Jumat, 08 Juni 2012

Love the Ice part 28


Dia terus berjalan. Tanpa bisa benar- benar merasakan tubuhnya sendiri.  Dia bahkan tidak tahu apa yang selama ini dia tuju.  Lantas kenapa dia harus terus berjalan? Kenapa dia tidak berhenti saja sekarang? Dia sudah berjalan terlalu lama. Tanpa benar- benar tahu apa yang harus dilakukannya.

Dia ingin berhenti, tapi tak tahu bagaimana caranya berhenti. Seperti zombie yang tidak bisa mengendalikan tubuhnya sendiri. Lalu apa yang harus dilakukannya sekarang?

“Kak..”

Dia mengenali suara itu.

Kapan bangun?”

Bangun? Sekarang dia sedang berjalan. Lalu kenapa ada yang menanyakan kapan dia akan bangun? Ini benar- benar membuatnya bingung.

“Apa kakak nggak kangen sama aku?”

Rindu? Jangan tanyakan hal itu padanya. Dia terlalu merindukan pemilik suara itu. Sekarang dia baru sadar. Dia sejak tadi terus berjalan di jalan yang tidak dia kenal sama sekali, menyusuri tiap belokan yang terhampar di hadapannya, hanya untuk menemukan satu. Pemilik suara itu.

“Aku udah kangen banget sama kakak.. Aku kangen ngeliat kakak main saxophone di aula kampus, kangen kakak teriak- teriak ngatur anak orchestra latihan, kangen semuanya..”

Ingin dia berteriak sekencang- kencangnya. Berteriak untuk memberitahukan betapa dia merindukan gadis itu. Tapi mulutnya terkunci. Dia ingin berteriak, memberitahukan betapa dia amat merindukan dan mencintai gadis itu. Tapi tak mampu.

Kemudian tiba- tiba saja kakinya berhenti berlari. Seiring dengan pemikiran yang meresap dalam kepalanya. Dia tidak bisa mendekati gadis itu. Dia tidak pantas untuk memiliki hati gadis itu. Dia tidak pantas. Dalam tubuhnya mengalir darah orang yang selama ini menjadi sumber segala macam musibah dan kepedihan yang menimpa gadis itu. Dia benar- benar tidak pantas untuk gadis itu.

Dia ingin bergerak menjauhi asal suara gadis itu. Tempat yang tadi sempat menjadi tujuannya. Tapi kakinya tak bisa dia kendalikan. Kakinya terus saja melangkah ke arah yang sama. Menyongsong mencari gadis itu.

‘Jangan! Jangan ke sana! Lu nggak pantes buat dia!’ batinnya menjerit.

Tangannya mengepal. Kali ini dia bisa merasakan keberadaan tangannya. Merasakan kehangatan yang nyaman di sana.

Seberkas cahaya begitu menyilaukan bersinar di depan matanya. Membuat matanya perih seperti terbakar. Sakit!

Dia bisa merasakan tubuhnya kali ini. Tapi semuanya tak bisa dia gerakkan.

‘Ini.. Apa yang terjadi?’

Hangat. Rasa hangat itu menjalar menuju wajahnya. Hangat dan nyaman.

“Kakak..” Dia tersentak. Menatap semua emosi di hadapannya yang tiba- tiba saja terlihat jelas.

“Siapa.. Hhhhh..” suaranya tak keluar. Hanya gesekan udara, belum lagi masker oksigen yang bercokol tepat di depan mulutnya membuatnya makin sulit berbicara.

“Ssssttt.. Jangan banyak bicara.. Aku panggil dokter dulu..” kata gadis itu sambil berdiri dari kursi di sebelah ranjang.

“Siapa hhhh.. Kamu siapa?”

**********

Aku terus berharap kalau apa yang baru saja aku rasakan adalah nyata. Bukan fatamorgana semata. Tangan dalam genggamanku bergerak kecil. Napasnya kemudian sedikit memburu. Wajah di hadapanku kini terlihat sedikit gelisah. Apa gerangan yang terjadi? Apakah dia kesakitan?

Hei! Matanya. Matanya menggeletar pelan. Dia bergerak! Setelah berbulan- bulan akhirnya tubuhnya bergerak sendiri meski hanya gerakan- gerakan kecil yang nyaris tak kasat mata!

Tapi apakah mataku menyatakan kebenaran? Apakah mataku tak berupaya untuk menipu hati dan perasaanku kali ini?

Aku harus memastikan semuanya. Sebelah tanganku terjulur menyentuh wajahnya. Suhunya sedikit berbeda. Atau tanganku juga membohongiku kali ini?

Kalau benar seluruh anggota tubuhku tengah berbohong padaku kali ini, maka apa yang sekarang ku lihat tidaklah nyata. Meski aku berharap bening yang saat ini terpantul dari bola matanya adalah kebenaran.

“Kakak..” kulihat matanya membulat sempurna.

Ini semuanya benar! Tubuhku tidak berkhianat padaku.

