Jumat, 25 Mei 2012

Love the Ice part 27


Dia sudah mengetahui semuanya. Dengan cepat tapi tak mengundang perhatian, dia pergi meninggalkan tempat itu.Tak mampu lagi untuk terus berada di tempat itu. Ingin sesegera mungkin menghindari kenyataan yang terpaksa harus dihadapi olehnya sekali lagi. Mungkin ini terdengar terlalu pengecut. Tapi memang begitulah adanya. Dia tidak ingin menghadapi bagian dari hidupnya yang telah dia anggap sebagai masa lalu yang sekuat mungkin dia lupakan keberadaannya.

“Namanya Syahmidillah dan Siti Marwah..” kata Ibu.

Riri dan Nino kaget mendengarnya. Syahmidillah? Mereka tahu nama itu. Terlalu familiar di telingan mereka.

“Hamid?” tanya Nino tak percaya.

“Bukan Hamid, No.. Syahmidillah..” ralat Ayah.

“Syahmidillah itu nama panjangnya kak Hamid, Yah..” kini giliran ayah dan ibu yang terkaget- kaget.

“Hamid? Jadi Hamid adalah anak Wati? Nggak mungkin..”

“Kenapa nggak mungkin, Bu?” Riri yang mendengarnya keheranan.

“Jadi dia tidak menggugurkan anak Syach waktu itu?” gumam ibu.

“Tidak menggugurkan anak Syach? Maksud Ibu?” tanya Nino.

“Mana Hamid? Dia harus secepatnya ke rumah sakit..” Ibu mencari- cari Hamid di sekitarnya.

“Kak Ha-mid.. Kak? Kak Hamid?” panggil Riri. Hamid yang tadinya ada tak jauh di belakangnya telah tiada. Nino melangkah ke arah kamar mandi. Mengira mungkin saja Hamid masiha da di sana. Mungkin perasaannya yang mengatakan tadi Hamid juga ikut mendengarkan pembicaraan mereka itu salah.

Ketika tidak menemukan Hamid dimanapun di semua bagian rumah, Nino merogoh poselnya dan menghubungi Hamid. Dan dia mengerang putus asa saat Hamid tak kunjung menjawab panggilannya.

“Ayah sama Ibu mau nyari Hamid ke rumahnya. Kalian di sini aja. Kalau dia balik ke sini, tahan dia selama mungkin sambil nunggu kami pulang.” Kata Ayah. Hamid dan Riri mengangguk tanda mengerti.

 “Kenapa lu pergi gitu aja, kak?” batin Riri.

**********

Angin malam kian dingin. Tapi orang itu tetap saja duduk di sana. Tak lagi memikirkan nyaman atau tidak. Pikirannya tak bisa dia atur saat ini. Masih saja terbang berkeliaran kemana- mana. Tak mempedulikan hatinya yang sejak tadi sudah ingin pergi melupakan memori itu.

“Kak, Mama mana? Kenapa kita nggak pulang ke rumah? Di sini dingin, kak..”

“Mama lagi pergi kerja, Ti..”

“Siti kedinginan, kak..”

“Sini kakak peluk biar nggak dingin..”

Kembali terbayang betapa tersiksanya dia dan Siti. Hidup di kota yang keras tanpa ada perlindungan dari kedua orang tuanya. Dia dituntut untuk menjadi tulang punggung untuk dirinya dan adik satu- satunya di usia yang terlalu muda. Tujuh tahun. Usia dimana seharusnya dia masih menikmati manisnya masa kanak- kanak. Tapi dia malah menghabiskannya di jalanan. Mengais rupiah, menghadapi bahaya yang selalu mengintai di tiap dia melanagkah, harus bisa menjelma menjadi sosok orang tua untuk dirinya dan untuk Siti. Peran yang amat berat jika harus dilakoni oleh anak seumuran itu.

“Bego! Masa hari ini dapetnya segini doang! Emang anak bego lu! Pergi sana! Cari lagi! Kalo nggak, malem ini lu nggak akan dapet makan!”

“Lu kalo nyopet yang pinter dong! Masa lu nyopet dompet kosong?! Emang dasar anak bego! Nggak usah lu ikut- ikut sekolah amal itu! Bikin penghasilan gue kurang aja!”

“Udah berapa kali gue bilang?! Nggak usah ikut sekolah kayak gitu! Apa ini?! Lu nggak usah megang- megang segala macem buku sama pensil ini! Yang harusnya lu pegang itu dompet yang isinya banyak uang, tolol!”

Dia meraba bekas luka di bahu kanannya. Sebuah luka yang dihasilkan saat orang yang dulu sempat menjadi boss-nya marah karena dia masih saja nekat mengikuti sekolah untuk anak jalanan.

Sakit. Dan dia harus menahan rasa sakit itu selama berhari- hari karena tidak memiliki uang untuk membawanya ke dokter atau puskesmas. Bahkan obat merah sekalipun dia tak punya. Dia hanya bisa meringis kesakitan saat dia harus mencabuti serpihan kayu yang berasal dari patahan pensil yang di tancapkan di bahunya.  Dia juga harus bersandiwara agar Siti tak mengetahui keadaannya. Tak ingin Siti menjadi khawatir padanya.

“Mau minjem duit lagi? Heh! Yang kemarin- kemarin aja lu belum lunasin! Sekarang lu mau minjem lagi? Nggak! Nggak bisa!”

“Tolong, bang.. Adik saya sakit.. Saya nggak punya uang buat bawa dia berobat.. Apapun syaratnya, saya setuju.. Yang penting abang mau minjemin uang ke saya.. Tolong, bang..”

