Jumat, 29 Juni 2012

Love the Ice part 30



Perlombaan telah usai sejak tadi. Dan aku mengajak mereka semua untuk makan siang bersama. Sebelum aku pergi ke rumah sakit, aku harus makan dulu. Kalau tidak, aku bisa tidak sempat makan sampai pulang ke rumah larut malam nanti.

Inginnya sih sekarang sudah berangkat ke rumah makan yang aku ingin tuju. Tapi Fred masih belum kembali dari pamitnya mengambil motor di parkiran. Hamid juga belum kembali dari kamar mandi. Entahlah. Mungkin untuk pergi mengambil motor dan menuntaskan hajat buang air di kamar mandi perlu naik angkot dan ojek berkali- kali. Hingga mereka berdua belum juga kembali setelah hampir 45 menit pergi dari hadapan kami.

Aku sudah mulai kelaparan. Jadi aku langsung saja merogoh kantung celanaku dan mengambil ponselku. Ku tekan beberapa keypadnya dan menghubungi Hamid.

“Kak?” aku menolehkan pandanganku pada Riri sambil tetap menempelkan ponselku di telinga.

“Kenapa, Ri?”

“Handphonenya kak Hamid di titipin ke Riri.. Takut jatoh di kamar mandi katanya..”

Oke, jadi Hamid kembali uncontactable. Sekarang aku menekan keypad ponselku dan menghubungi Fred. Tak di angkat. Mungkin sedang sibuk mengendarai motornya. Aku menunggu sebentar lagi. Tapi dia tak juga muncul di hadapan kami dengan motor kesayangannya.

Aku lalu menghubunginya sekali lagi. Semoga saja kali ini dia menjawab panggilan teleponku.

“Halo?”

 “Lu jadi ikut lunch bareng kita nggak?” tanyaku to the point. Tak perlu basa- basi untuk hal yang seperti ini.

 That’s ok.. Hati- hati di jalan.” Pesanku.

Bye..” aku kembali menyarangkan ponselku ke dalam kantung celanaku.

 “Kak Fred nggak ikut makan sama kita?” tanya Nita.

“Nggak. Dia ada urusan kayaknya. Sekarang kita tinggal nunggu Hamid deh..” kataku sambil duduk sembarangan di pot bunga besar yang ada di dekat dengan tempat lomba diselenggarakan tadi.

Sorry lama.”

“Mid Mid.. Lu ke kamar mandi yang di belakang sana apa ke kamar mandi yang ada di rumah deh? Hampir satu jam baru balik.. Ngapain aja? Semedi?” kesalku.

“Tadi pintunya kekunci dari luar.. Jadi gue nunggu orang buat bukain.. Ayo kita pergi sekarang, gue udah kelaperan..” aku mengangguk- angguk saja menerima alasannya. Tak mau ambil pusing lagi. Yang penting sekarang semuanya sudah lengkap. Jadi kami bisa segera meluncur pergi ke rumah makan.

Aku, Riri dan Hamid menggunakan mobilku (seperti biasa). Sedangkan Nita, Nate dan Billy menggunakan mobilnya Billy. Kami pergi meluncur ke rumah makan yang tadi sempat aku telepon untuk membooking tempat. Karena kalau tidak, bisa tidak kebagian tempat dan harus mengantre panjang sekali.

“Kalian mau pesen apa?” tanyaku pada kepala- kepala yang mengelilingi meja di saung.

“Riri mau makan ayam bakar aja.. Sama keredoknya yang pedes..” kata Riri cepat.

“Alex?” tanyaku. Dia menimbang- nimbang sejenak.

“Samain kayak Marissa aja..”

“Hamid?”

“Apa aja.”

“Oke kalau begitu lu makan angin aja.” Kataku cepat. “Pilih buruan. Nggak ada menu ‘apa aja’ di sini..”

“Samain aja deh kayak lu.” Katanya.

“Nate?”

“Idem sama kak Nino aja.” Aku mengangguk- anggukkan kepala sambil menuliskan pesanan mereka.

“Kalian berdua mau makan apa?” tanyaku pada pasangan paling romantis di sini.

“Kita makan hmmm.. Apa ya? Yang jelas kita pesen nasi..”

“Itu mah udah pasti, Nita..” kataku gemas.

“Kita pesen pecak gurame aja kak.” Kata Billy.

“Oke, jadi kita pesen ayam bakar 2, ikan mas goreng 3, pecak gurame 2, tahu tempe 2 porsi, keredok 2 sama sayur asem 4.. Minumnya teh tawar aja deh, mas..” kataku mengulang pesanan kami sebelum menyerahkannya pada pelayan yang sedari tadi sudah menunggu di sebelah saung.

“Kak, pecak guramenya 1 aja.. Satu juga gede ikannya..” kata Nita. Aku segera merubah kuantitas pecak gurame yang ada di daftar pesanan kami.

