Dia sudah mengetahui
semuanya. Dengan cepat tapi tak mengundang perhatian, dia pergi meninggalkan
tempat itu.Tak mampu lagi untuk terus berada di tempat itu. Ingin sesegera
mungkin menghindari kenyataan yang terpaksa harus dihadapi olehnya sekali lagi.
Mungkin ini terdengar terlalu pengecut. Tapi memang begitulah adanya. Dia tidak
ingin menghadapi bagian dari hidupnya yang telah dia anggap sebagai masa lalu
yang sekuat mungkin dia lupakan
keberadaannya.
“Namanya Syahmidillah dan
Siti Marwah..” kata Ibu.
Riri dan Nino kaget
mendengarnya. Syahmidillah? Mereka tahu nama itu. Terlalu familiar di telingan
mereka.
“Hamid?” tanya Nino tak
percaya.
“Bukan Hamid, No..
Syahmidillah..” ralat Ayah.
“Syahmidillah itu nama
panjangnya kak Hamid, Yah..” kini giliran ayah dan ibu yang terkaget- kaget.
“Hamid? Jadi Hamid adalah
anak Wati? Nggak mungkin..”
“Kenapa nggak mungkin, Bu?”
Riri yang mendengarnya keheranan.
“Jadi dia tidak menggugurkan
anak Syach waktu itu?” gumam ibu.
“Tidak menggugurkan anak
Syach? Maksud Ibu?” tanya Nino.
“Mana Hamid? Dia harus
secepatnya ke rumah sakit..” Ibu mencari- cari Hamid di sekitarnya.
“Kak Ha-mid.. Kak? Kak
Hamid?” panggil Riri. Hamid yang tadinya ada tak jauh di belakangnya telah
tiada. Nino melangkah ke arah kamar mandi. Mengira mungkin saja Hamid masiha da
di sana. Mungkin
perasaannya yang mengatakan tadi Hamid juga ikut mendengarkan pembicaraan
mereka itu salah.
Ketika tidak menemukan Hamid
dimanapun di semua bagian rumah, Nino merogoh poselnya dan menghubungi Hamid.
Dan dia mengerang putus asa saat Hamid tak kunjung menjawab panggilannya.
“Ayah sama Ibu mau nyari
Hamid ke rumahnya. Kalian di sini aja. Kalau dia balik ke sini, tahan dia
selama mungkin sambil nunggu kami pulang.” Kata Ayah. Hamid dan Riri mengangguk
tanda mengerti.
“Kenapa lu pergi gitu
aja, kak?” batin Riri.
**********
Angin malam kian dingin.
Tapi orang itu tetap saja duduk di sana. Tak lagi memikirkan nyaman atau tidak.
Pikirannya tak bisa dia atur saat ini. Masih saja terbang berkeliaran kemana-
mana. Tak mempedulikan hatinya yang sejak tadi sudah ingin pergi melupakan
memori itu.
“Kak, Mama mana? Kenapa kita nggak pulang ke rumah? Di sini
dingin, kak..”
“Mama lagi pergi kerja, Ti..”
“Siti kedinginan, kak..”
“Sini kakak peluk biar nggak dingin..”
Kembali terbayang betapa
tersiksanya dia dan Siti. Hidup di kota yang keras tanpa ada perlindungan dari
kedua orang tuanya. Dia dituntut untuk menjadi tulang punggung untuk dirinya
dan adik satu- satunya di usia yang terlalu muda. Tujuh tahun. Usia dimana
seharusnya dia masih menikmati manisnya masa kanak- kanak. Tapi dia malah
menghabiskannya di jalanan. Mengais rupiah, menghadapi bahaya yang selalu
mengintai di tiap dia melanagkah, harus bisa menjelma menjadi sosok orang tua
untuk dirinya dan untuk Siti. Peran yang amat berat jika harus dilakoni oleh
anak seumuran itu.
“Bego! Masa hari ini dapetnya segini doang! Emang anak bego
lu! Pergi sana! Cari lagi! Kalo nggak, malem ini lu nggak akan dapet makan!”
“Lu kalo nyopet yang pinter dong! Masa lu nyopet dompet
kosong?! Emang dasar anak bego! Nggak usah lu ikut- ikut sekolah amal itu!
Bikin penghasilan gue kurang aja!”
“Udah berapa kali gue bilang?! Nggak usah ikut sekolah kayak
gitu! Apa ini?! Lu nggak usah megang- megang segala macem buku sama pensil ini!
Yang harusnya lu pegang itu dompet yang isinya banyak uang, tolol!”
Dia meraba bekas luka di
bahu kanannya. Sebuah luka yang dihasilkan saat orang yang dulu sempat menjadi
boss-nya marah karena dia masih saja nekat mengikuti sekolah untuk anak
jalanan.
Sakit. Dan dia harus menahan
rasa sakit itu selama berhari- hari karena tidak memiliki uang untuk membawanya
ke dokter atau puskesmas. Bahkan obat merah sekalipun dia tak punya. Dia hanya
bisa meringis kesakitan saat dia harus mencabuti serpihan kayu yang berasal
dari patahan pensil yang di tancapkan di bahunya. Dia juga harus bersandiwara agar Siti tak
mengetahui keadaannya. Tak ingin Siti menjadi khawatir padanya.
“Mau minjem duit lagi? Heh! Yang kemarin- kemarin aja lu
belum lunasin! Sekarang lu mau minjem lagi? Nggak!
Nggak bisa!”
“Tolong, bang.. Adik saya sakit.. Saya nggak punya uang buat
bawa dia berobat.. Apapun syaratnya, saya setuju.. Yang penting abang mau
minjemin uang ke saya.. Tolong, bang..”
Tak pernah dia memikirkan
kalau pada akhirnya karena seorang lintah darat hidupnya yang sudah demikian
sulit jadi makin sulit. Karena lintah darat sialan itu, dia bertransformasi
jadi orang yang berhati dingin untuk bertahan hidup.