Tak pernah dia memikirkan kalau pada akhirnya karena seorang lintah darat hidupnya yang sudah demikian sulit jadi makin sulit. Karena lintah darat sialan itu, dia bertransformasi jadi orang yang berhati dingin untuk bertahan hidup.

“Hamid! Lu harus bayar utang- utang lu sekarang juga.. Dua puluh juta..”

“Banyak banget! Saya ingat kalau total utang saya lima juta..”

“Itu kan Cuma pokoknya doang. Bunga- bunganya belum.. Lu harus bayar semuanya.. Sekarang juga.”

“Sekarang juga? Saya nggak punya uang sebanyak itu, bang..”

“Hah! Nggak mau bayar utang sekarang? Bisa.. Lu boleh nggak bayar semua utang lu kok, Mid.. Semua utang lu gue anggap lunas.. Tapi Siti harus jadi istri gue.. Hahahahaha…”

Tangannya kotor. Terlalu kotor. Telah banyak darah mengalir di sana. Darah pertama yang mengotori tangannya adalah lintah darat itu. Dia tak bisa menerima kalau lintah darat itu meminta Siti untuk dijadikan istrinya yang kesekian untuk melunasi hutang- hutanganya.

Lalu preman pasar yang selalu saja mengambil semua uang yang telah dia dapatkan. Setelah itu dia mulai mengarungi jalan yang lebih keras demi mendapatkan sesuap nasi. Berkelahi jadi makanan sehari- hari. Luka bertebaran di sekujur tubuhnya. Membunuh atau dibunuh. Begitu prinsip yang selalu bergaung dalam pikirannya.

Dia tak pernah memikirkan resiko dari pekerjaan yang dia lakoni. Asalkan dia bisa memberi Siti penghidupan, dia akan melakukan apapun. Hampir kehilangan nyawa karena menjadi bodyguard muda untuk gembong narkoba pernah dia cicipi.  Menjadi pembunuh bayaran, telah dia lakoni di usia yang masih sangat muda. 17 tahun. Hampir semua jenis kejahatan telah dia lakukan.

Hingga dia akhirnya berkenalan dengan yang namanya karma.

Siti harus meninggal dibunuh oleh orang yang telah mengambil kegadisannya dengan paksa.

Hidupnya berantakan. Jiwanya seketika mati. Tak bisa mengikhlaskan kepergian Siti. Dia mencari kemanapun pelaku pembunuhan terhadap Siti. Mencarinya berkeliling Jakarta. Menyebar semua anak buahnya untuk mencari bajingan itu.

Ketika menemukannya, dia memukuli orang itu membabi buta. Mengubah semua rasa kehilangan menjadi kemarahan yang memberikannya tenaga berlebih untuk menghajar orang. Membuat orang itu mati, terbunuh olehnya dengan tangan kosong. Tapi meski demikian, rasa hampa karena ditinggalkan Siti masih tetap saja terasa. Tak tergantikan meski semua dendam yang bersarang dalam dadanya telah terbayarkan. Membuat hari- harinya suram sebelum bertemu dengan Rio.

Kini setelah dia telah bisa mengikhlaskan kepergian Siti, setelah dia bisa hidup dengan damai, kenapa wanita itu harus datang lagi? Merusak semua ketenangan yang dia miliki saat ini.

Dia meninju- ninju atap gedung tempatnya berada saat ini. Menyalurkan semua rasa sakit yang berkembang dalam dadanya. Tak memperdulikan kalau tangannya saat ini telah terkelupas dan berdarah- darah.

‘Beep beep beep’

Dia tersentak mendengar suara itu. Merogoh alat yang sengaja dia buat untuk mengawasi Riri beberapa waktu lalu. Kemudian berlari menuruni tangga dan lift. Harus pergi secepatnya ke tempat itu. Menjalankan tugasnya, meski  dalam keadaan seperti ini.

“Sial! Nggak ada taksi!” akhirnya mau tak mau dia berlari. Terus berlari meski kaki- kakinya telah meminta berhenti setelah dua kilometer berlari. Dia terus berlari hingga pada akhirnya sampai di tempat itu.

‘Buuugh’

**********

Aku masih saja termenung di balkon kamarku. Sementara Ayah, Ibu dan kak Nino berkeliaran menyusuri tiap tempat yang mungkin disambangi kak Hamid. Dan aku dititahkan untuk menunggu saja di sini. Sedikit membuat frustasi karena tak bisa melakukan sesuatu yang berarti untuk menyelesaikan masalah ini.

“Kalo lu ada di sini, apa yang akan lu lakuin, kak?” tanyaku pada langit. Berharap kak Rio bisa memberikan aku jawaban yang lebih masuk akal daripada terus termenung di sini. Menunggu sesuatu yang tak pasti.

Tanganku menggenggam erat kalung pemberian kak Rio. Kalung yang sama dengan yang menjadi alat pelacak untukku selama Sammael masih berkeliaran bebas. Juga alat untuk memberitahukan jika aku berada dalam bahaya.

Ah! Aku menyadarinya! Haish! Aku memang bodoh sekali! Kenapa tak terpikirkan jalan itu?!

Aku bergerak mengorek isi lemariku. Mencari sebuah jaket tebal yang bisa melindungiku dari sengatan angin malam yang dingin. Juga mengambil topi yang beberapa hari lalu ku beli. Aku keluar kamar dan mengambil kunci motor kak Rio di meja kecil depan kamar kak Rio. Berlari menuju garasi. Hanya tersisa satu kendaraan di sini. Semua mobil yang ada sedang di pakai oleh pemiliknya.

Aku menyalakan mesin motor dan segera meluncur pergi dari rumah. Tanpa mengindahkan panggilan pak Oni yang menjaga pintu pagar. Terus memacu motor ini dengan cepat menuju tempat yang sempurna untuk melaksanakan rencanaku.

