Perlombaan
telah usai sejak tadi. Dan aku mengajak mereka semua untuk makan siang bersama.
Sebelum aku pergi ke rumah sakit, aku harus makan dulu. Kalau tidak, aku bisa
tidak sempat makan sampai pulang ke rumah larut malam nanti.
Inginnya
sih sekarang sudah berangkat ke rumah makan yang aku ingin tuju. Tapi Fred
masih belum kembali dari pamitnya mengambil motor di parkiran. Hamid juga belum
kembali dari kamar mandi. Entahlah. Mungkin untuk pergi mengambil motor dan
menuntaskan hajat buang air di kamar mandi perlu naik angkot dan ojek berkali-
kali. Hingga mereka berdua belum juga kembali setelah hampir 45 menit pergi
dari hadapan kami.
Aku
sudah mulai kelaparan. Jadi aku langsung saja merogoh kantung celanaku dan
mengambil ponselku. Ku tekan beberapa keypadnya dan menghubungi Hamid.
“Kak?”
aku menolehkan pandanganku pada Riri sambil tetap menempelkan ponselku di
telinga.
“Kenapa, Ri?”
“Handphonenya
kak Hamid di titipin ke Riri.. Takut jatoh di kamar mandi katanya..”
Oke,
jadi Hamid kembali uncontactable. Sekarang
aku menekan keypad ponselku dan
menghubungi Fred. Tak di angkat. Mungkin sedang sibuk mengendarai motornya. Aku
menunggu sebentar lagi. Tapi dia tak
juga muncul di hadapan kami dengan motor kesayangannya.
Aku
lalu menghubunginya sekali lagi. Semoga saja kali ini dia menjawab panggilan teleponku.
“Halo?”
“Lu jadi ikut lunch bareng kita nggak?” tanyaku to the point. Tak perlu basa- basi untuk
hal yang seperti ini.
“That’s ok.. Hati- hati di jalan.” Pesanku.
“Bye..” aku kembali
menyarangkan ponselku ke dalam kantung celanaku.
“Kak Fred nggak ikut makan sama
kita?” tanya Nita.
“Nggak.
Dia ada urusan kayaknya. Sekarang kita tinggal nunggu Hamid deh..” kataku
sambil duduk sembarangan di pot bunga besar yang ada di dekat dengan tempat
lomba diselenggarakan tadi.
“Sorry lama.”
“Mid Mid.. Lu ke kamar mandi yang
di belakang sana apa ke kamar mandi yang ada di rumah deh? Hampir satu jam baru
balik.. Ngapain aja? Semedi?” kesalku.
“Tadi pintunya kekunci dari luar..
Jadi gue nunggu orang buat bukain.. Ayo kita pergi sekarang, gue udah
kelaperan..” aku mengangguk- angguk saja menerima alasannya. Tak mau ambil
pusing lagi. Yang penting sekarang semuanya sudah lengkap. Jadi kami bisa
segera meluncur pergi ke rumah makan.
Aku, Riri dan Hamid menggunakan mobilku
(seperti biasa). Sedangkan Nita, Nate dan Billy menggunakan mobilnya Billy.
Kami pergi meluncur ke rumah makan yang tadi sempat aku telepon untuk
membooking tempat. Karena kalau tidak, bisa tidak kebagian tempat dan harus
mengantre panjang sekali.
“Kalian mau pesen apa?” tanyaku
pada kepala- kepala yang mengelilingi meja di saung.
“Riri mau makan ayam bakar aja..
Sama keredoknya yang pedes..” kata Riri cepat.
“Alex?” tanyaku. Dia menimbang-
nimbang sejenak.
“Samain kayak Marissa aja..”
“Hamid?”
“Apa aja.”
“Oke kalau begitu lu makan angin
aja.” Kataku cepat. “Pilih buruan. Nggak ada menu ‘apa aja’ di sini..”
“Samain aja deh kayak lu.” Katanya.
“Nate?”
“Idem sama kak Nino aja.” Aku
mengangguk- anggukkan kepala sambil menuliskan pesanan mereka.
“Kalian berdua mau makan apa?”
tanyaku pada pasangan paling romantis di sini.
“Kita makan hmmm.. Apa ya? Yang
jelas kita pesen nasi..”
“Itu mah udah pasti, Nita..” kataku
gemas.
“Kita pesen pecak gurame aja kak.”
Kata Billy.
“Oke, jadi kita pesen ayam bakar 2,
ikan mas goreng 3, pecak gurame 2, tahu tempe 2 porsi, keredok 2 sama sayur
asem 4.. Minumnya teh tawar aja deh, mas..” kataku mengulang pesanan kami
sebelum menyerahkannya pada pelayan yang sedari tadi sudah menunggu di sebelah
saung.
“Kak, pecak guramenya 1 aja.. Satu
juga gede ikannya..” kata Nita. Aku segera merubah kuantitas pecak gurame yang
ada di daftar pesanan kami.