Setelah menyerahkan pesanan kami, yang harus dilakukan saat ini adalah menunggu dengan sabar. Dan aku tak bisa menahan keinginan untuk melahap otak- otak yang ada di hadapanku. Rasa lapar ini begitu menyiksa.

Dan ini menurutku agak sedikit aneh. Biasanya aku bisa melewatkan waktu makan siang dengan damai kalau sedang ada di rumah sakit. Sekarang kenapa jadi kalap begini? Apa karena tak ada kesibukan seperti jika di rumah sakit? Atau memang godaan makanan di sini terlalu dahsyat? Ah, biarkanlah.

Setengah jam kemudian, makanan yang kami pesan mulai berdatangan satu persatu. Dimulai dari nasi dalam sangku yang masih mengepul. Disusul dengan keredok dan tahu tempe goreng. Lalu sambal terasi, ini tak kalah penting untuk ada di meja makan. Disusul oleh segala macam ikan yang tadi ada di pesanan dan sayur asem.

Aku segera menyendok nasi yang masih mengepul panas ke atas piring dan mencomot seekor ikan mas goreng juga beberapa sendok sambal. Ah, aromanya benar- benar menggoda.

“Semuanya, makan..” kataku. Oke, ini kebiasaan yang agak sedikit sulit di kontrol hingga saat ini.

Rasa ikan mas goreng yang gurih bercampur dengan sambal terasi yang pedas dengan aroma menyengat segera membuai inderaku. Memberikan aku kenikmatan yang benar- benar menyenangkan. Semuanya yang ada di sekeliling meja makan juga begitu. Nita dan Billy yang tetap saja romantis (dan membuat iri) di tiap kesempatan, Nate yang (sepertinya) sama kelaparannya denganku. Juga Riri dan Alex yang seperti anak SMA kasmaran. Saling bertatapan meski sedang makan. Membuatku sedikit bertanya apa nanti mereka tidak salah mengambil makanan jika makan dengan cara yang seperti itu.

Kemudian saat menatap Hamid, aku melihat sesuatu yang berbeda. Insting ke-kakak-an-ku (karena aku yang paling tua di sini sekarang) bekerja. Memberi sinyal pada otakku. Seperti memberitahukan jika ada yang tak beres dengan Hamid. Dia hanya mengaduk- aduk nasi dan ikannya saja sedari tadi. Memasukkannya ke mulutnya bukan dalam suapan yang sewajarnya. Sedikit demi sedikit, benar- benar dalam suapan yang kecil.

“Lu kenapa, Mid? Katanya tadi udah kelaperan.. Kok sekarang Cuma di belai- belai doang itu ikan gorengnya?” tanyaku. Dia tak menjawab. Hanya terus menumpukan pandangannya ke atas piring yang telah berkurang isinya dengan sangat tidak signifikan sekali.

“Mid? Lu kenapa?” tanyaku sekali lagi. Dan lagi- lagi dia tidak menjawab.

Sekarang semua yang ada di sekeliling meja makan telah memandangi Hamid dengan seksama. Mempertanyakan sikapnya yang benar- benar tidak mencerminkan orang yang sedang lapar.

“Mid?” tanyaku. Agak keras kali ini. Dia langsung mengangkat pandangannya dari piring yang sudah habis dia jelajahi permukaannya.

“Hah? Iya, kenapa?” dia menjawab dengan gelagapan.

“Lu kenapa, kak?” kali ini Riri yang bertanya. “Lu sedih gara- gara inget nyokap lu lagi?”

Hamid hanya menarik napas dalam- dalam dan menghembuskannya panjang. Seperti hendak menyembunyikan segala pikiran yang memberatkan bahunya saat ini. Enggan membaginya kepada kami. Memberikan senyum kecil yang entah untuk apa tujuannya.

“Jangan sedih lagi.. Gue dan yang lainnya akan terus berusaha supaya lu nggak sedih lagi tiap inget nyokap lu..” kata Riri sambil meremas tangan Hamid.

Aku melihat Hamid sedikit tersentak saat menerima sentuhan dari Riri. Kemudian melayangkan sebuah sorot berterima kasih atas pengertian yang di berikan.

Aku merasa sedikit lega melihatnya.

Tapi kemudian aku melihat air mukanya berubah. Seperti jengah akan sesuatu, tidak enak karena hal tertentu.

I’m ok.. I’m fine..” kata Hamid sambil melepaskan genggaman tangan Riri pada tangannya.

Dan yang membuatku semakin heran adalah saat aku melihat Alex. Dia menatap Hamid dengan cara yang tidak biasa. Tajam dan sinis. Marah. Dia tidak seperti ini sebelumnya. Apa yang terjadi sebenarnya?