“Hamid! Lu harus bayar utang- utang lu sekarang juga.. Dua
puluh juta..”
“Banyak banget! Saya ingat kalau total utang saya lima
juta..”
“Itu kan Cuma pokoknya doang. Bunga- bunganya belum.. Lu
harus bayar semuanya.. Sekarang juga.”
“Sekarang juga? Saya nggak punya uang sebanyak itu, bang..”
“Hah! Nggak mau bayar utang sekarang? Bisa.. Lu boleh nggak
bayar semua utang lu kok, Mid.. Semua utang lu gue anggap lunas.. Tapi Siti
harus jadi istri gue.. Hahahahaha…”
Tangannya kotor. Terlalu
kotor. Telah banyak darah mengalir di sana. Darah pertama yang mengotori
tangannya adalah lintah darat itu. Dia tak bisa menerima kalau lintah darat itu
meminta Siti untuk dijadikan istrinya yang kesekian untuk melunasi hutang-
hutanganya.
Lalu preman pasar yang
selalu saja mengambil semua uang yang telah dia dapatkan. Setelah itu dia mulai
mengarungi jalan yang lebih keras demi
mendapatkan sesuap nasi. Berkelahi jadi makanan sehari- hari. Luka bertebaran
di sekujur tubuhnya. Membunuh atau dibunuh. Begitu prinsip yang selalu bergaung
dalam pikirannya.
Dia tak pernah memikirkan
resiko dari pekerjaan yang dia lakoni. Asalkan dia bisa memberi Siti
penghidupan, dia akan melakukan apapun. Hampir kehilangan nyawa karena menjadi
bodyguard muda untuk gembong narkoba pernah dia cicipi. Menjadi pembunuh bayaran, telah dia lakoni di
usia yang masih sangat muda. 17 tahun.
Hampir semua jenis kejahatan telah dia lakukan.
Hingga dia akhirnya
berkenalan dengan yang namanya karma.
Siti harus meninggal dibunuh
oleh orang yang telah mengambil kegadisannya dengan paksa.
Hidupnya berantakan. Jiwanya
seketika mati. Tak bisa mengikhlaskan kepergian Siti. Dia mencari kemanapun
pelaku pembunuhan terhadap Siti. Mencarinya berkeliling Jakarta. Menyebar semua
anak buahnya untuk mencari bajingan itu.
Ketika menemukannya, dia
memukuli orang itu membabi buta. Mengubah semua rasa kehilangan menjadi
kemarahan yang memberikannya tenaga berlebih untuk menghajar orang. Membuat
orang itu mati, terbunuh olehnya dengan tangan kosong. Tapi meski demikian,
rasa hampa karena ditinggalkan Siti masih tetap saja terasa. Tak tergantikan
meski semua dendam yang bersarang dalam dadanya telah terbayarkan. Membuat
hari- harinya suram sebelum bertemu dengan Rio.
Kini setelah dia telah bisa
mengikhlaskan kepergian Siti, setelah dia bisa hidup dengan damai, kenapa
wanita itu harus datang lagi? Merusak
semua ketenangan yang dia miliki saat ini.
Dia
meninju- ninju atap gedung tempatnya berada saat ini. Menyalurkan semua rasa
sakit yang berkembang dalam dadanya. Tak memperdulikan kalau tangannya saat ini
telah terkelupas dan berdarah- darah.
‘Beep beep
beep’
Dia
tersentak mendengar suara itu. Merogoh alat yang sengaja dia buat untuk
mengawasi Riri beberapa waktu lalu. Kemudian berlari menuruni tangga dan lift.
Harus pergi secepatnya ke tempat itu. Menjalankan tugasnya, meski dalam keadaan seperti ini.
“Sial!
Nggak ada taksi!” akhirnya mau tak mau dia berlari. Terus berlari meski kaki-
kakinya telah meminta berhenti setelah dua kilometer berlari. Dia terus berlari
hingga pada akhirnya sampai di tempat itu.
‘Buuugh’
**********
Aku masih
saja termenung di balkon kamarku. Sementara Ayah, Ibu dan kak Nino berkeliaran
menyusuri tiap tempat yang mungkin disambangi kak Hamid. Dan aku dititahkan
untuk menunggu saja di sini. Sedikit membuat frustasi karena tak bisa melakukan
sesuatu yang berarti untuk menyelesaikan masalah ini.
“Kalo lu
ada di sini, apa yang akan lu lakuin, kak?” tanyaku pada langit. Berharap kak
Rio bisa memberikan aku jawaban yang lebih masuk akal daripada terus termenung
di sini. Menunggu sesuatu yang tak pasti.
Tanganku
menggenggam erat kalung pemberian kak Rio. Kalung yang sama dengan yang menjadi
alat pelacak untukku selama Sammael masih berkeliaran bebas. Juga alat untuk
memberitahukan jika aku berada dalam bahaya.
Ah! Aku
menyadarinya! Haish! Aku memang bodoh sekali! Kenapa tak terpikirkan jalan
itu?!
Aku
bergerak mengorek isi lemariku. Mencari sebuah jaket tebal yang bisa
melindungiku dari sengatan angin malam yang dingin. Juga mengambil topi yang
beberapa hari lalu ku beli. Aku keluar kamar dan mengambil kunci motor kak Rio
di meja kecil depan kamar kak Rio. Berlari menuju garasi. Hanya tersisa satu
kendaraan di sini. Semua mobil yang ada sedang di pakai oleh pemiliknya.
Aku
menyalakan mesin motor dan segera meluncur pergi dari rumah. Tanpa mengindahkan
panggilan pak Oni yang menjaga pintu pagar. Terus memacu motor ini dengan cepat
menuju tempat yang sempurna untuk melaksanakan rencanaku.