Setelah menyerahkan pesanan kami,
yang harus dilakukan saat ini adalah menunggu dengan sabar. Dan aku tak bisa
menahan keinginan untuk melahap otak- otak yang ada di hadapanku. Rasa lapar
ini begitu menyiksa.
Dan ini menurutku agak sedikit
aneh. Biasanya aku bisa melewatkan waktu makan siang dengan damai kalau sedang
ada di rumah sakit. Sekarang kenapa jadi kalap begini? Apa karena tak ada
kesibukan seperti jika di rumah sakit? Atau memang godaan makanan di sini
terlalu dahsyat? Ah, biarkanlah.
Setengah jam kemudian, makanan yang
kami pesan mulai berdatangan satu persatu. Dimulai dari nasi dalam sangku yang masih mengepul. Disusul
dengan keredok dan tahu tempe goreng. Lalu sambal terasi, ini tak kalah penting
untuk ada di meja makan. Disusul oleh segala macam ikan yang tadi ada di
pesanan dan sayur asem.
Aku segera menyendok nasi yang
masih mengepul panas ke atas piring dan mencomot seekor ikan mas goreng juga
beberapa sendok sambal. Ah, aromanya benar- benar menggoda.
“Semuanya, makan..” kataku. Oke,
ini kebiasaan yang agak sedikit sulit di kontrol hingga saat ini.
Rasa ikan mas goreng yang gurih
bercampur dengan sambal terasi yang pedas dengan aroma menyengat segera membuai
inderaku. Memberikan aku kenikmatan yang benar- benar menyenangkan. Semuanya
yang ada di sekeliling meja makan juga begitu. Nita dan Billy yang tetap saja
romantis (dan membuat iri) di tiap kesempatan, Nate yang (sepertinya) sama
kelaparannya denganku. Juga Riri dan Alex yang seperti anak SMA kasmaran.
Saling bertatapan meski sedang makan. Membuatku sedikit bertanya apa nanti
mereka tidak salah mengambil makanan jika makan dengan cara yang seperti itu.
Kemudian saat menatap Hamid, aku
melihat sesuatu yang berbeda. Insting ke-kakak-an-ku (karena aku yang paling
tua di sini sekarang) bekerja. Memberi sinyal pada otakku. Seperti
memberitahukan jika ada yang tak beres dengan Hamid. Dia hanya mengaduk- aduk
nasi dan ikannya saja sedari tadi. Memasukkannya ke mulutnya bukan dalam suapan
yang sewajarnya. Sedikit demi sedikit, benar- benar dalam suapan yang kecil.
“Lu kenapa, Mid? Katanya tadi udah
kelaperan.. Kok sekarang Cuma di belai- belai doang itu ikan gorengnya?”
tanyaku. Dia tak menjawab. Hanya terus menumpukan pandangannya ke atas piring
yang telah berkurang isinya dengan sangat tidak signifikan sekali.
“Mid? Lu kenapa?” tanyaku sekali
lagi. Dan lagi- lagi dia tidak menjawab.
Sekarang semua yang ada di
sekeliling meja makan telah memandangi Hamid dengan seksama. Mempertanyakan
sikapnya yang benar- benar tidak mencerminkan orang yang sedang lapar.
“Mid?” tanyaku. Agak keras kali
ini. Dia langsung mengangkat pandangannya dari piring yang sudah habis dia
jelajahi permukaannya.
“Hah? Iya, kenapa?” dia menjawab
dengan gelagapan.
“Lu kenapa, kak?” kali ini Riri
yang bertanya. “Lu sedih gara- gara inget nyokap lu lagi?”
Hamid hanya menarik napas dalam-
dalam dan menghembuskannya panjang. Seperti hendak menyembunyikan segala
pikiran yang memberatkan bahunya saat ini. Enggan membaginya kepada kami.
Memberikan senyum kecil yang entah untuk apa tujuannya.
“Jangan sedih lagi.. Gue dan yang
lainnya akan terus berusaha supaya lu nggak sedih lagi tiap inget nyokap lu..”
kata Riri sambil meremas tangan Hamid.
Aku melihat Hamid sedikit tersentak
saat menerima sentuhan dari Riri. Kemudian melayangkan sebuah sorot berterima
kasih atas pengertian yang di berikan.
Aku merasa sedikit lega melihatnya.
Tapi kemudian aku melihat air
mukanya berubah. Seperti jengah akan sesuatu, tidak enak karena hal tertentu.
“I’m ok.. I’m fine..” kata Hamid sambil melepaskan genggaman tangan
Riri pada tangannya.
Dan yang membuatku semakin heran
adalah saat aku melihat Alex. Dia menatap Hamid dengan cara yang tidak biasa.
Tajam dan sinis. Marah. Dia tidak seperti ini sebelumnya. Apa yang terjadi
sebenarnya?
**********
“Thanks ya, kak..” katanya sambil melepaskan helm yang sedari tadi
melindungi kepalanya dari sengatan sinar matahari yang terlalu riang bersinar.