Mulutnya bergerak- gerak. Seperti ingin menyampaikan sesuatu padaku. Tapi suaranya tak juga keluar.

“Ssssttt.. Jangan banyak bicara.. Aku panggil dokter dulu..” kataku sambil menekan tombol darurat yang ada di sebelah ranjang. Merasa sangat bahagia bisa melihat wajahnya yang kini bisa kembali berekspresi setelah sekian lama terdiam membisu. Membuatku tak ingin beranjak jauh dari dirinya saat ini.

“Siapa hhhh.. Kamu siapa?”

Aku terdiam mendengarnya. Kenapa dia menanyakan hal itu? Apakah dia benar- benar melupakan aku setelah jatuh ke roof garden tempo hari? Atau dia masih saja bersandiwara untuk menutupi jati dirinya yang telah lama ku ketahui kebenarannya?

Aku segera saja melangkahkan kakiku keluar ruangan. Membiarkan dokter memeriksa keadaan kak Alex. Juga untuk memberikan waktu pada hatiku untuk bersiap menerima semua yang terjadi. Memberikan waktu pada pikiranku untuk mencerna semuanya dengan lebih baik.

Dia bertanya siapa diriku. Itu berarti dia melupakan aku. Pertanyaan yang paling krusial kali ini adalah, apakah dia lagi- lagi berbohong padaku?

Aku kembali mengingat- ingat wajahnya sesaat sebelum tersadar. Sorot mata itu. Sorot mata sebelum kesadaran nyata meresap dalam tiap inchi tubuhnya. Sorot mata yang sama dengan yang dia perlihatkan saat kami berdua ada di gedung itu.

Aku yakin dia telah mengingatku dengan jelas. Sorot mata orang yang masih belum sepenuhnya sadar adalah sorot mata yang paling jujur yang pernah ku tahu. Kali ini aku akan mempercayai hal itu.

“Keluarga pasien Alexander?” aku segera mendatangi dokter. Menanyakan keadaan kak Alex. Menanyakan apakah ada efek samping dari kejadian waktu itu.

“Alex sudah sadar. Keadaanya sudah membaik meski masih sedikit lemah. Dan tubuhnya masih belum bisa digerakkan seperti biasa karena terlalu lama diam tak bergerak. Dengan sedikit fisio-terapi juga koordinasi tubuhnya akan segera membaik.”

 “Terima kasih, dok..” kataku. Aku lalu masuk ke dalam ruang rawat kak Alex dan mendapati dirinya tengah memandang keluar jendela. Mungkin rindu untuk beraktivitas di luar ruangan.

“Aku senang kakak udah siuman..” kataku. Dia lalu menolehkan pandangannya kearahku.

“Aku nggak hhhh.. Aku nggak kenal kamu..” aku hanya bisa tersenyum mendengarnya.

“Nggak usah bohong, kak.. Aku bukan lagi orang yang bisa gampang kakak bohongin seperti waktu itu..”

**********

Dia tersentak. Apa yang baru saja dikatakan oleh gadis itu benar- benar ada di luar perkiraannya.

“Aku udah tahu semuanya, kak..”

“Tahu apa?” dia masih tak ingin menyerah mempertahankan semuanya.

“Kalau kakak selama ini Cuma berbohong.” Katanya.

“Cih. Sok tahu.” Cibirnya. Sedikit kesusahan masker oksigen yang masih saja bertengger di wajahnya. Memenjarakan oksigen untuk dirinya.

“Aku memang tahu semuanya. Jadi kakak nggak usah berusaha untuk mengatakan hal- hal tak nyata lainnya padaku.”

Dia melepaskan masker oksigennya. Ingin berbicara dengan lebih leluasa tanpa harus dibatasi geraknya oleh masker yang benar- benar menyusahkan itu.

“Aku sudah mengatakan hal yang sebenarnya. Tak ada yang aku tutup- tutupi.”

“Sudah aku bilang dari awal. Kakak nggak usah lagi berbohong. Aku sudah mengetahui semuanya. Aku tahu kalau kakak selama ini bohong..”

“Aku nggak bohong, Marissa!” tanpa diduga Riri yang mendengar hal itu tersenyum.

“Aku tahu kalau kakak nggak pernah lupa sama aku. Tahu kalau kakak adalah saudara dari Ken dan juga merupakan anak dari Sammael. Tahu kalau kakak selama ini menjauhi aku Cuma untuk melindungi aku dari kesakitan yang ditimbulkan oleh Sammael. Aku udah tahu semuanya.”

Dadanya sedikit sesak. Meronta meminta oksegen yang yang sejak tadi lupa dia kembalikan pada tempatnya lagi.

“Terserah kamu mau percaya atau tidak.” Katanya sebelum memasang kembali masker oksigen ke depan mulutnya. Dia hanya menempelkan saja masker oksigen itu tanpa mengaitkan talinya ke belekang kepalanya. Masih terasa lemah sehabis berlari meski hanya dalam pikirannya.