Sebelah
tanganku menekan batu yang ada di tengah kalungku dua kali. Mengirimkan tanda
bahaya pada kak Hamid. Berharap dapat memancingnya ke tempat ini.
Sekarang,
yang harus ku lakukan hanya menunggu. Semoga dia datang denga cepat kali ini.
Sayup-
sayup aku mendengar suara langkah kaki berlari. Dari siluetnya, aku tahu itu
kak Hamid. Aku segera bersiap menjalankan rencanaku. Melakukan penyergapan.
‘Buugggh’
Kepalan
tanganku mendarat di pipinya. Dan dia tak berusaha menghindarinya. Atau tak
sempat menghindarinya, aku tak tahu.
“Riri? Lu..
Lu ngapain?”
“Ngajakin
lu tanding.”
“Nggak. Gue
nggak mau.”
“Oh, lu
harus mau. Kalo lu kalah, lu harus ngikutin semua mau gue. Kalo gue kalah,
terserah deh lu mau nyuruh gue ngapain.”
“Gue nggak
mau.” Tapi aku tak menerima penolakan seperti itu. Aku terus saja berusaha
untuk menyerangnya. Melancarkan pukulan ke tubuhnya. Dan dia terus menghindar.
Tak pernah sekalipun berusaha untuk membalasnya.
“Cukup, Ri.
Gue nggak mau. Gue males tanding sama lu malam ini.”
Dan aku
masih saja batu. Kali ini kusarangkan tendanganku di perutnya. Membuatnya
mundur beberapa langkah dan terjatuh. Aku tahu dia mulai kesal padaku. Dengan
begitu dia akan mulai membalas tiap seranganku.
Benar saja!
Dia mulai melancarkan pukulan- pukulannya yang berhasil aku hindari. Beberapa
kali dia mencoba untuk mengakhiri pertandingan ini dengan mengunci gerakanku.
Tapi selalu gagal.
Dan aku
sedikit kesulitan saat akan mengunci gerakan kak Hamid. Kuda- kudanya hampir
tak bercelah. Aku harus mencari momentum yang tepat untuk dapat melakukannya.
Aku
melihatnya! Aku melompati tubuhnya, bertumpu pada kedua bahunya hingga kini aku
berada tepat di belakangnya. Ku tekuk tangan kanannya ke belakang. Ku kalungkan
tangan kiriku di lehernya. Kemudian kakiku menendang kaki kirinya. Membuatnya
jatuh terduduk tanpa bisa membalas gerakanku.
“Gue
menang.” Bisikku di telinganya.
“Iya.
Sekarang lepas.”
“Dengan
satu syarat.”
“Apa?”
“Lu harus ngelakuin
apa yang gue mau.” Kudengar dia menghembuskan napas panjang.
“Oke.” Aku
melepaskan lilitan tanganku di lehernya. Membebaskan tangannya dari belengguku.
“Lu harus
ke rumah sakit. Tengokin nyokap lu.” Kataku to
the point. Dapat kulihat kilatan marah berbayang dalam matanya.
“Nggak. Gue
nggak pernah mau ketemu sama wanita itu lagi.”
“Kak, dia
itu nyokap lu.. Dia lagi kritis sekarang.. Lu nggak kasian sama dia?”
“Kasian?
Coba tanya sama dia. Waktu dia ninggalin gue sama Siti sendirian, apa dia nggak
kasian sama kami?”
“Biar bagaimanapun
lu tetep anaknya dia.”
“Anak yang
nggak pernah diharapkan kehadirannya. Udahlah. Gue nggak mau ngomongin dia
lagi.” dia berbalik hendak meninggalkan aku.
“Gue tahu
lu sakit hati sama nyokap lu. Gue bisa ngerasain apa yang lu rasain.. Tapi-”
“Lu bisa
ngerasain apa yang gue rasain? Hah! Sebaiknya lu pikirin tiap kata yang akan lu
ucapkan, Ri. Lu nggak tahu gimana rasanya jadi gue. Lu nggak tahu betapa keras
jalanan ibukota menempa seorang bocah ingusan tanpa perlindungan orang tua. Lu
nggak pernah tahu betapa sulitnya bertahan hidup di tengah dunia yang kelewat
gila ini sendirian, Ri. Lu nggak akan pernah tahu. Jadi berhenti bersikap
SEOLAH- OLAH LU NGERTI PERASAAN GUE! BERHENTI BERSIKAP SEOLAH- OLAH LU TAHU
GIMANA RASANYA JADI GUE!”
“Gue MUAK
KALAU HARUS NGINGET WAJAH ORANG ITU! Gue udah cukup tersiksa dengan hidup gue
yang berantakan. Jadi jangan pernah lu paksa gue untuk menemui dia. NGERTI
LU?!” teriaknya. Dia lalu berdiri dan mulai melangkah hendak meninggalkan aku
di sini.
“Kak..”
“Anak yang
dibesarkan dalam keluarga yang normal nggak akan bisa memahami perasaan anak
terlantar yang nggak pernah diharapkan kehadirannya kayak gue. Sekeras apapun
lu mencoba, lu nggak akan bisa memahami perasaan gue.” Katanya tanpa menoleh.
Dia berkata dengan lirih, tapi sabetan katanya menancap di gendang telingaku
dengan kencang.
Aku
termenung mendengarnya. Apa benar aku tak bisa memahami perasaannya? Lalu
kenapa aku merasakan sakit dalam dada ini saat mendengar semua perkataannya?
Kenapa tiap raungan kecewa yang menyelinap dalam pendengaranku juga turut
membakar hatiku dengan api kekecewaan yang berkobar besar?
**********
Hamid masih
belum diketahui keberadannya dimana. Hari kuliah telah berjalan dua hari. Dan
Hamid masih belum juga terlihat batang hidungnya sejak lima hari yang lalu. Keluarga
Nino sudah kehabisan akal dimana tempat untuk menemukan Hamid. Bahkan Fred dan
yang lain juga sudah dimintai bantuan untuk mencari Hamid. tapi tetap saja, tak
ada perubahan.