Diikuti dengan jaket yang tadi dipinjamkan oleh pengendara motor itu padanya.
Menyerahkannya kepada lelaki yang sudah berbaik hati mengantarkannya ke muka
rumahnya.
“Hm.”
“Masuk dulu, kak?”
“Makasih. Gue mau langsung aja.”
“Oh, oke. Hati- hati di jalan..”
katanya.
“Hm. Masuk sana.”
Gadis itu mengangguk dan
melangkahkan kakinya menuju ke dalam rumahnya. Mengorek isi tas kecilnya dan
mengambil kunci rumah. Sedangkan lelaki yang masih bertengger di atas motor tak
juga beranjak pergi. Terbiasa untuk menunggu siapapun yang dia antarkan masuk
dulu ke dalam rumahnya baru kemudian pergi.
Sesaat setelah dia melihat Lea
melambaikan tangannya dari ambang pintu rumah dan menutup pintunya, dia
menyalakan mesin motornya.
“Hyaaaaaaaaa!”
Dia kaget mendengar Lea yang
berteriak seperti itu. Langsung saja dia mematikan mesin motor dan melepaskan
helmnya. Tanpa melepaskan sarung tangannya, dia langsung berlari ke arah rumah
Lea.
Tak perlu lagi dia mengetuk pintu
rumah. Langsung membuka pintu rumah itu.
“Kenapa?”
“Kakaaak.. Ada tikus lewat di depan
gue.. Hueee…” Fred tak memperhatikan Lea saat dia mengatakan alasan dia
berteriak. Hanya terus memandang ke dekat sofa tempat Lea berdiri saat ini.
“Kak?” Lea mengikuti arah pandang
Fred.
“Hueeeee!” dia kembali histeris.
Tanpa terduga, tikus yang ada di dekatnya malah memanjat menaiki sofa tempat
Lea berada sekarang. Fred langsung melangkah panjang hendak menenangkan Lea.
Tanpa terduga Lea malah melompat ke arah Fred.
“Ergh!” pekik Fred saat secara
refleks menangkap tubuh Lea agar tak membentur lantai.
Lea menenggelamkan wajahnya di
lekukan leher Fred. Terlalu takut sekaligus jijik dengan makhluk yang satu itu.
Trauma karena makhluk kecil satu itu pernah menggerayangi tubuhnya waktu dia
kecil.
Fred yang merasakan lehernya basah
segera mengetahui kalau cairan itu berasal dari mata Lea. Dia menarik napas
panjang dan mengedarkan matanya ke segala penjuru ruangan. Mencari tempat yang
kira- kira bisa dijadikan tempat untuk Lea ‘mendarat’.
Dia akhirnya berjalan menuju (yang
menurutnya) ruang tv. Menurunkan Lea di sana. Tapi Lea tidak melepaskan
cengkraman tangannya dari baju yang di kenakan Fred. Tak ingin di tinggalkan.
Masih merasa terancam oleh kehadiran makhluk mini itu di dekatnya.
“Kalau lu nggak ngelepasin baju
gue, gimana caranya gue bisa ngeluarin tikus itu dari rumah lu?” katanya. Lea
kemudian melepaskan cengkramannya dengan perlahan. Seakan ragu untuk melakukan
hal itu.
Fred kemudian kembali ke sofa di
ruang tamu. Mencari tikus yang menyusahkan itu. Dia mencoba menangkapnya dengan
tangan kosong. Tapi tikus itu sepertinya juara lomba marathon. Terlalu cepat
untuk ditangkap tanpa menggunakan alat bantu.
Akhirnya dia melihat sapu di dekat
dapur. Dengan cepat, dia mengambil sapu itu dan mulai kembali berburu tikus
menggunakan sapu itu.
‘Braak!’
Dan si tikus terkapar tak bergerak
di lantai. Entah mati atau Cuma sekedar pingsan. Dia tak tahu. Yang pasti, dia
harus segera membuang makhluk mini itu ke luar rumah agar Lea tak lagi histeris
seperti tadi.
Dengan cepat dia mengambil tikus
itu dengan cara memegang buntutnya.
“Tempat sampah dimana?”
“HIYAAAAAAA!” Fred tentu saja kaget
dan segera berlari keluar rumah. Lebih memilih untuk mencari sendiri cara untuk
menjauhkan tikus itu dari Lea. Untungnya di depan rumah Lea ada petugas
kebersihan yang sedang bertugas. Fred langsung saja membuang tikus itu ke dalam
gerobak sampah dan kembali masuk ke dalam rumah, mencari sendiri dimana kamar
mandi berada. Untuk mencuci tangan yang tadi dia pergunakan untuk memegang
tikus itu.
Dan saat dia melihat keadaan Lea,
dia berdecak. Keadaannya benar- benar kacau. Wajahnya basah oleh air mata,
bibirnya kering dan pucat. Duduk menekuk lututnya di atas sofa ruang tv.
