Senin, 04 Maret 2013

Love the Ice - Epilogue


Aku menatap langit yang kelam, meski tak sepenuhnya. Karena terpercik bias sinar bulan yang sempurna. Full moon. Sama seperti nama tempat yang dua tahun lalu kudirikan. Aku pun tak tahu apa yang mengilhamiku untuk mendirikan tempat ini. Mungkin karena janji dan harapan yang sempat kuucapkan lima tahun yang lalu. Bahwa aku akan tetap menunggunya, meski hingga saat ini aku tak tahu dimana keberadaannya atau bahkan keadaannya.

Dia, juga keluarganya seperti menghilang. Tak meninggalkan jejak sedikit pun. Aku pernah berusaha mencari ayah dan ibunya di tempat usaha mereka, dan pegawainya menjawab kalau bapak dan ibu Kusuma tidak ada di tempat. Menyisakan wakil pimpinan yang akan menghandle semua urusan usahanya selama mereka absen. Kak Nino? Dia ternyata sudah resign dari tempatnya praktek. Mereka semua benar- benar terhapus jejak keberadaannya.

Bertanya pada pihak kampus? Hah, hal itu sama saja seperti bertanya pada tembok. Takkan mendapat jawaban. Yang ada malah di oper kesana- kemari seperti bola tennis.

Pada awalnya aku mengira kalau Hamid kembali berbohong. Aku tak percaya kalau dia tak mengetahui dimana keberadaan Riri saat ini. Tapi pada akhirnya aku juga harus percaya padanya. Karena dia amat teramat sangat panik saat awal-awal kepergian Riri. Sampai memanggil semua kenalannya untuk turut serta mencari Riri. Dan itu sudah cukup sebagai bukti –bagiku- kalau Hamid tidak mengetahui apa-apa kali ini.

Dia akhirnya menyerah untuk melacak keberadaan Riri akhir tahun kemarin. Dan aku takkan mengejeknya dengan tajam. Aku bahkan salut padanya yang tak pernah berhenti berusaha untuk melacak gadis itu dengan tangannya sendiri meski dirinya terlalu sibuk setelah menempati jabatan yang diberikan padanya. Ya, Riri menyerahkan jabatannya pada Hamid hingga waktu yang tidak dapat di tentukan. Kurang lebih itu yang disampaikan oleh kuasa hukum keluarga Riri dua hari setelah kepergiannya.

Banyak hal yang terjadi padaku, pada mereka semua yang dekat denganku, beberapa tahun ini. Baik itu yang berbau duka maupun suka. Dan hingga saat ini aku takkan pernah bisa lupa apa saja yang telah aku lewati saat dia masih ada di sekitarku. Aku juga tak bisa berhenti berandai-andai mengenai kejadian bertahun-tahun yang lalu.

Hhh.. Ternyata cinta ini benar-benar bukan cinta monyet yang akan mati saat tak dipupuk si empunya.

Hari ini aku akan kembali naik ke atas panggung kafe. Seperti yang biasa aku lakukan jika purnama datang. Menyanyikan sebuah lagu yang sudah terlalu jelas maknanya. Berharap jika Riri bisa mendengarnya, jika dia masih ada di dimensi yang sama denganku dan aku harap dia masih bertahan di dunia ini.

Aku menghela napas panjang. Sekali lagi ada perasaan kurang menyenangkan yang berputar dalam dadaku. Bukan, bukan kecewa dan sedih. Hanya lelah. Membayangkan jika dia tak juga kembali, maka aku masih akan tetap terlarut dalam perasaan yang penuh dengan ketidak jelasan. Tak bisa melupakan dan melepaskan, tapi terlalu lelah untuk menunggu. Hingga nyaris gila.

Sudahlah. Tabah saja. Mungkin ini pembalasan Tuhan karena sikapku yang buruk di waktu lalu. Karena seperti yang semua orang ketahui, pembalasan selalu menghantam berkali lipat dari perbuatan.

Aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam kafe dan naik ke panggung. Meraih gitar yang tetap setia menemaniku sekian lama. Membelai badan gitar yang tergeletak dengan molek di atas pangkuanku.

“Malam semuanya. Seperti biasa saya kembali di sini saat bulan purnama. Mungkin kalian mulai bosan melihat penampilan saya yang selalu memainakn lagu yang sama. Dan kalian juga mungkin akan merasa semakin bosan jika saya kembali menjabarkan alasan yang sama. Tapi malam ini sedikit berbeda.” Aku berdehem untuk membersihkan tenggorokanku yang tiba-tiba sedikit tercekat.

“Hari ini, tepat lima tahun yang lalu, dia yang saya cintai pergi. Dengan memanggul begitu banyak kekecewaan di pundaknya. Kekecewaan yang disebabkan oleh saya yang hanya ingin dimengerti tanpa pernah mencoba untuk mengerti lebih dalam mengenai perasaannya.” Aku melihat pengunjung yang telah memberikan fokus mereka sepenuhnya padaku.

“Saya tidak tahu bagaimana keadaannya saat ini. Saya harap dia dalam keadaan baik-baik saja tanpa kekurangan satu apapun. Sampai saat ini saya juga tidak tahu dimana dia berada, entah masih di dimensi ini atau telah berpindah ke dimensi lain. Tapi dimanapun dia berada, saya berharap dia selalu bahagia.” Aku menarik napasku sejenak.