“Kakak sudah membuktikan semuanya. Kalau kakak masih nggak tahu, biar aku yang ngasih bukti ke kakak untuk membuktikan semua kata- kataku.” Alex hanya mengangkat sebelah alisnya. Seperti menantang Riri untuk memberikan bukti valid yang bisa mematahkan semua argumennya tadi.

“Kakak tadi manggil aku dengan Marissa. Itu berarti kakak nggak lupa sama aku.”

Dia terdiam. Benar- benar terdiam. Tak mampu menarik napas meski selang oksigen masih terus mengalirkan udara ke dalam tubuhnya. Seakan tak memiliki kuasa untuk meghisap udara yang disodorkan selang oksigen padanya. Teringat mulutnya yang tiba- tiba tidak memperhatikan detil seperti itu. Dan gadis di hadapannya, dia tak menyangka dia akan menangkap kesalahan sekecil itu.

Kemudian yang ada di antara mereka hanyalah senyap yang menggigit. Alex masih tak tahu harus berkata apa lagi. Riri masih kukuh menunggu kata yang akan diucapkan Alex.  Sementara sang waktu tak berhenti dulu menunggu mereka untuk kembali bereaksi.

Riri merasa ingin menyerah saja. Dia lelah terus meyakinkan Alex untuk berhenti berpura- pura. Dan kesunyian yang sedari tadi belum juga terkalahkan membuatnya hendak menggila. Adakah cara yang bisa dia lakukan untuk membuat Alex berhenti bersandiwara? Dia lelah terus berlenggok mematahkan tiap skenario yang di buat Alex sekarang.

“Maaf, Mama yang memberitahukan semuanya sama Riri. Dia berhak untuk tahu semuanya. Dan kamu berhak untuk bahagia..”

Alex dan Riri bersamaan menengok ke arah pintu. Mendapati Dila yang tengah menatap mereka berdua. Melayangkan pandangan permintaan maaf dan pengharapan pengertian pada kedua insan di hadapannya. Pegangan tangan Alex pada masker itu terlepas. Menyebabkan oksigen yang harusnya terpenjara di depan hidungnya burai seketika.

“Mama..”

“Mama nggak tega terus ngeliat kamu yang terus menerus tersiksa karena menjauhi Marissa.. Mama nggak tega terus mendengar Marissa yang menderita karena dilupakan sama kamu.. Kalian berdua berhak untuk berbahagia bersama.. Tanpa dihalangi apapun..”

“Maksud mama? Alex nggak ngerti..”

“Alex, berhenti berpura- pura, sayang.. Semuanya sudah kembali seperti sedia kala..”

Riri menundukkan kepalanya. Sebelah tangannya merogoh tas kecil miliknya. Mengambil sebuah buku yang tak pernah lupa dia bawa tiap pergi ke tempat ini. Kemudian dia meletakkan buku itu ke atas tangan Alex. Dia benar- benar lelah. Bahkan setelah Dila meminta Alex untuk berhenti, dia tak juga menyerah. Ini membuat Riri muak.

“Berhenti berpura- pura kalau kakak lupa sama aku..” sakit. Perasaan sakit itu tak bisa dia cegah kehadirannya.

“Mungkin kakak nggak tahu, tapi dilupakan oleh seseorang adalah hal yang sangat menyakitkan. Terlebih oleh orang yang sangat dicintai.” Lirihnya.

Riri melangkah mundur. Tak mampu menahan dirinya sebentar lagi demi mendapatkan pengakuan dari Alex kalau apa yang selama ini dia lakukan adalah kebohongan. Tak mampu menunggu pengumuman Alex untuk berhenti bersandiwara.

Kecewa. Karena Alex masih saja kukuh memerankan peran amnesianya.

“Maaf..” Riri menghentikan langkahnya sesaat setelah genggaman erat hinggap di tangannya.

“Aku nggak pernah memikirkan kalau hal itu begitu menyakitimu. Aku.. Aku begitu bodoh hingga tidak memikirkan perasaanmu..” Alex menghela napas sejenak. Menyesap oksigen yang bukan berasal dari tabung oksigen di sebelahnya.

“Aku ngerasa nggak pentes untuk ada di sisi kamu karena aku adalah anak dari Sammael. Orang yang sama dengan yang menyebabkan kematian Mario secara tidak langsung..” lanjutnya.

“Itu Sammael. Bukan Alexander. Dan aku mencintai Alexander. Bukan Sammael.” Jawab Riri.

“Aku kira kenyataan kalau aku adalah anak Sammael akan membuat kamu kembali merasakan sakit. Aku nggak mau kamu sakit lagi..” Napasnya memberat.

“Nyatanya keputusan kakak untuk tidak memberitahukan semuanya dan berpura- pura melupakan aku telah menyakitiku hingga berkali- kali lipat.” Sergah Riri. Dengan sedikit kasar dia melepaskan cengkraman Alex.