Sebelah tanganku menekan batu yang ada di tengah kalungku dua kali. Mengirimkan tanda bahaya pada kak Hamid. Berharap dapat memancingnya ke tempat ini.

Sekarang, yang harus ku lakukan hanya menunggu. Semoga dia datang denga cepat kali ini.

Sayup- sayup aku mendengar suara langkah kaki berlari. Dari siluetnya, aku tahu itu kak Hamid. Aku segera bersiap menjalankan rencanaku. Melakukan penyergapan.

‘Buugggh’

Kepalan tanganku mendarat di pipinya. Dan dia tak berusaha menghindarinya. Atau tak sempat menghindarinya, aku tak tahu.

“Riri? Lu.. Lu ngapain?”

“Ngajakin lu tanding.”

“Nggak. Gue nggak mau.”

“Oh, lu harus mau. Kalo lu kalah, lu harus ngikutin semua mau gue. Kalo gue kalah, terserah deh lu mau nyuruh gue ngapain.”

“Gue nggak mau.” Tapi aku tak menerima penolakan seperti itu. Aku terus saja berusaha untuk menyerangnya. Melancarkan pukulan ke tubuhnya. Dan dia terus menghindar. Tak pernah sekalipun berusaha untuk membalasnya.

“Cukup, Ri. Gue nggak mau. Gue males tanding sama lu malam ini.”

Dan aku masih saja batu. Kali ini kusarangkan tendanganku di perutnya. Membuatnya mundur beberapa langkah dan terjatuh. Aku tahu dia mulai kesal padaku. Dengan begitu dia akan mulai membalas tiap seranganku.

Benar saja! Dia mulai melancarkan pukulan- pukulannya yang berhasil aku hindari. Beberapa kali dia mencoba untuk mengakhiri pertandingan ini dengan mengunci gerakanku. Tapi selalu gagal.

Dan aku sedikit kesulitan saat akan mengunci gerakan kak Hamid. Kuda- kudanya hampir tak bercelah. Aku harus mencari momentum yang tepat untuk dapat melakukannya.

Aku melihatnya! Aku melompati tubuhnya, bertumpu pada kedua bahunya hingga kini aku berada tepat di belakangnya. Ku tekuk tangan kanannya ke belakang. Ku kalungkan tangan kiriku di lehernya. Kemudian kakiku menendang kaki kirinya. Membuatnya jatuh terduduk tanpa bisa membalas gerakanku.

“Gue menang.” Bisikku di telinganya.

“Iya. Sekarang lepas.”

“Dengan satu syarat.”

“Apa?”

“Lu harus ngelakuin apa yang gue mau.” Kudengar dia menghembuskan napas panjang.

“Oke.” Aku melepaskan lilitan tanganku di lehernya. Membebaskan tangannya dari belengguku.

“Lu harus ke rumah sakit. Tengokin nyokap lu.” Kataku to the point. Dapat kulihat kilatan marah berbayang dalam matanya.

“Nggak. Gue nggak pernah mau ketemu sama wanita itu lagi.”

“Kak, dia itu nyokap lu.. Dia lagi kritis sekarang.. Lu nggak kasian sama dia?”

“Kasian? Coba tanya sama dia. Waktu dia ninggalin gue sama Siti sendirian, apa dia nggak kasian sama kami?”

“Biar bagaimanapun lu tetep anaknya dia.”

“Anak yang nggak pernah diharapkan kehadirannya. Udahlah. Gue nggak mau ngomongin dia lagi.” dia berbalik hendak meninggalkan aku.

“Gue tahu lu sakit hati sama nyokap lu. Gue bisa ngerasain apa yang lu rasain.. Tapi-”

“Lu bisa ngerasain apa yang gue rasain? Hah! Sebaiknya lu pikirin tiap kata yang akan lu ucapkan, Ri. Lu nggak tahu gimana rasanya jadi gue. Lu nggak tahu betapa keras jalanan ibukota menempa seorang bocah ingusan tanpa perlindungan orang tua. Lu nggak pernah tahu betapa sulitnya bertahan hidup di tengah dunia yang kelewat gila ini sendirian, Ri. Lu nggak akan pernah tahu. Jadi berhenti bersikap SEOLAH- OLAH LU NGERTI PERASAAN GUE! BERHENTI BERSIKAP SEOLAH- OLAH LU TAHU GIMANA RASANYA JADI GUE!”

“Gue MUAK KALAU HARUS NGINGET WAJAH ORANG ITU! Gue udah cukup tersiksa dengan hidup gue yang berantakan. Jadi jangan pernah lu paksa gue untuk menemui dia. NGERTI LU?!” teriaknya. Dia lalu berdiri dan mulai melangkah hendak meninggalkan aku di sini.

“Kak..”

“Anak yang dibesarkan dalam keluarga yang normal nggak akan bisa memahami perasaan anak terlantar yang nggak pernah diharapkan kehadirannya kayak gue. Sekeras apapun lu mencoba, lu nggak akan bisa memahami perasaan gue.” Katanya tanpa menoleh. Dia berkata dengan lirih, tapi sabetan katanya menancap di gendang telingaku dengan kencang.

Aku termenung mendengarnya. Apa benar aku tak bisa memahami perasaannya? Lalu kenapa aku merasakan sakit dalam dada ini saat mendengar semua perkataannya? Kenapa tiap raungan kecewa yang menyelinap dalam pendengaranku juga turut membakar hatiku dengan api kekecewaan yang berkobar besar?