“Tapi seperti lagu ini, saya takkan berhenti menunggu. Menunggu kehadirannya untuk kembali dalam kehidupan saya. Ri, it’s for you.” Jemariku mulai memetik dawai yang tegang. Memainkan intro lagu yang akan ku nyanyikan.


People talk about the guy who’s waiting on a girl. There are no holes in his shoes, but a big hole in his world. Maybe I’ll get famous as man who can’t be moved. And maybe you won’t mean to but you’ll see me on the news. And you’ll come running to the corner. ‘Cause you’ll know it’s just for you..
I’m the man who can’t be moved. I’m the man who can’t be moved.
‘Cause if one day you wake up and find that you’re missing me. And your heart starts to wonder where on this earth I can be. Thinking maybe you’d come back here to the place that we’d meet. And you’d see me waiting for you on the corner of the street.


Aku meletakkan gitarku pada tempatnya semula. Kemudian membungkuk untuk memberikan hormat pada semua yang telah menyaksikan penampilanku.

Dan saat aku menegakkan kembali tubuhku, ada yang menubrukku dengan keras. Membuatku terhuyung ke belakang nyaris jatuh. Melilitkan sebelah lengannya di atas bahuku, dan sebelah tangannya yang rebah di belakang kepalaku. Sementara kedua tanganku secara reflek mendarat di pinggangnya.

Aku tak bisa berpikir, menerka siapa kira-kira yang memelukku saat ini. Aroma yang menguar diantara kami, aku tahu aku mengenalnya. Tapi, aku tak mampu mengungkapkannya.

“Ucapkan, kak.” Lirihnya di sela pelukan kami.

“Apa?”

“Ucapkan kata-kata yang dulu lu bilang mau lu ungkapkan di hadapan gue.” Aku masih terdiam. Tak mampu melakukan apapun.

“Gue kembali. Supaya lu bisa ngelaksanain semua yang telah lu katakan di hadapan banyak orang, lima tahun lalu. Gue berhasil memperjuangkan hidup gue, sekarang gue akan nagih janji lu, kak..”

Lima tahun yang lalu? Memperjuangkan hidup?

Mataku perlahan menunduk dan menemukan sesuatu di tubuh yang hanya tertutupi dengan vest -yang menempel langsung di kulitnya yang seperti porselen- dan celana flat front hitam. Di belikat kirinya. Itu.. Mataku membelalak. Kemudian perasaan hangat mulai menjalari tubuhku. Membuahkan rasa nyaman dan bahagia dalam dadaku. Kedua tanganku balas memeluk tubuh rampingnya dengan erat. Membiarkan hidungku menyentuh bahunya, kemudian bergerak untuk mengecup kulit bahunya.

I love you. ” Ucapku.

I love you, too.” Jawabnya.

Semua terasa pas dan benar. Seperti kehendak Tuhan yang selalu mutlak keberadaannya. Dan lidahku tak henti mengucapkan kalimat yang sama. Tak berhenti meski dia telah menjawabnya berkali-kali. Tak berhenti walau suara tepuk tangan yang riuh menenggelamkan suaraku.

Tak bisa berhenti karena bukan hanya mulutku yang berlisan. Tapi juga jantungku. Karena ini adalah luapan jiwaku yang merasa bahagia. Karena ini adalah bukti bahwa es dalam jiwaku telah meleleh saat hatinya yang sempat mendingin juga ikut menghangat.

 “Akan sangat tidak mudah mencintai manusia es yang satu ini, Ri..” bisikku tanpa melepaskan pelukan kami.

Well, I don’t care. Walau lu itu manusia es, manusia purba atau manusia-manusia lain yang terdengar aneh dan abnormal di telinga gue, perasaan ini nggak akan berubah. Udah berkerak di dasar hati. I’m crazy enough to love you, to love the ice. What you have to do is just shut up and feel it, then love me more and more..

Aku tahu ini hanya permulaan. Mungkin akan banyak rintangan setelahnya. Mungkin dia akan kesulitan menghadapi aku yang –menurut orang-orang yang mengenalku- sangat dingin melebihi nitrogen cair. Dan aku juga akan sedikit kesulitan menghadapi dia yang pemikirannya terlalu sulit ditebak. Tapi aku yakin semua akan baik-baik saja.

Dia mencintaiku dan aku yang mencintainya. Seperti berkas-berkas cahaya surga di langit yang menyinari bongkahan es abadi, membiaskan cahaya yang benderang. Bukankah itu indah?


The end.

Akhirnya selesai! Yatta! *jejingkrakan* *lap keringet* *lap air mata* *lap ingus*

Menyenangkan? Menyebalkan? Mengecewakan? Just say it, guys.. Aku udah menyiapkan mental buat ngebaca semuuaaaa komentar kalian tentang epilog ini.