Fred menghampirinya dan mengambil
tissue yang ada di dekat situ. Dengan lembut dia menghapus air mata Lea yang
masih berurai dengan tissue itu.
“Ck, tikusnya udah gue buang.” Tapi
Lea tetap bergeming. Gemetar ketakutan masih bersarang dalam tubuhnya. Fred menghembuskan
napas panjang. Mengedarkan pandangannya (lagi- lagi) keseluruh ruangan.
Dia melangkah menjauhi Lea.
Beranjak ke arah dapur. Menjerang sedikit air dan membuat teh manis. Setelah
selesai, dia memberikannya pada Lea yang diterima dengan tangan gemetar.
“Ma- makasih, kak hiks..”
“Hm. Bisa kita keluar aja? Nggak
enak sama tetangga.” Kata Fred sambil terus menengok ke kanan dan ke kiri.
Seperti jengah dengan keadaan yang dia alami sekarang.
“I- iya..” Dengan tangan yang masih
menggenggam cangkir teh manis yang tadi dibuatkan Fred, mereka berdua pergi ke
teras rumah. Tak ingin menimbulkan prasangka tidak baik dari tetangga di
sekitar rumah Lea. Tangan Fred melingkar sempurna di bahu Lea. Menjaganya agar
tak terjatuh ketika berjalan dengan kakinya yang masih saja bergetar kecil.
Setelah beberapa saat mereka duduk
berdampingan di depan rumah, Lea sudah tidak terlalu ‘parah’ keadaannya seperti
tadi.
“Kak, makasih buat semuanya..
Makasih udah mau nolongin gue pas di jambret tadi siang.. Makasih juga karena
udah mau ngusirin tikus yang tadi ada di rumah gue.. Tehnya juga, makasih..”
“You’re welcome..” kemudian kembali hening. Lea masih saja menghirup
perpaduan aroma musk dan melati yang terus mengudara di sekitarnya. Menciptakan
aroma yang begitu membiusnya. Perpaduan aroma yang bisa menghilangkan segala
macam ketakutan yang tadi mengisi benaknya.
“Gue pulang.”
“Oh, iya. Hati- hati di jalan,
kak.. Makasih sekali lagi.” katanya pada Fred yang telah sampai di pagar
rumahnya.
Dan dia tak dapat mempercayai apa
yang sekarang tengah dia lihat. Senyum kecil milik Fred yang sulit ditemui di
tiap kesempatan. Membuatnya kembali terbuai dalam manisnya bunga- bunga cinta
dalam dadanya.
**********
Dia baru saja keluar dari kamar
mandi saat ponsel pintarnya berdering. Tidak nyaring, tapi bisa langsung
membuatnya berlari terbirit- birit saat mendengar nada dering yang terlontar.
Nada dering yang dia khususkan untuk satu orang yang spesial di hatinya.
“Halo, kak!”
“Halo, sayang.. Semangat amat..
Hahaha..”
“Semangat dong.. Kan kakak yang
nelepon aku.. Gimana keadaan kakak disana? Sehat kan?” tanyanya sambil terus
berputar- putar dalam kamar yang sejak beberapa minggu lalu resmi di
tempatinya.
“Kita semua di sini sehat kok..
Kamu di sana gimana?”
“Semuanya aman terkendali, boss..
Hahaha..” jawabnya sambil merebahkan tubuhnya yang hanya berlilitkan handuk
putih ke atas ranjang.
“Syukur deh kalau begitu.. Betah
kan di tempat yang baru?”
“Banget.. Tapi kakak yakin nggak
apa- apa kalau aku nempatin apartemen kakak? Nanti kalau kakak sama kak Darren
pulang ke sini, mau tidur dimana?”
“Nggak apa- apa.. Kan sayang
apartemennya kalau nggak ditempatin.. Mendingan kamu yang nempatin selama kami
nggak ada di sana.. Kalau kami pulang, ah, itu bisa diatur..”
“Yakin?”
“Yakin banget.. Udah, kamu nggak
usah khawatir soal itu, Nate. Yang penting kamu nyaman dan aman di sana. Jadi
aku juga tenang di sini..” Nate yang mendengar hal itu merasa terharu.
“Aah, kakak.. Makasih..”
“Ck, nggak usah berterimakasih
kayak begitu, Nate.. You’re my girl.. Jadi,
apa sih yang nggak buat kamu..”
“Aw! Kakak so sweet bangeet.. Jadi makin kangen sama kakak kan jadinya..”
“Aku juga jadi makin kangen sama
kamu.. Gimana keadaan yang lain?”
