Dia mendengar sesuatu. Tapi tak tahu apakah pendengarannya benar
atau tidak. Dia melangkahkan kakinya ke lantai atas rumah yang terlalu sepi
itu. Lebih memilih untuk memastikan secara langsung apa yang baru saja di
dengarnya daripada membiarkan hal itu begitu saja. Di bukanya pintu kamar yang
telah terlalu sering dia masuki. Dan dia kaget saat melihat apa yang ada di
hadapannya.
“Kakak! Kakak mau kemana?” tanyanya pada lelaki yang sekarang
tengah beringsut di lantai.
Lelaki itu tidak menjawab pertanyaan gadis yang saat ini
tengah memandang khawatir di sebelahnya. Tangannya hanya menunjuk ke depan.
“Kak, kalau masih lemes, panggil aku atau siapa kek gitu..
Keadaan kakak kan masih belum pulih..”
“Tapi aku Cuma mau ke kamar mandi dan jaraknya deket. Nggak
ada tiga meter juga udah sampe. Lagian aku bisa sendiri ke sana. Pasti bisa.”
“Yakin? Lalu sekarang kenapa kakak masih ada di sini? Kenapa
kakak nggak pergi ke kamar mandi aja dari tadi? Itu tandanya kakak masih belum
bisa ke sana sendiri.. Jangan terlalu memaksakan diri deh, kak..” kata gadis
itu sedikit kesal. Lelaki yang ada di hadapannya menatap gadis itu dengan sorot
yang tak terbaca.
“Kamu lebih baik pulang sekarang.” Katanya pelan.
“Pulang? Kakak lupa kalau aku akan nginep di sini nemenin
kakak?”
“Aku nggak lupa. Tapi aku rasa kamu udah cape ngurusin aku
dari tadi.”
“Kak-“
“Nita.. Kamu pulang sekarang. Aku nggak mau jadi beban kamu
terus.” Katanya sambil mencoba bangkit. Dia berjalan pelan dengan sedikit
terhuyung ke arah pintu kamarnya dan membukanya lebar- lebar. Seakan mempersilahkan
Nita untuk keluar dari sana. Nita yang melihat hal itu hanya bisa menatap Billy
tak percaya.
“Kak, kakak nggak pernah jadi beban buat aku.. Aku.. Aku
minta maaf kalau ada kata- kata aku yang salah.. Kakak jangan marah..” Billy
tak menjawab, membuang napas panjang. Hanya berjalan perlahan menuju Nita.
Mencengkram lembut kedua bahu Nita. Memintanya untuk berdiri.
Kemudian menenggelamkan Nita dalam pelukannya.
“Aku nggak marah..”
“Terus kenapa kakak minta aku buat pulang?” katanya sambil
mendongakkan kepalanya. Menatap lekat- lekat ke cerminan hati milik Billy.
“Aku nggak mau kamu kecapean dan akhirnya sakit gara- gara
ngurusin aku yang lagi sakit. Masa dua- duanya sakit.” Katanya lembut.
“Kalau gitu bagus dong..” Billy mengangkat sebelah alisnya.
Sedikit bingung pada perkataan Nita tadi. Sejak kapan sakit dibilang sesuatu
yang bagus?
“Itu tandanya kita sehati.. Sampe sakit aja bareng..
Hahaha..”
“Dih, sejak kapan sakit bareng dibilang sehati? Kamu ngarang
aja nih..” kata Billy sambil menjawil kecil hidung Nita.
“Sejak aku bilang begitu..”
“Iya aja deh.. Pulang sana.. Takut kemaleman..”
“Nggak mau..”
“Kenapa? Nggak ada yang nganterin? Kan ada pak Pono..” Nita
menggeleng menjawabnya. Masih dalam pelukan Billy yang membuatnya nyaman dan
tak menyisakan jarak yang berarti pada tubuh mereka berdua.
“Terus?”
“Aku sendirian di rumah.. Mama sama Papa lagi nginep di rumah
Opa..”
“Jadi aku nginep di sini aja ya..” - “Kamu nginep di sini
aja.” kata mereka berbarengan.
“Ahihihi.. Kita ngomongnya barengan.. Kita emang sehati,
kak..” kata Nita sambil meletakkan kepalanya di dada Billy. Balas memeluk tubuh
Billy.
“Iya iya, kita sehati.. Yaudah, tidur sana..” katanya sambil
melepaskan pelukannya.
“Oke!” jawab Nita sambil hormat. Seperti tengah menjawab
perintah komandannya saja.
Billy bergerak menuju kamar mandi. Langkahnya terhenti saat
ada yang menarik baju bagian belakangnya. Dia membalikkan badannya. Hendak
menanyakan kenapa Nita menarik- narik bajunya. Kemudian dia terdiam.
Wajahnya menghangat. Terlebih dengan adanya kedua tangan yang
menangkup pipinya dengan lembut. Nita memberikan Billy sebuah ciuman singkat
yang manis tepat di bibir Billy. Membuat Billy tak kuasa mengendalikan ekspresi
wajahnya agar tak membelalak kaget.