“Lu udah
nyari dimana aja?” tanya Nino saat Fred dan Billy sampai di rumahnya.
“Jakarta
udah abis kita ubek- ubek, kak. Tapi Hamid nggak ketemu juga. Apa mungkin dia
pergi ke luar kota?”duga Fred. Membuat semua yang hadir di sana menahan napas.
Membayangkan jika hal itu sampai terjadi. Indonesia terlalu luas untuk
dijelajahi.
Sementara
itu Riri masih diam di ruang kantornya. Terus mengusap kalungnya sambil
berpikir. Dimana kira- kira Hamid berada. Bagaimana cara menemukan Hamid? Dia
mencoba untuk menghubungi ponsel Hamid. Tapi tetap sama sejak kejadian malam
itu. Nomornya tidak aktif. Dia kembali memanggil Hamid dengan sinyal darurat
dari kalungnya, tapi Hamid tetap tak datang.
“Lu dimana,
kak? Nyokap lu keadaannya makin mengkhawatirkan tahu..” lirihnya sambil menatap
kursi yang biasa di tempati Hamid jika sedang ada di kantor. Membiarkan
bayangan Hamid yang tengah tertidur atau terdiam menghuni matanya. Dia sudah
terlalu lama di dampingi oleh Hamid. Hingga sekarang, setelah hampir lima hari
tidak di temani olehnya, semuanya terasa aneh.
Dia kembali
membayangkan jika saat ini perusahaan tengah dilanda masalah, Hamid pasti akan
membantunya. Kadang pemikiran yang tak terduga tapi bermanfaat dihasilkan
olehnya. Dan biasanya, dia akan bersemedi di atap gedung kantor ini jika
menghadapi masalah yang terlalu pelik.
Tunggu!
Di atap
gedung kantor? Jika ada masalah?
Mungkinkah?
Riri segera
berlari menuju lift dan naik ke lantai paling atas di tower tempat dimana
kantornya berada. Kemudian dia langsung menaiki tangga yang akan membawanya ke
atap gedung. Kemudian dia mengedarkan pandangannya menyapu atap gedung. Dan dia
tak menemukan siapa- siapa. Mungkinkah pemikirannya salah?
‘Uhuuk’
Dia
mengurungkan niatnya untuk kembali turun ke bawah setelah mendengar suara orang
yang terbatuk lemah. Dia berjalan perlahan menuju sudut atap yang ada di
belakangnya, di balik tempat penampungan air.
Angin
bertiup kencang, menerbangkan helai- helai rambutnya yang diikat kebelakang
saat matanya melihat sesosok pria yang tengah terduduk memeluk lututnya. Angin
juga yang telah menyibak helaian rambut hitam yang menutupi wajah pria itu.
Hingga nampak wajah yang pucat dan terlihat lelah ada di sana.
‘Uhuuk’
Sekali lagi
pria itu terbatuk. Terdengar begitu kepayahan bahkan walau hanya untuk
mengatasi rasa gatal di tenggorokannya.
Dia
melangkahkan kakinya perlahan. Mendekati Hamid yang masih terduduk di sana.
Memandang lurus kedepan.
Riri
menyentuh lengan Hamid yang tak tertutupi helai pakaian. Merasakan dingin yang
mengganas di sana. Mengrenyit heran kenapa tak menemui hangat karena matahari
di permukaan lengannya. Membuatnya bertanya- tanya sejak kapan Hamid ada di
atas sini.
“Kak?”
“……”
“Sejak
kapan lu ada di sini?”
“……”
“Jangan
begini, kak.. Ini bikin gue sedih..” katanya dengan suara bergetar.
“Lu nggak
boleh begini terus.. Hadapi kenyataan kalau nyokap lu masih hidup dan butuh anaknya
di sampingnya sekarang.”
“Gue nggak
tahu apa yang harus gue lakuin sekarang..” katanya pelan.
“Mau denger
saran dari gue? Menurut gue, lu harus sesegera mungkin pergi nemuin nyokap lu.
Setidaknya lu nggak ikut jadi anak yang menelantarkan orang tuanya..”
“Tapi tiap
ngeliat inget dia, gue ngerasa sakit, Ri. Sakit.. Sulit buat ngilangin rasa
sakit ini secepat itu..” Riri menghela napas panjang mendengar penuturan Hamid
tersebut.
“Lagian gue
nggak yakin dia mau ketemu sama anak haramnya.” Hamid kembali melemparkan
pandangannya ke depan. Tak fokus.
“Anak
haram?”
“Iya, gue
ini anak haram, Ri. Anak yang nggak perah diharapkan kelahirannya.. Dia udah
nyoba berkali- kali buat ngegugurin gue. Tapi entah gimana caranya gue nggak
mau mati- mati juga. Ha Ha Ha..” Riri yang mendengar hal itu hanya mampu
terpaku. Melihat sorot mata Hamid yang penuh dengan luka. Dia tak sanggup
melihat sorot mata yang seperti itu. Kemudian dia bergerak memeluk Hamid yang
masih duduk di sebelahnya.
“Jangan
pernah bilang kalau lu itu anak haram.. Semua anak yang lahir, nggak ada yang
namannya anak haram, kak..”
“Lalu gue?
Gue ini anak haram.. Anak yang lahir di luar ikatan pernikahan.. Tanpa status
yang je-“
“Jangan
bilang begitu lagi.. Jangan.. Lu bukan anak haram..” kata Riri sambil terus
memeluk Hamid makin erat.