“Oh, iya.. Aku lupa ngasih tahu ke
kakak.. Kak Alex udah keluar dari rumah sakit sekarang.. Jadi Riri udah mulai
biasa lagi.. Kemarin aku udah ngerekamin pas mereka lomba. Keren banget lho
kak.. Rencananya hari ini mau aku upload ke Youtube biar kakak bisa nonton
juga.. Terus belum lama ini, sekitar enam minggu yang lalu, ibunya kak Hamid
meninggal.. Dan sampai sekarang dia masih suka sedih tiap inget ibunya.. Tapi-“
“Kalian pasti selalu berusaha buat
ngehibur dia, teruatama Riri, iya kan?” potong Darrel. Membuat Nate
menganggukkan kepalanya membenarkan perkataan Darrel barusan.
“Iya..”
“Semoga Hamid tabah ya..” kata
Darrel dengan nada yang sarat dengan duka.
“Semoga..” sahut Nate dengan suara
yang tak kalah beduka.
“Kak, udah malem kan di sana? Tidur
gih.. Jangan kebanyakan begadang.. Nggak bagus buat kesehatan.. Salam ya buat
semuanya yang di sana..”
“Kamu mau nitip salam sama semua
penghuni London?” tanya Darrel. Seperti memastikan apa yang baru saja di
dengarnya.
“Nggak lah kakak.. Aku kenal mereka
aja nggak.. Maksud aku salamin buat orang tua kakak, kak Darren sama kak
Prita..”
“Hahahaha.. Iya, Nate-ku sayang..”
“Good night..”
“Good night.. Love you..” ucap Darrel begitu lembut.
“I know.. Hehehe.. Love you
too..”
Nate tak dapat menahan seringai
bahagia bertandang di wajahnya sesaat setelah bercakap dengan Darrel. Merasa
bahagia meski hanya mendengarkan suaranya saja. Membebaskannya dari belenggu
kerinduan yang begitu membuncah di dada setelah beberapa minggu tak bisa
berkomunikasi dengan lelakinya. Terlalu sibuk dengan tugas kuliah yang tiba-
tiba menerjang mereka seperti air bah.
Terlebih dia yang baru saja
membereskan barang- barang yang dia boyong menuju tempatnya yang baru.
Apartemen Darrel yang ada di Jakarta. Darrel memintanya untuk pindah saja ke
sana karena tidak mau terus menerus merepotkan Riri dan keluarganya. Terus
menitipkan keberadaan Nate di rumah mereka.
Dan Nate hingga sekarang masih
betah terlentang di atas ranjang dengan senyum yang tak juga pudar
keberadaannya. Masih terlena oleh kebahagiaan setelah terbebas dari rindu.
Hingga tak merasakan dinginnya AC yang terus saja membelai kulitnya yang belum
tertutupi dengan layak.
**********
Perkuliahan telah selesai sejak
beberapa menit yang lalu. Kelas telah kembali kosong. Berbanding terbalik
dengan kantin yang mendadak berubah jadi arena pertarungan untuk memperebutkan
tempat makan beserta makanan yang dirasa cukup untuk mengganjal perut.
Riri dan yang lain sudah ada di
salah satu meja kantin. Lengkap dengan makanan yang ada di hadapan masing-
masing.
Dengan perlahan Riri melahap gado-
gado pedasnya bersama dengan Alex. Entahah, sejak keluar dari rumah sakit,
mereka berdua selalu saja makan sepiring berdua, minum segelas berdua. Entah
ingin menyaingi kemesraan pasangan Nita- Billy yang mamang selalu membuat iri
para jombo atau para single atau
memang malas memesan makanan lagi atau apa.
Semetara Billy melahap nasi telur
buatan Nita. Sebuah resep yang baru saja dia ciptakan tadi pagi karena lupa
berbelanja guna membuat bekal untuk Billy. Hanya tersisa nasi, kol, sosis,
brokoli dan beberapa butir telur. Akhirnya dia membuat telur dadar dengan kol
yang diiris halus.
Kemudian telur itu dia gunakan
untuk membungkus nasi. Sosis yang ada dia goreng dengan bentuk bunga. Sedangkan
brokoli yang telah di cuci dia tumis dengan sedikit tambahan merica dan garam.
Setelah selesai, nasi telur itu dia letakkan di dalam kotak bekal yang pas. Di
atasnya dia letakkan beberapa potong sosis goreng dan tumis brokoli yang masih
menghijau. Terlihat menggoda untuknya.
“Enak nggak, kak?” tanya Nita pada
Billy yang tengah mengunyah masakan Nita dengan seksama. Kemudian dia
mengangguk. Riri yang melihat hal itu ikut mencicipi makanan Billy.
“Asin, Nit..” keluh Riri sebelum
mereguk sedikit air dari botol minumnya.
“Hah, masa?”
“Cobain aja..” kata Riri.
Nita segera mengambil sendok yang
ada di dalam genggaman tangan Billy. Dia memotong kecil bagian telur yang
membungkus nasi di dalamnya dan memakannya.
“Kak, asin.. Kok kakak aku tanya
enak apa nggak ngangguk- ngangguk aja..”
“Karena menurutku ini emang enak.”
“Kak, ini nggak enak.. Udah ah,
jangan dimakan..” kata Nita sambil bergerak untuk mengambil kotak makan yang
ada di hadapan Billy.