**********

Hamid masih belum diketahui keberadannya dimana. Hari kuliah telah berjalan dua hari. Dan Hamid masih belum juga terlihat batang hidungnya sejak lima hari yang lalu. Keluarga Nino sudah kehabisan akal dimana tempat untuk menemukan Hamid. Bahkan Fred dan yang lain juga sudah dimintai bantuan untuk mencari Hamid. tapi tetap saja, tak ada perubahan.

“Lu udah nyari dimana aja?” tanya Nino saat Fred dan Billy sampai di rumahnya.

“Jakarta udah abis kita ubek- ubek, kak. Tapi Hamid nggak ketemu juga. Apa mungkin dia pergi ke luar kota?”duga Fred. Membuat semua yang hadir di sana menahan napas. Membayangkan jika hal itu sampai terjadi. Indonesia terlalu luas untuk dijelajahi.

Sementara itu Riri masih diam di ruang kantornya. Terus mengusap kalungnya sambil berpikir. Dimana kira- kira Hamid berada. Bagaimana cara menemukan Hamid? Dia mencoba untuk menghubungi ponsel Hamid. Tapi tetap sama sejak kejadian malam itu. Nomornya tidak aktif. Dia kembali memanggil Hamid dengan sinyal darurat dari kalungnya, tapi Hamid tetap tak datang.

“Lu dimana, kak? Nyokap lu keadaannya makin mengkhawatirkan tahu..” lirihnya sambil menatap kursi yang biasa di tempati Hamid jika sedang ada di kantor. Membiarkan bayangan Hamid yang tengah tertidur atau terdiam menghuni matanya. Dia sudah terlalu lama di dampingi oleh Hamid. Hingga sekarang, setelah hampir lima hari tidak di temani olehnya, semuanya terasa aneh.

Dia kembali membayangkan jika saat ini perusahaan tengah dilanda masalah, Hamid pasti akan membantunya. Kadang pemikiran yang tak terduga tapi bermanfaat dihasilkan olehnya. Dan biasanya, dia akan bersemedi di atap gedung kantor ini jika menghadapi masalah yang terlalu pelik.

Tunggu!

Di atap gedung kantor? Jika ada masalah?

Mungkinkah?

Riri segera berlari menuju lift dan naik ke lantai paling atas di tower tempat dimana kantornya berada. Kemudian dia langsung menaiki tangga yang akan membawanya ke atap gedung. Kemudian dia mengedarkan pandangannya menyapu atap gedung. Dan dia tak menemukan siapa- siapa. Mungkinkah pemikirannya salah?

‘Uhuuk’

Dia mengurungkan niatnya untuk kembali turun ke bawah setelah mendengar suara orang yang terbatuk lemah. Dia berjalan perlahan menuju sudut atap yang ada di belakangnya, di balik tempat penampungan air.

Angin bertiup kencang, menerbangkan helai- helai rambutnya yang diikat kebelakang saat matanya melihat sesosok pria yang tengah terduduk memeluk lututnya. Angin juga yang telah menyibak helaian rambut hitam yang menutupi wajah pria itu. Hingga nampak wajah yang pucat dan terlihat lelah ada di sana.

‘Uhuuk’

Sekali lagi pria itu terbatuk. Terdengar begitu kepayahan bahkan walau hanya untuk mengatasi rasa gatal di tenggorokannya.

Dia melangkahkan kakinya perlahan. Mendekati Hamid yang masih terduduk di sana. Memandang lurus kedepan.

Riri menyentuh lengan Hamid yang tak tertutupi helai pakaian. Merasakan dingin yang mengganas di sana. Mengrenyit heran kenapa tak menemui hangat karena matahari di permukaan lengannya. Membuatnya bertanya- tanya sejak kapan Hamid ada di atas sini.

“Kak?”

“……”

“Sejak kapan lu ada di sini?”

“……”

“Jangan begini, kak.. Ini bikin gue sedih..” katanya dengan suara bergetar.

“Lu nggak boleh begini terus.. Hadapi kenyataan kalau nyokap lu masih hidup dan butuh anaknya di sampingnya sekarang.”

“Gue nggak tahu apa yang harus gue lakuin sekarang..” katanya pelan.

“Mau denger saran dari gue? Menurut gue, lu harus sesegera mungkin pergi nemuin nyokap lu. Setidaknya lu nggak ikut jadi anak yang menelantarkan orang tuanya..”

“Tapi tiap ngeliat inget dia, gue ngerasa sakit, Ri. Sakit.. Sulit buat ngilangin rasa sakit ini secepat itu..” Riri menghela napas panjang mendengar penuturan Hamid tersebut.

“Lagian gue nggak yakin dia mau ketemu sama anak haramnya.” Hamid kembali melemparkan pandangannya ke depan. Tak fokus.

“Anak haram?”

“Iya, gue ini anak haram, Ri. Anak yang nggak perah diharapkan kelahirannya.. Dia udah nyoba berkali- kali buat ngegugurin gue. Tapi entah gimana caranya gue nggak mau mati- mati juga. Ha Ha Ha..” Riri yang mendengar hal itu hanya mampu terpaku. Melihat sorot mata Hamid yang penuh dengan luka. Dia tak sanggup melihat sorot mata yang seperti itu. Kemudian dia bergerak memeluk Hamid yang masih duduk di sebelahnya.

“Jangan pernah bilang kalau lu itu anak haram.. Semua anak yang lahir, nggak ada yang namannya anak haram, kak..”

“Lalu gue? Gue ini anak haram.. Anak yang lahir di luar ikatan pernikahan.. Tanpa status yang je-“

“Jangan bilang begitu lagi.. Jangan.. Lu bukan anak haram..” kata Riri sambil terus memeluk Hamid makin erat.