Bahagiaaaa syekali udah bisa merampungkan cerita yang satu ini. Cerita terpanjang yang pernah saya bikin sepanjang perjalan hidup saya. Kalau di itung2 mungkin udah ngabisin lebih dari 300 halaman di ms.word *megap2*

Kenapa saya bikin akhirnya begini? Happy end, padahal saya cinta sekali dengan sad end? Soalnya writing buddy saya, ohana saya pada mencak-mencak gara-gara semua cerita yang saya bikin berakhir dengan kematian. Baru bahagia dikit, mati. Ditinggalin pacar, mati. Baru balik dari pemakaman, mati lagi.

Abis yang sedih itu kadang lebih melekat di hati. Soalnya sakitnya nyelekit bukan main. Jadi nggak mudah dilupain. *di gorok yang baca*

Lagian sepertinya udah waktunya saya keluar dari dunia sad end yang suram (walau nyaman). Jadi, saya mengabulkan permintaan para pembaca yang minta happy end.

Nah, buat yang nanya apa setelah cerita ini masih ada sekuel, side story, ya apapun itu,, ehmm.. Silahkan tebak pikiranku. Pembaca yang mengenal saya (baik itu melalui tulisan atau aslinya di kehidupan sehari-hari), pasti tahu maksudnya :p *berlagak misterius*

Terima kasih buat semua yang udah nyempetin waktunya buat baca tiap part di cerita ini, buat ngasih kritik dan semangat yang membakar sampe ke sumsum tulang *lebaynya kumat*. Sejuta cinta buat kalian deh! *kecup banjir*

Maaf juga kalo selama ini suka bikin kalian ngerasa kesel sendiri sama tingkah saya yang yah begitu deh. Maaf juga kalau ngerasa kecewa sama cerita ini.

Saya pergi, entah kapan kembalinya ke dunia pembuatan cerita. Mungkin sekarang dan beberapa waktu yang akan datang, saya Cuma jadi pembaca (bahkan silent reader). Ah, I’m gonna miss you, guys!

Nee—nggak bosen-bosen ngasih tau, kalo ada yang penasaran sama lagu-lagu yang ada di cerita ini, sila berkunjung ke kentangpedes.blogspot.com. Di sana biasanya saya kasih link buat lagu yang ada di dalemnya. Lagu yang dimainin Fred, Alex, Billy and Darrel waktu Riri pergi juga ada di sana sepertinya.. Hehehehe..

Dankeschön..


With lots of big-big-big-big hug *melebihi besarnya badan saya* :p

Puji Widiastuti

Minggu, 24 Februari 2013

Love the Ice part 41


Mereka baru saja duduk di kursi penonton saat -entah-peserta-keberapa-itu- selesai tampil. Mereka terlambat karena alasan cliché yang sepertinya tak lekang oleh jaman. Macet.

“Mereka dapet nomor urut berapa?” tanya Darren.

“Entahlah. Nggak ada yang ngasih tahu. Mau ngehubungin mereka juga percuma. Orang handphone mereka pasti pada mati atau di silent semua..” jawab Nita. Dan lagi-lagi tidak ada yang ingat untuk menanyakan hal itu pada panitia. Benar-benar, semoga Tuhan memelihara pikiran mereka.

“Yaudah, kita tungguin aja.. Semoga aja kita belum ketinggalan..” timpal Darrel.

“Baru dateng?” tanya seseorang yang duduk tepat di belakang mereka. Dan mereka semua sontak menatap si pemberi pertanyaan dengan tatapan heran.

“Kenapa pada ngeliatin gue kayak begitu deh?”

“Lu nggak ikutan ke backstage?” tanya Hamid.

“Nggak. Gue juga baru nyampe hari ini. Lagian gue percaya wakil gue bisa ngehandle anak-anak. Jadi gue mau leha-leha aja di sini. Hahaha..”

Mereka berlima melengos mendengar perkataan Alex barusan. Bagaimana bisa ada ketua yang seperti ini? Masa iya dia tidak mau ikut turun tangan dalam persiapan sebelum naik panggung? Grrrr!

“Lu tahu kapan mereka tampil, kak?” kali ini Nate yang bertanya.

“Nggak tahu juga. Hehehe.. Gue nggak nanya-nanya sama panitia, sengaja. Biar surprise gitu.. Tapi mereka belum tampil kok.. Tenang.. Masih ada sekitar 6 peserta lagi.. Tungguin aja.. Nanti mereka juga tampil..

Ah, sudahlah. Sepertinya percuma juga bertanya pada Alex yang sepertinya sedang mengalami korsleting otak. Jadi mereka semua memilih untuk kembali menikmati suguhan nada dari peserta entah keberapa. Mereka juga sebenarnya tak mempermasalahkan kalau teman sejawatnya tampil di urutan terakhir. Toh, peserta yang masuk ke babak final hanya 10 kelompok dan penampilan peserta yang lain juga tak kalah memukau. Hingga bisa membuat mereka terlena, tak menyadari berapa cepat waktu berjalan.

“Baru saja kita menyaksikan penampilan dari peserta dengan nomor urut 7. Berikutnya akan langsung diisi oleh peserta dengan nomor urut 9 dari Universitas Adam Malik. Hal ini dikarenakan peserta nomor urut 8 dari Universitas Sugiyono di diskualifikasi. Mari kita saksikan penampilan peserta nomor urut 8 dari Universitas Adam Malik!” perkataan pembawa acara tadi sukses membuat Hamid, Nita, Nate, Alex dan si kembar kaget. Di diskualifikasi? Bagaimana bisa? Kenapa?