“Sakit rasanya saat aku harus ngeliat kakak menatap aku dengan pandangan yang asing dan berbeda. Kakak tahu betapa banyaknya ku menghujat Tuhan karena mengambil ingatan kakak tentang aku? Membuat aku seperti umat tak tahu diri. Semua karena kebohongan kakak!” raungnya. Meneriakkan semua kalimat yang sejak lama ingin dia teriakkan ke hadapan Alex.

“Marissa..”

“Kenapa kakak nggak bilang aja yang sebenarnya? Aku nggak akan sejahat itu menjauhi kakak karena kakak adalah anak dari Sammael. Aku nggak sejahat itu..”

“Kakak meragukan aku dalam menghadapi kenyataan yang sesungguhnya. Kakak meragukan ketulusan aku. Kakak tahu? Diragukan oleh orang yang penting dalam hidupmu itu begitu menyakitkan! Aku-“

Kata- katanya terhenti karena Alex menariknya hingga jatuh dalam dekapannya. Memeluknya erat. Tak membiarkan Riri untuk bergerak menjauh sedikitpun dari tubuhnya.

“Maaf..”

“Kakak jahat..” kata Riri, meronta ingin membebaskan diri dari penjara tangan Alex yang begitu erat.

“Maafin aku..”

“Kakak jahat..”

“Aku minta maaf, Marissa.. Maafin aku..” dia makin mengeratkan pelukannya atas Riri. Membuat Riri tak bisa membuat gerakan sekecil apapun kecuali bernapas.

Dila telah keluar dari ruangan rawat entah sejak kapan. Memberikan waktu pada kedua insan itu untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Dia sudah cukup banyak ikut campur dalam masalah itu.

“Maafin semua kebodohan aku. Maafin semua sikap aku selama ini.. Maaf kalau aku udah menyakiti kamu begitu dalam.. Maaf..” Riri tak bisa berkata apapun. Hanya mampu terisak di dada Alex yang masih terasa ringkih.

Kemudian mereka hanya terdiam. Riri yang masih terisak dalam dekapan Alex. Dan Alex yang masih meresapi Riri yang kini ada dalam pelukannya. Masih meminta maaf karena telah menyakitinya dengan pilihannya yang salah selama ini.

“Hhhkk.. Maafin aku.. Hhhhh… Maaf..”

Riri menyadari perubahan itu. Detak jantung Alex mulai meningkat kemudian melemah. Dan menurutnya itu bukanlah hal yang baik. Dia melepaskan pelukan Alex yang kini tak seerat tadi. Melihat keadaan Alex.

“Kak? Kakak kenapa?”

“Maafin aku..” Alex masih saja meracau.

Kemudian Riri menyadari apa yang membuat Alex seperti itu. Dia tidak memakai masker oksigennya!

Dengan segera dia meraih masker oksigen yang terjatuh begitu saja ke samping ranjang dan hendak memakaikannya ke wajah Alex. Dan gerakan tangannya terhenti saat tangan Alex mencegah hal itu terjadi.

“Maafin aku..” katanya sambil memandang kedalam bola mata Riri yang hitam.

“Kak..”

“Maafin aku..” Riri tahu tatapan itu. Alex takkan melakukan hal lain sebelum apapun yang menjadi keinginannya terwujud jika tatapan itu telah hadir di matanya.

“Aku udah maafin kakak.. Bahkan sebelum kakak minta maaf..” katanya. Membuahkan senyum kecil di bibir Alex.

“Makasih..” kata Alex sesaat sebelum masker oksigen membungkus erat hidung dan mulurnya. Riri hanya tersenyum menjawabnya.

“Jangan pergi..” cegah Alex saat Riri akan pergi keluar ruangan. Suaranya begitu lemah. Terlebih dengan adanya masker oksigen di wajahnya.

“Jangan tinggalin aku..”

“Aku akan ada di sini.. Selalu..”

“Janji?” Riri terdiam sebentar.

“Janji.” Alex kembali tersenyum dan memejamkan matanya. Meluluskan permintaan tubuhnya yang kembali meminta untuk beristirahat.

Sementara Riri berpikir dalam diam. Kenapa dia tak langsung menjawab pertanyaan Alex yang terakhir? Kenapa dia masih harus berpikir dulu sebelum menjawabnya? Kenapa hatinya seperti setengah hati mengikrarkan janji itu?

**********

Dia berkendara dalam sunyi. Sendirian. Memutuskan untuk pulang terlambat karena suatu hal.

Alex, tiba- tiba menjadi tak bisa lepas dari Riri. Seperti anak kecil yang tidak ingin berpisah dari ibunya. Terus saja meminta Riri untuk tinggal lebih lama lagi. Padahal Riri sudah ingin pulang untuk mengikuti prosesi pemakaman ibunya Hamid.

Akhirnya dia bisa juga pulang saat Alex kembali terlelap. Untung saja Nino bisa menjemput ayah, ibu dan Hamid. jadi Riri bisa menggunakan mobil orang tuanya untuk berkendara pulang. Kalau tidak, mungkin dia harus memanggil taksi atau naik bus untuk sampai ke rumah.