“Lu mungkin terlahir tanpa dikehendaki sama orang tua lu, mungkin lu lahir dari ikatan di luar hubungan pernikahan, tapi lu nggak bisa di bilang anak haram. Nggak ada anak haram, kak.. Semua anak dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan suci.. Cuma orang tua lu yang melakukan hubungan haram.. Please.. Jangan bilang begitu lagi..” tanpa terasa air mata menitik dari mata Riri yang terpejam. Pelukannya masih sama erat dengan yang tadi.

“Tapi gue-“

“Mau apapun status lu di mata orang lain, lu akan tetep jadi bodyguard sekaligus abang kesayangan gue..” potong Riri. membuat Hamid kembali terdiam mendengarnya.

“Lu pasti bisa menghadapi semuanya, kak.. Gue percaya.. Jangan menyerah sama masa lalu.. Masa lalu itu kadang bisa jadi memuakkan, masa lalu itu kadang terlalu menyakitkan.. Tapi gue percaya lu orang yang kuat.. Lu pasti bisa menaklukan semuanya.. Lu pasti bisa menaklukan rasa sakit yang selalu saja hadir tiap lu kebali memikirkan masa lalu.. Gue tahu, itu mudah di ucapkan. Bahkan gue sendiri masih belum bisa bangkit dari kejatuhan di masa lalu. Tapi kita bisa mencoba bangkit bersama..” Riri masih berupaya meyakinkan Hamid.

“Lu udah tahu gimana rasanya di acuhkan.. Sakit kan rasanya? Apa lu mau orang lain ngerasain rasa sakit yang sama? Nggak kan? Kalau gitu, jangan acuhkan nyokap lu.. Gue-“

“Gue butuh waktu..” katanya sambil memegang lengan Riri yang masih melingkari tubuhnya. Makin menempelkan lengan- lengan ramping itu di tubuhnya. Merasakan kenyamanan yang dikeluarkan oleh tubuh gadis itu.

“Ambil waktu sebanyak yang lu butuh.. Ambil, kak.. Tapi jangan menyerahkan semuanya sama waktu.. Kadang waktu terlalu memanjakan kita.. Jangan sampai semuanya terlambat.. Gue nggak mau lu tenggelam dalam penyesalan nantinya..” Hamid menjawabnya dengan anggukan lemah dalam pelukan Riri.

“Gue kangen sama Siti.. Lu terlalu mirip sama dia..”

“Lu boleh anggep gue Siti.. Gue dengan senang hati mau jadi adik lu.. Dan gue yakin kak Nino pasti mau berbagi gue buat jadi adik lu..”

“Nggak.. Lu bukan Siti.. Lu nggak akan bisa jadi Siti semirip apapun lu sama dia.. Lu akan tetep jadi Riri, bukan Siti..”

“Terserah, asal lu nyaman ada di deket gue.. Rasanya aneh tahu nggak ada lu di sekeliling gue.. Gue udah biasa selalu di temenin sama lu.. Gue kangen di temenin kemana- mana sama lu..”Hamid tersenyum mendengarnya. Dadanya terasa hangat. Kini dia tahu kenapa banyak orang jatuh sayang padanya. Termasuk dirinya.

“Gue nggak bisa memungkiri kalau gue itu orang yang selalu ngangenin..” Riri sontak melepaskan pelukannya. Dengan refleks dia memukul bahu Hamid.

“Dih! Geer banget lu..”

“Siapa yang geer? Kan tadi lu sendiri yang bilang kalau lu kangen sama gue..”

‘Kruuuuuk’

Baru saja Riri ingin menyanggah statement yang dilontarkan Hamid, tiba- tiba telinganya menangkap bunyi yang membuatnya menahan seringai. Perut siapa yang sedang mengadakan konser heavy metal? Dengan yakin sekali Riri bisa mengatakan kalau itu adalah Hamid yang kelaparan.

“Hahahaha.. Ayo turun.. Perut lu udah bunyi aja daritadi..” katanya sambil berdiri. Menyodorkan tangannya untuk membantu Hamid berdiri. Hamid tersenyum melihatnya. Tangannya menyambut uluran tangan Riri. Membuat tubuhnya berdiri dengan lebih mudah.

Hamid berjalan tertatih. Merasakan kakinya yang terus bergetar. Membuat Riri yang ada di sebelahnya melirik cemas ke arahnya. Beberapa kali dia hampir terjatuh.

“Lu udah berapa lama di sini?”

“Hmmmh.. Sejak malam kita ketemu di lapangan.”

“Terus lu nggak turun- turun gitu?” Hamid mendongak menatap langit. Seperti mengingat- ingat sesuatu. Kemudian menggeleng.

“Terus kalau hujan gimana? Malem- malem juga lu di sini? Nggak turun?” tanya Riri berentetan.

“Kalau hujan, gue ada di bawah tower air. Kalau mau ke kamar mandi tinggal ngesot ke kamar mandi pojok atap. Males turun ke bawah. Jadi gue tidur di sini aja.” Riri makin heran dibuatnya. Mendadak dia ingin memukuli kepala lelaki yang ada di sebelahnya. Memperbaikinya agar tidak terus menerus rusak seperti-

 “Tunggu! Lu nggak turun- turun? Jadi lu nggak makan- minum selama ini?” Hamid kembali mendongak. Berpikir. Kemudian menggeleng dengan wajah tanpa dosa.

“LIMA HARI?!?! Oke! Otak lu udah rusak. Gue harus panggil rombongan sirkus kesini berarti.” Katanya sambil mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Menghubungi Nino agar menjemput mereka ke atap menara. Juga agar memberitahu yang lain kalau Hamid telah ditemukan.