Mereka berenam langsung bangkit dari kursinya dan berlari menuju belakang panggung. Mencari-cari ruangan tempat persiapan yang bertuliskan nama kampus mereka. Setelah menemukannya,   Alex langsung masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

“Kenapa kalian bisa sampe di diskualifikasi?” tanya Alex langsung to the point.

“Kita ngelanggar aturan. Ada yang nggak dateng saat panitia meriksa kelengkapan anggota.” Jawab salah satu dari manusia-manusia yang tertunduk kecewa.

“Riri mana?” tanya Hamid saat mendapati Riri tak ada di sana.

“Ngapain lu nanyain dia?”

“Kan dia juga harusnya ada di sini. Dia kan juga anak orchestra.” Hamid kini makin bingung dengan jawaban yang dilontarkan oleh seseorang yang dia kenal sebagai wakil ketua UKM orchestra.

“Dia bukan anggota UKM orchestra lagi.”

“Kenapa begitu?”

“Dia dikeluarin. Saat ini juga.”

“Tunggu! Marissa dikeluarin? Atas dasar apa dia bisa dikeluarin dari keanggotaan orchestra?” tanya Alex yang tak mengerti sedikitpun mengenai masalah ini. Kenapa bisa wakilnya berkata hal seperti itu?

 “Gara-gara dia kita di diskualifikasi. Gara-gara dia nggak ada pas panitia ngedaftar ulang, kita kalah begitu aja. Tanpa ada kesempatan buat nunjukkin hasil latihan kita selama ini.” kata Fred.

“Riri telat? Nggak mungkin. Pas gue balik ke rumah setelah nginep di tempatnya, dia udah siap-siap mau jalan ke kampus, walau waktu janjiannya masih beberapa jam lagi. Jadi nggak mungkin dia telat.” Ucap Hamid tak percaya.

“Tapi buktinya dia telat.”

“Pasti ada alasannya kenapa dia bisa telat.”

“Entahlah. Dia Cuma bisa diem pas ditanya kenapa dia bisa telat.” Hamid tiba-tiba diam saat mendengar perkataan Fred.

Dia merogoh kantung celananya dan mengeluarkan ponselnya. Ingin melacak dimana keberadaan Riri. Tapi kegiatannya terhenti saat dia melihat layar ponselnya. Ada pesan di sana. Dan isi pesan itu benar-benar membuatnya membeku. Jantungnya berdegup lebih cepat. Terpengaruh oleh barisan pesan yang dia terima.

“Gue nggak ngerti apa yang ada di pikiran anak itu. Kenapa dia bisa telat. Padahal dia tahu dengan pasti kalau peserta harus lengkap saat lomba, nggak boleh ada yang di ganti. Tapi dia, ck! Gue bener-bener nggak habis pikir!” umpat Fred. Hamid masih terdiam menatap ponsel yang ada di dalam genggamannya. Sementara Nita sudah ada di sebelah Billy, menggenggam tangannya.

“Aku nggak yakin Riri bisa ngelakuin hal seperti itu, kak..” lirih Nita pada Billy.

“Aku juga. Dan aku yakin Fred juga ngerasain hal yang serupa. Aku tahu itu. Aku tahu apa yang dia rasa.” Jawab Billy sama lirihnya. “Aku Cuma kecewa karena pada akhirnya malah harus jadi seperti ini. Aku kecewa dan diam. Fred kecewa dan meluapkannya. Aku bisa ngeliat dengan jelas rasa sakit yang sempat hadir di mata Fred saat dia ngeliat Riri dipojokkan sama yang lain. Tapi hatinya silau oleh kekecewaan. Dan inilah hasilnya.”

Nita merasa iba dalam hatinya. Membayangkan betapa sakitnya Riri saat melihat orang yang dicintainya kecewa hingga seperti itu. Terlebih itu semua disebabkan olehnya. Sedih.

“Apa dia nggak mikir kalau perbuatannya itu bisa bikin kita semua di diskualifikasi? Ck, Dia kayak nggak serius ikut di event ini.”

Tangan Hamid bergetar mendengar perkataan Fred. Giginya bergemeletuk. Menggambarkan seberapa besar usahanya untuk menahan gejolak dalam jiwanya.

“Nggak dateng di latihan intensif, ngilang begitu aja saat latihan, nggak ikut gladi resik. Kelakuannya bikin dia terlihat besar kepala. Kecewa ba-“

‘Buuggh!’

“BANGSAT! JANGAN NGOMONG YANG NGGAK-NGGAK KALAU LU NGGAK TAHU PERMASALAHAN YANG SEBENERNYA, BRENGSEK!”

**********

If I could go back, I’d gather my heart. I’d take everything from it and give it to you.

I love you, I love you. Those words have become a habit and these words are among the many I’ve learned from you. I sit around alone, mumbling to myself like a fool. I’m really sorry, really sorry. I’m sorry that these words are so late. But I’m waiting here for you shamelessly. Will you, by chance, come back tomorrow?