“Lu mungkin
terlahir tanpa dikehendaki sama orang tua lu, mungkin lu lahir dari ikatan di
luar hubungan pernikahan, tapi lu nggak bisa di bilang anak haram. Nggak ada
anak haram, kak.. Semua anak dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan suci.. Cuma
orang tua lu yang melakukan hubungan haram.. Please.. Jangan bilang begitu lagi..” tanpa terasa air mata menitik
dari mata Riri yang terpejam. Pelukannya masih sama erat dengan yang tadi.
“Tapi gue-“
“Mau apapun
status lu di mata orang lain, lu akan tetep jadi bodyguard sekaligus abang
kesayangan gue..” potong Riri. membuat Hamid kembali terdiam mendengarnya.
“Lu pasti
bisa menghadapi semuanya, kak.. Gue percaya.. Jangan menyerah sama masa lalu..
Masa lalu itu kadang bisa jadi memuakkan, masa lalu itu kadang terlalu
menyakitkan.. Tapi gue percaya lu orang yang kuat.. Lu pasti bisa menaklukan
semuanya.. Lu pasti bisa menaklukan rasa sakit yang selalu saja hadir tiap lu
kebali memikirkan masa lalu.. Gue tahu, itu mudah di ucapkan. Bahkan gue
sendiri masih belum bisa bangkit dari kejatuhan di masa lalu. Tapi kita bisa
mencoba bangkit bersama..” Riri masih berupaya meyakinkan Hamid.
“Lu udah
tahu gimana rasanya di acuhkan.. Sakit kan rasanya? Apa lu mau orang lain
ngerasain rasa sakit yang sama? Nggak kan? Kalau gitu, jangan acuhkan nyokap
lu.. Gue-“
“Gue butuh
waktu..” katanya sambil memegang lengan Riri yang masih melingkari tubuhnya.
Makin menempelkan lengan- lengan ramping itu di tubuhnya. Merasakan kenyamanan
yang dikeluarkan oleh tubuh gadis itu.
“Ambil
waktu sebanyak yang lu butuh.. Ambil, kak.. Tapi jangan menyerahkan semuanya
sama waktu.. Kadang waktu terlalu memanjakan kita.. Jangan sampai semuanya
terlambat.. Gue nggak mau lu tenggelam dalam penyesalan nantinya..” Hamid
menjawabnya dengan anggukan lemah dalam pelukan Riri.
“Gue kangen
sama Siti.. Lu terlalu mirip sama dia..”
“Lu boleh
anggep gue Siti.. Gue dengan senang hati mau jadi adik lu.. Dan gue yakin kak
Nino pasti mau berbagi gue buat jadi adik lu..”
“Nggak.. Lu
bukan Siti.. Lu nggak akan bisa jadi Siti semirip apapun lu sama dia.. Lu akan
tetep jadi Riri, bukan Siti..”
“Terserah,
asal lu nyaman ada di deket gue.. Rasanya aneh tahu nggak ada lu di sekeliling
gue.. Gue udah biasa selalu di temenin sama lu.. Gue kangen di temenin kemana-
mana sama lu..”Hamid tersenyum mendengarnya. Dadanya terasa hangat. Kini dia
tahu kenapa banyak orang jatuh sayang padanya. Termasuk dirinya.
“Gue nggak
bisa memungkiri kalau gue itu orang yang selalu ngangenin..” Riri sontak
melepaskan pelukannya. Dengan refleks dia memukul bahu Hamid.
“Dih! Geer
banget lu..”
“Siapa yang
geer? Kan tadi lu sendiri yang bilang kalau lu kangen sama gue..”
‘Kruuuuuk’
Baru saja
Riri ingin menyanggah statement yang
dilontarkan Hamid, tiba- tiba telinganya menangkap bunyi yang membuatnya
menahan seringai. Perut siapa yang sedang mengadakan konser heavy metal? Dengan yakin sekali Riri
bisa mengatakan kalau itu adalah Hamid yang kelaparan.
“Hahahaha..
Ayo turun.. Perut lu udah bunyi aja daritadi..” katanya sambil berdiri.
Menyodorkan tangannya untuk membantu Hamid berdiri. Hamid tersenyum melihatnya.
Tangannya menyambut uluran tangan Riri. Membuat tubuhnya berdiri dengan lebih
mudah.
Hamid
berjalan tertatih. Merasakan kakinya yang terus bergetar. Membuat Riri yang ada
di sebelahnya melirik cemas ke arahnya. Beberapa kali dia hampir terjatuh.
“Lu udah
berapa lama di sini?”
“Hmmmh..
Sejak malam kita ketemu di lapangan.”
“Terus lu
nggak turun- turun gitu?” Hamid mendongak menatap langit. Seperti mengingat-
ingat sesuatu. Kemudian menggeleng.
“Terus
kalau hujan gimana? Malem- malem juga lu di sini? Nggak turun?” tanya Riri
berentetan.
“Kalau
hujan, gue ada di bawah tower air.
Kalau mau ke kamar mandi tinggal ngesot
ke kamar mandi pojok atap. Males turun ke bawah. Jadi gue tidur di sini aja.”
Riri makin heran dibuatnya. Mendadak dia ingin memukuli kepala lelaki yang ada
di sebelahnya. Memperbaikinya agar tidak terus menerus rusak seperti-
“Tunggu! Lu nggak turun- turun? Jadi lu nggak
makan- minum selama ini?” Hamid kembali mendongak. Berpikir. Kemudian
menggeleng dengan wajah tanpa dosa.
“LIMA
HARI?!?! Oke! Otak lu udah rusak. Gue harus panggil rombongan sirkus kesini
berarti.” Katanya sambil mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Menghubungi
Nino agar menjemput mereka ke atap menara. Juga agar memberitahu yang lain
kalau Hamid telah ditemukan.
Saat
menuruni tangga, Riri harus ekstra hati- hati. Karena keadaan Hamid makin
terlihat kurang meyakinkan. Sudah tak terhitung berapa kali dia hampir terjatuh
saat menuruni tangga. Mana tangganya sempit pula. Riri makin sulit menjaga
Hamid agar tak terjatuh.