Dan dia benci jika harus naik bus. Asap rokoknya membuat dia mual tak keruan. Mending jika orang yang merokok itu sadar diri dan segera mematikan rokoknya saat melihat sekelilingnya terganggu. Kalau tidak, ih, itu benar- benar menyebalkan sekali!

‘Drrrrt’

“Halo, Bu?”

“Iya, ini udah di jalan.. Tadi nunggu kak Alexnya tidur dulu baru bisa pulang..”

“Sekarang udah di jalan Imam Bonjol..”

“Jemput kak Nino di tukang kue? Emang tadi kak Nino ke sana sama siapa?”

“Aaah.. Oke, Riri jemput kak Nino..” katanya sambil mengangguk- angguk dan memutuskan sambungan telepon.

Tak sulit menemukan dimana keberadaan Nino. Tak lebih dari sepuluh menit dia sudah menemukannya dan telah selesai memuat semua kue yang dibeli ke dalam mobil. Riri kembali mengemudi dengan tenang. Membiarkan Nino memeriksa semua kue yang dia beli. Mencocokkannya dengan list yang ada di dalam genggamannya.

Ketenangannya  mengemudi tiba- tiba saja terganggu karena jalanan yang tadinya kosong, berubah menjadi ramai dengan cara yang jangal. Benar- benar janggal. Bisa di tambahkan tidak beradab juga.

Di hadapan moncong mobilnya, tba- tiba muncul segerombolan pemuda. Dandanan yang tak berbentuk. Entah dari sekolah mana. Baik Nino maupun Riri tak mengenal seragam asal anak- anak itu. Mereka membawa- bawa segala macam benda aneh yang harusnya jarang terlihat di jalanan terbuka seperti ini.

Orang- orang yang ada di sekitar Riri segera pergi menghindari massa yang entah datang darimana. Riri dan Nino tak bisa keluar begitu saja dari sana. Tak mendapatkan kesempatan untuk keluar dari mobil. Maju terus, tak bisa. Mundur apalagi. Mentok sana- sini. Intinya adalah terjebak dalam mobil sendiri.

Rantai besi sudah mencium kaca depan beberapa kali. Menimbulkan rekahan kecil di sana. Membuat Nino menarik Riri untuk pindah ke bangku belakang.

“Astaga! Ini anak sekolahan kenapa pada barbar begini? Siapa yang ngajarin coba?! Ampun! Pada lebay banget tawurannya?! Pake ada yang bawa samurai segala!” umpat Nino panik. Sebelah tangannya berusaha melindungi Riri dari kemungkinan kaca pecah dengan memeluknya. Sementara sebelah tangannya menekan- nekan ponselnya, melaporkan hal ini pada polisi.

‘Praaaangngng’

Kaca di belakang Nino pecah. Membuat batu besar yang melubangi kaca mobil melenggang masuk dan membentur kepala Nino.

“Kak!” pekik Riri saat melihat hal itu terjadi.

Nino melihat kesempatan untuk pergi dari tempat terkutuk itu. Dengan keras dia membuka pintu mobil. Membuat pintu mobil membentur beberapa tubuh anak sekolahan yang sedang bersitegang. Membuat anak- anak itu sedikit terpental dan jatuh. Kemudian Nino menarik Riri keluar dari mobil dan hendak beranjak ke tempat yang lebih tersembuyi. Tak mempedulikan kepalanya yang seperti ingin pecah setelah terkena batu dan pecahan kaca.

‘buugh!’

***********

Aku terjatuh tanpa mendapat kesempatan untuk melepaskan cengkramanku atas Riri. Membuatnya ikut jatuh bersamaku –nyaris terlempar sebenarnya-. Sakit. Ada yang memukul tengkukku. Salah satu dari anak- anak sialan itu yang melakukannya.

‘Buugh!’

Sekali lagi benda keras mencium tubuhku. Sial! Di dekatku, Riri sedang berusaha menghindar dari segala macam kebrutalan di sekitarnya dan merangsek ke arahku.

Aku marah! Kami tidak tahu apa- apa. Lalu kenapa kami juga ikut terkena imbasnya?! Tuhan! Aku tak ingin Riri terluka! Aku tak ingin segala macam benda laknat itu menggores tubuhnya!

Aku memeluk Riri dengan segera. Membungkuk, membuat perisai untuknya. Sembari berjalan sedikit demi sedikit menuju tempat yang lebih aman.

‘Buugh!’

‘Buugh!’

‘Bugh!’

Gila! Ini sakit sekali! Aku mencium bau anyir darah. Entah milik siapa. Aku tak mau memikirkan hal itu. Aku juga tak mau berpikir kalau itu berasal dari tubuhku.