My heart,

In the end even if you can’t come, and you’ve changed and I’m not the one for you any longer. I’ll call and call out to you again. Like a parrot calling only your name. Wishing for only your love like this.


**********

Kecewa dan tak percaya. Tak percaya gadis impiannya bisa bertindak seperti itu hingga merusak semua yang telah di rencanakan. Membuat semuanya tampak sia-sia. Sedih juga sempat hadir tadi. Saat melihat gadis impiannya terpojokkan, menahan isak tangisnya seorang diri. Tanpa tameng yang bisa melindunginya. Tapi rasa kecewa membuatnya tak bisa berpikir jernih.

“Nggak dateng di latihan intensif, ngilang begitu aja saat latihan, nggak ikut gladi resik. Kelakuannya bikin dia terlihat besar kepala. Kecewa ba-“

‘Buuggh!’

“BANGSAT! JANGAN NGOMONG YANG NGGAK-NGGAK KALAU LU NGGAK TAHU PERMASALAHAN YANG SEBENERNYA, BRENGSEK!”

Dan sekarang semua rasa itu menghilang. Digantikan dengan rasa sakit yang menyengat di wajahnya. Tadi gadis impiannya, sekarang orang yang ada di hadapannya. Amarah yang sedari tadi berusaha dia tahan kini telah benar-benar terbebas dari kerangkengnya.

“Lu.. Sialan!” Dia melayangkan kepalan tangannya. Hendak membalas perlakuan lelaki di hadapannya. Tapi dengan mudah kepalannya ditangkis. Dan dia kembali merasakan tubrukan rasa sakit di bagian wajahnya yang lain.

Dia meronta dari cengkraman tangan-tangan di belakangnya yang menahan pergerakannya. Dia benar-benar tak bisa menguasai emosinya.

“JANGAN PERNAH LU NGEJELEK-JELEKEIN RIRI DI DEPAN GUE!”

“Hah! Emang begitu keadaannya kan?! Sampe ada yang bilang dia terlalu menyepelekan event ini. DAN KELIATANNYA BEGITU, KAN?”

“ANJING! TUTUP MULUT LU! Jangan sok tahu kalau LU EMANG NGGAK TAHU! Lu udah kenal dia lama. Tapi kenapa sekarang lu malah kayak orang BEGO yang baru pertama kali kenal Riri?!” dia bisa melihat Hamid meronta semakin keras. Membuat orang-orang yang menahannya harus mengeluarkan tenaga ekstra.

“Emang apa yang sebenernya terjadi? Jelasin ke gue kalau lu emang tahu apa yang sebenernya terjadi, nyet!”

“Dia-“ Hamid tersentak. Matanya untuk sesaat terlihat kosong, kemudian kesadaran seperti perlahan-lahan meresap dalam bola matanya. Membuat segala macam rontaannya terhenti dengan tiba-tiba.

 “Apa? Dia apa?” dia bisa melihat Hamid yang hanya membuka-tutup mulutnya. Seperti orang yang kesulitan berbicara.

“Gue.. Gue nggak bisa.” Cengkraman-cengkraman yang menahan tubuh Hamid terlepas. Mungkin karena Hamid yang tak lagi meronta-ronta dengan liar seperti beberapa saat lalu. Sedangkan cengkraman pada tubuhnyanya belum juga di lepaskan. Menyeb-

“Dia sakit lagi.” kata Alex pada akhirnya. Dia membeku mendengarnya.

“Penyakit yang sama dengan yang dulu. Dan kali ini, lebih parah.”

Dia lupa bagaimana caranya bernapas saat mendengar hal itu. Tidak menyadari dirinya yang telah terbebas dari belenggu beberapa saat lalu. Lupa segala hal, kecuali tentang gadis itu, Riri.

“Emang gue nggak tahu gimana pas dia sakit dulu. Tapi gue rasa, yang sekarang ini lebih parah. Dua minggu. Cuma dua minggu, menurut dokter. Dia nggak mau ngejalanin pengobatan karena dia ngerasa hal itu nggak ada gunanya lagi.”

Ini mimpi, kan? Bukan kenyataan, kan? Kalau ya, tolong bangunkan dia segera. Mimpi ini terlalu buruk untuknya.

Dia tak mau mempercayai hal ini. Dia tak bisa mempercayai begitu saja apa yang baru di dengarnya. Tidak. Pikirannya menolak untuk menyerap dan meyakini hal itu memang benar terjadi.

“Bohong.” Lirihnya.

Dia memang menolak untuk meyakini hal itu. Tapi entah bagaimana caranya, rasa bersalah yang begitu hebat bangkit dalam dirinya. Mengingatkan dirinya kalau dia ikut menyakiti gadis impiannya, bukan melindunginya. “Bilang ke gue kalau itu semua bohong.”

“Tapi itu yang sebenernya terjadi.” Jawab Hamid. Seolah meminta pengertian, pemaklumannya.

“Kenapa lu nggak ngasih tahu hal ini?” dia merangsek maju dan mencengkram bagian depan baju yang dikenakan Hamid. Mencengkramnya erat tanpa ada keinginan untuk melepaskannya jika Hamid tak memberikan jawaban yang memuaskan. Mencengkram erat hingga kuku-kuku jarinya menusuk telapak tangannya sendiri.