Saat menuruni tangga, Riri harus ekstra hati- hati. Karena keadaan Hamid makin terlihat kurang meyakinkan. Sudah tak terhitung berapa kali dia hampir terjatuh saat menuruni tangga. Mana tangganya sempit pula. Riri makin sulit menjaga Hamid agar tak terjatuh.

“Kak, hati- hati.. Sebentar lagi kita udah bisa naik lift kok..”

“Iya.. Gue bak-“ kata- kata Hamid tak terselesaikan karena kakinya yang tiba- tiba terasa lemas kembali. Membuat tubuhnya bergerak mengikuti gaya gravitasi.

‘Bruuuuuk’

Hamid membuka matanya sesaat setelah tubuhnya mendarat pada sesuatu. Keras, tapi tidak membuatnya terlalu sakit. Billy yang entah bagaimana caranya menangkap Hamid hingga tidak membentur lantai dengan keras. Nino dengan gemas mengapit kepala Hamid dengan sebelah lengannya. Mengarahkan ujung ruas jari tengahnya untuk membuat crop circle di atas kepala Hamid.

“Lu lain kali jangan bikin panik begini kenapa! Untung aja si Riri bisa nemuin lu.. Kalo nggak, grrrrrr….”

“Ampun ampun.. Puyeng woi…” erang Hamid.

“Sumpah ya! Rasanya aneh nggak ada lu, Mid..” kata Nino. Kini dia memeluk Hamid dengan erat. Membuat Hamid terbelalak kaget. Perlahan sebelah tangannya bergerak menepuk- nepuk punggung Nino. Menegaskan kalau dia juga merasakan hal yang sama.

Mereka semua sudah terlalu dekat. Hingga jika ada yang terpisah seperti kemarin- kemarin, terasa tidak menyenangkan. Seperti ada yang hilang. Menambah ruang pada kehampaan yang memuakkan.

***********

Beberapa pasang mata itu memandangi dari pinggir pintu. Melihat orang yang selama ini membuat mereka khawatir kembali ke sisi mereka. Meski dalam keadaan yang sedikit agak mengenaskan. Bayangkan saja! Lima hari tanpa makan dan minum, tidak terlindungi dari angin malam dan air hujan. Hebat sekali jika dia masih bisa dikatakan baik- baik saja.

Riri masih duduk di kursi sebelah ranjang. Menggenggam tangan Hamid erat. Merasakan tangan yang perlahan menghangat seiriang berjalannya waktu. Masih terasa lembab, tapi setidaknya tidak sedingin tadi saat dia ditemukan.

Sebelah tanganya yang lain bergerak mengusap peluh yang muncul di dahi Hamid. perlahan, lembut. Tak ingin membangunkan Hamid yang kini tengah terlelap hangat.

“Ssst.. Riri.. Ayo keluar..” bisik Nino dari ambang pintu. Riri mengangguk dan beranjak pergi dari samping Hamid. Perlahan melepaskan genggaman tangan Hamid yang tetap saja erat walau sudah terlelap sejak tadi.

“Riri..” Riri menghentikan gerakannya. Menengok ke arah Hamid yang baru saja terdengar guMamannya.

“Makasih.. Hhhh.. Makasih buat semuanya..” Hamid masih saja bergumam kecil. Membuat Riri tetap terdiam di sebelahnya.

“Sekarang gue udah bisa menghadapi se-hhhh-muanya..” kata Hamid, makin lama makin tak jelas. Kemudian terdengar dengkur halus dari mulutnya. Menandakan kalau dia sudah kembali tertidur.

Riri haya bisa tersenyum mendengarnya. Dia kembali melepaskan genggaman tangan Hamid dan kembali mengusap dahi Hamid.

“Sama- sama, kak.. Cepet sembuh ya..”

Dia kemudian melangkahkan kakinya keluar kamar dan menutupnya pelan. Lalu kembali beranjak ke ruang tengah. Tempat ayah, ibu dan Nino berkumpul.

“Gimana Hamid?” tanya ibu.

“Udah tidur..”

“Kapan dia siap-“

“Bu, jangan terburu- buru.. Keadaan Hamid masih belum memungkinkan..” potong ayah.

“Tapi Wati nggak bisa selamanya menunggu..”

“Tapi kak Hamid juga masih butuh waktu, Bu.. Bukan hal yang gampang untuk menyembuhkan perasaan yang tersakiti, Bu.. Ibu lihat sendiri gimana reaksinya kak Hamid saat dia tahu kalau ibunya seperti menunggu dia untuk datang. Sekarang dia sudah lebih baik daripada kemarin. Setidaknya beri kak Hamid waktu untuk berpikir jernih..” kata Riri.

“Bener apa yang dikatakan Riri, bu.. Menyembuhkan luka di hati itu bukan perkara mudah..” lanjut Nino.

“Nino tahu ibu khawatir sama keadaan ibu Wati. Tapi nggak gini juga caranya.. Ibu juga harus mempertimbangkan perasaan Hamid yang selama ini dia telantarkan. Kalau boleh Nino berkata walau terdengar agak tidak sopan, ini bisa dibilang konsekuensi dari sikapnya di masa lalu terhadap Hamid.. Dia sudah berani mengambil tindakan untuk meninggalkan Hamid dan Siti di masa lalu, berarti dia juga harus berani menanggung konsekuensi sikap Hamid sama dia..”

Ibu terdiam mendengarnya. Merasakan hatinya yang terasa dilema. Dia ingin secepat mungkin membawa Hamid pergi menemui Wati. Tapi benar juga apa yang dikatakan oleh anak- anaknya.

“Tenang, bu.. Semuanya pasti bisa berjalan lancar.. Asalkan kita bersabar menunggu semuanya terjadi..” kata ayah sambil menepuk- nepuk pelan bahu ibu.