“Nggak. Ini punya aku.” kata Billy
sambil mempertahankan kotak makannya. Dengan entengnya dia memasukkan sesendok
lagi nasi telur itu kedalam mulutnya.
“Lah? Kan nggak enak, kak..
Keasinan itu..”
“Cuma sedikit keasinan doang. Masih
layak dan enak buat dimakan.”
“Enak dari mananya coba.. Udah,
jangan dimakan lagi, kak…”
“Semua masakan yang kamu bikin
selalu enak buat aku..”
“Kak-”
“Lagian kalau kamu ambil masakan
kamu ini, terus nanti dikemanain? Di buang? Nita, sayang.. Masih terlalu banya
orang di luar sana yang nggak bisa makan dengan layak kayak gini.. Terus aku
harus ngebuang- buang makanan?” sambungnya sambil menyentil kecil hidung Nita.
“Hahaha.. Makasih.. Yaudah kalau
gitu aku bantuin makan.. Kan aku yang masak, jadi aku juga harus tanggung jawab
buat ngabisinnya..”
Dan akhirnya mereka kembali membuat
iri orang- orang yang berada satu meja dengan mereka. Kemesraan unlimited.
“Ah! Gimana kalau kita ngadain
acara konser amal? Kan sekarang udah terlalu banyak orang yang lagi hidup
susah. Kita sebagai orang yang bisa hidup lebih layak wajib ngabantuin
mereka..” usul Riri.
“Kapan mau mulai ngerjainnya? Gue
sih kapan aja bisa, tinggal nunggu jadwal wisuda doang. Nah lu semuanya? Belom
ngerjain tugas yang seabrek, belom nyiapin lomba bulan depan, belom nyiapin
materi kuliah buat UTS, belom-“
“Stop, kak.. Please jangan disebutin
satu- satu.. Agak puyeng ya gue ngedengernya..” kata Nate menghentikan kata-
kata Hamid yang duduk persis di sebelahnya saat ini. Membuatnya tak berselera
untuk menghabiskan makanannya saja.
“Kalau gue juga boleh ikutan usul,
kenapa nggak dilaksanain nanti aja pas setelah UTS sama setelah lomba? Kalau
perlu setelah UAS sekalian.. Jadi pas kita semuanya lagi libur kuliah..” kata
Lea. Membuat semua orang yang ada di meja berpikir sejenak. mempertimbangkan
idenya itu.
“Boleh.” Sahut Fred. “Abis UAS
waktunya lebih panjang.”
“Jadi persiapannya bisa lebih
matang.” Sambung Billy.
“Kebetulan gue denger BEM kampus
juga mau ngadain malam amal gitu. Entah kapan, tapi kenapa kalian nggak gabung
aja?” kata Alex sambil menyendok setengah dari porsi makanannya (dan Riri) yang
tersisa.
“Kok gue nggak pernah denger ya?”
taya Fred. Billy juga mengrenyitkan alis heran. Pasalnya mereka berdua juga
angota BEM kampus, tapi mereka berdua tak tahu ada acara malam amal yang akan
diselenggarakan.
“Itu sebenernya baru wacana doang..
Tapi ketuanya udah setuju kok.. Dan katanya, kalau beneran bakal diadain malam
amal, acaranya diselenggarain setelah kita lomba.. Jadi kita semua bisa ikut
berpartisipasi..”kata Alex menggebu- gebu.
“Hahaha.. Iya, iya.. Kita ikutan
aja sama acara BEM kampus..” kata Riri sambil berdiri dari kursinya. Dia
kemudian menghampiri beberapa anak kecil yang sedari tadi memperhatikan mereka
makan.
“Kalian kenapa ngeliatin aja
daritadi? Mau makan juga? Ayo kita pesen..” terlihat anak- anak kecil tersebut
menggeleng pelan sambil menundukkan kepalanya. Riri melirik sekilas pada
karung- karung yang mereka bawa. Dan langsung mengerti apa yang mereka
perhatikan sejak tadi.
“Kalian mau ngambil botol- botol
plastik yang ada di meja sana?” mereka mengangguk.
“Kalau gitu, ayo ikut kakak.. Kita
ambil bareng- bareng..” katanya sambil meraih tangan salah satu anak itu. Yang
ditarik hanya bisa menatap dua orang temannya yang masih diam di tempatnya
dengan tatapan takut.
“Give me those empty bottles, please..” pinta Riri pada teman-
temannya. Setelah mengumpulkan banyak botol yang memang banyak terdapat di atas
meja mereka, Riri memberikannya kepada anak kecil yang berdiri di belakangnya.
“Nih.. Tunggu dulu.. Kamu tunggu di
sini dulu sebentar..” katanya. Dengan langkah panjang, dia pergi entah kemana.
Tak sempat terikuti jejaknya di kantin yang terlalu ramai. Tak berapa lama,
Riri telah kembali dengan beberapa bungkus kantung plastik hitam.
