Dia
terus berjalan. Tanpa bisa benar- benar merasakan tubuhnya sendiri. Dia bahkan tidak tahu apa yang selama ini dia
tuju. Lantas kenapa dia harus terus
berjalan? Kenapa dia tidak berhenti saja sekarang? Dia sudah berjalan terlalu lama. Tanpa benar- benar tahu apa yang harus
dilakukannya.
Dia
ingin berhenti, tapi tak tahu bagaimana caranya berhenti. Seperti zombie yang
tidak bisa mengendalikan tubuhnya sendiri. Lalu apa yang harus dilakukannya
sekarang?
“Kak..”
Dia
mengenali suara itu.
“Kapan bangun?”
Bangun?
Sekarang dia sedang berjalan. Lalu kenapa ada yang menanyakan kapan dia akan
bangun? Ini benar- benar membuatnya bingung.
“Apa kakak nggak kangen sama aku?”
Rindu? Jangan tanyakan hal itu
padanya. Dia terlalu merindukan pemilik suara itu. Sekarang dia baru sadar. Dia
sejak tadi terus berjalan di jalan yang tidak dia kenal sama sekali, menyusuri
tiap belokan yang terhampar di hadapannya, hanya untuk menemukan satu. Pemilik
suara itu.
“Aku udah kangen banget sama
kakak.. Aku kangen ngeliat kakak main saxophone di aula kampus, kangen kakak
teriak- teriak ngatur anak orchestra latihan, kangen semuanya..”
Ingin dia berteriak sekencang-
kencangnya. Berteriak untuk memberitahukan betapa dia merindukan gadis itu.
Tapi mulutnya terkunci. Dia ingin berteriak, memberitahukan betapa dia amat
merindukan dan mencintai gadis itu. Tapi tak mampu.
Kemudian tiba- tiba saja kakinya
berhenti berlari. Seiring dengan pemikiran yang meresap dalam kepalanya. Dia tidak
bisa mendekati gadis itu. Dia tidak pantas untuk memiliki hati gadis itu. Dia
tidak pantas. Dalam tubuhnya mengalir darah orang yang selama ini menjadi
sumber segala macam musibah dan kepedihan yang menimpa gadis itu. Dia benar-
benar tidak pantas untuk gadis itu.
Dia ingin bergerak menjauhi asal
suara gadis itu. Tempat yang tadi sempat menjadi tujuannya. Tapi kakinya tak
bisa dia kendalikan. Kakinya terus saja melangkah ke arah yang sama.
Menyongsong mencari gadis itu.
‘Jangan! Jangan ke sana! Lu nggak pantes buat dia!’ batinnya
menjerit.
Tangannya mengepal. Kali ini dia
bisa merasakan keberadaan tangannya. Merasakan kehangatan yang nyaman di sana.
Seberkas cahaya begitu menyilaukan
bersinar di depan matanya. Membuat matanya perih seperti terbakar. Sakit!
Dia bisa merasakan tubuhnya kali
ini. Tapi semuanya tak bisa dia gerakkan.
‘Ini.. Apa yang terjadi?’
Hangat. Rasa hangat itu menjalar
menuju wajahnya. Hangat dan nyaman.
“Kakak..” Dia tersentak. Menatap
semua emosi di hadapannya yang tiba- tiba saja terlihat jelas.
“Siapa.. Hhhhh..” suaranya tak
keluar. Hanya gesekan udara, belum lagi masker oksigen yang bercokol tepat di
depan mulutnya membuatnya makin sulit berbicara.
“Ssssttt.. Jangan banyak bicara..
Aku panggil dokter dulu..” kata gadis itu sambil berdiri dari kursi di sebelah
ranjang.
“Siapa hhhh.. Kamu siapa?”
**********
Aku terus berharap kalau apa yang
baru saja aku rasakan adalah nyata. Bukan fatamorgana semata. Tangan dalam
genggamanku bergerak kecil. Napasnya kemudian sedikit memburu. Wajah di
hadapanku kini terlihat sedikit gelisah. Apa gerangan yang terjadi? Apakah dia
kesakitan?
Hei! Matanya. Matanya menggeletar
pelan. Dia bergerak! Setelah berbulan- bulan akhirnya tubuhnya bergerak sendiri
meski hanya gerakan- gerakan kecil yang nyaris tak kasat mata!
Tapi apakah mataku menyatakan
kebenaran? Apakah mataku tak berupaya untuk menipu hati dan perasaanku kali
ini?
Aku harus memastikan semuanya.
Sebelah tanganku terjulur menyentuh wajahnya. Suhunya sedikit berbeda. Atau
tanganku juga membohongiku kali ini?
Kalau benar seluruh anggota tubuhku
tengah berbohong padaku kali ini, maka apa yang sekarang ku lihat tidaklah
nyata. Meski aku berharap bening yang saat ini terpantul dari bola matanya
adalah kebenaran.
“Kakak..” kulihat matanya membulat
sempurna.
Ini semuanya benar! Tubuhku tidak
berkhianat padaku.