**********

Thanks ya, kak..” katanya sambil melepaskan helm yang sedari tadi melindungi kepalanya dari sengatan sinar matahari yang terlalu riang bersinar. Diikuti dengan jaket yang tadi dipinjamkan oleh pengendara motor itu padanya. Menyerahkannya kepada lelaki yang sudah berbaik hati mengantarkannya ke muka rumahnya.

“Hm.”

“Masuk dulu, kak?”

“Makasih. Gue mau langsung aja.”

“Oh, oke. Hati- hati di jalan..” katanya.

“Hm. Masuk sana.”

Gadis itu mengangguk dan melangkahkan kakinya menuju ke dalam rumahnya. Mengorek isi tas kecilnya dan mengambil kunci rumah. Sedangkan lelaki yang masih bertengger di atas motor tak juga beranjak pergi. Terbiasa untuk menunggu siapapun yang dia antarkan masuk dulu ke dalam rumahnya baru kemudian pergi.

Sesaat setelah dia melihat Lea melambaikan tangannya dari ambang pintu rumah dan menutup pintunya, dia menyalakan mesin motornya.

“Hyaaaaaaaaa!”

Dia kaget mendengar Lea yang berteriak seperti itu. Langsung saja dia mematikan mesin motor dan melepaskan helmnya. Tanpa melepaskan sarung tangannya, dia langsung berlari ke arah rumah Lea.

Tak perlu lagi dia mengetuk pintu rumah. Langsung membuka pintu rumah itu.

“Kenapa?”

“Kakaaak.. Ada tikus lewat di depan gue.. Hueee…” Fred tak memperhatikan Lea saat dia mengatakan alasan dia berteriak. Hanya terus memandang ke dekat sofa tempat Lea berdiri saat ini.

“Kak?” Lea mengikuti arah pandang Fred.

“Hueeeee!” dia kembali histeris. Tanpa terduga, tikus yang ada di dekatnya malah memanjat menaiki sofa tempat Lea berada sekarang. Fred langsung melangkah panjang hendak menenangkan Lea. Tanpa terduga Lea malah melompat ke arah Fred.

“Ergh!” pekik Fred saat secara refleks menangkap tubuh Lea agar tak membentur lantai.

Lea menenggelamkan wajahnya di lekukan leher Fred. Terlalu takut sekaligus jijik dengan makhluk yang satu itu. Trauma karena makhluk kecil satu itu pernah menggerayangi tubuhnya waktu dia kecil.

Fred yang merasakan lehernya basah segera mengetahui kalau cairan itu berasal dari mata Lea. Dia menarik napas panjang dan mengedarkan matanya ke segala penjuru ruangan. Mencari tempat yang kira- kira bisa dijadikan tempat untuk Lea ‘mendarat’.

Dia akhirnya berjalan menuju (yang menurutnya) ruang tv. Menurunkan Lea di sana. Tapi Lea tidak melepaskan cengkraman tangannya dari baju yang di kenakan Fred. Tak ingin di tinggalkan. Masih merasa terancam oleh kehadiran makhluk mini itu di dekatnya.

“Kalau lu nggak ngelepasin baju gue, gimana caranya gue bisa ngeluarin tikus itu dari rumah lu?” katanya. Lea kemudian melepaskan cengkramannya dengan perlahan. Seakan ragu untuk melakukan hal itu.

Fred kemudian kembali ke sofa di ruang tamu. Mencari tikus yang menyusahkan itu. Dia mencoba menangkapnya dengan tangan kosong. Tapi tikus itu sepertinya juara lomba marathon. Terlalu cepat untuk ditangkap tanpa menggunakan alat bantu.

Akhirnya dia melihat sapu di dekat dapur. Dengan cepat, dia mengambil sapu itu dan mulai kembali berburu tikus menggunakan sapu itu.

‘Braak!’

Dan si tikus terkapar tak bergerak di lantai. Entah mati atau Cuma sekedar pingsan. Dia tak tahu. Yang pasti, dia harus segera membuang makhluk mini itu ke luar rumah agar Lea tak lagi histeris seperti tadi.

Dengan cepat dia mengambil tikus itu dengan cara memegang buntutnya.

“Tempat sampah dimana?”

“HIYAAAAAAA!” Fred tentu saja kaget dan segera berlari keluar rumah. Lebih memilih untuk mencari sendiri cara untuk menjauhkan tikus itu dari Lea. Untungnya di depan rumah Lea ada petugas kebersihan yang sedang bertugas. Fred langsung saja membuang tikus itu ke dalam gerobak sampah dan kembali masuk ke dalam rumah, mencari sendiri dimana kamar mandi berada. Untuk mencuci tangan yang tadi dia pergunakan untuk memegang tikus itu.

Dan saat dia melihat keadaan Lea, dia berdecak. Keadaannya benar- benar kacau. Wajahnya basah oleh air mata, bibirnya kering dan pucat. Duduk menekuk lututnya di atas sofa ruang tv.