“Ini kakak beliin makanan buat
kamu.. Temen- temennya juga di kasih ya..” katanya sambil menyerahkan kantung-
kantung itu pada anak kecil yang masih saja mematung di hadapannya. Melihat
berbungkus- bungkus makanan yang kini ada di tangannya, anak kecil itu
tersenyum gembira.
“Makasih, kak.. Makasih..”
“Iya.. Jangan lupa kasih temen-
temennya ya..” kata Riri agak keras karena anak kecil itu telah berlari
menjauh. Tak sabar memberikan teman- temannya makanan yang tadi diberikan Riri
untuk mereka.
“Marissa-ku baik sekali..” kata
Alex sambil mempersilahkan Riri untuk kembali duduk di sebelahnya.
“Hahaha.. Makasih..”
“Jadi makin cinta deh sama kamu..”
bisiknya di telinga Riri. Riri tersenyum mendengarnya.
Oke sekarang bertambah satu lagi
pasangan yang membuat iri di meja kantin. Mungkin harus dipasang papan yang
melarang pasangan untuk pamer kemesraan di area umum guna melindungi hati
jejomblo yang terus tergerogoti envy.
“Ri, nanti kita ada kelas tambahan..
Tadi gue baru aja terima sms dari ketua kelasnya..” kata Lea.
“Jam berapa?”
“Jam setengah empat..” kemudian
tiba- tiba saja seluruh tubuhnya kaku. Suhu tubuhnya dia rasa meningkat
drastis. Dan saat ini, dia yakin kalau wajahnya telah memerah mengalahkan tomat
paling ranum yang pernah dia lihat.
“Thanks, kak..” katanya pelan setelah jemari milik Fred rampung
menyeka saus somay yang ada di ujung bibirnya. Dan lagi- lagi dia menerima
senyuman kecil milik Fred yang benar- benar menggetarkan seluruh dunianya.
**********
Taman kampus adalah tempat yang
kami pilih untuk bersama kali ini. Rasanya lelah kalau harus berpindah tempat
lagi ke yang lain. Setelah mencari tempat yang tak terkena sinat matahari senja
yang tetap saja membakar, aku dan kak Alex duduk begitu saja di rerumputan.
Ditemani beberapa buah buku yang telah habis kami pelajari beberapa saat lalu,
tentu saja dengan ditemani kak Alex.
Itulah enaknya punya pacar kakak
tingkat. Kalau ada materi kuliah yang tidak dimengerti, bisa ditanyakan sama
dia. Ya aku inilah contohnya. Aku tak mengerti dengan materi mata kuliah yang
baru saja aku pelajari. Dan kak Alex pasti dengan senang hati mengajariku
hingga benar- benar mengerti semuanya. Kalau sudah selesai, tinggal pergi
jalan- jalan kemanapun aku atau dia mau. Menyenangkan kan?
“Ri?”
“Hmm?”
“Lagu yang kemarin itu, siapa yang
milih buat mainin lagu itu?”
“Kak Fred. Kenapa emang?” tanyaku
sambil menolehkan kepalaku agar bisa menatap wajahnya, atau sebagian wajahnya.
Posisiku saat ini membuatku tak bisa memandangi wajahnya secara utuh. Dan aku
terlalu malas untuk mengangkat kepalaku dari dadanya setelah seharian menyerap
materi kuliah yang bejibun.
“Nggak kenapa- kenapa. Yang
ngaransemen juga dia?” aku mengangguk antusias.
“Iya, kak Fred yang ngaransemen sendiri.
Keren banget jadinya. Aku bener- bener merinding pas pertama kali denger kita
mainin arransemennya. Feelnya kerasa
banget, kentel. Apalagi pas bagian- bagian akhirnya. Dan setelah aku cari
artinya di internet, dalem banget..”
“Oh ya?”
“Iya.. Kak Fred emang hebat deh.
Nyaranin lagu keren kayak gitu. Bahkan tetep aja keren walau semua liriknya
hilang diganti sama instrument.. Arransemennya, nada- nadanya sederhana, tapi
hasilnya bener- bener nggak sederhana-“
“Ri, kita pulang yuk.”
“Hah?”
“Kita pulang sekarang.” Katanya
sambil mendorong pelan tubuhku ke depan hingga dia bisa berdiri setelah sekian
lama menjadi tempatku bersandar.
Padahal rencananya kami mau
menghabiskan waktu sesorean di sini. Tapi kenapa sekarang dia yang mengajakku
untuk pulang lebih awal? Agak aneh. Apalagi saat melihat wajahnya yang terlihat
berbeda dari biasanya. Ada apa sebenarnya?
“Kakak kenapa?”
“Aku Cuma cape.” Jawabnya singkat.
Nada suaranya pun berubah. Sedikit mendingin. Apa benar dia hanya sedang lelah?