Mulutnya bergerak- gerak. Seperti
ingin menyampaikan sesuatu padaku. Tapi suaranya tak juga keluar.
“Ssssttt.. Jangan banyak bicara..
Aku panggil dokter dulu..” kataku sambil menekan tombol darurat yang ada di
sebelah ranjang. Merasa sangat bahagia bisa melihat wajahnya yang kini bisa
kembali berekspresi setelah sekian lama terdiam membisu. Membuatku tak ingin
beranjak jauh dari dirinya saat ini.
“Siapa hhhh.. Kamu siapa?”
Aku terdiam mendengarnya. Kenapa
dia menanyakan hal itu? Apakah dia benar- benar melupakan aku setelah jatuh ke roof garden tempo hari? Atau dia masih
saja bersandiwara untuk menutupi jati dirinya yang telah lama ku ketahui kebenarannya?
Aku segera saja melangkahkan kakiku
keluar ruangan. Membiarkan dokter memeriksa keadaan kak Alex. Juga untuk
memberikan waktu pada hatiku untuk bersiap menerima semua yang terjadi.
Memberikan waktu pada pikiranku untuk mencerna semuanya dengan lebih baik.
Dia bertanya siapa diriku. Itu
berarti dia melupakan aku. Pertanyaan yang paling krusial kali ini adalah,
apakah dia lagi- lagi berbohong padaku?
Aku kembali mengingat- ingat
wajahnya sesaat sebelum tersadar. Sorot mata itu. Sorot mata sebelum kesadaran
nyata meresap dalam tiap inchi tubuhnya. Sorot mata yang sama dengan yang dia
perlihatkan saat kami berdua ada di gedung itu.
Aku yakin dia telah mengingatku
dengan jelas. Sorot mata orang yang masih belum sepenuhnya sadar adalah sorot
mata yang paling jujur yang pernah ku tahu. Kali ini aku akan mempercayai hal
itu.
“Keluarga pasien Alexander?” aku
segera mendatangi dokter. Menanyakan keadaan kak Alex. Menanyakan apakah ada
efek samping dari kejadian waktu itu.
“Alex sudah sadar. Keadaanya sudah
membaik meski masih sedikit lemah. Dan tubuhnya masih belum bisa digerakkan
seperti biasa karena terlalu lama diam tak bergerak. Dengan sedikit
fisio-terapi juga koordinasi tubuhnya akan segera membaik.”
“Terima kasih, dok..” kataku. Aku lalu masuk
ke dalam ruang rawat kak Alex dan mendapati dirinya tengah memandang keluar
jendela. Mungkin rindu untuk beraktivitas di luar ruangan.
“Aku senang kakak udah siuman..”
kataku. Dia lalu menolehkan pandangannya kearahku.
“Aku nggak hhhh.. Aku nggak kenal
kamu..” aku hanya bisa tersenyum mendengarnya.
“Nggak usah bohong, kak.. Aku bukan
lagi orang yang bisa gampang kakak bohongin seperti waktu itu..”
**********
Dia tersentak. Apa yang baru saja
dikatakan oleh gadis itu benar- benar ada di luar perkiraannya.
“Aku udah tahu semuanya, kak..”
“Tahu apa?” dia masih tak ingin
menyerah mempertahankan semuanya.
“Kalau kakak selama ini Cuma
berbohong.” Katanya.
“Cih. Sok tahu.” Cibirnya. Sedikit
kesusahan masker oksigen yang masih saja bertengger di wajahnya. Memenjarakan oksigen
untuk dirinya.
“Aku memang tahu semuanya. Jadi
kakak nggak usah berusaha untuk mengatakan hal- hal tak nyata lainnya padaku.”
Dia melepaskan masker oksigennya.
Ingin berbicara dengan lebih leluasa tanpa harus dibatasi geraknya oleh masker
yang benar- benar menyusahkan itu.
“Aku sudah mengatakan hal yang
sebenarnya. Tak ada yang aku tutup- tutupi.”
“Sudah aku bilang dari awal. Kakak
nggak usah lagi berbohong. Aku sudah mengetahui semuanya. Aku tahu kalau kakak
selama ini bohong..”
“Aku nggak bohong, Marissa!” tanpa
diduga Riri yang mendengar hal itu tersenyum.
“Aku tahu kalau kakak nggak pernah
lupa sama aku. Tahu kalau kakak adalah saudara dari Ken dan juga merupakan anak
dari Sammael. Tahu kalau kakak selama ini menjauhi aku Cuma untuk melindungi
aku dari kesakitan yang ditimbulkan oleh Sammael. Aku udah tahu semuanya.”
Dadanya sedikit sesak. Meronta
meminta oksegen yang yang sejak tadi lupa dia kembalikan pada tempatnya lagi.
“Terserah kamu mau percaya atau
tidak.” Katanya sebelum memasang kembali masker oksigen ke depan mulutnya. Dia hanya
menempelkan saja masker oksigen itu tanpa mengaitkan talinya ke belekang
kepalanya. Masih terasa lemah sehabis berlari meski hanya dalam pikirannya.
“Kakak sudah membuktikan semuanya.