Fred menghampirinya dan mengambil tissue yang ada di dekat situ. Dengan lembut dia menghapus air mata Lea yang masih berurai dengan tissue itu.

“Ck, tikusnya udah gue buang.” Tapi Lea tetap bergeming. Gemetar ketakutan masih bersarang dalam tubuhnya. Fred menghembuskan napas panjang. Mengedarkan pandangannya (lagi- lagi) keseluruh ruangan.

Dia melangkah menjauhi Lea. Beranjak ke arah dapur. Menjerang sedikit air dan membuat teh manis. Setelah selesai, dia memberikannya pada Lea yang diterima dengan tangan gemetar.

“Ma- makasih, kak hiks..”

“Hm. Bisa kita keluar aja? Nggak enak sama tetangga.” Kata Fred sambil terus menengok ke kanan dan ke kiri. Seperti jengah dengan keadaan yang dia alami sekarang.

“I- iya..” Dengan tangan yang masih menggenggam cangkir teh manis yang tadi dibuatkan Fred, mereka berdua pergi ke teras rumah. Tak ingin menimbulkan prasangka tidak baik dari tetangga di sekitar rumah Lea. Tangan Fred melingkar sempurna di bahu Lea. Menjaganya agar tak terjatuh ketika berjalan dengan kakinya yang masih saja bergetar kecil.

Setelah beberapa saat mereka duduk berdampingan di depan rumah, Lea sudah tidak terlalu ‘parah’ keadaannya seperti tadi.

“Kak, makasih buat semuanya.. Makasih udah mau nolongin gue pas di jambret tadi siang.. Makasih juga karena udah mau ngusirin tikus yang tadi ada di rumah gue.. Tehnya juga, makasih..”

You’re welcome..” kemudian kembali hening. Lea masih saja menghirup perpaduan aroma musk dan melati yang terus mengudara di sekitarnya. Menciptakan aroma yang begitu membiusnya. Perpaduan aroma yang bisa menghilangkan segala macam ketakutan yang tadi mengisi benaknya.

“Gue pulang.”

“Oh, iya. Hati- hati di jalan, kak.. Makasih sekali lagi.” katanya pada Fred yang telah sampai di pagar rumahnya.

Dan dia tak dapat mempercayai apa yang sekarang tengah dia lihat. Senyum kecil milik Fred yang sulit ditemui di tiap kesempatan. Membuatnya kembali terbuai dalam manisnya bunga- bunga cinta dalam dadanya.

**********

Dia baru saja keluar dari kamar mandi saat ponsel pintarnya berdering. Tidak nyaring, tapi bisa langsung membuatnya berlari terbirit- birit saat mendengar nada dering yang terlontar. Nada dering yang dia khususkan untuk satu orang yang spesial di hatinya.

“Halo, kak!”

“Halo, sayang.. Semangat amat.. Hahaha..”

“Semangat dong.. Kan kakak yang nelepon aku.. Gimana keadaan kakak disana? Sehat kan?” tanyanya sambil terus berputar- putar dalam kamar yang sejak beberapa minggu lalu resmi di tempatinya.

“Kita semua di sini sehat kok.. Kamu di sana gimana?”

“Semuanya aman terkendali, boss.. Hahaha..” jawabnya sambil merebahkan tubuhnya yang hanya berlilitkan handuk putih ke atas ranjang.

“Syukur deh kalau begitu.. Betah kan di tempat yang baru?”

“Banget.. Tapi kakak yakin nggak apa- apa kalau aku nempatin apartemen kakak? Nanti kalau kakak sama kak Darren pulang ke sini, mau tidur dimana?”

“Nggak apa- apa.. Kan sayang apartemennya kalau nggak ditempatin.. Mendingan kamu yang nempatin selama kami nggak ada di sana.. Kalau kami pulang, ah, itu bisa diatur..”

“Yakin?”

“Yakin banget.. Udah, kamu nggak usah khawatir soal itu, Nate. Yang penting kamu nyaman dan aman di sana. Jadi aku juga tenang di sini..” Nate yang mendengar hal itu merasa terharu.

“Aah, kakak.. Makasih..”

“Ck, nggak usah berterimakasih kayak begitu, Nate.. You’re my girl.. Jadi, apa sih yang nggak buat kamu..”

“Aw! Kakak so sweet bangeet.. Jadi makin kangen sama kakak kan jadinya..”

“Aku juga jadi makin kangen sama kamu.. Gimana keadaan yang lain?”