**********
Aula kembali ramai, oleh orang-
orang yang sama. Siapa lagi kalau bukan anak- anak UKM Orchestra. Mereka sedang
merundingkan tema lomba yang sedikit aneh kali ini. ‘Last’. Satu kata itu membuat berpuluh- puluh kepala yang ada di
dalam ruang aula pusing setengah mati. Apa kira- kira lagu yang bisa sejalan
dengan tema itu?
“Last.. Last.. Itu artinya terakhir.. Apa lagu yang enak buat itu?”
gumam Alex.
“Terakhir, ya? Berarti setelah itu
nggak ada lagi.. Lalu?” sambung Riri.
“Kayaknya ada banyak lagu yang bisa
jadi bagian dari tema ini deh.. Tapi kenapa tiba- tiba blank begini?” rutuk salah satu anggota yang berkumpul siang itu.
“Menurut lu lagu yang pas apaan,
Ri? Biasanya kan ide lu yang paling cepet datengnya kalau masalah kayak
beginian..” tanya salah seorang yang lainnya.
“Gue juga bingung. Terakhir.. Last..” gumamnya lagi.
Kemudian suasana kembali hening.
Bukan karena mengheningkan cipta. Melainkan karena mereka semua terlalu sibuk
berenang dalam pemikirannya masing- masing. Berusaha memecahkan tema yang
beberapa saat lalu diberikan pada mereka.
“Last. Terakhir. Berarti nggak akan ada lagi. Berarti nggak akan
ketemu lagi. Selamat tinggal. Farewell.”
Kata Fred. Membuat semua yang ada di aula memandangnya dengan mata membulat
heran.
“Apa?” tanya Alex yang masih belum
bisa mengerti kalimat- kalimat yang baru saja diracaukan oleh Fred.
“Farewell. Lagu yang menurut gue bisa merepresentasikan tema kali
ini.” tak ada reaksi apaun dari berpuluh- puluh kepala yang ada di sana.
“Itu yang mana, ya?” tanya Riri
pada akhirnya memecah keheningan.
Fred mengamati wajah- wajah yang
tersebar di sekitarnya dan menangkap raut yang sama dari sana. Bingung dan
tidak tahu. Oke, berarti hanya dia sendiri yang mengetahui lagu itu. Dan
sekarang dia wajib memainkan lagu itu untuk mereka.
Dia mengeluarkan ponselnya dan
membuka folder yang ada di sana. Mencari di tengah kubangan mp3-nya yang
jumlahnya lebih dari lima ratus lagu. Kemudian mendesah kecewa saat tak
mendapati lagu yang dia inginkan di sana.
“Sebentar.” Katanya. Dengan segera
dia menghubungkan ponsel pintarnya dengan jaringan internet. Masuk ke dalam
akun penyimpanan pribadinya. Karena dia tahu dia telah menyimpan lagu itu di
sana. Hal yang selalu dilakukannya jika dia memiliki lagu baru. Terlebih jika
lagu itu amat sulit di temukan, seperti farewell
ini.
“Denger.” Perintahnya. Dia segera
membesarkan volume ponselnya agar lagu itu bisa menjamah pendengaran semua
orang yang ada di aula.
“Mana?” tanya salah seorang di
antara mereka.
“Sabar. Awalnya emang lembut banget
dan hampir nggak kedengeran. Tapi kalian harus tetep ngedengerin sampe akhir.
Terlalu bagus untuk dilewatin.” Katanya meyakinkan. Seperti salesman yang
sedang mempromosikan barang dagangannya.
Berpuluh-puluh orang itu segera
berdiri mendekati Fred. Atau lebih tepatnya menggerakkan telinga mereka sedekat
mungkin dengan ponsel Fred.
Nada- nada yang dimainkan mulai
terdengar jelas.
Semuanya menahan napas saat bagian
dari akhir lagu dimainkan. Nadanya berkejaran dengan indahnya. Terdengar
gemulai tapi tetap tegas.
“Ini keren banget..” seru Riri.
“Kita pake lagu ini aja!”
Yang lain mengangguk antusias. Menyetujui
ide yang baru saja di lontarkan Fred. Membebaskan mereka dari kebingungan yang
tiada terkira.
“Ah, kak Fred bisa banget milih lagunya..
Ini bener- bener keren.. Kirimin dong, kak..” pinta Riri. Dan tentu saja Fred
mengirimkannya dengan senang hati. Dalam hati dia bertaruh, Riri pasti akan
mendengarkan lagu itu beberapa hari kedepan. Kebiasaan yang telah lama dia
ketahui setelah lebih dari dua tahun berteman.
Jika Fred merasa bahagia dengan hal
itu, ada satu orang yang merasakan dadanya bergejolak. Tidak senang dengan apa
yang baru saja dia saksikan.
To be continue.
Posted at my house, Tangerang City.
At 11:40 p.m
Puji Widiastuti
Seseorang yang baru saja belajar
menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita.
Dan saya mengharapkan kritik
konstruktif dari anda :D
Don’t be a silent reader, please..