Kalau kakak masih nggak tahu, biar aku yang ngasih bukti ke kakak untuk membuktikan
semua kata- kataku.” Alex hanya mengangkat sebelah alisnya. Seperti menantang
Riri untuk memberikan bukti valid yang bisa mematahkan semua argumennya tadi.
“Kakak tadi manggil aku dengan
Marissa. Itu berarti kakak nggak lupa sama aku.”
Dia terdiam. Benar- benar terdiam.
Tak mampu menarik napas meski selang oksigen masih terus mengalirkan udara ke
dalam tubuhnya. Seakan tak memiliki kuasa untuk meghisap udara yang disodorkan
selang oksigen padanya. Teringat mulutnya yang tiba- tiba tidak memperhatikan
detil seperti itu. Dan gadis di hadapannya, dia tak menyangka dia akan
menangkap kesalahan sekecil itu.
Kemudian yang ada di antara mereka
hanyalah senyap yang menggigit. Alex masih tak tahu harus berkata apa lagi.
Riri masih kukuh menunggu kata yang akan diucapkan Alex. Sementara sang waktu tak berhenti dulu
menunggu mereka untuk kembali bereaksi.
Riri merasa ingin menyerah saja.
Dia lelah terus meyakinkan Alex untuk berhenti berpura- pura. Dan kesunyian yang
sedari tadi belum juga terkalahkan membuatnya hendak menggila. Adakah cara yang
bisa dia lakukan untuk membuat Alex berhenti bersandiwara? Dia lelah terus
berlenggok mematahkan tiap skenario yang di buat Alex sekarang.
“Maaf, Mama yang memberitahukan
semuanya sama Riri. Dia berhak untuk tahu semuanya. Dan kamu berhak untuk
bahagia..”
Alex dan Riri bersamaan menengok ke
arah pintu. Mendapati Dila yang tengah menatap mereka berdua. Melayangkan
pandangan permintaan maaf dan pengharapan pengertian pada kedua insan di
hadapannya. Pegangan tangan Alex pada masker itu terlepas. Menyebabkan oksigen
yang harusnya terpenjara di depan hidungnya burai seketika.
“Mama..”
“Mama nggak tega terus ngeliat kamu
yang terus menerus tersiksa karena menjauhi Marissa.. Mama nggak tega terus
mendengar Marissa yang menderita karena dilupakan sama kamu.. Kalian berdua
berhak untuk berbahagia bersama.. Tanpa dihalangi apapun..”
“Maksud mama? Alex nggak ngerti..”
“Alex, berhenti berpura- pura,
sayang.. Semuanya sudah kembali seperti sedia kala..”
Riri menundukkan kepalanya. Sebelah
tangannya merogoh tas kecil miliknya. Mengambil sebuah buku yang tak pernah
lupa dia bawa tiap pergi ke tempat ini. Kemudian dia meletakkan buku itu ke
atas tangan Alex. Dia benar- benar lelah. Bahkan setelah Dila meminta Alex untuk
berhenti, dia tak juga menyerah. Ini membuat Riri muak.
“Berhenti berpura- pura kalau kakak
lupa sama aku..” sakit. Perasaan sakit itu tak bisa dia cegah kehadirannya.
“Mungkin kakak nggak tahu, tapi
dilupakan oleh seseorang adalah hal yang sangat menyakitkan. Terlebih oleh
orang yang sangat dicintai.” Lirihnya.
Riri melangkah mundur. Tak mampu
menahan dirinya sebentar lagi demi mendapatkan pengakuan dari Alex kalau apa
yang selama ini dia lakukan adalah kebohongan. Tak mampu menunggu pengumuman
Alex untuk berhenti bersandiwara.
Kecewa. Karena Alex masih saja
kukuh memerankan peran amnesianya.
“Maaf..” Riri menghentikan
langkahnya sesaat setelah genggaman erat hinggap di tangannya.
“Aku nggak pernah memikirkan kalau
hal itu begitu menyakitimu. Aku.. Aku begitu bodoh hingga tidak memikirkan
perasaanmu..” Alex menghela napas sejenak. Menyesap oksigen yang bukan berasal
dari tabung oksigen di sebelahnya.
“Aku ngerasa nggak pentes untuk ada
di sisi kamu karena aku adalah anak dari Sammael. Orang yang sama dengan yang
menyebabkan kematian Mario secara tidak langsung..” lanjutnya.
“Itu Sammael. Bukan Alexander. Dan
aku mencintai Alexander. Bukan Sammael.” Jawab Riri.
“Aku kira kenyataan kalau aku
adalah anak Sammael akan membuat kamu kembali merasakan sakit. Aku nggak mau kamu
sakit lagi..” Napasnya memberat.
“Nyatanya keputusan kakak untuk
tidak memberitahukan semuanya dan berpura- pura melupakan aku telah menyakitiku
hingga berkali- kali lipat.” Sergah Riri. Dengan sedikit kasar dia melepaskan
cengkraman Alex.
“Sakit rasanya saat aku harus
ngeliat kakak menatap aku dengan pandangan yang asing dan berbeda. Kakak tahu
betapa banyaknya ku menghujat Tuhan karena mengambil ingatan kakak tentang aku?