“Oh, iya.. Aku lupa ngasih tahu ke kakak.. Kak Alex udah keluar dari rumah sakit sekarang.. Jadi Riri udah mulai biasa lagi.. Kemarin aku udah ngerekamin pas mereka lomba. Keren banget lho kak.. Rencananya hari ini mau aku upload ke Youtube biar kakak bisa nonton juga.. Terus belum lama ini, sekitar enam minggu yang lalu, ibunya kak Hamid meninggal.. Dan sampai sekarang dia masih suka sedih tiap inget ibunya.. Tapi-“

“Kalian pasti selalu berusaha buat ngehibur dia, teruatama Riri, iya kan?” potong Darrel. Membuat Nate menganggukkan kepalanya membenarkan perkataan Darrel barusan.

“Iya..”

“Semoga Hamid tabah ya..” kata Darrel dengan nada yang sarat dengan duka.

“Semoga..” sahut Nate dengan suara yang tak kalah beduka.

“Kak, udah malem kan di sana? Tidur gih.. Jangan kebanyakan begadang.. Nggak bagus buat kesehatan.. Salam ya buat semuanya yang di sana..”

“Kamu mau nitip salam sama semua penghuni London?” tanya Darrel. Seperti memastikan apa yang baru saja di dengarnya.

“Nggak lah kakak.. Aku kenal mereka aja nggak.. Maksud aku salamin buat orang tua kakak, kak Darren sama kak Prita..”

“Hahahaha.. Iya, Nate-ku sayang..”

Good night..”

Good night.. Love you..” ucap Darrel begitu lembut.

I know.. Hehehe.. Love you too..”

Nate tak dapat menahan seringai bahagia bertandang di wajahnya sesaat setelah bercakap dengan Darrel. Merasa bahagia meski hanya mendengarkan suaranya saja. Membebaskannya dari belenggu kerinduan yang begitu membuncah di dada setelah beberapa minggu tak bisa berkomunikasi dengan lelakinya. Terlalu sibuk dengan tugas kuliah yang tiba- tiba menerjang mereka seperti air bah.

Terlebih dia yang baru saja membereskan barang- barang yang dia boyong menuju tempatnya yang baru. Apartemen Darrel yang ada di Jakarta. Darrel memintanya untuk pindah saja ke sana karena tidak mau terus menerus merepotkan Riri dan keluarganya. Terus menitipkan keberadaan Nate di rumah mereka.

Dan Nate hingga sekarang masih betah terlentang di atas ranjang dengan senyum yang tak juga pudar keberadaannya. Masih terlena oleh kebahagiaan setelah terbebas dari rindu. Hingga tak merasakan dinginnya AC yang terus saja membelai kulitnya yang belum tertutupi dengan layak.

**********

Perkuliahan telah selesai sejak beberapa menit yang lalu. Kelas telah kembali kosong. Berbanding terbalik dengan kantin yang mendadak berubah jadi arena pertarungan untuk memperebutkan tempat makan beserta makanan yang dirasa cukup untuk mengganjal perut.

Riri dan yang lain sudah ada di salah satu meja kantin. Lengkap dengan makanan yang ada di hadapan masing- masing.

Dengan perlahan Riri melahap gado- gado pedasnya bersama dengan Alex. Entahah, sejak keluar dari rumah sakit, mereka berdua selalu saja makan sepiring berdua, minum segelas berdua. Entah ingin menyaingi kemesraan pasangan Nita- Billy yang mamang selalu membuat iri para jombo atau para single atau memang malas memesan makanan lagi atau apa.

Semetara Billy melahap nasi telur buatan Nita. Sebuah resep yang baru saja dia ciptakan tadi pagi karena lupa berbelanja guna membuat bekal untuk Billy. Hanya tersisa nasi, kol, sosis, brokoli dan beberapa butir telur. Akhirnya dia membuat telur dadar dengan kol yang diiris halus.

Kemudian telur itu dia gunakan untuk membungkus nasi. Sosis yang ada dia goreng dengan bentuk bunga. Sedangkan brokoli yang telah di cuci dia tumis dengan sedikit tambahan merica dan garam. Setelah selesai, nasi telur itu dia letakkan di dalam kotak bekal yang pas. Di atasnya dia letakkan beberapa potong sosis goreng dan tumis brokoli yang masih menghijau. Terlihat menggoda untuknya.

“Enak nggak, kak?” tanya Nita pada Billy yang tengah mengunyah masakan Nita dengan seksama. Kemudian dia mengangguk. Riri yang melihat hal itu ikut mencicipi makanan Billy.

“Asin, Nit..” keluh Riri sebelum mereguk sedikit air dari botol minumnya.

“Hah, masa?”

“Cobain aja..” kata Riri.

Nita segera mengambil sendok yang ada di dalam genggaman tangan Billy. Dia memotong kecil bagian telur yang membungkus nasi di dalamnya dan memakannya.

“Kak, asin.. Kok kakak aku tanya enak apa nggak ngangguk- ngangguk aja..”

“Karena menurutku ini emang enak.”