**********

Pagi ini ayah, ibu, Nino dan Riri sudah ada di meja makan. Bersiap menyantap sarapannya, ketika terdengar suara slipper mendekat ke arah mereka.

“Kak? Kenapa nggak nunggu di kamar aja? Nanti gue anterin sarapannya ke kamar lu..” kata Riri sambil bergerak menyongsong Hamid. Begitu juga dengan Nino. Takut kalau- kalau tubuh Hamid masih terlalu lemas untuk dibawa berjalan dan akhirnya jatuh.

“Gue udah mendingan kok.. Setelah tidur di tempat yang layak, badan gue udah lebih baik..” katanya sambil duduk di kursi sebelah Nino.

“Makasih ya, semuanya.. Udah mau ngerawat saya selama ini.. Maaf juga kemerin udah ngerepotin..” katanya pada tiap kepala yang ada di meja makan.

“Hamid, kamu nggak usah ngomong begitu.. Kamu udah kami anggap bagian dari keluarga Kusuma sejak lama..”

“Betul apa yang dikatakan ayah, Mid..” sahut ibu. Hamid yang mendengar hal itu hanya mampu tersenyum dengan penuh rasa syukur yang membuncah dalam dadanya.

“Ehm, saya mau ke rumah sakit hari ini..” Yang lain tentu saja kaget mendengarnya. Bahagia juga sebenarnya. Tapi lebih banyak kagetnya.

“Yakin, kak?”

“Yakin banget, Ri.. Gue rasa udah waktunya gue ketemu sama nyokap lagi setelah sekian lama terpisah.. Lagian gue mau minta restu.. Sebentar lagi gue sidang skripsi.. Biar sidang skripsi gue lancar nantinya..”

“Oke, nanti kami semua bakal ikut nganterin kamu ke rumah sakit.” Kata ibu bersemangat.

“Hamid sendiri yang kesana juga nggak apa- apa kok, tan.. Beneran deh..”

“Nggak apa- apa pale lu peyang.. Itu muka masih pucet itu.. Kalo di tengah jalan collapse lagi begimana ceritanya ituuu??” sungut Riri sambil menunjuk- nunjuk wajah Hamid menggunakan pisau makan yang ada di tangan kanannya.

“Riri, nggak sopan ah begitu..” kata ibu sambil menurunkan tangan kanan Riri yang masih saja mengacung- acungkan pisau makannya ke arah Hamid. “Udah, udah.. Pokoknya nanti Ibu sama Ayah ikut ke rumah sakit..”

“Nino nggak bisa ikut.. Ada jadwal praktik..”

“Riri ikut.. Mau sekalian nengokin kak Alex..”

“Oke kalau begitu, sekarang kita sarapan, terus siap- siap pergi ke rumah sakit..” titah ibu. Memutuskan segalam macam percakapan yang bisa membuat acara sarapan tersendat.

**********

“Jadi kak Hamid udah ketemu?” Billy mengangguk.

“Alhamdulillah yah.. Terus sekarang dia gimana?”

“Masih lemes gara- gara lima hari nggak makan nggak minum.”

“Oh..” kemudian Nita tersadar dengan apa yang baru saja Billy ucapkan. “LIMA HARI?! Astaga.. Itu bocah udah bosen ngeliat makanan apa ya? Lima hari, kak? Ya ampun. Astaga.. Terus sekaran-“

“Nita.. Dia udah di rawat sama kak Nino.. Nggak usah panik berlebihan deh..” kata Billy memotong kata- kata Nita dengan wajah yang terlihat tidak mengenakkan.

“Eh, ada yang cemburu..” celetuk Nita.

“Siapa?”

“Itu, tuh.. Yang pake piyama abu- abu.. Yang lagi sarapan bubur ayam tanpa kecap..”
Billy segera menghentikan sendok berisi bubur ayam yang bersiap mendarat dalam mulutnya. Menyadari kalau yang dimaksud oleh Nita adalah dirinya.

“Aku nggak cemburu..”

“Ih, kakak lucu banget kalau lagi cemburu.. Mukanya merah.. Hahaha..” katanya sambil mencubit gemas kedua pipi Billy yang ada di sampingnya. Duduk bersandar di kepala ranjang kamarnya dengan meja kecil di hadapannya. Terpaksa menghabiskan banyak waktunya di atas ranjang karena kembali sakit.

“Nita..” kesal Billy. Dia meletakkan sendoknya dengan sedikit kasar ke dalam mangkuk buburnya.

“Kak, jangan cemburu dong.. Kan kak Hamid sahabat kakak juga.. “ kedua tangan Nita menangkup wajah Billy. Membuatnya saling bertatapan.

“Aku Cuma.. Ehm.. Cuma.. Ah, lupakan..” katanya sambil melepaskan tangkupan tangan Nita atas pipinya. Kembali memasukkan bubur ayamnya ke dalam mulutnya. Kemudian lagi- lagi dia meletakkan sendok itu di mangkuk buburnya.

“Aku tahu.. Kakak lagi pengen di manjain kan.. Kakak kan selalu jadi lebih manja –walau kadang nggak juga sih- kalau lagi sakit.. Iya kan.. Ngaku aja deh..”

“Aku.. ak- mm..” kata- kata Billy terpotong oleh sesendok bubur yang di suapkan Nita. Dengan telaten Nita menyuapi Billy bubur ayam buatannya. Lalu setelah selesai, dia membantu Billy rebah di ranjangnya. Tentu saja sebelumnya juga membantu Billy meminum obatnya.

Dengan keibuan, Nita menarikkan selimut yang akan menutupi tubuh Billy hingga dada. Dan merapikannya agar udara dingin tak menelusup menggerayangi tubuh Billy.