Membuat aku seperti umat tak tahu diri. Semua karena kebohongan kakak!”
raungnya. Meneriakkan semua kalimat yang sejak lama ingin dia teriakkan ke
hadapan Alex.
“Marissa..”
“Kenapa kakak nggak bilang aja yang
sebenarnya? Aku nggak akan sejahat itu menjauhi kakak karena kakak adalah anak
dari Sammael. Aku nggak sejahat itu..”
“Kakak meragukan aku dalam
menghadapi kenyataan yang sesungguhnya. Kakak meragukan ketulusan aku. Kakak
tahu? Diragukan oleh orang yang penting dalam hidupmu itu begitu menyakitkan!
Aku-“
Kata- katanya terhenti karena Alex
menariknya hingga jatuh dalam dekapannya. Memeluknya erat. Tak membiarkan Riri
untuk bergerak menjauh sedikitpun dari tubuhnya.
“Maaf..”
“Kakak jahat..” kata Riri, meronta
ingin membebaskan diri dari penjara tangan Alex yang begitu erat.
“Maafin aku..”
“Kakak jahat..”
“Aku minta maaf, Marissa.. Maafin
aku..” dia makin mengeratkan pelukannya atas Riri. Membuat Riri tak bisa
membuat gerakan sekecil apapun kecuali bernapas.
Dila telah keluar dari ruangan
rawat entah sejak kapan. Memberikan waktu pada kedua insan itu untuk
menyelesaikan masalahnya sendiri. Dia sudah cukup banyak ikut campur dalam
masalah itu.
“Maafin semua kebodohan aku. Maafin
semua sikap aku selama ini.. Maaf kalau aku udah menyakiti kamu begitu dalam..
Maaf..” Riri tak bisa berkata apapun. Hanya mampu terisak di dada Alex yang
masih terasa ringkih.
Kemudian mereka hanya terdiam. Riri
yang masih terisak dalam dekapan Alex. Dan Alex yang masih meresapi Riri yang
kini ada dalam pelukannya. Masih meminta maaf karena telah menyakitinya dengan
pilihannya yang salah selama ini.
“Hhhkk.. Maafin aku.. Hhhhh…
Maaf..”
Riri menyadari perubahan itu. Detak
jantung Alex mulai meningkat kemudian melemah. Dan menurutnya itu bukanlah hal
yang baik. Dia melepaskan pelukan Alex yang kini tak seerat tadi. Melihat
keadaan Alex.
“Kak? Kakak kenapa?”
“Maafin aku..” Alex masih saja
meracau.
Kemudian Riri menyadari apa yang
membuat Alex seperti itu. Dia tidak memakai masker oksigennya!
Dengan segera dia meraih masker
oksigen yang terjatuh begitu saja ke samping ranjang dan hendak memakaikannya
ke wajah Alex. Dan gerakan tangannya terhenti saat tangan Alex mencegah hal itu
terjadi.
“Maafin aku..” katanya sambil
memandang kedalam bola mata Riri yang hitam.
“Kak..”
“Maafin aku..” Riri tahu tatapan
itu. Alex takkan melakukan hal lain sebelum apapun yang menjadi keinginannya
terwujud jika tatapan itu telah hadir di matanya.
“Aku udah maafin kakak.. Bahkan
sebelum kakak minta maaf..” katanya. Membuahkan senyum kecil di bibir Alex.
“Makasih..” kata Alex sesaat
sebelum masker oksigen membungkus erat hidung dan mulurnya. Riri hanya
tersenyum menjawabnya.
“Jangan pergi..” cegah Alex saat
Riri akan pergi keluar ruangan. Suaranya begitu lemah. Terlebih dengan adanya
masker oksigen di wajahnya.
“Jangan tinggalin aku..”
“Aku akan ada di sini.. Selalu..”
“Janji?” Riri terdiam sebentar.
“Janji.” Alex kembali tersenyum dan
memejamkan matanya. Meluluskan permintaan tubuhnya yang kembali meminta untuk
beristirahat.
Sementara Riri berpikir dalam diam.
Kenapa dia tak langsung menjawab pertanyaan Alex yang terakhir? Kenapa dia
masih harus berpikir dulu sebelum menjawabnya? Kenapa hatinya seperti setengah
hati mengikrarkan janji itu?
**********
Dia berkendara dalam sunyi.
Sendirian. Memutuskan untuk pulang terlambat karena suatu hal.
Alex, tiba- tiba menjadi tak bisa
lepas dari Riri. Seperti anak kecil yang tidak ingin berpisah dari ibunya.
Terus saja meminta Riri untuk tinggal lebih lama lagi. Padahal Riri sudah ingin
pulang untuk mengikuti prosesi pemakaman ibunya Hamid.
Akhirnya dia bisa juga pulang saat
Alex kembali terlelap. Untung saja Nino bisa menjemput ayah, ibu dan Hamid.
jadi Riri bisa menggunakan mobil orang tuanya untuk berkendara pulang. Kalau
tidak, mungkin dia harus memanggil taksi atau naik bus untuk sampai ke rumah.