Tak terhitung sudah berapa kali kecupan manis mereka lewati
sejak mereka resmi menjadi sepasang kekasih. Tapi wajah Billy tetap saja sama
saat menerima ciuman dari Nita. Matanya tetap saja membulat karena kaget.
Membuat Nita gemas saat melihatnya seperti itu.
“Hei, aku lagi flu.. Jangan cium- cium dulu.. Kalau kamu
ketularan gimana?” keluh Billy sambil melepaskan tangkupan tangan Nita di
pipinya.
“Abisnya aku suka ngeliat muka kakak kalau abis aku cium..
Ngegemesin.. Hahaha..” jawabnya sambil berlari keluar kamar Billy. Billy hanya
geleng- geleng kepala melihat kelakuan gadisnya. Kadang dia bisa bersikap
dewasa dan keibuan. Tapi kadang dia juga bisa bersikap kekanakkan seperti itu.
Dan sampai sekarang dia masih tidak bisa menemukan apa
alasannya jatuh cinta pada Nita. Padahal mereka berdua begitu berbeda. Billy
begitu diam dan datar. Seperti tanpa emosi. Dan Nita orangnya sedikit blak-
blakkan. Terlalu ekspresif. Too
different.
Dia tak lama ada di dalam kamar mandi. Ingin segera kembali
beristirahat meski seharian tadi dia sudah tertidur lelap. Mungkin ini karena
pengaruh obat yang dia konsumsi.
Saat keluar dari kamar mandi, dia melihat Nita yang tengah
duduk di samping ranjangnya. Wajahnya terlihat sedikit gelisah.
“Kamu kenapa?” tanyanya.
“Kak, aku.. Emm.. Aku..”
“Aku apa?”
“Aku.. Ehm.. Aku boleh tidur sama kakak di sini?”
“Hah?” Billy kaget mendengarnya. Kenapa Nita ingin tidur
dengannya?
“Kenapa emang? Kamu nggak suka tidur di kamar tamu? Kalau
gitu aku aja yang tidur di kamar tamu, kamu tidur di kamar aku. Gimana?” Nita
menggeleng.
“Kenapa emang? Kamu nggak betah tidur di sini? Apa kita semua
tidur di rumah kamu aja?” Nita kembali menjawabnya dengan gelengan kepala.
Membuat Billy benar- benar bingung apa yang harus dia lakukan agar semua
kegelisahan itu lenyap dari wajah gadisnya.
“Terus kenapa? Bilang sama aku, Nit..” katanya sambil
menggenggam tangan Nita.
“Kamar- kamar di rumah kakak terlalu besar. Aku nggak biasa..
Aku nggak nyaman tidur di kamar yang kelewat luas sendirian..” katanya sambil
menunduk.
“Loh, kenapa nggak minta temenin sama mbok Nah?”
“Mbok Nah udah tidur duluan di kamarnya.. Aku takut jalan ke
paviliunnya.. Sepi banget..” Nita menundukkan kepalanya makin dalam.
“Yaudah, kamu tidur di sini aja..”
“Makasih, kak..” katanya sambil bangkit dari duduknya.
Berjalan menuju pojok ruangan.
“Loh, kamu mau kemana?”
“Tidur..” jawab Nita cepat.
“Kan kasurnya ada di sini..”
“Kan kakak yang tidur di kasur.. Aku tidur di sofa aja..”
“Nggak nggak nggak.. Aku nggak akan ngijinin kamu tidur di
sana.. Tidur di sofa itu nggak nyaman, Nita.. Tidur di sini aja..”
“Terus kakak tidur di mana? Tidur di sofa? Kan kakak lagi
sakit..”
“Aku ya tidur di sini juga.” Jawab Billy sambil menepuk-
nepuk ranjang yang sejak tadi masih dia duduki. Nita yang mendengarnya
terkesiap. Billy yang melihat hal itu langsung bisa mengerti apa yang ada di
pikiran Nita.
Dia berjalan ke arah Nita. Meraih tangannya, dan mengajaknya
untuk kembali duduk di ranjang. Dia tak melepaskan tangannya, masih tetap
menggenggam kedua tangan Nita. Matanya tak pernah lekang memandangi tiap lekuk wajah
Nita.
“Nita, aku nggak akan berbuat yang macem- macem sama kamu..
Ada tiga alasan yang bikin aku nggak mau ngelakuin hal itu. Pertama karena itu
benar- benar penting dan berharga buat seorang wanita. Kedua karena melakukan
itu tannpa ikatan pernikahan adalah dosa. Ketiga, karena aku mencintai kamu.
Aku nggak mau ngerusak kamu begitu aja..” Nita tak kuasa menahan matanya agar
tak membalas tatapan Billy yang terlalu intens.
“I may have stolen a
kiss or two. But I can’t take ‘that’ from you.. Keep my words.. You have my
oath..” lanjutnya. Nita tersenyum mendengarnya. Menerima pernyataan yang
Billy buat untuknya. Membuat sedikit keraguan yang sempat tumbuh dalam dadanya
menghilang seketika.
Mereka berbaring bersama. Saling berhadapan. Menatap wajah
yang ada di depannya. Menikmati pahatan hasil cipta yang Maha indah, yang telah
berbaik hati membagikan keindahanNya pada makhluk di hadapan mereka.
“Nit?”