“Kak, ini nggak enak.. Udah ah, jangan dimakan..” kata Nita sambil bergerak untuk mengambil kotak makan yang ada di hadapan Billy.

“Nggak. Ini punya aku.” kata Billy sambil mempertahankan kotak makannya. Dengan entengnya dia memasukkan sesendok lagi nasi telur itu kedalam mulutnya.

“Lah? Kan nggak enak, kak.. Keasinan itu..”

“Cuma sedikit keasinan doang. Masih layak dan enak buat dimakan.”

“Enak dari mananya coba.. Udah, jangan dimakan lagi, kak…”

“Semua masakan yang kamu bikin selalu enak buat aku..”

“Kak-”

“Lagian kalau kamu ambil masakan kamu ini, terus nanti dikemanain? Di buang? Nita, sayang.. Masih terlalu banya orang di luar sana yang nggak bisa makan dengan layak kayak gini.. Terus aku harus ngebuang- buang makanan?” sambungnya sambil menyentil kecil hidung Nita.

“Hahaha.. Makasih.. Yaudah kalau gitu aku bantuin makan.. Kan aku yang masak, jadi aku juga harus tanggung jawab buat ngabisinnya..”

Dan akhirnya mereka kembali membuat iri orang- orang yang berada satu meja dengan mereka. Kemesraan unlimited.

“Ah! Gimana kalau kita ngadain acara konser amal? Kan sekarang udah terlalu banyak orang yang lagi hidup susah. Kita sebagai orang yang bisa hidup lebih layak wajib ngabantuin mereka..” usul Riri.

“Kapan mau mulai ngerjainnya? Gue sih kapan aja bisa, tinggal nunggu jadwal wisuda doang. Nah lu semuanya? Belom ngerjain tugas yang seabrek, belom nyiapin lomba bulan depan, belom nyiapin materi kuliah buat UTS, belom-“

“Stop, kak.. Please jangan disebutin satu- satu.. Agak puyeng ya gue ngedengernya..” kata Nate menghentikan kata- kata Hamid yang duduk persis di sebelahnya saat ini. Membuatnya tak berselera untuk menghabiskan makanannya saja.

“Kalau gue juga boleh ikutan usul, kenapa nggak dilaksanain nanti aja pas setelah UTS sama setelah lomba? Kalau perlu setelah UAS sekalian.. Jadi pas kita semuanya lagi libur kuliah..” kata Lea. Membuat semua orang yang ada di meja berpikir sejenak. mempertimbangkan idenya itu.

“Boleh.” Sahut Fred. “Abis UAS waktunya lebih panjang.”

“Jadi persiapannya bisa lebih matang.” Sambung Billy.

“Kebetulan gue denger BEM kampus juga mau ngadain malam amal gitu. Entah kapan, tapi kenapa kalian nggak gabung aja?” kata Alex sambil menyendok setengah dari porsi makanannya (dan Riri) yang tersisa.

“Kok gue nggak pernah denger ya?” taya Fred. Billy juga mengrenyitkan alis heran. Pasalnya mereka berdua juga angota BEM kampus, tapi mereka berdua tak tahu ada acara malam amal yang akan diselenggarakan.

“Itu sebenernya baru wacana doang.. Tapi ketuanya udah setuju kok.. Dan katanya, kalau beneran bakal diadain malam amal, acaranya diselenggarain setelah kita lomba.. Jadi kita semua bisa ikut berpartisipasi..”kata Alex menggebu- gebu.

“Hahaha.. Iya, iya.. Kita ikutan aja sama acara BEM kampus..” kata Riri sambil berdiri dari kursinya. Dia kemudian menghampiri beberapa anak kecil yang sedari tadi memperhatikan mereka makan.

“Kalian kenapa ngeliatin aja daritadi? Mau makan juga? Ayo kita pesen..” terlihat anak- anak kecil tersebut menggeleng pelan sambil menundukkan kepalanya. Riri melirik sekilas pada karung- karung yang mereka bawa. Dan langsung mengerti apa yang mereka perhatikan sejak tadi.

“Kalian mau ngambil botol- botol plastik yang ada di meja sana?” mereka mengangguk.

“Kalau gitu, ayo ikut kakak.. Kita ambil bareng- bareng..” katanya sambil meraih tangan salah satu anak itu. Yang ditarik hanya bisa menatap dua orang temannya yang masih diam di tempatnya dengan tatapan takut.

Give me those empty bottles, please..” pinta Riri pada teman- temannya. Setelah mengumpulkan banyak botol yang memang banyak terdapat di atas meja mereka, Riri memberikannya kepada anak kecil yang berdiri di belakangnya.

“Nih.. Tunggu dulu.. Kamu tunggu di sini dulu sebentar..” katanya. Dengan langkah panjang, dia pergi entah kemana. Tak sempat terikuti jejaknya di kantin yang terlalu ramai. Tak berapa lama, Riri telah kembali dengan beberapa bungkus kantung plastik hitam.