“Karena gue udah janji sama dia.” Jawab Hamid dengan mantap, tanpa ada keraguan. Membuatnya tertegun sesaat. Kedua tangannya diremas Hamid dan secara perlahan tersingkirkan dari tempatnya menggantung. “Karena gue udah janji seberapa pun parahnya keadaan dia, gue nggak akan ngasih tahu siapa-siapa selain keluarganya, keluarganya yang legal. Termasuk orang yang dia cinta.”

Dadanya semakin sesak. Mengingat hingga saat dia terpuruk dalam masa-masa kelam, Riri masih saja memikirkan Alex. Dia merasa tak berharga, tak berarti. Salahkah jika perasaannya perih seperti ini?

“Bukan gue.” Kata Alex cepat. Membuatnya bertanya-tanya apa maksud perkataan orang itu.

“Jangan bilang- God! Dia belum bilang yang sebenernya ke lu? Dan lu, kenapa lu malah bikin dia makin sakit hati sih?!” sekarang dia malah menerima omelan dari –mantan- kekasih Riri. Kenapa juga dia yang mendapat ‘semprotan’ seperti itu? Memangnya apa yang telah dia lakukan?

“Maksud lu apa? Gue?”

She’s desperately in love with you. Gue yakin lu cinta sama dia. Dan gue juga tahu dia cinta sama lu, walau bukan dari dulu. Yang jadi masalah adalah lu dan dia nggak tahu perasaan orang yang kalian cinta, kalian nggak peka satu sama lain. Itu masalahnya.” jelas Alex. Membuatnya menganga mendapati kebenaran yang seperti menampar wajahnya hingga perih. “Gue udah putus sama dia, tapi kenapa dia masih belum bilang mengenai perasaannya ke lu?”

“Karena akhir-akhir ini mereka nggak pernah ketemu?” Tanpa perlu menoleh ke belakang, dia sudah tahu kalau yang berbicara adalah Billy. “Kita nggak pernah ketemu Riri lagi akhir-akhir ini. Nggak ada kabar sama sekali, nggak bisa di hubungi. Terakhir kali gue ngeliat Riri, di kantor. Seminggu yang lalu. Saat lu ngurus pajak yang kelebihan dibayarnya, Fred.”

“Dia nggak pernah keliatan karena sedang dalam masa pemulihan. Entah apa yang terjadi sama dia. Tapi di hari itu, dia mau bunuh diri dengan cara terjun ke laut yang lagi pasang. Padahal sebelumnya dia kabur dari rumah sakit buat pergi ke PIM doang. Gue ngeliat itu di sistem yang gue bikin.” Jelas Hamid.

Sekali lagi semua yang ada di sana terdiam karena terkejut. Benar-benar tak menyangka seorang Riri akan melakukan hal itu. Dan dia mengingat sesuatu saat merasakan sensasi yang sama. Sensasi dingin yang menjalari punggungnya. Seperti ada yang mengawasinya. Sama seperti waktu itu, waktu di toko perhiasan. Tempat dia melihat siluet Riri yang berjalan menjauhinya. Apa itu benar Riri? Kalau ya, kenapa-

Dia merasakan napasnya kembali terhenti, bersamaan dengan detak jantungnya yang mengejang. Matanya terbelalak, disusul oleh tubuhnya yang jatuh berlutut. Kedua tangannya meremas kepalanya. Merasa sakit karena terjangan ombak informasi yang begitu mendadak memenuhi kepalanya. Juga karena tikaman rasa bersalah yang begitu kejam memaku ubun-ubunnya.

Dia yang menyebabkan Riri melakukan hal gila seperti itu. Semua terjadi karena Riri melihatnya pergi bersama Lea. Memasangkan cincin di jemari gadis itu. Dan yang terakhir, Riri pasti melihat Lea yang mengecup ujung bibirnya. Dia yang menyebabkan kesakitan itu pada Riri. Dan dia menambahkan segala macam rasa sakit itu saat dia membentak Riri seperti tadi. Tak mempedulikan sumpah Riri yang sempat terlontar. Padahal dia tahu dengan pasti kalau Riri bukan orang yang bisa mengingkari sumpahnya sendiri.

Bodoh! Dia memang si brengsek yang bodoh.

Dia harus memperbaiki kesalahannya. Dia harus mengejar Riri. Membebaskannya dari rasa sakit yang telah dia sebabkan pada hati gadis itu. Harus! Dia harus melakukan itu. Dengan segenap tenaga yang tersisa dia bangkit dan menatap Hamid dengan tajam.

“Sekarang dia ada di mana?”

“Gue nggak tahu dimana keberadaannya sekarang. Dia Cuma sms, bilang mau pergi. Dan gue disuruh buat ngejagain kalian semua selama dia nggak ada.” Pikirannya memburam. Rasa bersalah menguasai tubuhnya. Membuatnya putus asa.

“Dan dia nggak bisa dilacak saat ini. Sistem gue nggak bisa nangkep sinyal apapun dari- oh, shit! Pasti alatnya rusak waktu Riri sama Nino nyebur ke laut. God damn it!