“Kak, hati-
hati.. Sebentar lagi kita udah bisa naik lift kok..”
“Iya.. Gue
bak-“ kata- kata Hamid tak terselesaikan karena kakinya yang tiba- tiba terasa
lemas kembali. Membuat tubuhnya bergerak mengikuti gaya gravitasi.
‘Bruuuuuk’
Hamid
membuka matanya sesaat setelah tubuhnya mendarat pada sesuatu. Keras, tapi
tidak membuatnya terlalu sakit. Billy yang entah bagaimana caranya menangkap
Hamid hingga tidak membentur lantai dengan keras. Nino dengan gemas mengapit
kepala Hamid dengan sebelah lengannya. Mengarahkan ujung ruas jari tengahnya
untuk membuat crop circle di atas
kepala Hamid.
“Lu lain
kali jangan bikin panik begini kenapa! Untung aja si Riri bisa nemuin lu.. Kalo
nggak, grrrrrr….”
“Ampun
ampun.. Puyeng woi…” erang Hamid.
“Sumpah ya!
Rasanya aneh nggak ada lu, Mid..” kata Nino. Kini dia memeluk Hamid dengan
erat. Membuat Hamid terbelalak kaget. Perlahan sebelah tangannya bergerak
menepuk- nepuk punggung Nino. Menegaskan kalau dia juga merasakan hal yang
sama.
Mereka
semua sudah terlalu dekat. Hingga jika ada yang terpisah seperti kemarin-
kemarin, terasa tidak menyenangkan. Seperti ada yang hilang. Menambah ruang
pada kehampaan yang memuakkan.
***********
Beberapa
pasang mata itu memandangi dari pinggir pintu. Melihat orang yang selama ini
membuat mereka khawatir kembali ke sisi mereka. Meski dalam keadaan yang
sedikit agak mengenaskan. Bayangkan saja! Lima hari tanpa makan dan minum,
tidak terlindungi dari angin malam dan air hujan. Hebat sekali jika dia masih
bisa dikatakan baik- baik saja.
Riri masih
duduk di kursi sebelah ranjang. Menggenggam tangan Hamid erat. Merasakan tangan
yang perlahan menghangat seiriang berjalannya waktu. Masih terasa lembab, tapi
setidaknya tidak sedingin tadi saat dia ditemukan.
Sebelah
tanganya yang lain bergerak mengusap peluh yang muncul di dahi Hamid. perlahan,
lembut. Tak ingin membangunkan Hamid yang kini tengah terlelap hangat.
“Ssst..
Riri.. Ayo keluar..” bisik Nino dari ambang pintu. Riri mengangguk dan beranjak
pergi dari samping Hamid. Perlahan melepaskan genggaman tangan Hamid yang tetap
saja erat walau sudah terlelap sejak tadi.
“Riri..”
Riri menghentikan gerakannya. Menengok ke arah Hamid yang baru saja terdengar
guMamannya.
“Makasih..
Hhhh.. Makasih buat semuanya..” Hamid masih saja bergumam kecil. Membuat Riri
tetap terdiam di sebelahnya.
“Sekarang
gue udah bisa menghadapi se-hhhh-muanya..” kata Hamid, makin lama makin tak
jelas. Kemudian terdengar dengkur halus dari mulutnya. Menandakan kalau dia
sudah kembali tertidur.
Riri haya
bisa tersenyum mendengarnya. Dia kembali melepaskan genggaman tangan Hamid dan
kembali mengusap dahi Hamid.
“Sama-
sama, kak.. Cepet sembuh ya..”
Dia
kemudian melangkahkan kakinya keluar kamar dan menutupnya pelan. Lalu kembali
beranjak ke ruang tengah. Tempat ayah, ibu dan Nino berkumpul.
“Gimana
Hamid?” tanya ibu.
“Udah
tidur..”
“Kapan dia
siap-“
“Bu, jangan
terburu- buru.. Keadaan Hamid masih belum memungkinkan..” potong ayah.
“Tapi Wati
nggak bisa selamanya menunggu..”
“Tapi kak
Hamid juga masih butuh waktu, Bu.. Bukan hal yang gampang untuk menyembuhkan
perasaan yang tersakiti, Bu.. Ibu lihat sendiri gimana reaksinya kak Hamid saat
dia tahu kalau ibunya seperti menunggu dia untuk datang. Sekarang dia sudah
lebih baik daripada kemarin. Setidaknya beri kak Hamid waktu untuk berpikir
jernih..” kata Riri.
“Bener apa
yang dikatakan Riri, bu.. Menyembuhkan luka di hati itu bukan perkara mudah..”
lanjut Nino.
“Nino tahu
ibu khawatir sama keadaan ibu Wati. Tapi nggak gini juga caranya.. Ibu juga
harus mempertimbangkan perasaan Hamid yang selama ini dia telantarkan. Kalau
boleh Nino berkata walau terdengar agak tidak sopan, ini bisa dibilang
konsekuensi dari sikapnya di masa lalu terhadap Hamid.. Dia sudah berani
mengambil tindakan untuk meninggalkan Hamid dan Siti di masa lalu, berarti dia
juga harus berani menanggung konsekuensi sikap Hamid sama dia..”
Ibu terdiam
mendengarnya. Merasakan hatinya yang terasa dilema. Dia ingin secepat mungkin
membawa Hamid pergi menemui Wati. Tapi benar juga apa yang dikatakan oleh anak-
anaknya.
“Tenang,
bu.. Semuanya pasti bisa berjalan lancar.. Asalkan kita bersabar menunggu
semuanya terjadi..” kata ayah sambil menepuk- nepuk pelan bahu ibu.
**********
Pagi ini
ayah, ibu, Nino dan Riri sudah ada di meja makan. Bersiap menyantap sarapannya,
ketika terdengar suara slipper mendekat
ke arah mereka.