Tenagaku sudah hampir terkuras habis untuk menahan segala macam rasa sakit sialan ini. Kakiku sudah gemetar sejak tadi. Dan aku mungkin saja sudah terjatuh jika tidak ada Riri dalam pelukanku. Sekarang malah dia yang menopang tubuhku.

Sekali lagi tubuhku terkena pukulan. Dan itu luar biasa sakit. Membuatku kembali terjatuh. Aku tak bisa bangkit. Ini benar- benar sakit. Aku hanya bisa berlutut menahan segala macam rasa sakit ini sambil terus melindungi Riri yang juga tersungkur di bawah tubuhku.

You.. Little bastard.. HOW COULD YOU TO THAT TO US?!”

Riri tiba- tiba merangsek keluar dari pelukanku dan berteriak kencang. Aku tentu saja kaget. Seketika kehilangan kontrol atas tubuhku yang pada dasarnya memang sudah tak bisa lagi ku gerakkan saking saiktnya.

Riri seperti kerasukan setan. Bergerak sampai hampir tak terlihat. Terlalu cepat untuk ku ikuti dengan mataku yang penglihatannya sudah setengah buyar saat ini. Dia membuat orang- orang di sekitar kami merintih kesakitan, bertumbangan satu persatu. Dan aku hanya bisa terpaku. Duduk manis di atas aspal jalanan yang sedikit panas.

Dia menangkis balok kayu hanya dengan tangannya. Tanpa bantuan dari alat apapun. Itu membuatku takjub sekaligus ngeri. Akulah yang seharusnya melindungi dia. Lalu kenapa sekarang malah dia yang melindungiku?

Di saat seperti ini baru aku menyesal tidak menguasai ilmu bela diri sedikitpun.

Dan kemana perginya para polisi di saat- saat kritis seperti ini?! Apa polisi harus selalu datang di saat semuanya telah selesai seperti yang biasa terjadi di film- film? Sial sekali kalau sampai benar terjadi seperti itu sekarang.

“Ayo kita pergi, kak.” Katanya sambil berjalan cepat ke arahku.

Aku melihat dia berjalan tanpa memperhatikan sekelilingnya. Terlihat seseorang di belakangnya yang hendak mengayunkan rantai – rantai tajam padanya. Rantai paling mengerikan yang pernah kulihat.

“RIRI AWAS!!”

***********

“Semuanya baik- baik aja?”

“Baik. Kalau kata baik- baik saja dalam kamus lu sama artinya dengan memar di sana- sini.”

“Lu masih kesel, Ri?”

“Banget! Itu anak- anak emang pada bedebah semua. Orang tuanya udah susah- susah ngelahirin, nyekolahin biar pada beradab, eh merekanya tetep aja barbar. Cuma karena hal sepele pula  mereka pada berantem. Kalau orangtuanya tahu itu bocah- bocah bakal begitu pas gede, dari lahir mungkin udah pada di pitesin kali kepalanya.”

“Kamu kira mereka kutu?” sahut Nino dari bangku belakang.

“Abis mereka semuanya ngeselin. Riri nggak peduli sih sebenernya sama mereka. Terserah mereka mau pada ngapain kek, itu urusan mereka. Tapi kalau udah sampe nyerempet- nyerempet ke kita begini, ish! Pengen di gaplokin satu- satu rasaya. Lagian polisi- polisi itu pada kemana sih? Kenapa lama banget datengnya?! Dateng pas udah banyak korbannya. Dikit pula polisinya. Ish! Mau jadi apa itu?” rutuk Riri sambil meremas kemudi dengan kedua tangannya. Masih merasa kesal karena kejadian tadi.

Nino tiba- tiba membuka jaketnya dan meletakkannya di atas belikat Hamid. Berupaya meredam darah yang mengalir dari sana.

“Mid, yakin lu nggak mau ke rumah sakit dulu? Itu luka lu masih berdarah loh sampai sekarang..”

“Nggak usah lah, No. Diobatin di rumah aja. Buat apa ada dokter di rumah kalau luka kayak begini doang pake acara ke rumah sakit segala. Lagian juga gue yakin kalau ini Cuma gores- gores doang. Nggak akan perlu di jahit.”

Hamid datang tepat pada waktunya. Dia berhasil membuat Riri terhindar dari sabetan rantai- rantai tajam yang tadi terayun kearahnya. Sebagai gantinya, dia harus rela punggungnya berkenalan ‘manis’ dengan rantai landak itu.

Hamid langsung mengevakuasi Nino dan Riri dari ‘medan pertempuran’. Menyerahkan sisanya pada teman- temannya yang entah bagaimana caranya tiba- tiba sudah tiba dengan lengkap. Dari mulai Shark, Cheetah, Rocky sampai yang belum pernah ditemui oleh Nino dan Riri.

“Tapi-“

“Ayolah, Ri.. Bentar lagi acara tahlilan nyokap gue dimulai.. Dan please, jangan bilang ke tante ?? tentang ini.. Takut dia panik tingkat dewa.. Cukup kalian kalian aja yang bikin dia khawatir..” katanya sambil mengambil alih jaket Nino dan melipatnya rapi. Kemudian kembali meletakkannya di atas belikatnya yang terluka.