“Hmmh?”
“Kenapa kamu waktu di rumah sakit mau- mau aja tidur di
ranjang sama aku?” Nita tersenyum geli saat mendengar pertanyaan Billy.
“Kan waktu itu kita di rumah sakit. Aku yakin kakak nggak
akan bisa macem- macem di sana. Lagian juga waktu itu kan kakak abis di
operasi. Makin nggak mungkin aja. Tadi juga sebenernya aku percaya kakak nggak
akan ngelakuin hal yang macem- macem. Tapi..”
“Tapi apa?” sebelah tangan Billy menyelipkan sejumput rambut
Nita yang tercecer di pipi Nita ke belakang telinganya.
“Aku iseng aja..” seringai jahil milik Nita menghiasi
bibirnya.
“Dasar kamu.. Tidur, udah malem.. Have a nice dream..” katanya
sambil mengecup dahi Nita. Dalam hati dia berdoa. Semoga Nita memiliki daya
tahan tubuh yang baik hingga takkan tertular flu darinya.
**********
Aku telah bangun sejak adzan subuh berkumandang. Dan saat aku
membuka pintu yang membatasi balkon dan kamarku, aku bisa melihat kak Hamid
yang tengah terduduk di bawah pohon mangga di halaman belakang.
Aku turun dan berjalan menuju halaman belakang. Membawakan
selimut tipis yang bisa menghalau angin pagi yang masih terlalu dingin.
“Pagi, kak..” kataku sambil menyelimuti tubuhnya dengan
selimut tipis yang tadi kubawa.
“Pagi, Ri..”
“Lagi ngapain?”
“Nggak ngapa- ngapain.. Cuma lagi merenung aja.”
“Merenung?”
“Iya, mikirin semua hal yang pernah gue lewatin selama ini.
Setelah gue inget- inget lagi, hidup gue itu terlalu berwarna. Dari yang paling
suram waktu gue masih jadi ehm, kau tahu apa.. Sampai gue ketemu kalian semua. Dan
gue bener- bener ngerasa beruntung ketemu kalian semua pas gue hidup.”
“Gue juga bersyukur kak Rio milihin lu buat ngelindungin gue
waktu itu..” kak Hamid menolehkan pandangannya ke arahku.
“Kalau yang waktu itu dipilih bukan lu, mungkin sampai
sekarang gue masih bingung kemana harus minta bikinin alat pemancar darurat
yang susah banget dibikinnya itu. Dan lagi, kalau orang lain yang dipilih kak
Rio, mungkin gue nggak akan bisa seenak jidat minta dia buat ngegantiin gue di
kantor kalau gue lagi sibuk kuliah.. Plus dia belum tentu bisa ngajarin gue
banyak ilmu bela diri kayak lu.. Lagian chemistrynya
pasti beda juga..”
“Hahahaha.. Gue juga bisa ngelakuin semua itu karena Rio dan
yang lain terus ngebantuin gue.. Kalau nggak, mungkin gue masih tinggal dengan
mengenaskan di jalan.” Jawabnya. Kemudian hening mengisi sisa waktu yang kami
lewati.
Aku kembali berpikir. Hidupku benar- benar penuh dengan
kebetulan. Hingga aku merasa hidupku seperti sudah di atur oleh seseorang. Aku
merasa terlalu beruntung hidup dalam keadaan yang seperti ini.
Beruntung tidak pernah akan sendirian setelah kehilangan
orang tua karena kak Rio datang mengajakku masuk ke dalam keluarga yang baik
ini. Kemudian aku mengenal kak Fred, kak Billy, kak Darrel, kak Darren karena
kak Rio. Kak Rio juga yang mengenalkan aku dengan kak Hamid.
Semua kebaikan dan keberuntungan yang aku dapatkan, seperti
berasal dari kak Rio. Karena kebaikan hatinya, aku merasa terlindungi meski
kini dia tak lagi di sini. Aku juga ingin seperti dirinya. Yang baik hati dan
budiman.
“Lu kangen Rio?” aku mengangguk dan tersenyum.
“Gue juga kangen sama dia.” Kemudian kembali hening.
“Lu ngerasa sedih saat ini?” tanyaku saat melihat wajahnya
yang tersaput mendung.
“Pasti. Tiap menyadari kalau gue dan Mama cuma bisa ketemu
sebentar sebelum dia meninggal, gue masih ngerasa sedih. Bahkan tangannya yang
hangat, yang kemarin untuk terakhir kalinya gue genggam, masih kerasa sampai
sekrang.. Tapi gue percaya, dia udah bahagia di sana.. Mungkin sekarang dia
lagi ngobrol- ngobrol sama Rio, ngegosipin kita, sambil ngeliatin apa yang kita
lakuin di sini..” katanya sambil menatap langit yang terbakar matahari.
“Satu yang harus gue lakuin sekarang. Hidup bahagia. Lu
juga.” Sebelah tangannya hinggap di puncak kepalaku. Ya, aku harus berusaha
untuk hidup bahagia. Aku juga harus bisa membuat semua orang yang ada di
sekitarku bahagia. Seperti yang selalu dilakukan kak Rio. membahagiakan orang-
orang di sekitarnya.
