pelita Harapan?” aku mengangguk. Bagaimana bisa aku melupakan lomba itu. Di saat lomba itulah kak Alex kehilangan ingatannya.

“Dia terlambat datang karena tidak sengaja menjatuhkan kotak yang berisi semua barang- barang pribadi milik Ken yang tante simpan di atas lemari pakaiannya. Saat itu dia mengingat semuanya. Mengingat siapa kamu sebenarnya. Itu alasan kenapa dia terlambat datang.”

Apa? Aku masih tidak mengerti.

“Kamu pasti juga ingat kalau di perlombaan itu Alex terjatuh dari tangga.” Aku kembali mengangguk. Masih tak bisa menemukan syaraf yang tepat untuk menggerakkan mulutku.

“Saat itu, dia memutuskan untuk mencoba menjauhimu. Karena dia takut akan menjadi alat Sammael untuk membalaskan dendamnya sama kamu. Dia juga merasa tidak pantas untuk kamu. Dan satu lagi alasan dia melakukan hal itu. Karena dia amat merasa bersalah jika melihat wajah kamu yang terlihat begitu mirip dengan Mario. Tiap melihat kamu, dia ingat kalau orang yang telah membuat Mario pergi adalah Sammael, ayahnya sendiri..”

“Nggak mungkin, tan.. Kak Alex emang bener- bener lupa sama Riri..”

“Nggak, Ri.. Itu semua nggak bener.. Dia selalu ingat sama kamu.. Kalau benar dia melupakan kamu, kenapa dia meminta Lea untuk terus memantau keadaan kamu? Kenapa dia pergi untuk menghalangi Sammael melaksanakan rencananya atas diri kamu?”

“Tapi.. Tapi kenapa dia melakukan hal itu?”

“Karena dia begitu mencintai kamu..”

 “Hanya ini yang terpikirkan olehnya untuk melindungimu dari rasa sakit yang berkelanjutan, rasa sakit yang ditimbulkan oleh Sammael..

Ha ha ha..” dia tertawa miris. Membuatku merasa aneh dengan sikapnya.

Dia menerawang. Entah memandang apa. Tersenyum sendu. Menimbulkan iba di hatiku. Matanya tergenang. Bulir air mata itu tengah bersiap terjun bebas dari pelupuk mata ibunya kak Alex. Memprovokasi air mataku untuk melakukan hal serupa.

“Tante nggak pernah habis pikir.. Bagaimana bisa kedua anak tante jatuh cinta, cinta mati, pada orang yang sama. Mengalami nasib yang hampir sama seperti ini.. Mengorbankan nyawanya hingga terlihat seperti orang yang memiliki banyak nyawa cadangan untuk melindungi orang yang mereka cintai..”

Tunggu sebentar. Kenneth juga mencintaiku? Bukanya dia hanya sosok pengkhianat yang mempermainkan cintaku? Memanfaatkan kepercayaan milik kak Rio untuk memancingnya masuk ke dalam permainan Sammael?

“Ken juga mencintai saya?”

Dia menoleh kencang padaku. Seakan bertanya- tanya. Apakah peluru yang dilontarkan Sammael mengenai otakku dan merusaknya hingga aku menjadi bodoh seperti ini.

“Tentu saja! Memangnya apa yang selama ini kamu pikirkan, Marissa?” katanya sengit.

“Tante salah kali ini. Ken menjalin hubungan dengan saya hanya untuk membantu Sammael membalaskan dendamnya pada kak Rio, melalui saya.. Saya memang dulu mencintai Ken, tapi dia tidak pernah mencintai saya..” kataku yakin.

“Pasti Sammael yang mengatakan itu, bukan?” aku mengangguk. Mengingat saat itu Ken hanya terdiam membisu. Dan diamnya saat itu seperti kata ‘benar’ bagiku. Menanamkan kekecewaan berlebihan di hatiku.

“Ternyata kamu benar- benar lugu. Terlalu lugu hingga bisa dengan mudahnya dibodohi oleh Sammael yang bodoh itu.. Sammael tak pernah tahu isi hati Ken yang sebenarnya.. Dia benar- benar mencintai kamu, Marissa.. Amat teramat sangat mencintaimu..”

To be continue..

Posted at my boarding house, Serang City..

At 10:38 p.m

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda.. :D
Don’t be a silent reader, please..