“Cepet sembuh ya, kak..” katanya sambil memberikan kecupan hangat di dahi Billy. Membuat Billy melemparkan senyum lebar kesenangan miliknya.

**********

Dia melangkah perlahan menuju ke dalam ruangan. Tidak mau terburu- buru. Karena biar bagaimanapun, hatinya masih saja menjerit kesakitan tiap melihat wajah yang terkapar tak berdaya di sana.

Sesaat setelah sampai di samping ranjang, dia menghembuskan napas panjang. Berusaha meredam tiap jerit kesakitan yang mengisi relung dadanya. Tangannya sedikit gemetar saat bergerak hendak menggenggam tangan yang di susupi jarum infus itu.

“Mama.. Ini Hamid.. Mama bisa dengar Hamid?” tanyanya. Dia menggenggam erat tangan ibunya. Berusaha kembali mengingat hangat belaian kasih seorang ibu yang telah terlalu lama tak dia rasakan keberadaannya.

“Ah, benar.. Ini tangan Mama.. Hangat..”

“Mama tahu? Hamid nggak tahu apa yang Hamid rasain hari ini setelah bisa ngeliat Mama lagi sekarang.. Sedih, bahagia, marah, kaget semuanya jadi satu..” dia bergerak mengusap lembut punggung tangan wanita itu.

“Bahagia karena akhirnya Hamid bisa ngeliat Mama lagi.. Sedih karena kita harus bertemu dalam keadaan seperti ini.. Marah karena Mama udah tega ninggalin Hamid sama Siti sendirian waktu itu.. Kaget karena nggak nyangka kita akan ketemu lagi..”

“Mama tahu? Aku sempet benci banget sama Mama.. Karena Mama tega ninggalin kami berdua yang masih kecil sendirian di Jakarta. Membuat kami harus bisa menanggung beban yang harusnya hanya di tanggung oleh orang dewasa. Membuat Siti mati muda karena Hamid yang nggak becus ngejagain dia.. Karena itu, Hamid benci banget sama Mama..”

“Tapi Mama juga harus tahu.. Gadis yang sekarang lagi duduk di depan sama sahabat Mama, dia yang udah bikin Hamid ikhlas nerima kenyataan dan keadaan.. Dia gadis terkuat sekaligus ter-rapuh yang pernah Hamid temui. Dia punya banyak masalah dalam hidupnya, tapi dia selalu aja berusaha untuk membantu menyelesaikan masalah orang- orang terdekatnya.. Sama seperti Siti kecil kita..”

“Hamid sekarang udah mau lulus kuliah, ma.. Rio dan yang lainnya yang ngebantu Hamid sampai Hamid bisa seperti sekarang ini.. Kalau Mama ketemu Rio di sana, Mama harus sampaikan rasa terima kasih Hamid buat dia.. Hamid mau minta doa dari Mama.. Doain biar sidang skripsinya lancar beberapa minggu lagi.. Supaya bisa cepet lulus kuliah..”

“Mama, dokter bilang luka yang Mama alami terlalu parah. Mereka semuanya angkat tangan, menyerah untuk mengusahakan kesembuhan Mama.. Kata mereka, Mama mungkin sedang menunggu Hamid untuk kembali menemui Mama.. Apa Mama udah menyerah untuk kembali lagi ke sini?” suaranya mulai bergetar. Menghadapi kenyataan kalau sekarang dia tengah menikmati detik- detik terakhir bersama ibunya yang telah lama tak dijumpainya.


“Kalau Mama mau menyerah untuk kembali lagi ke sini dan memulai hidup baru bersama Hamid, Hamid rela kok, ma.. Hamid rela Mama pergi sekarang.. Asal Mama bahagia, itu udah cukup buat Hamid.. Mengingat Mama sudah terlalu banyak menderita di sini.. Hamid rela melepas Mama sekarang..” tangannya menyapu pipi wanita itu dengan pelan. Mengusap wajahnya yang sebagian besar tertutupi kassa. Dia mendekatkan wajahnya, dan mengecup dahi wanita itu. mengucapkan salam perpisahan. Lama, hingga membuat matanya memburam tergenang air mata.

“Hamid sudah memaafkan Mama.. Hamid mengikhlaskan kepergian Mama..” bisiknya. Terlihat bulir air mata yang terjatuh dari pinggir mata wanita itu.

Saat air mata itu menetes jatuh ke atas bantal yang selama ini menopang kepalanya, mesin kardiograf berdesing nyaring. Menampilkan garis lurus, tak berdetak.

“Makasih, Hamid.. Makasih.. Hiduplah dalam bahagia, nak..”

“Pasti.. Hamid akan hidup dalam bahagia.. Pasti..” ucapnya pelan. Tersenyum lebar dengan air mata yang jatuh satu- satu ke atas pipinya.

**********

Jemari dalam genggamanku ini masih saja sama seperti kemarin. Dingin. Sedikit kaku karena hampir tak pernah bergerak selama sebulan lebih. Ah, kapan jemari ini kembali bergerilya menghasilkan nada- nada indah untukku? Aku sudah terlalu merindukan kehadirannya di sisiku.

“Kak, kapan kakak bangun? Apa kakak nggak kangen sama aku? Aku udah kangen banget sama kakak.. aku kangen ngeliat kakak main saxophone di aula kampus, kangen kakak teriak- teriak ngatur anak orchestra latihan, kangen semuanya..” kemudian aku terdiam. Merasakan sesuatu yang berbeda, yang teraba oleh indra-ku tadi.

Mungkinkah?

To be continue

Posted at my house, Tangerang City.

At 11.18  p.m

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi keatas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda.. :D
Don’t be a silent reader, please..