“Ini kakak beliin makanan buat kamu.. Temen- temennya juga di kasih ya..” katanya sambil menyerahkan kantung- kantung itu pada anak kecil yang masih saja mematung di hadapannya. Melihat berbungkus- bungkus makanan yang kini ada di tangannya, anak kecil itu tersenyum gembira.

“Makasih, kak.. Makasih..”

“Iya.. Jangan lupa kasih temen- temennya ya..” kata Riri agak keras karena anak kecil itu telah berlari menjauh. Tak sabar memberikan teman- temannya makanan yang tadi diberikan Riri untuk mereka.

“Marissa-ku baik sekali..” kata Alex sambil mempersilahkan Riri untuk kembali duduk di sebelahnya.

“Hahaha.. Makasih..”

“Jadi makin cinta deh sama kamu..” bisiknya di telinga Riri. Riri tersenyum mendengarnya.

Oke sekarang bertambah satu lagi pasangan yang membuat iri di meja kantin. Mungkin harus dipasang papan yang melarang pasangan untuk pamer kemesraan di area umum guna melindungi hati jejomblo yang terus tergerogoti envy.

“Ri, nanti kita ada kelas tambahan.. Tadi gue baru aja terima sms dari ketua kelasnya..” kata Lea.

“Jam berapa?”

“Jam setengah empat..” kemudian tiba- tiba saja seluruh tubuhnya kaku. Suhu tubuhnya dia rasa meningkat drastis. Dan saat ini, dia yakin kalau wajahnya telah memerah mengalahkan tomat paling ranum yang pernah dia lihat.

Thanks, kak..” katanya pelan setelah jemari milik Fred rampung menyeka saus somay yang ada di ujung bibirnya. Dan lagi- lagi dia menerima senyuman kecil milik Fred yang benar- benar menggetarkan seluruh dunianya.

**********

Taman kampus adalah tempat yang kami pilih untuk bersama kali ini. Rasanya lelah kalau harus berpindah tempat lagi ke yang lain. Setelah mencari tempat yang tak terkena sinat matahari senja yang tetap saja membakar, aku dan kak Alex duduk begitu saja di rerumputan. Ditemani beberapa buah buku yang telah habis kami pelajari beberapa saat lalu, tentu saja dengan ditemani kak Alex.

Itulah enaknya punya pacar kakak tingkat. Kalau ada materi kuliah yang tidak dimengerti, bisa ditanyakan sama dia. Ya aku inilah contohnya. Aku tak mengerti dengan materi mata kuliah yang baru saja aku pelajari. Dan kak Alex pasti dengan senang hati mengajariku hingga benar- benar mengerti semuanya. Kalau sudah selesai, tinggal pergi jalan- jalan kemanapun aku atau dia mau. Menyenangkan kan?

“Ri?”

“Hmm?”

“Lagu yang kemarin itu, siapa yang milih buat mainin lagu itu?”

“Kak Fred. Kenapa emang?” tanyaku sambil menolehkan kepalaku agar bisa menatap wajahnya, atau sebagian wajahnya. Posisiku saat ini membuatku tak bisa memandangi wajahnya secara utuh. Dan aku terlalu malas untuk mengangkat kepalaku dari dadanya setelah seharian menyerap materi kuliah yang bejibun.

“Nggak kenapa- kenapa. Yang ngaransemen juga dia?” aku mengangguk antusias.

“Iya, kak Fred yang ngaransemen sendiri. Keren banget jadinya. Aku bener- bener merinding pas pertama kali denger kita mainin arransemennya. Feelnya kerasa banget, kentel. Apalagi pas bagian- bagian akhirnya. Dan setelah aku cari artinya di internet, dalem banget..”

“Oh ya?”

“Iya.. Kak Fred emang hebat deh. Nyaranin lagu keren kayak gitu. Bahkan tetep aja keren walau semua liriknya hilang diganti sama instrument.. Arransemennya, nada- nadanya sederhana, tapi hasilnya bener- bener nggak sederhana-“

“Ri, kita pulang yuk.”

“Hah?”

“Kita pulang sekarang.” Katanya sambil mendorong pelan tubuhku ke depan hingga dia bisa berdiri setelah sekian lama menjadi tempatku bersandar.

Padahal rencananya kami mau menghabiskan waktu sesorean di sini. Tapi kenapa sekarang dia yang mengajakku untuk pulang lebih awal? Agak aneh. Apalagi saat melihat wajahnya yang terlihat berbeda dari biasanya. Ada apa sebenarnya?

“Kakak kenapa?”

“Aku Cuma cape.” Jawabnya singkat. Nada suaranya pun berubah. Sedikit mendingin. Apa benar dia hanya sedang lelah?