“Ah, bener.. Kalau gitu kita ke rumah lu dulu, Mid. Numpang ngompres ini bonyok. Biar nggak parah- parah banget keliatannya kayak gini..”

Sesampainya di rumah Hamid, mereka semua langsung turun dan merangsek ke rumah mungil di hadapan mereka. Nino pergi ke dapur untuk mengambil beberapa bongkah es batu dalam kulkas. Membutuhkan sesuatu yang dingin untuk meredakan memar di wajah dan bagian tubuhnya yang lain. Sedangkan Riri langsung menjerang air untuk membersihkan luka di tubuh Hamid. menggantikan tugas Nino yang sekarang sedang sibuk membenahi tubuhnya sendiri.

Hamid sendiri langsung pergi ke kamar mandi. Membersihkan tubuhnya dari segala macam kotoran. Dia tidak meringis sama sekali saat air keran yang dingin membasuh lukanya yang belum terobati sama sekali. Telah terlalu familiar dengan rasa sakit yang seperti itu.

“Kak? Sini lukanya gue bersihin..”

“Udah gue bersihin sendiri, Ri..” sahut Hamid dari dalam kamar mandi.

“Kalau gitu, sini gue obatin..” kata Riri.

“Iya, nanti dulu..”

Tak lama Hamid keluar dari kamar mandi dengan mengenakan celana jeans berpotongan pinggang rendah dan bertelanjang dada. Kemudian dia langsung duduk di ruang tamu. Duduk menghadap Nino yang tengah menjulurkan tangannya panjang- panjang untuk mencapai memar di punggungnya. Kemudian dia mengambil kompresan di tangan Nino. Membantunya untuk mengompres punggungnya.

“Lu kompres aja dahi lu. Yang di punggung biar gue aja.” Katanya.

Dan Riri hampir saja menjatuhkan baskom berisi air hangat saat melihat Hamid yang bertelanjang dada. Wajahnya memerah. Malu.

Baru kali ini dia melihat tubuh Hamid yang bertelanjang dada. Melihat otot- otot di tubuhnya yang kekar. Six-pack yang bertengger mesra di perutnya. Punggung yang besar. Terlihat seperti karang yang kokoh.

Dia segera tersadar dari pemikirannya. Dengan tangan wajah yang masih menunduk, dia berjalan menghampiri punggung Hamid. Mengusap pelan luka yang masih memerah dengan air hangat yang  baru selesai dia jerang.

“Kak, lu punya tattoo?” tanya Riri. Matanya tak bisa lepas dari sebuah lukisan burung yang tengah membentangkan kedua sayapnya di bawah tengkuk Hamid. Seekor phoenix menurut pengamatan Riri.

“Ini tattoo lama. Tattoo dulu waktu gue masih jadi ehm, jadi bodyguard muda gembong narkoba.” Jawabnya sambil menutupi tattoo itu dengan sebelah tangannya yang bebas. Riri dan Nino tak bisa mencegah keinginannya untuk menatap Hamid dalam- dalam.

“Tapi tenang aja, gue udah nggak mau lagi kerja kayak gitu sejak lama. Nyawa gue terlalu berharga buat dikorbanin ke mereka begitu aja. Toh, nyawa mereka nggak terlalu berharga juga..” sambungnya.

“Orang bilang, mereka yang telah terlalu lama hidup dalam kegelapan, pasti bisa melihat cahaya walau yang paling redup sekalipun. Dan itu benar. I can see that light. And, here I am..” Senyum merekah di wajahnya. Kecil, tapi tetap menampilkan bahagia dan damai dalam dadanya. Riri dan Nino juga tersenyum mendengarnya.

‘Drrrrrt’

Sorry..” pamit Hamid sambil melangkah menjauh dari kedua kakak beradik itu. menerima telepon di ponselnya yang bergetar. Masih dengan bertelanjang dada, berjalan menuju bagian depan rumah mungilnya.

Tak lama. Karena lima menit kemudian, Hamid telah kembali masuk dengan menenteng berkantung- kantung besar plastik putih bersama dengan Rocky dan Cheetah. Terlihat kesusahan karena ukuran kantung itu yang memang jumbo. Terlebih luka Hamid yang belum sempat dibubuhi obat oleh Riri.

“Hai, Rocky, Cheetah.. Long time no see..” sapa Riri sambil mengambil sebungkus besar dari tangan Hamid. Seperti biasa, teman- teman Hamid yang satu itu memang irit sekali dalam hal berbicara. Hanya menjawab pertanyaan yang benar- benar penting saja. Sisanya, kalau tidak di jawab dengan senyuman, dijawab dengan angin lalu.

“Cuma ini yang bisa selamet dari mobil.. Mobilnya juga udah jadi rongsok sekarang di sana..” kata Hamid.