Sudah. Gadis itu takkan bisa ditemukan sekarang. Tidak akan diketahui keberadaannya sampai gadis itu sendiri yang memilih untuk kembali menampakkan dirinya. Orang kepercayaannya saja sudah tidak bisa mengatakan dimana lokasi Riri berada, lalu apa lagi yang bisa dia lakukan?

Apa masih ada kesempatan untuknya meminta maaf? Apa dia masih diberi kesempatan untuk mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya? Apa dia masih bisa bertemu kembali dengan gadis itu? Apakah Tuhan masih berbaik hati padanya setelah apa yang telah dia lakukan selama ini?

Harus. Harus ada kesempatan untuknya. Jika tak ada, maka dia sendiri yang akan menciptakan kesempatan itu. Dengan cara apapun, dia akan melakukannya. Meski kemungkinan untuk berhasilnya kecil, tapi tak ada salahnya di coba, kan?

Dia melangkah menuju tas yang memuat segala macam peralatan pribadinya. Mengorek salah satu kantung hingga menemukan ponsel pintarnya yang dia buat bisu. Mencari apa yang dia inginkan.

“Bill, Rel, Lex, bisa bantu gue?” katanya sambil menyodorkan benda persegi itu pada lawan bicaranya.

“Apa- hah? Ini.. Yakin?” satu suara Darrel yang mewakili pemikiran milik mereka yang dimintai bantuan.

 “Yakin. Dan kita semua akan tampil di panggung.” Katanya sambil menatap satu per satu wajah yang ada di hadapannya. Perkataannya tentu saja mengundang rasa bingung dari para pendengarnya.

“Tapi-“

“Bagaimanapun caranya, kita harus tampil. Urusan yang lain, biar gue yang handle. Dan gue juga butuh bantuan lu, Mid.”

**********

Beberapa saat lalu aku sudah tiba di tujuan. Dan disinilah aku berada. Di dalam pesawat yang akan membawaku pergi ke Jerman. Pesawat kecil milik pribadi yang dipinjamkan salah satu rekan bisnis ibu. Belum melayang di angkasa karena masih menunggu ayah yang tengah menyelesaikan urusan di kedutaan besar Jerman.

Air mata yang tadi sempat bergulir kini telah mengering. Tak ada gunanya juga aku menangis hingga berlarut-larut. Toh semuanya sudah terjadi. Menyesal pun akan sangat percuma. Jadi yang bisa ku lakukan hanya menerima semuanya dengan lapang dada. Karena aku juga memiliki andil yang cukup besar dalam kesakitan hatiku kali ini.

“Ri, kamu harus lihat ini.” katanya sambil menyerahkan ponselnya padaku. Oh, aku tahu apa ini. Ternyata kak Nino sedang  melihat streaming final Apollo Orchestra.

Seperti biasa, pembawa acara pasti akan menawarkan kesempatan tampil bagi siapa saja, untuk mengisi waktu selama juri memutuskan siapa yang akan menjadi pemenang. Tapi aku yakin bukan itu yang membuatnya menyuruhku untuk melihat tayangan ini. Dan tanpa perlu bertanya, aku tahu apa yang membuat kak Nino melakukan hal itu.

Karena di sudut panggung, aku melihat sosok-sosok yang sangat aku kenal. Mereka melangkah naik ke atas panggung dan berdiri di tempatnya masing-masing.

Aku tahu siapa mereka. Aku sangat tahu.

Gesekkan biola mulai terdengar, disusul oleh tepukan drum yang lembut dan harmonika yang mendayu. Tak lupa denting piano yang ikut menghasilkan harmonisasi sempurna. Nada-nada yang mereka hasilkan hangat, sangat hangat. Hingga membuat mataku memanas. Terdengar- entahlah aku kesusahan untuk menjabarkannya.

Seperti terluka karena pengorbanan yang dibuat. Tapi tetap bahagia setelah melakukannya. Seperti orang yang akan tetap tersenyum meski hatinya tercabik.

Sebuah simfoni yang tak panjang namun tetap berkesan di hati.

Dan baru kali itu aku melihat mereka semua bermain bersama. Kak Fred –yang baru ku tahu bisa juga memainkan harmonika dengan piawai-. Kak Billy dengan biolanya. Kak Darrel dengan drumnya. Dan terakhir, kak Alex yang –meski dengan kaku- memainkan piano.

‘Kami persembahkan nada-nada tadi untuk seseorang yang berarti untuk kami. Yang secara langsung maupun tidak langsung telah tersakiti perasaannya. Untuk seseorang yang memilih untuk memendam semua laranya sendiri, yang tetap berdiri meski kakinya telah rapuh oleh kemarahan kami yang begitu destruktif. Saya memang tidak mengetahui dimana dia sekarang. Tapi saya harap, jika dia menyaksikan hal ini, saya bisa menyampaikan hal-hal yang tak sempat terucapkan.’ Aku menahan napasku saat melihat lelaki yang tanpa kusadari telah merajai hatiku terdiam di sana. Tatapan matanya lurus kedepan dengan mantap, seakan dia benar-benar berdiri di hadapan subjek yang sedari tadi dia bicarakan.