**********

Aula kembali ramai, oleh orang- orang yang sama. Siapa lagi kalau bukan anak- anak UKM Orchestra. Mereka sedang merundingkan tema lomba yang sedikit aneh kali ini. ‘Last’. Satu kata itu membuat berpuluh- puluh kepala yang ada di dalam ruang aula pusing setengah mati. Apa kira- kira lagu yang bisa sejalan dengan tema itu?

Last.. Last.. Itu artinya terakhir.. Apa lagu yang enak buat itu?” gumam Alex.

“Terakhir, ya? Berarti setelah itu nggak ada lagi.. Lalu?” sambung Riri.

“Kayaknya ada banyak lagu yang bisa jadi bagian dari tema ini deh.. Tapi kenapa tiba- tiba blank begini?” rutuk salah satu anggota yang berkumpul siang itu.

“Menurut lu lagu yang pas apaan, Ri? Biasanya kan ide lu yang paling cepet datengnya kalau masalah kayak beginian..” tanya salah seorang yang lainnya.

“Gue juga bingung. Terakhir.. Last..” gumamnya lagi.

Kemudian suasana kembali hening. Bukan karena mengheningkan cipta. Melainkan karena mereka semua terlalu sibuk berenang dalam pemikirannya masing- masing. Berusaha memecahkan tema yang beberapa saat lalu diberikan pada mereka.

Last. Terakhir. Berarti nggak akan ada lagi. Berarti nggak akan ketemu lagi. Selamat tinggal. Farewell.” Kata Fred. Membuat semua yang ada di aula memandangnya dengan mata membulat heran.

“Apa?” tanya Alex yang masih belum bisa mengerti kalimat- kalimat yang baru saja diracaukan oleh Fred.

Farewell. Lagu yang menurut gue bisa merepresentasikan tema kali ini.” tak ada reaksi apaun dari berpuluh- puluh kepala yang ada di sana.

“Itu yang mana, ya?” tanya Riri pada akhirnya memecah keheningan.

Fred mengamati wajah- wajah yang tersebar di sekitarnya dan menangkap raut yang sama dari sana. Bingung dan tidak tahu. Oke, berarti hanya dia sendiri yang mengetahui lagu itu. Dan sekarang dia wajib memainkan lagu itu untuk mereka.

Dia mengeluarkan ponselnya dan membuka folder yang ada di sana. Mencari di tengah kubangan mp3-nya yang jumlahnya lebih dari lima ratus lagu. Kemudian mendesah kecewa saat tak mendapati lagu yang dia inginkan di sana.

“Sebentar.” Katanya. Dengan segera dia menghubungkan ponsel pintarnya dengan jaringan internet. Masuk ke dalam akun penyimpanan pribadinya. Karena dia tahu dia telah menyimpan lagu itu di sana. Hal yang selalu dilakukannya jika dia memiliki lagu baru. Terlebih jika lagu itu amat sulit di temukan, seperti farewell ini.

“Denger.” Perintahnya. Dia segera membesarkan volume ponselnya agar lagu itu bisa menjamah pendengaran semua orang yang ada di aula.

“Mana?” tanya salah seorang di antara mereka.

“Sabar. Awalnya emang lembut banget dan hampir nggak kedengeran. Tapi kalian harus tetep ngedengerin sampe akhir. Terlalu bagus untuk dilewatin.” Katanya meyakinkan. Seperti salesman yang sedang mempromosikan barang dagangannya.

Berpuluh-puluh orang itu segera berdiri mendekati Fred. Atau lebih tepatnya menggerakkan telinga mereka sedekat mungkin dengan ponsel Fred.

Nada- nada yang dimainkan mulai terdengar jelas.

Semuanya menahan napas saat bagian dari akhir lagu dimainkan. Nadanya berkejaran dengan indahnya. Terdengar gemulai tapi tetap tegas.

“Ini keren banget..” seru Riri. “Kita pake lagu ini aja!”

Yang lain mengangguk antusias. Menyetujui ide yang baru saja di lontarkan Fred. Membebaskan mereka dari kebingungan yang tiada terkira.

“Ah, kak Fred bisa banget milih lagunya.. Ini bener- bener keren.. Kirimin dong, kak..” pinta Riri. Dan tentu saja Fred mengirimkannya dengan senang hati. Dalam hati dia bertaruh, Riri pasti akan mendengarkan lagu itu beberapa hari kedepan. Kebiasaan yang telah lama dia ketahui setelah lebih dari dua tahun berteman.

Jika Fred merasa bahagia dengan hal itu, ada satu orang yang merasakan dadanya bergejolak. Tidak senang dengan apa yang baru saja dia saksikan.


To be continue.

Posted at my house, Tangerang City.

At   11:40  p.m

Puji Widiastuti
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita.
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda :D
Don’t be a silent reader, please..