Dan dia benci jika harus naik bus.
Asap rokoknya membuat dia mual tak keruan. Mending jika orang yang merokok itu
sadar diri dan segera mematikan rokoknya saat melihat sekelilingnya terganggu.
Kalau tidak, ih, itu benar- benar menyebalkan sekali!
‘Drrrrt’
“Halo, Bu?”
“Iya, ini udah di jalan.. Tadi
nunggu kak Alexnya tidur dulu baru bisa pulang..”
“Sekarang udah di jalan Imam
Bonjol..”
“Jemput kak Nino di tukang kue?
Emang tadi kak Nino ke sana sama siapa?”
“Aaah.. Oke, Riri jemput kak
Nino..” katanya sambil mengangguk- angguk dan memutuskan sambungan telepon.
Tak sulit menemukan dimana
keberadaan Nino. Tak lebih dari sepuluh menit dia sudah menemukannya dan telah
selesai memuat semua kue yang dibeli ke dalam mobil. Riri kembali mengemudi
dengan tenang. Membiarkan Nino memeriksa semua kue yang dia beli.
Mencocokkannya dengan list yang ada di dalam genggamannya.
Ketenangannya mengemudi tiba- tiba saja terganggu karena
jalanan yang tadinya kosong, berubah menjadi ramai dengan cara yang jangal.
Benar- benar janggal. Bisa di tambahkan tidak beradab juga.
Di hadapan moncong mobilnya, tba-
tiba muncul segerombolan pemuda. Dandanan yang tak berbentuk. Entah dari
sekolah mana. Baik Nino maupun Riri tak mengenal seragam asal anak- anak itu. Mereka
membawa- bawa segala macam benda aneh yang harusnya jarang terlihat di jalanan
terbuka seperti ini.
Orang- orang yang ada di sekitar
Riri segera pergi menghindari massa yang entah datang darimana. Riri dan Nino
tak bisa keluar begitu saja dari sana. Tak mendapatkan kesempatan untuk keluar
dari mobil. Maju terus, tak bisa. Mundur apalagi. Mentok sana- sini. Intinya
adalah terjebak dalam mobil sendiri.
Rantai besi sudah mencium kaca
depan beberapa kali. Menimbulkan rekahan kecil di sana. Membuat Nino menarik
Riri untuk pindah ke bangku belakang.
“Astaga! Ini anak sekolahan kenapa
pada barbar begini? Siapa yang ngajarin coba?! Ampun! Pada lebay banget
tawurannya?! Pake ada yang bawa samurai segala!” umpat Nino panik. Sebelah
tangannya berusaha melindungi Riri dari kemungkinan kaca pecah dengan
memeluknya. Sementara sebelah tangannya menekan- nekan ponselnya, melaporkan
hal ini pada polisi.
‘Praaaangngng’
Kaca di belakang Nino pecah.
Membuat batu besar yang melubangi kaca mobil melenggang masuk dan membentur
kepala Nino.
“Kak!” pekik Riri saat melihat hal
itu terjadi.
Nino melihat kesempatan untuk pergi
dari tempat terkutuk itu. Dengan keras dia membuka pintu mobil. Membuat pintu
mobil membentur beberapa tubuh anak sekolahan yang sedang bersitegang. Membuat
anak- anak itu sedikit terpental dan jatuh. Kemudian Nino menarik Riri keluar
dari mobil dan hendak beranjak ke tempat yang lebih tersembuyi. Tak
mempedulikan kepalanya yang seperti ingin pecah setelah terkena batu dan
pecahan kaca.
‘buugh!’
***********
Aku terjatuh tanpa mendapat
kesempatan untuk melepaskan cengkramanku atas Riri. Membuatnya ikut jatuh
bersamaku –nyaris terlempar sebenarnya-. Sakit. Ada yang memukul tengkukku.
Salah satu dari anak- anak sialan itu yang melakukannya.
‘Buugh!’
Sekali lagi benda keras mencium
tubuhku. Sial! Di dekatku, Riri sedang berusaha menghindar dari segala macam
kebrutalan di sekitarnya dan merangsek ke arahku.
Aku marah! Kami tidak tahu apa-
apa. Lalu kenapa kami juga ikut terkena imbasnya?! Tuhan! Aku tak ingin Riri
terluka! Aku tak ingin segala macam benda laknat itu menggores tubuhnya!
Aku memeluk Riri dengan segera.
Membungkuk, membuat perisai untuknya. Sembari berjalan sedikit demi sedikit
menuju tempat yang lebih aman.
‘Buugh!’
‘Buugh!’
‘Bugh!’
Gila! Ini sakit sekali! Aku mencium
bau anyir darah. Entah milik siapa. Aku tak mau memikirkan hal itu. Aku juga
tak mau berpikir kalau itu berasal dari tubuhku.
Tenagaku sudah hampir terkuras
habis untuk menahan segala macam rasa sakit sialan ini. Kakiku sudah gemetar
sejak tadi. Dan aku mungkin saja sudah terjatuh jika tidak ada Riri dalam
pelukanku. Sekarang malah dia yang menopang tubuhku.