‘Maafkan aku, Marissa. Maafkan aku yang telah membuatmu tersakiti. Maafkan aku yang telah membuatmu menangis hingga nyaris memilih mati. Maafkan kami yang tak mampu melihat apa yang kamu sembunyikan dibalik senyummu yang tipis. Kami tak tahu apa yang menjadi alasan kepergianmu. Tapi aku pribadi, sangat berharap kau pergi untuk mengalahkan penyakit yang saat ini menggerogoti tubuhmu.’ Layar di hadapanku kini menampilkan wajahnya yang di sorot dari dekat. Membuatku bisa melihat dengan jelas matanya yang kelam layaknya obsidian. Kali ini memancarkan sinar lembut, penuh perasaan.

‘Dengan sangat egois aku memintamu untuk bertahan. Memperjuangkan kehidupanmu. Agar suatu saat nanti aku bisa menyamarkan tiap gurat luka yang telah tertoreh, menyamankan hatimu agar kembali bersuka cita. Aku akan tetap di sini, menunggumu. Tak peduli apakah matahari atau bulan bulat sempurna yang meraja langit. Agar suatu saat nanti aku bisa mengatakan hal ini langsung di hadapanmu. Mengatakan kata-kata yang telah bersemayam dalam hatiku selama bertahun-tahun. Bahwa aku-’ Napas ini tertahan saat dia menghentikan perkataannya.

‘Bahwa aku mencintaimu.’

Air mataku menetes di layar ponsel kak Nino. Tuhan, ini bukan ilusi semata, kan? Ini nyata, kan?

‘Sekarang, biar kami menampilkan apa yang seharusnya diperlihatkan sejak tadi. Untuk memberitahu kalau tak ada yang berakhir sia-sia, meski kemenangan takkan bisa diraih sekarang. Setidaknya kita sudah mengusahakan yang terbaik. Betul begitu, Marissa?’ Lelaki yang sejak tadi menyita perhatianku menoleh kearah belakang dan mengangguk. Kemudian berpuluh-puluh wajah yang ku kenal mulai merangsek naik ke panggung yang luas dan menempati tempatnya masing-masing. Menggeser keberadaan orang-orang yang tadi telah lebih dulu bermain, terkecuali kak Billy.

‘Dengar ini, Ri. Dengar dengan hatimu. Pergilah dengan hati yang ringan, tanpa beban perasaan. Kemudian kembali dengan harapan yang telah tergenggam ditangan dan menjelma menjadi kenyataan. Aku, kami semua melepas kepergianmu dengan ribuan untai harapan yang terjalin jadi satu. Semoga Tuhan selalu memberi yang terbaik untukmu. Farewell.

Kak Fred membalikkan tubuhnya dan meraih baton yang diberikan oleh pemain di dekatnya. Nada-nada lembut mulai menguar bersamaan dengan baton yang bergerak perlahan. Mataku membelalak saat melihat gambar yang ada di belakang mereka. Bukan permainan cahaya seperti biasa.

Beragam gambar ada di sana. Menampilkan aku yang tengah teralihkan fokusnya entah kemana, aku yang duduk bersama seluruh anggota UKM orchestra. Terus berganti, hingga menampilkan gambar yang selalu ada di dekatku. Foto dalam liontin yang ku pakai. Fotoku bersama kak Nino dan kak Rio.

Air mataku menderas dengan sempurna. Rasa megah yang mengharukan berkembang dengan pesat dalam dadaku. Kak Nino meraih bahuku dan membuatku bersandar di tubuhnya. Aku tahu dia juga merasa terharu meski tak ikut menangis.

Lalu kamera menyorot kak Fred yang saat ini kembali bertindak sebagai konduktor. Membuatku bisa melihat wajahnya yang menawan. Kelopak matanya menutup, menyembunyikan obsidian-nya. Dan saat kelopak itu membuka, kulihat air yang berkumpul di sana.

Embun di matanya tidak menggambarkan kelemahan jiwanya. Tapi menambah kilau obsidian-nya yang pada dasarnya memang sudah mempesona. Emosi yang tertera di sana seakan menegaskan sekali lagi mengenai perasaannya. Bahwa aku sangat berharga baginya. Dan dengan melihat hal itu saja sudah bisa membuatku bahagia. Benar-benar bahagia.

Bodoh, tanpa kau minta pun aku akan berjuang untuk bertahan dan menang. Tapi terima kasih karena telah meringankan jalanku dengan cara yang indah. Semoga Tuhan memberikan kebaikan untuk kita semua. Aku akan berjuang. Agar kau bisa memenuhi semua perkataanmu yang telah disaksikan oleh orang banyak. Agar aku bisa membisikkan kata-kata yang selalu terngiang saat aku mengingat wajahmu. Bahwa aku juga mencintaimu.

**********

+++++++++++++
Kalau di atas sana di tulis the end, sepertiya bagus juga *di mutilasi reader*
Hahahaha…
Jadi, apa Cuma segini doang?
Jadi ini akhirnya?
Hanya Tuhan dan diri saya di masa depan yang tahu *di geprek yang baca*
Saya pamit undur diri.. Mau menghilang dari peredaran untuk jangka waktu yang tidak di tentukan..
Sayonara! Mataashita, minna! :D
*buru-buru kabur*