“Kak?
Kenapa nggak nunggu di kamar aja? Nanti gue anterin sarapannya ke kamar lu..”
kata Riri sambil bergerak menyongsong Hamid. Begitu juga dengan Nino. Takut kalau-
kalau tubuh Hamid masih terlalu lemas untuk dibawa berjalan dan akhirnya jatuh.
“Gue udah
mendingan kok.. Setelah tidur di tempat yang layak, badan gue udah lebih baik..”
katanya sambil duduk di kursi sebelah Nino.
“Makasih
ya, semuanya.. Udah mau ngerawat saya selama ini.. Maaf juga kemerin udah
ngerepotin..” katanya pada tiap kepala yang ada di meja makan.
“Hamid,
kamu nggak usah ngomong begitu.. Kamu udah kami anggap bagian dari keluarga
Kusuma sejak lama..”
“Betul apa
yang dikatakan ayah, Mid..” sahut ibu. Hamid yang mendengar hal itu hanya mampu
tersenyum dengan penuh rasa syukur yang membuncah dalam dadanya.
“Ehm, saya
mau ke rumah sakit hari ini..” Yang lain tentu saja kaget mendengarnya. Bahagia
juga sebenarnya. Tapi lebih banyak kagetnya.
“Yakin,
kak?”
“Yakin
banget, Ri.. Gue rasa udah waktunya gue ketemu sama nyokap lagi setelah sekian
lama terpisah.. Lagian gue mau minta restu.. Sebentar lagi gue sidang skripsi..
Biar sidang skripsi gue lancar nantinya..”
“Oke, nanti
kami semua bakal ikut nganterin kamu ke rumah sakit.” Kata ibu bersemangat.
“Hamid
sendiri yang kesana juga nggak apa- apa kok, tan.. Beneran deh..”
“Nggak apa-
apa pale lu peyang.. Itu muka masih pucet itu.. Kalo di tengah jalan collapse lagi begimana ceritanya ituuu??”
sungut Riri sambil menunjuk- nunjuk wajah Hamid menggunakan pisau makan yang
ada di tangan kanannya.
“Riri,
nggak sopan ah begitu..” kata ibu sambil menurunkan tangan kanan Riri yang
masih saja mengacung- acungkan pisau makannya ke arah Hamid. “Udah, udah..
Pokoknya nanti Ibu sama Ayah ikut ke rumah sakit..”
“Nino nggak
bisa ikut.. Ada jadwal praktik..”
“Riri
ikut.. Mau sekalian nengokin kak Alex..”
“Oke kalau
begitu, sekarang kita sarapan, terus siap- siap pergi ke rumah sakit..” titah
ibu. Memutuskan segalam macam percakapan yang bisa membuat acara sarapan
tersendat.
**********
“Jadi kak
Hamid udah ketemu?” Billy mengangguk.
“Alhamdulillah
yah.. Terus sekarang dia gimana?”
“Masih
lemes gara- gara lima hari nggak makan nggak minum.”
“Oh..”
kemudian Nita tersadar dengan apa yang baru saja Billy ucapkan. “LIMA HARI?!
Astaga.. Itu bocah udah bosen ngeliat makanan apa ya? Lima hari, kak? Ya ampun.
Astaga.. Terus sekaran-“
“Nita.. Dia
udah di rawat sama kak Nino.. Nggak usah panik berlebihan deh..” kata Billy
memotong kata- kata Nita dengan wajah yang terlihat tidak mengenakkan.
“Eh, ada
yang cemburu..” celetuk Nita.
“Siapa?”
“Itu, tuh..
Yang pake piyama abu- abu.. Yang lagi sarapan bubur ayam tanpa kecap..”
Billy
segera menghentikan sendok berisi bubur ayam yang bersiap mendarat dalam
mulutnya. Menyadari kalau yang dimaksud oleh Nita adalah dirinya.
“Aku nggak
cemburu..”
“Ih, kakak
lucu banget kalau lagi cemburu.. Mukanya merah.. Hahaha..” katanya sambil
mencubit gemas kedua pipi Billy yang ada di sampingnya. Duduk bersandar di
kepala ranjang kamarnya dengan meja kecil di hadapannya. Terpaksa menghabiskan
banyak waktunya di atas ranjang karena kembali sakit.
“Nita..”
kesal Billy. Dia meletakkan sendoknya dengan sedikit kasar ke dalam mangkuk
buburnya.
“Kak,
jangan cemburu dong.. Kan kak Hamid sahabat kakak juga.. “ kedua tangan Nita
menangkup wajah Billy. Membuatnya saling bertatapan.
“Aku Cuma..
Ehm.. Cuma.. Ah, lupakan..” katanya sambil melepaskan tangkupan tangan Nita
atas pipinya. Kembali memasukkan bubur ayamnya ke dalam mulutnya. Kemudian lagi-
lagi dia meletakkan sendok itu di mangkuk buburnya.
“Aku tahu..
Kakak lagi pengen di manjain kan.. Kakak kan selalu jadi lebih manja –walau kadang
nggak juga sih- kalau lagi sakit.. Iya kan.. Ngaku aja deh..”
“Aku.. ak-
mm..” kata- kata Billy terpotong oleh sesendok bubur yang di suapkan Nita. Dengan
telaten Nita menyuapi Billy bubur ayam buatannya. Lalu setelah selesai, dia
membantu Billy rebah di ranjangnya. Tentu saja sebelumnya juga membantu Billy
meminum obatnya.
Dengan keibuan,
Nita menarikkan selimut yang akan menutupi tubuh Billy hingga dada. Dan merapikannya
agar udara dingin tak menelusup menggerayangi tubuh Billy.
“Cepet
sembuh ya, kak..” katanya sambil memberikan kecupan hangat di dahi Billy. Membuat
Billy melemparkan senyum lebar kesenangan miliknya.