Sekali lagi tubuhku terkena
pukulan. Dan itu luar biasa sakit. Membuatku kembali terjatuh. Aku tak bisa
bangkit. Ini benar- benar sakit. Aku hanya bisa berlutut menahan segala macam
rasa sakit ini sambil terus melindungi Riri yang juga tersungkur di bawah
tubuhku.
“You.. Little bastard.. HOW COULD YOU TO THAT TO US?!”
Riri tiba- tiba merangsek keluar
dari pelukanku dan berteriak kencang. Aku tentu saja kaget. Seketika kehilangan
kontrol atas tubuhku yang pada dasarnya memang sudah tak bisa lagi ku gerakkan
saking saiktnya.
Riri seperti kerasukan setan.
Bergerak sampai hampir tak terlihat. Terlalu cepat untuk ku ikuti dengan mataku
yang penglihatannya sudah setengah buyar saat ini. Dia membuat orang- orang di
sekitar kami merintih kesakitan, bertumbangan satu persatu. Dan aku hanya bisa
terpaku. Duduk manis di atas aspal jalanan yang sedikit panas.
Dia menangkis balok kayu hanya
dengan tangannya. Tanpa bantuan dari alat apapun. Itu membuatku takjub
sekaligus ngeri. Akulah yang seharusnya melindungi dia. Lalu kenapa sekarang
malah dia yang melindungiku?
Di saat seperti ini baru aku
menyesal tidak menguasai ilmu bela diri sedikitpun.
Dan kemana perginya para polisi di
saat- saat kritis seperti ini?! Apa polisi harus selalu datang di saat semuanya
telah selesai seperti yang biasa terjadi di film- film? Sial sekali kalau
sampai benar terjadi seperti itu sekarang.
“Ayo kita pergi, kak.” Katanya
sambil berjalan cepat ke arahku.
Aku melihat dia berjalan tanpa
memperhatikan sekelilingnya. Terlihat seseorang di belakangnya yang hendak
mengayunkan rantai – rantai tajam padanya. Rantai paling mengerikan yang pernah
kulihat.
“RIRI AWAS!!”
***********
“Semuanya baik- baik aja?”
“Baik. Kalau kata baik- baik saja dalam
kamus lu sama artinya dengan memar di sana- sini.”
“Lu masih kesel, Ri?”
“Banget! Itu anak- anak emang pada
bedebah semua. Orang tuanya udah susah- susah ngelahirin, nyekolahin biar pada
beradab, eh merekanya tetep aja barbar. Cuma karena hal sepele pula mereka pada berantem. Kalau orangtuanya tahu
itu bocah- bocah bakal begitu pas gede, dari lahir mungkin udah pada di pitesin kali kepalanya.”
“Kamu kira mereka kutu?” sahut Nino
dari bangku belakang.
“Abis mereka semuanya ngeselin.
Riri nggak peduli sih sebenernya sama mereka. Terserah mereka mau pada ngapain
kek, itu urusan mereka. Tapi kalau udah sampe nyerempet- nyerempet ke kita
begini, ish! Pengen di gaplokin satu-
satu rasaya. Lagian polisi- polisi itu pada kemana sih? Kenapa lama banget
datengnya?! Dateng pas udah banyak korbannya. Dikit pula polisinya. Ish! Mau
jadi apa itu?” rutuk Riri sambil meremas kemudi dengan kedua tangannya. Masih
merasa kesal karena kejadian tadi.
Nino tiba- tiba membuka jaketnya
dan meletakkannya di atas belikat Hamid. Berupaya meredam darah yang mengalir
dari sana.
“Mid, yakin lu nggak mau ke rumah
sakit dulu? Itu luka lu masih berdarah loh sampai sekarang..”
“Nggak usah lah, No. Diobatin di
rumah aja. Buat apa ada dokter di rumah kalau luka kayak begini doang pake
acara ke rumah sakit segala. Lagian juga gue yakin kalau ini Cuma gores- gores
doang. Nggak akan perlu di jahit.”
Hamid datang tepat pada waktunya. Dia
berhasil membuat Riri terhindar dari sabetan rantai- rantai tajam yang tadi
terayun kearahnya. Sebagai gantinya, dia harus rela punggungnya berkenalan
‘manis’ dengan rantai landak itu.
Hamid langsung mengevakuasi Nino
dan Riri dari ‘medan pertempuran’. Menyerahkan sisanya pada teman- temannya
yang entah bagaimana caranya tiba- tiba sudah tiba dengan lengkap. Dari mulai
Shark, Cheetah, Rocky sampai yang belum pernah ditemui oleh Nino dan Riri.
“Tapi-“
“Ayolah, Ri.. Bentar lagi acara
tahlilan nyokap gue dimulai.. Dan please,
jangan bilang ke tante ?? tentang ini.. Takut dia panik tingkat dewa.. Cukup
kalian kalian aja yang bikin dia khawatir..” katanya sambil mengambil alih jaket
Nino dan melipatnya rapi. Kemudian kembali meletakkannya di atas belikatnya
yang terluka.