**********
Aula kampus kembali ramai. Anak- anak orchestra akan latihan.
Semuanya sudah tahu lagu apa yang akan mereka bawakan nanti saat babak
penyisihan melawan Universitas Pancasila. ‘Dream’.
Lagu yang di usulkan Fred. Karena tema lomba yang bebas,
mereka bisa sesuka hati memilih lagu yang hendak mereka bawakan nanti. Fred
juga yang mengaransemen lagu itu hingga bisa dibawakan oleh orchestra dari
kampusnya.
Saat mereka akan mulai latihan, tiba- tiba saja pintu ruang
aula terbuka. Membuat perhatian semua anak- anak orchestra beralih pada orang
yang membuka pintu itu.
“Alex!” seru salah satu dari mereka.
“Kakak..” Riri berjalan menghampiri Alex yang masih berdiri
di ambang pintu.
Dua minggu yang lalu dia telah keluar dari rumah sakit. Dan
sekarang tubuhnya sudah lebih baik daripada sebelumnya. Meski sampai sekarang
dia masih harus menjalani fisio-terapi untuk memperbaiki koordinasi tubuhnya
yang sempat kacau setelah koma dua bulan.
“Kakak ngapain ke sini?”
“Aku kangen ngeliat anak- anak main. Ngeliat kamu main. Aku
juga kangen sama kamu.” Katanya sambil memeluk erat Riri.
“Ya ampun, kak.. Yaudah, kakak duduk di bangku penonton aja
ya..” Riri berjalan sambil sedikit menggandeng tangan Alex. Dan Fred membuang
pandangannya dari dua insan itu. Tetap merasa sakit meski hatinya telah dia
rendam dalam cairan anastesi.
Fred mengambil baton yang biasa digunakan oleh conductor. Bersiap memimpin orchestra.
Dia mengambil napas panjang. Dan mulai mengayunkan baton yang ada dalam genggamannya.
Suara gesekan biola segera mengudara. Membuka simfoni yang
akan Sepertinya takkan jauh dari nada minor. Dilanjutkan dengan keluarganya,
cello, yang juga memperdengarkan nada minor yang berat dan dalam. Tak
ketinggalan dengan saxophone yang terdengar begitu rendah.
Alex mengrenyit heran. Dia tidak bisa menebak apa emosi yang
berusaha dikeluarkan oleh lagu itu. Dia hanya bisa menangkap gesekkan biola
yang terasa berat. Cello yang seakan sulit untuk bergerak dari nada minor.
Selanjutnya, dia tak tahu apa- apa.
Tidak bisasanya dia begini. Apakah telinganya belum terbiasa
kembali mendengar dan menebak emosi yang ada di dalam tiap lagu? Kalau ya, berarti
dia harus kembali berlatih agar tak terlalu jauh tertinggal.
Dia bertepuk tangan sesaat setelah lagu itu selesai
dimainkan. Kemudian dia beranjak menghampiri anak- anak orchestra. Ingin
menyampaikan sesuatu.
“Giamana Lex permainan kita?” tanya salah seorang dari
mereka.
“Gue nggak tahu harus ngomong apa.” Katanya dengan wajah
serius. Membuat yang mendengarnya juga kehilangan senyum di wajah mereka.
“Kenapa begitu?”
“Gue nggak tahu maksud dari lagu itu apa. Gue nggak bisa
ngerasain emosinya. Gue Cuma bisa ngedengerin teknik- teknik kalian mainin alat
musik masing- masing. Ngedenger patahan- patahan nada yang jelas, ngedenger
tempo yang konstan. Selebihnya, gue nggak tahu.“ Mereka semua terdiam
mendengarnya. Hanya Fred saja yang masih sibuk dengan mp3 playernya. Memutar
lagu yang baru saja mereka mainkan. Menyumpal telinganya. Membiarkan hatinya
kembali sakit karena pengaruh lagu itu.
“Gue harap kalian bisa main lebih baik lagi di babak
penyisihan besok. Gue akan nonton di barisan paling depan.” Kata Alex.
“Oke, kita janji akan main dengan maksimal besok.. Sekarang
kakak pulang ya.. Kakak pasti capek abis fisio-terapi tadi. Iya kan? Ayo aku
anter..” kata Riri sambil menenteng kotak saxophonenya.
“Gue pulang duluan ya.. Jangan lupa, besok gue dateng ke
sana. Main yang bagus, oke?!” pamit Alex pada yang lain.
Tanpa terduga Alex mengambil kotak saxophone Riri. Riri kaget
dan berniat untuk mengambil kotak saxophonennya
yang cukup berat. Alex segera menjauhkan kotak saxophone itu dari jangkauan
tangan Riri.
“Aku aja yang bawa.” Katanya.
“Tapi-“
“Ssst.. Aku kan laki- laki..”
“Lalu?”
“Lalu nggak kenapa- kenapa.. Lagian apa kamu nggak berat kalau
harus bawa ini juga?” katanya sambil melingkarkan sebelah tangannya di pinggang
Riri. Membuat jarak menghilang di samping mereka. Mulai berjalan meninggalkan
kumpulan kepala anak- anak orchestra di belakang mereka.
“Hah? Aku kan nggak bawa apa-apa lagi selain saxophone aku..”