**********
Dia
melangkah perlahan menuju ke dalam ruangan. Tidak mau terburu- buru. Karena biar
bagaimanapun, hatinya masih saja menjerit kesakitan tiap melihat wajah yang
terkapar tak berdaya di sana.
Sesaat setelah
sampai di samping ranjang, dia menghembuskan napas panjang. Berusaha meredam
tiap jerit kesakitan yang mengisi relung dadanya. Tangannya sedikit gemetar
saat bergerak hendak menggenggam tangan yang di susupi jarum infus itu.
“Mama.. Ini
Hamid.. Mama bisa dengar Hamid?” tanyanya. Dia menggenggam erat tangan ibunya. Berusaha
kembali mengingat hangat belaian kasih seorang ibu yang telah terlalu lama tak
dia rasakan keberadaannya.
“Ah,
benar.. Ini tangan Mama.. Hangat..”
“Mama tahu?
Hamid nggak tahu apa yang Hamid rasain hari ini setelah bisa ngeliat Mama lagi
sekarang.. Sedih, bahagia, marah, kaget semuanya jadi satu..” dia bergerak
mengusap lembut punggung tangan wanita itu.
“Bahagia
karena akhirnya Hamid bisa ngeliat Mama lagi.. Sedih karena kita harus bertemu
dalam keadaan seperti ini.. Marah karena Mama udah tega ninggalin Hamid sama Siti
sendirian waktu itu.. Kaget karena nggak nyangka kita akan ketemu lagi..”
“Mama tahu?
Aku sempet benci banget sama Mama.. Karena Mama tega ninggalin kami berdua yang
masih kecil sendirian di Jakarta. Membuat kami harus bisa menanggung beban yang
harusnya hanya di tanggung oleh orang dewasa. Membuat Siti mati muda karena Hamid
yang nggak becus ngejagain dia.. Karena itu, Hamid benci banget sama Mama..”
“Tapi Mama
juga harus tahu.. Gadis yang sekarang lagi duduk di depan sama sahabat Mama, dia
yang udah bikin Hamid ikhlas nerima kenyataan dan keadaan.. Dia gadis terkuat
sekaligus ter-rapuh yang pernah Hamid temui. Dia punya banyak masalah dalam
hidupnya, tapi dia selalu aja berusaha untuk membantu menyelesaikan masalah
orang- orang terdekatnya.. Sama seperti Siti kecil kita..”
“Hamid
sekarang udah mau lulus kuliah, ma.. Rio dan yang lainnya yang ngebantu Hamid
sampai Hamid bisa seperti sekarang ini.. Kalau Mama ketemu Rio di sana, Mama
harus sampaikan rasa terima kasih Hamid buat dia.. Hamid mau minta doa dari Mama..
Doain biar sidang skripsinya lancar beberapa minggu lagi.. Supaya bisa cepet
lulus kuliah..”
“Mama,
dokter bilang luka yang Mama alami terlalu parah. Mereka semuanya angkat
tangan, menyerah untuk mengusahakan kesembuhan Mama.. Kata mereka, Mama mungkin
sedang menunggu Hamid untuk kembali menemui Mama.. Apa Mama udah menyerah untuk
kembali lagi ke sini?” suaranya mulai bergetar. Menghadapi kenyataan kalau
sekarang dia tengah menikmati detik- detik terakhir bersama ibunya yang telah
lama tak dijumpainya.
“Kalau Mama mau menyerah untuk kembali lagi ke sini dan memulai hidup baru bersama Hamid, Hamid rela kok, ma.. Hamid rela Mama pergi sekarang.. Asal Mama bahagia, itu udah cukup buat Hamid.. Mengingat Mama sudah terlalu banyak menderita di sini.. Hamid rela melepas Mama sekarang..” tangannya menyapu pipi wanita itu dengan pelan. Mengusap wajahnya yang sebagian besar tertutupi kassa. Dia mendekatkan wajahnya, dan mengecup dahi wanita itu. mengucapkan salam perpisahan. Lama, hingga membuat matanya memburam tergenang air mata.
“Hamid
sudah memaafkan Mama.. Hamid mengikhlaskan kepergian Mama..” bisiknya. Terlihat
bulir air mata yang terjatuh dari pinggir mata wanita itu.
Saat air
mata itu menetes jatuh ke atas bantal yang selama ini menopang kepalanya, mesin
kardiograf berdesing nyaring. Menampilkan garis lurus, tak berdetak.
“Makasih, Hamid.. Makasih.. Hiduplah dalam bahagia,
nak..”
“Pasti.. Hamid
akan hidup dalam bahagia.. Pasti..” ucapnya pelan. Tersenyum lebar dengan air
mata yang jatuh satu- satu ke atas pipinya.
**********
Jemari
dalam genggamanku ini masih saja sama seperti kemarin. Dingin. Sedikit kaku
karena hampir tak pernah bergerak selama sebulan lebih. Ah, kapan jemari ini
kembali bergerilya menghasilkan nada- nada indah untukku? Aku sudah terlalu
merindukan kehadirannya di sisiku.
“Kak, kapan
kakak bangun? Apa kakak nggak kangen sama aku? Aku udah kangen banget sama
kakak.. aku kangen ngeliat kakak main saxophone di aula kampus, kangen kakak
teriak- teriak ngatur anak orchestra latihan, kangen semuanya..” kemudian aku
terdiam. Merasakan sesuatu yang berbeda, yang teraba oleh indra-ku tadi.
Mungkinkah?
To be continue
Posted at my house, Tangerang City.
At 11.18 p.m
Puji
Widiastuti,
Seseorang
yang baru saja belajar menuangkan inspirasi keatas kertas, bercerita..
Dan saya
mengharapkan kritik konstruktif dari anda.. :D
Don’t be a silent reader, please..