“Ah, bener.. Kalau gitu kita ke
rumah lu dulu, Mid. Numpang ngompres ini bonyok. Biar nggak parah- parah banget
keliatannya kayak gini..”
Sesampainya di rumah Hamid, mereka
semua langsung turun dan merangsek ke rumah mungil di hadapan mereka. Nino
pergi ke dapur untuk mengambil beberapa bongkah es batu dalam kulkas.
Membutuhkan sesuatu yang dingin untuk meredakan memar di wajah dan bagian
tubuhnya yang lain. Sedangkan Riri langsung menjerang air untuk membersihkan
luka di tubuh Hamid. menggantikan tugas Nino yang sekarang sedang sibuk
membenahi tubuhnya sendiri.
Hamid sendiri langsung pergi ke
kamar mandi. Membersihkan tubuhnya dari segala macam kotoran. Dia tidak
meringis sama sekali saat air keran yang dingin membasuh lukanya yang belum
terobati sama sekali. Telah terlalu familiar dengan rasa sakit yang seperti
itu.
“Kak? Sini lukanya gue bersihin..”
“Udah gue bersihin sendiri, Ri..”
sahut Hamid dari dalam kamar mandi.
“Kalau gitu, sini gue obatin..”
kata Riri.
“Iya, nanti dulu..”
Tak lama Hamid keluar dari kamar
mandi dengan mengenakan celana jeans berpotongan pinggang rendah dan
bertelanjang dada. Kemudian dia langsung duduk di ruang tamu. Duduk menghadap
Nino yang tengah menjulurkan tangannya panjang- panjang untuk mencapai memar di
punggungnya. Kemudian dia mengambil kompresan di tangan Nino. Membantunya untuk
mengompres punggungnya.
“Lu kompres aja dahi lu. Yang di
punggung biar gue aja.” Katanya.
Dan Riri hampir saja menjatuhkan
baskom berisi air hangat saat melihat Hamid yang bertelanjang dada. Wajahnya
memerah. Malu.
Baru kali ini dia melihat tubuh
Hamid yang bertelanjang dada. Melihat otot- otot di tubuhnya yang kekar.
Six-pack yang bertengger mesra di perutnya. Punggung yang besar. Terlihat
seperti karang yang kokoh.
Dia segera tersadar dari
pemikirannya. Dengan tangan wajah yang masih menunduk, dia berjalan menghampiri
punggung Hamid. Mengusap pelan luka yang masih memerah dengan air hangat
yang baru selesai dia jerang.
“Kak, lu punya tattoo?” tanya Riri.
Matanya tak bisa lepas dari sebuah lukisan burung yang tengah membentangkan
kedua sayapnya di bawah tengkuk Hamid. Seekor phoenix menurut pengamatan Riri.
“Ini tattoo lama. Tattoo dulu waktu
gue masih jadi ehm, jadi bodyguard muda
gembong narkoba.” Jawabnya sambil menutupi tattoo itu dengan sebelah tangannya
yang bebas. Riri dan Nino tak bisa mencegah keinginannya untuk menatap Hamid
dalam- dalam.
“Tapi tenang aja, gue udah nggak
mau lagi kerja kayak gitu sejak lama. Nyawa gue terlalu berharga buat
dikorbanin ke mereka begitu aja. Toh, nyawa mereka nggak terlalu berharga
juga..” sambungnya.
“Orang bilang, mereka yang telah
terlalu lama hidup dalam kegelapan, pasti bisa melihat cahaya walau yang paling
redup sekalipun. Dan itu benar. I can see
that light. And, here I am..” Senyum merekah di wajahnya. Kecil, tapi tetap
menampilkan bahagia dan damai dalam dadanya. Riri dan Nino juga tersenyum
mendengarnya.
‘Drrrrrt’
“Sorry..” pamit Hamid sambil melangkah menjauh dari kedua kakak
beradik itu. menerima telepon di ponselnya yang bergetar. Masih dengan
bertelanjang dada, berjalan menuju bagian depan rumah mungilnya.
Tak lama. Karena lima menit
kemudian, Hamid telah kembali masuk dengan menenteng berkantung- kantung besar
plastik putih bersama dengan Rocky dan Cheetah. Terlihat kesusahan karena
ukuran kantung itu yang memang jumbo. Terlebih luka Hamid yang belum sempat
dibubuhi obat oleh Riri.
“Hai, Rocky, Cheetah.. Long time no see..” sapa Riri sambil
mengambil sebungkus besar dari tangan Hamid. Seperti biasa, teman- teman Hamid
yang satu itu memang irit sekali dalam hal berbicara. Hanya menjawab pertanyaan
yang benar- benar penting saja. Sisanya, kalau tidak di jawab dengan senyuman,
dijawab dengan angin lalu.
“Cuma ini yang bisa selamet dari
mobil.. Mobilnya juga udah jadi rongsok sekarang di sana..” kata Hamid.