“Kamu lupa? Kamu kan juga bawa cinta aku. Cinta aku ke kamu
kan besar banget. Pasti berat.”
“Kakaaak.. Sejak kapan dirimu jadi gombal begini?”
“Sejak aku jatuh cinta sama kamu.” Bisiknya di telinga Riri.
Riri tak bisa menjawab lagi. Dia hanya bisa mengeratkan
genggaman tangannya di tangan Alex yang kini merekat di pinggangnya. Dan
mengeluarkan senyumnya yang manis.
Sementara tak jauh di belakangnya, Fred menatap mereka dengan
penuh luka. Hanya bisa membiarkan pemandangan di hadapannya menyakitinya lagi
dan lagi. Membiarkan kata- kata rayuan milik Alex merobek hatinya sekali lagi.
“Sampai kapan kakak sanggup melihat hal itu terjadi? Sampai
kapan kakak mampu bertahan membiarkan hati kakak berdarah- darah tiap melihat
mereka?”
Fred tak menjawab. Hanya menatap punggung Riri yang kian lama
kian menjauh dan menghilang.
“Kapan kakak akan memberitahu dia yang sebenarnya? Kapan
kakak akan mengungkapkan semuanya sama Riri?” Fred lagi- lagi tak menjawabnya.
Dia malah pergi meninggalkan ruang aula. Menghadapi dunia luar dengan wajah
mendung.
‘My ice man, sampai
kapan kamu terus seperti ini? berapa lama lagi aku harus menunggu agar bisa
nampak jelas di hadapanmu?’
**********
That I may not dream,or
better yet. So that my breath stop, you should taken me. Why you make me stay
here beside you? I hade no dreams, that was the only way I could live. For I
dream, if I love. I know it will that much harder.
Little by little, I
grow tired with the familiar pain. Stepping on my shhoulders so that I fall.
The world tells me not to dream. That there is no hope for you and me. Nor is
love allowed between us.
I want you, my desire
grows. I, too, want to be happy. Doesn’t matter how much I try to quit, my eyes
keep lingering on you. Continuing dreaming.
**********
Tempat penyelenggaraan lomba sudah ramai. Rombongan kedua Universitas,
penonton yang berasal dari berbagai kalangan dan dewan juri juga sudah tiba di
tempat. Yang pertama kali tampil adalah Universitas Letkol Sugiyono, kampus
Riri. Dengan pakaian serba hitam mereka naik ke panggung.
“Kita harus tampil baik kali ini. Jangan sampai bikin malu
kampus kita. Semangat!” kata salah satu dari mereka.
Dari bangku penonton paling depan, Alex melambaikan tangannya
ke arah Riri. Memberikan semangat. Begitu juga Nino –yang menyempatkan dirinya
untuk pergi dari rumah sakit, meminta izin untuk menonton penampilan adiknya-,
Hamid, Nita dan Nate.
Fred mengambil napas panjang. Mengubah mood hatinya tanpa
kesulitan yang berarti. Hanya dengan melihat wajah yang Riri perlihatkan untuk
Alex saja sudah bisa menjungkir balikkan perasaannya sedemikian rupa.
Nada- nada mulai mengalun. Gesekkan biola yang terdengar
lebih menyayat daripada saat mereka latihan kemarin. Dan cello mengeluarkan
nada minor yang lebih pedih dari yang sudah- sudah.
Alex yang mendengarnya sudah tahu apa maksud dari lagu ini. Lagu
yang seolah- olah menggambarkan perasaan
orang yang cinta sendiri. Yang ingin bahagia, namun tak bisa karena tak
memiliki cinta berbalas.
Dia melihat baton dalam genggaman Fred bergerak dengan putus
asa. Ini benar- benar diluar dugaannya. Emosi di sini terlalu gamblang.
Membuatnya tersiksa karena harus mendengar semuanya. Memang dia yang meminta
mereka untuk bermain lebih baik lagi hari ini. Tapi ini, ini terlalu
jelas. Membuat dadanya berdenyut karena
sakit.
Penonton langsung bertepuk tangan sesaat setelah highlight dari hasil arransemen Fred
mengalun. Nada tinggi melengking yang benar- benar terdengar menyedihkan Tapi
tetap terdengar begitu indah. Gemuruhnya terus saja terdengar, mengiringi sisa
lagu hingga akhir. Dan tak berhenti sampai di sana. Bahkan sampai mereka turun
dari panggung, suara tepuk tangan masih saja terdengar, disertai dengan suara
sorak sorai yang ramai.
Riri dan kawan- kawan menonton dengan tenang saat melihat
penampilan dari rivalnya di perlombaan ini. Mereka membawakan ‘Tango in Ebony’. Terdengar mendayu- dayu
karena nada- nada latin yang terkandung di dalamnya. Seperti memberikan penawar
pada luka yang dihasilkan dari ‘Dream’
yang tadi Riri dan kawan- kawan bawakan.
Memang peserta lomba kali ini tidaklah banyak. Tapi karena keduanya
sama- sama memainkan lagu yang mereka bawakan dengan baik, hal itu membuat juri
sedikit bingung mengenai siapa yang berhak untuk melaju ke babak selanjutnya.