“Oke, emang udah bener- bener keterlaluan itu anak- anak bocah. Jangan sampe deh nanti anak- anak gue kayak begitu.. Kalo sampe iya, gue pecat jadi anak nanti..” omel Riri.

“Ya ya ya.. Terserah lu aja deh..” kata Hamid sambil kembali duduk di hadapan Riri. Melanjutkan perawatan lukanya yang sempat terhenti. Tangannya juga kembali aktif mengompres memar di punggung Nino. Sementara Rocky dan Cheetah menghilang entah kemana.

“Yak! Selesai.. Pake baju sana! Nggak enak diliatnya..” kata Riri sambil membereskan kotak P3K setelah acara mengobati Hamid selesai.

“Nggak enak apa nggak mau ketagihan ngeliatin badan gue yang keren ini?” katanya sesaat setelah mengenakan kaos oblong yang sedikit kebesaran.

‘Bletaaak’

Riri melemparkan segulung plester yang belum sempat menyelinap masuk ke dalam kotak P3K ke kepala Hamid. membuat Hamid mengusap kepalanya karena terkena lemparan Riri yang tepat mengenai memar di dahinya.

“Hah! Ketagihan ngaliatin badan lu? You wish. Gue aja ogah ngeliat cowok telanjang dada lagi hari ini.. Cukup sekali aja.. Jangan sampe ada lagi-“

“Mid, pinjem baju.. Baju gue kotor..” kata Cheetah.

“Gue juga.” Sambung Rocky.

Dan Riri Cuma bisa terbelalak dengan wajah yang memerah saat menyaksikan Rocky dan Cheetah yang berdiri di dekat Hamid dengan pakaian seadanya. Sepotong celana jeans, tak ada yang lain.

Hamid dan Nino yang melihat hal itu tak bisa menahan tawanya. Melihat wajah Riri yang memerah karena lagi- lagi melihat lelaki topless di hadapannya. Sementara Rocky dan Cheetah haya diam tak mengerti. Menahan dingin setelah selesai membersihkan tubuhnya di dua kamar mandi rumah Hamid, belum mendapatkan pakaian bersih karena pemilik rumahya masih sibuk tertawa terbahak- bahak.

**********

Dia melihat ke jendela yang ada di samping tempat tidurnya. Menatap dengan jelas malam yang makin menghitam. Menikmati kesendirian yang tersaji di sekitarnya. Bahkan jangkrik pun ikut terdiam. Menghadirkan sunyi yang benar- benar tak membuatnya nyaman.

Dia bangkit. Untuk kali pertama dalam hidupnya, dia merasa ini adalah hal yang cukup sulit dilakukan.

Jemari kakinya kembali bersentuhan dengan lantai kamar yang dingin menggigit. Lututnya bergetar menahan bobot tubuhnya. Melangkah sedikit, dan langkahnya goyah hebat.

Dia menghela napas sejenak. Menghimpun energi dan kemantapan hati. Sugesti untuk tubuhnya yang masih tak bisa terkendali dengan baik. Padahal belum lama dia begini, tapi semuanya sudah membuatnya bosan setengah mati.

Perlahan dia melepaskan pegangannya pada ranjang. Menyadari kalau dia harus bisa melepaskan ranjangnya untuk bisa terus melangkah ke depan. Lagi- lagi tubuhnya goyah. Tak mantap menjejak tanah. Membuatnya harus terhenti sejenak untuk mengembalikan keseimbangannya.

‘Gue pasti bisa.. Ini bukan jarak yang jauh!’ batinnya.

Dia kembali melangkah. Terasa lebih berat dari sebelumnya. Membuatnya merentangkan tangannya jauh- jauh. Berharap gerakannya bisa seimbang.

Tapi tubuhnya memang belum siap menjalani semuanya. Lututnya bergetar hebat. Lebih hebat dari yang tadi. Dan lemas dengan tiba- tiba.

‘bruuk’

Dia mencoba kembali bangkit. Dan kembali terjatuh. Tubuhnya benar- benar terlalu lemah. Dan dia benar- benar benci keadaan tubuhnya yang seperti ini.

“Sial!” pekiknya kesal.

Lalu suara pintu kamar terbuka. menampilkan sesosok wajah yang memandangnya dengan tatapan khawatir. Langkah kaki yang memburu segera terdengar ke segala penjuru ruangan.

“Kakak! Kakak mau kemana?”

Dia tak menjawabnya. Hanya mengangkat jemarinya, menunjuk ke arah depan.

To be continue..

Posted at LSA, Gedung B, Untirta, Serang

At 12:26 p.m


Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda.. :D
Don’t be a silent reader, please.. :D

Oh iya, kalau ada yang mau baca biar lebih gampang, bisa buka di kentangpedes.blogspot.com atau pujiwidiastuti2.blogdetik.com
Bisa juga buka wattpad.com kalau mau baca dari Music in Our Life, cerita awal mula Love the Ice
*promosi banget, sumpah* :P

Tidak ada komentar:

Posting Komentar