“Oke, emang udah bener- bener
keterlaluan itu anak- anak bocah. Jangan sampe deh nanti anak- anak gue kayak
begitu.. Kalo sampe iya, gue pecat jadi anak nanti..” omel Riri.
“Ya ya ya.. Terserah lu aja deh..”
kata Hamid sambil kembali duduk di hadapan Riri. Melanjutkan perawatan lukanya
yang sempat terhenti. Tangannya juga kembali aktif mengompres memar di punggung
Nino. Sementara Rocky dan Cheetah menghilang entah kemana.
“Yak! Selesai.. Pake baju sana!
Nggak enak diliatnya..” kata Riri sambil membereskan kotak P3K setelah acara
mengobati Hamid selesai.
“Nggak enak apa nggak mau ketagihan
ngeliatin badan gue yang keren ini?” katanya sesaat setelah mengenakan kaos
oblong yang sedikit kebesaran.
‘Bletaaak’
Riri melemparkan segulung plester
yang belum sempat menyelinap masuk ke dalam kotak P3K ke kepala Hamid. membuat
Hamid mengusap kepalanya karena terkena lemparan Riri yang tepat mengenai memar
di dahinya.
“Hah! Ketagihan ngaliatin badan lu?
You wish. Gue aja ogah ngeliat cowok
telanjang dada lagi hari ini.. Cukup sekali aja.. Jangan sampe ada lagi-“
“Mid, pinjem baju.. Baju gue
kotor..” kata Cheetah.
“Gue juga.” Sambung Rocky.
Dan Riri Cuma bisa terbelalak
dengan wajah yang memerah saat menyaksikan Rocky dan Cheetah yang berdiri di
dekat Hamid dengan pakaian seadanya. Sepotong celana jeans, tak ada yang lain.
Hamid dan Nino yang melihat hal itu
tak bisa menahan tawanya. Melihat wajah Riri yang memerah karena lagi- lagi
melihat lelaki topless di hadapannya. Sementara Rocky dan Cheetah haya diam tak
mengerti. Menahan dingin setelah selesai membersihkan tubuhnya di dua kamar
mandi rumah Hamid, belum mendapatkan pakaian bersih karena pemilik rumahya
masih sibuk tertawa terbahak- bahak.
**********
Dia melihat ke jendela yang ada di
samping tempat tidurnya. Menatap dengan jelas malam yang makin menghitam.
Menikmati kesendirian yang tersaji di sekitarnya. Bahkan jangkrik pun ikut
terdiam. Menghadirkan sunyi yang benar- benar tak membuatnya nyaman.
Dia bangkit. Untuk kali pertama
dalam hidupnya, dia merasa ini adalah hal yang cukup sulit dilakukan.
Jemari kakinya kembali bersentuhan
dengan lantai kamar yang dingin menggigit. Lututnya bergetar menahan bobot
tubuhnya. Melangkah sedikit, dan langkahnya goyah hebat.
Dia menghela napas sejenak.
Menghimpun energi dan kemantapan hati. Sugesti untuk tubuhnya yang masih tak
bisa terkendali dengan baik. Padahal belum lama dia begini, tapi semuanya sudah
membuatnya bosan setengah mati.
Perlahan dia melepaskan pegangannya
pada ranjang. Menyadari kalau dia harus bisa melepaskan ranjangnya untuk bisa
terus melangkah ke depan. Lagi- lagi tubuhnya goyah. Tak mantap menjejak tanah.
Membuatnya harus terhenti sejenak untuk mengembalikan keseimbangannya.
‘Gue pasti bisa.. Ini bukan jarak
yang jauh!’ batinnya.
Dia kembali melangkah. Terasa lebih
berat dari sebelumnya. Membuatnya merentangkan tangannya jauh- jauh. Berharap
gerakannya bisa seimbang.
Tapi tubuhnya memang belum siap
menjalani semuanya. Lututnya bergetar hebat. Lebih hebat dari yang tadi. Dan
lemas dengan tiba- tiba.
‘bruuk’
Dia mencoba kembali bangkit. Dan
kembali terjatuh. Tubuhnya benar- benar terlalu lemah. Dan dia benar- benar
benci keadaan tubuhnya yang seperti ini.
“Sial!” pekiknya kesal.
Lalu suara pintu kamar terbuka.
menampilkan sesosok wajah yang memandangnya dengan tatapan khawatir. Langkah
kaki yang memburu segera terdengar ke segala penjuru ruangan.
“Kakak! Kakak mau kemana?”
Dia tak menjawabnya. Hanya
mengangkat jemarinya, menunjuk ke arah depan.
To be continue..
Posted at LSA, Gedung B, Untirta, Serang
At 12:26 p.m
Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar
menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik
konstruktif dari anda.. :D
Don’t be a silent reader, please.. :D
Oh iya, kalau ada yang mau baca
biar lebih gampang, bisa buka di kentangpedes.blogspot.com atau
pujiwidiastuti2.blogdetik.com
Bisa juga buka wattpad.com kalau
mau baca dari Music in Our Life, cerita awal mula Love the Ice
*promosi banget, sumpah* :P
Tidak ada komentar:
Posting Komentar