Sembari menunggu dewan juri menganalisis penampilan mereka,
pembawa acara mempersilahkan pada kedua peserta untuk tampil lagi. Menghibur
penonton yang hadir. Tak harus semuanya.
“Kalau ada yang mau melakukan solo juga boleh.” Begitu kata
pembawa acara.
Beberapa orang yang berasal dari Universitas Pancasila naik
ke atas panggung. Memainkan ‘Accidentally in Love’. Sebuah lagu ceria yang benar- benar di tujukan untuk menghapus
segala kesedihan yang dihasilkan oleh Riri dan kawan- kawan tadi. Benar- benar
jenaka nada- nadanya. Membuat semuanya tersenyum geli sendiri saat
mendengarnya. Terlebih saat melihat penampilnya yang bergoyang tak keruan.
Sungguh konyol.
“Itu kenapa mereka goyang kayak cacing kepanasan begitu?
Hahahaha..” kata Nita disela tawanya.
“Aduh aduh.. Gambarnya goyang deh.. Ahahahaha.. Mereka konyol
banget..” kata Nate sambil berusaha menyeimbangkan kamera dalam genggamannya
agar tak terus bergoyang karena tawa.
“Oke, tadi kita sudah melihat penampilan dari Universitas
Pancasila.. Gimana? Mau lagi yang lain? Sekarang kita sambut penampilan dari Universitas
Letkol Sugiyono..”
Dan Riri kaget saat melihat siapa yang ada di atas panggung.
Alex!
“Ya, saya Alexander dari Universitas Letkol Sugiyono. Lagu
ini saya persembahkan untuk wanita cantik di atas sana. Wanita yang tetap ada
di sisi saya meski saya telah menyakitinya berkali- kali. Dan saya tidak akan
tahu apa yang akan terjadi pada saya jika saja dia menjauh karena terlalu
sering saya sakiti.. It’s for you..”
Gitar mulai beresonansi halus. Membelai pendengaran semua
orang. Suasana seketika sunyi. Membiarkan suara gitar berkuasa atas pendengaran
mereka sepenuhnya. Bukan Alex yang memainkan musik itu. Pertama karena dia
masih belum bisa memainkan alat musik seperti biasa. Jemarinya masih sedikit
kaku. Kedua, karena dia tidak bisa memainkan alat musik lain selain saxophone.
Dan tebak siapa yang memainkan gitarnya.
Fred!
“Without you, there’d
be no sun in my sky. There would be no love in my life. There’d be no world
left for me.. And I, baby, I don’t know what I would do. I will lost if I lost
you. If you ever leave baby you would
take away everything real in my life..”
Suara baritone milik Alex membungkam semua suara lain yang
ingin berkomentar. Terpesona. Terlebih dengan petikan gitar Fred yang lembut
tapi tegas.
Lalu tiba- tiba saja suara gitar klasik tertutupi oleh gitar
listrik. Tempo yang mendayu- dayu telah berubah cepat. Terdengar juga suara
tabuhan drum dan yang lainnya.
“Percaya apapun yang
akan terjadi nanti, kau tetap pesona rahasia di lagu ini. Tak peduli berapakah
berat badanmu nanti. Kau tetap yang ter-muaah di hati. Ku akui ku tak hanya
hinggap di satu hati. Kutakuti ku terlalu liar tuk di miliki. Walau begitu
semua hanya persinggahan ego-ku. Dan sikapmu tlah merobohkan aku.”
Kepala semua yang mendengarnya mengangguk- angguk. Seiring
dengan hentakan tabuhan drum. Pada akhirnya bisa mendengarkan lagu- lagu yang
bertempo cepat dan ceria dari permainan orang- orang Universitas Letkol
Sugiyono. Karena biasanya, mereka hanya memainkan nada- nada yang serius dan
mendayu.
“Aku goreskan lirik
sederhana untuk dirimu yang sungguh mempesona. Memahamiku dan mencintaiku apa
adanya. Apa adanya…”
Kali ini giliran Fred yang memetik gitar dan menyanyi secara
solo. Lagi- lagi lagu yang pelan. Mendayu. ‘You’.
Semuanya mengangkat tangan dan mulai bergerak ke kanan dan ke kiri. Menikmati
tiap petikan gitar milik Fred. Juga menikmati suaranya yang tak kalah indah
dari milik Alex. Terdengar berbeda dari milik kebanyakan lelaki. Unik.
“Ya, beri tepuk tangan yang meriah untuk penampilan yang baru
saja kita saksikan.. Gimana? Bagus- bagus kan mereka? Itu juga yang membuat
dewan juri bingung sendiri menentukan siapa pemenang dari lomba kali ini..”
“Tapi tenang aja.. Sekarang, pemenangnya udah diputuskan
kok.. Benar begitu Pak ketua dewan juri?” tanya pembawa acara pada lelaki
berambut putih di sebelahnya.
“Benar sekali. Memang sebuah keputusan sulit untuk menentukan
siapa yang menjadi pemenang kali ini. Tapi di tiap perlombaan pasti harus ada
yang menang dan yang kalah bukan? Kalau tidak begitu, namanya bukan
perlombaan.. Tapi pada dasarnya, semua peserta yang telah bisa melangkah hingga
sejauh ini adalah pemenang.”
“Dan yang akan melangkah ke babak selanjutnya adalah…. UNIVERSITAS
LETKOL SUGIYONO!! Selamat kepada pemenang, dan jangan merasa puas diri dulu..
Masih ada lawan- lawan tangguh yang menanti kalian di babak selanjutnya.. So, prepare yourself.. Buat yang belum
menang kali ini, jangan berkecil hati.. Kalian sudah hebat lho.. Bisa
menyingkirkan puluhan peserta dari seluruh Indonesia.. Dan jangan berhenti
untuk terus berkarya.. Oke?!”
Riuh rendah teriakan senang terdengar menggema di dalam
ruangan. Terlebih teriakan milik pendukung Universitas Letkol Sugiyono.
Semuanya bergembira karena mereka berhasil melangkah ke babak selanjutnya.
Makin dekat pada kemenangan yang sebenarnya.
Hanya ada seorang yang tak merasakan euphoria itu. Dia malah
melangkahkan kakinya keluar ruangan dengan tangan yang tertanam nyaman di saku
celananya. Diikuti oleh sepasang kaki yang turut keluar. Merasa semuanya tak
berarti.
**********
Dia menunggu di tengah teriknya sinar matahari. Menunggu bus
yang akan membawanya pulang ke rumahnya. Hampir satu jam dia menunggu, tapi tak
juga dia dapatkan bus yang biasa lewat dekat komplek rumahnya. Bukan karena bus
itu mendadak langka. Tapi karena bus yang sedari tadi lewat penuh semua.
“Apa gue pulang naik taksi aja ya?” dia mulai bicara sendiri.
“Tapi kan agak mahal.. Daripada buat naik taksi mendingan
buat tambahan uang bulanan atau gue simpen..”
“Tapi panas gila.. Apa gue minta jemput aja ya?”
Dia menimang- nimang handphonenya. Mempertimbangkan untuk
meminta jemput pada orang tuanya. Tapi niat itu segera diurungkan. Dia baru
ingat kalau kedua orang tuanya sedang pergi menengok kakaknya yang kuliah di luar
kota. Otomatis di rumah tidak ada siapapun saat ini.
“Emang odong deh.. Di rumah kan nggak ada orang..”
‘Greep’
Ada tangan yang mengambil tas jinjing dan handphonenya
bersamaan dengan suara motor yang meraung keras. Membuatnya kaget dan akhirnya
terlambat bertindak untuk mempertahankan miliknya.
“Akh! Tolong!” teriaknya sambil berusaha berlari mengejar.
Telah terbayang apa yang akan terjadi jika saja tasnya tak
kembali. Dia tidak bisa masuk ke dalam rumahnya, tidak bisa membeli apapun
untuk mengisi perutnya selama dua hari kedepan, tidak memiliki identitas karena
KTP dan KTMnya ada di dalam dompet di dalam tas itu. Aaah! Memikirkannya saja
sudah membuatnya ketar- ketir sendiri.
Tiba- tiba saja terdengar suara langkah kaki yang berlari
kencang. Diikuti oleh kelebatan bayangan hitam yang lewat di depannya. Membuat
dia kaget untuk yang kedua kalinya. Sayup- sayup dia mendengar sesuatu saat
bayangan hitam itu berkelebatan di hadapannya.
“Tunggu di sini.”
Dan entah karena sihir apa, dia menuruti suara itu.
Menghentikan laju kakinya untuk mengejar penjambret yang membawa kabur tas dan
ponselnya. Dan sekarang dia malah menangis sendirian di tepi jalan yang sepi.
Menangisi kesialannya yang harus jadi korban jambret.
“Mamaa.. Hiks..”
Dia tahu menangis di sini takkan ada gunanya. Tapi air
matanya tak bisa dihentikan. Sifat cengeng khas wanita miliknya kembali bangkit
dan menendang keluar logikanya saat ini. Hingga yang sekarang ada di dalam
pikirannya hanyalah kekhawatiran- kekhawatiran yang membuat air matanya meleleh
makin deras.
“Hiks.. Kalau Lea nggak bisa makan gimana? Kalau Lea kena
razia KTP gimana? Mamaa.. Kalau Lea nggak bisa masuk rumah gimana?? Hueeee..”
‘Pluuk’
“Eh?” dia mendongakkan kepalanya dan mendapati tas jinjingnya
yang telah menggantung di hadapannya. Terus bergerak naik turun seirama dengan
gerakan tangan cokelat yang menggenggamnya. Diiringi deru napas yang memburu.
Lea perlahan mendongakkan kepalanya menelusuri tangan yang
memegang tas jinjingnya kali ini. Dan saat matanya tertumbuk pada wajah pemilik
tangan malaikat itu, dia hanya mampu terkesiap. Terpesona oleh ketampanan
eksotis yang dimilikinya. Keringat yang membentuk anak sungai kecil di dahinya
menjelma serupa berlian yang berkilauan. Membuatnya lupa diri, lupa pada
kekhawatiran yang tadi menghuni dadanya.
“Nih. Hhhhh..” Katanya sambil meletakkan tas jinjing kecil
milik Lea di atas pangkuannya. Lea masih tak bisa bereaksi. Hanya terus
mengarahkan pandangannya. Mengikuti lelaki tampan yang sekarang duduk di
sebelahnya.
Lelaki itu membuka jaket kulitnya. Membiarkan angin siang
yang kering menghilangkan jejak keringat di pakaiannya. Sebelah tangannya yang
bergetar, merogoh sebelah jaket kulitnya itu. Mencari- cari sesuatu masih
dengan napas yang terlalu memburu.
‘Psssh!’
“Haaahhh…”
Suara itu berasal dari sebuah tabung yang kini ada di depan
mulut lelaki itu.
“Ada hhhh.. Ada barang yang ilang nggak?” Lea tersentak dari
keterpanaannya. Dengan gelagapan dia merogoh- rogoh tas jinjingnya. Memeriksa
apakah ada yang hilang dari tasnya.
“Nggak ada.. Makasih, kak..” Sosok di sebelahnya tak
menjawab. Bahkan menganggukkan kepala pun tidak. Hanya sibuk mengatur napasnya
yang tak juga melambat lajunya.
“Kak, lu nggak kenapa- kenapa kan?” Lagi- lagi dia tidak
mendapatkan jawaban dari sosok itu. Dan yang membuatnya khawatir adalah
sekarang lelaki yang ada di sebelahnya terlihat begitu kepayahan walau hanya
untuk megendalikan laju napasnya.
Lelaki di sebelahnya menumpukan kedua lengannya pada lutunya
yang tertekuk. Memejamkan matanya. Tak lama sebelah tangannya menghampiri
dadanya. Menekannya sedemikian rupa. Dan Lea tak tahu apa yang harus dilakukan.
Bahkan bodohnya, dia masih saja terpengaruh pesona lelaki itu. Membuat otaknya
berhenti berpikir.
Cukup lama mereka duduk bersama bersebelahan di tepi jalan.
Hingga napas lelaki itu kembali normal seperti sedia kala. Dan Lea, ah, jangan
ditanya. Dia tentu saja masih terpesona oleh malaikat tampan itu. Tak ada
keraguan akan hal itu.
“Gue anter lu pulang.”
“Eh?”
“Gue akan nganterin lu pulang ke rumah.” Kata lelaki itu
sekali lagi. Tanpa menunggu jawaban Lea, dia menarik sebelah tangan Lea. Membuat
wajah Lea memerah panas.
Tangan lain dari lelaki itu menyampirkan jaket kulitnya
begitu saja ke atas bahunya. Hendak mempergunakan tangannya merogoh saku dark jeansnya. Mengambil ponsel yang
terus bergetar sejak tadi.
“Hmm.”
“Sorry gue nggak bisa ikut lunch bareng. Nggak apa- apa, kan?”
“Oke, bye..”
Setelah sampai di parkiran, lelaki itu menyodorkan helm full face pada Lea. Tak lupa dia
melepaskan jaketnya dan turut memberikannya pada Lea. Lea menerimanya dengan
perlahan. Seperti menghayati saat- saat dia menerima perhatian dari lelaki yang
telah lama merebut hatinya.
“Dimana rumah lu?”
“Cempaka putih timur 7..” jawabnya pelan.
Dan mata Lea segera membelalak tatkala merasakan tangan besar
yang menarik tangannya. Mengaitkannya untuk memeluk tubuh kekar di hadapannya.
“Pegangan. Gue nggak mau lu jatuh.” Katanya. Membuahkan
senyum bahagia di wajah Lea entah untuk yang keberapa kalinya. Dengan perlahan
dia merebahkan kepalanya ke punggung lelaki itu. Membiarkan dirinya menyerap
aroma musk yang selalu tercium dari
tubuh lelaki itu.
‘Tuhan.. Ini beneran terjadi kan? Nggak bohongan kan? Nggak
lagi mimpi kan? Ya ampun, Tuhan.. Bisakah ini semua berlangsung selamanya?’
batinnya berkata.
Bahagia. Itu sudah pasti dia rasakan saat ini. membuncah-
buncah hingga membuatnya tak bisa melepaskan senyum dari wajahnya.
Berbanding terbalik dengan sepasang mata yang menyaksikan hal
itu dari kejauhan. Merasakan kesesakkan yang teramat sangat bertumbuh terlalu
cepat dalam dadanya. Tapi tetap tak mampu membuang pandangannya dari hal itu.
Tersihir penuh tersiksa dengan cara yang tidak manusiawi.
To be continue
Posted at Gedung B,
Untirta, Serang
At 12:48 p.m
Puji Widiastuti
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasa ke atas
kertas, bercerita.
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda.. :D
Don’t be a silent
reader, please..
Kalau ada yang mau baca dari awal, sila masuk ke
pujiwidiastuti2.blogdetik.com atau kentangpedes.blogspot.com
Kalau mau baca Music in Our Life –cerita yang jadi awal
mulanya Love the Ice- Sila kunjung ke wattpad.com *Mangap lagi2 promosi* :p
How Do I Live (Alex)
Terima Kasih Bijaksana (Alex)
How Do I Live (Alex)
Terima Kasih Bijaksana (Alex)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar