Aku menatap langit yang kelam, meski tak sepenuhnya. Karena terpercik bias sinar
bulan yang sempurna. Full moon. Sama
seperti nama tempat yang dua tahun lalu kudirikan. Aku pun tak tahu apa yang
mengilhamiku untuk mendirikan tempat ini. Mungkin karena janji dan harapan yang
sempat kuucapkan lima tahun yang lalu. Bahwa aku akan tetap menunggunya, meski
hingga saat ini aku tak tahu dimana keberadaannya atau bahkan keadaannya.
Dia, juga keluarganya seperti menghilang. Tak
meninggalkan jejak sedikit pun. Aku pernah berusaha mencari ayah dan ibunya di
tempat usaha mereka, dan pegawainya menjawab kalau bapak dan ibu Kusuma tidak
ada di tempat. Menyisakan wakil pimpinan yang akan menghandle semua urusan
usahanya selama mereka absen. Kak Nino? Dia ternyata sudah resign dari tempatnya praktek. Mereka semua benar- benar terhapus
jejak keberadaannya.
Bertanya pada pihak kampus? Hah, hal itu sama saja
seperti bertanya pada tembok. Takkan mendapat jawaban. Yang ada malah di oper
kesana- kemari seperti bola tennis.
Pada awalnya aku mengira kalau Hamid kembali
berbohong. Aku tak percaya kalau dia tak mengetahui dimana keberadaan Riri saat
ini. Tapi pada akhirnya aku juga harus percaya padanya. Karena dia amat teramat
sangat panik saat awal-awal kepergian Riri. Sampai memanggil semua kenalannya
untuk turut serta mencari Riri. Dan itu sudah cukup sebagai bukti –bagiku- kalau
Hamid tidak mengetahui apa-apa kali ini.
Dia
akhirnya menyerah untuk melacak keberadaan Riri akhir tahun kemarin. Dan aku takkan mengejeknya dengan
tajam. Aku bahkan salut padanya yang tak pernah berhenti berusaha untuk melacak
gadis itu dengan tangannya sendiri meski dirinya terlalu sibuk setelah
menempati jabatan yang diberikan padanya. Ya, Riri menyerahkan jabatannya pada
Hamid hingga waktu yang tidak dapat di tentukan. Kurang
lebih itu yang disampaikan oleh kuasa hukum keluarga Riri
dua hari setelah kepergiannya.
Banyak hal yang terjadi padaku, pada mereka semua yang dekat denganku,
beberapa tahun ini. Baik itu yang berbau duka maupun suka. Dan hingga saat ini
aku takkan pernah bisa lupa apa saja yang telah aku lewati saat dia masih ada
di sekitarku. Aku juga tak bisa berhenti berandai-andai mengenai kejadian
bertahun-tahun yang lalu.
Hhh.. Ternyata cinta ini benar-benar bukan cinta monyet yang akan mati
saat tak dipupuk si empunya.
Hari ini aku akan kembali naik ke atas panggung kafe. Seperti yang
biasa aku lakukan jika purnama datang. Menyanyikan sebuah lagu yang sudah
terlalu jelas maknanya. Berharap jika Riri bisa mendengarnya, jika dia masih ada di dimensi
yang sama denganku dan aku harap dia masih bertahan di dunia ini.
Aku menghela napas panjang. Sekali lagi ada perasaan kurang
menyenangkan yang berputar dalam dadaku. Bukan, bukan kecewa dan sedih. Hanya
lelah. Membayangkan jika dia tak juga kembali, maka aku masih akan tetap
terlarut dalam perasaan yang penuh dengan ketidak jelasan. Tak bisa melupakan
dan melepaskan, tapi terlalu lelah untuk menunggu. Hingga nyaris gila.
Sudahlah. Tabah saja. Mungkin ini pembalasan Tuhan karena sikapku yang
buruk di waktu lalu. Karena seperti yang semua orang ketahui, pembalasan selalu
menghantam berkali lipat dari perbuatan.
Aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam kafe dan naik ke panggung.
Meraih gitar yang tetap setia menemaniku sekian lama. Membelai badan gitar yang
tergeletak dengan molek di atas pangkuanku.
“Malam semuanya. Seperti biasa saya kembali di sini saat bulan purnama.
Mungkin kalian mulai bosan melihat penampilan saya yang selalu memainakn lagu
yang sama. Dan kalian juga mungkin akan merasa semakin bosan jika saya kembali
menjabarkan alasan yang sama. Tapi malam ini sedikit berbeda.” Aku berdehem
untuk membersihkan tenggorokanku yang tiba-tiba sedikit tercekat.
“Hari ini, tepat lima tahun yang lalu, dia yang saya cintai pergi.
Dengan memanggul begitu banyak kekecewaan di pundaknya. Kekecewaan yang
disebabkan oleh saya yang hanya ingin dimengerti tanpa pernah mencoba untuk
mengerti lebih dalam mengenai perasaannya.” Aku melihat pengunjung yang telah
memberikan fokus mereka sepenuhnya padaku.
“Saya tidak tahu bagaimana keadaannya saat ini. Saya harap dia dalam
keadaan baik-baik saja tanpa kekurangan satu apapun. Sampai saat ini saya juga
tidak tahu dimana dia berada, entah masih di dimensi ini atau telah berpindah ke dimensi lain. Tapi dimanapun dia berada, saya berharap dia
selalu bahagia.” Aku menarik napasku sejenak.
“Tapi seperti lagu ini, saya takkan berhenti menunggu. Menunggu
kehadirannya untuk kembali dalam kehidupan saya. Ri, it’s for you.” Jemariku mulai memetik dawai yang tegang. Memainkan
intro lagu yang akan ku nyanyikan.
People talk about the guy who’s waiting on a girl. There
are no holes in his shoes, but a big hole in his world. Maybe I’ll get famous
as man who can’t be moved. And maybe you won’t mean to but you’ll see me on the
news. And you’ll come running to the corner. ‘Cause you’ll know it’s just for
you..
I’m the man who can’t be moved. I’m the man who can’t be
moved.
‘Cause if one day you wake up and find that you’re missing
me. And your heart starts to wonder where on this earth I can be. Thinking
maybe you’d come back here to the place that we’d meet. And
you’d see me waiting for you on the corner of the street.
Aku
meletakkan gitarku pada tempatnya semula. Kemudian membungkuk untuk memberikan
hormat pada semua yang telah menyaksikan penampilanku.
Dan saat
aku menegakkan kembali tubuhku, ada yang menubrukku dengan keras.
Membuatku terhuyung ke belakang nyaris jatuh. Melilitkan
sebelah lengannya di atas bahuku, dan sebelah tangannya yang rebah di belakang kepalaku.
Sementara kedua tanganku secara reflek mendarat di pinggangnya.
Aku tak
bisa berpikir, menerka siapa kira-kira yang memelukku saat ini. Aroma
yang menguar diantara kami, aku tahu aku mengenalnya. Tapi, aku tak mampu
mengungkapkannya.
“Ucapkan,
kak.” Lirihnya di sela pelukan kami.
“Apa?”
“Ucapkan
kata-kata yang dulu lu bilang mau lu ungkapkan di hadapan gue.” Aku masih
terdiam. Tak mampu melakukan apapun.
“Gue kembali.
Supaya lu bisa ngelaksanain semua yang telah lu katakan di hadapan banyak
orang, lima tahun lalu. Gue berhasil memperjuangkan hidup gue, sekarang gue
akan nagih janji lu, kak..”
Lima
tahun yang lalu? Memperjuangkan hidup?
Mataku perlahan menunduk dan
menemukan sesuatu di tubuh yang hanya tertutupi dengan vest -yang menempel
langsung di kulitnya yang seperti porselen- dan celana flat front hitam. Di belikat kirinya. Itu.. Mataku
membelalak. Kemudian perasaan hangat mulai menjalari tubuhku. Membuahkan rasa
nyaman dan bahagia dalam dadaku. Kedua tanganku balas memeluk tubuh rampingnya dengan erat. Membiarkan
hidungku menyentuh bahunya, kemudian bergerak untuk mengecup kulit bahunya.
“I love you. ” Ucapku.
“I love you, too.” Jawabnya.
Semua terasa pas dan benar.
Seperti kehendak Tuhan yang selalu mutlak keberadaannya. Dan lidahku tak henti
mengucapkan kalimat yang sama. Tak berhenti meski dia telah menjawabnya
berkali-kali. Tak berhenti walau suara tepuk tangan yang riuh menenggelamkan
suaraku.
Tak bisa berhenti karena
bukan hanya mulutku yang berlisan. Tapi juga jantungku. Karena ini adalah
luapan jiwaku yang merasa bahagia. Karena ini adalah bukti bahwa es dalam jiwaku
telah meleleh saat hatinya yang sempat mendingin juga ikut menghangat.
“Akan sangat tidak mudah mencintai manusia es
yang satu ini, Ri..” bisikku tanpa melepaskan pelukan kami.
“Well, I don’t care. Walau lu itu manusia es, manusia purba atau
manusia-manusia lain yang terdengar aneh dan abnormal di telinga gue, perasaan
ini nggak akan berubah. Udah berkerak di dasar hati. I’m crazy enough to love you, to love the ice. What you have to do is
just shut up and feel it, then love me more and more..”
Aku tahu ini hanya
permulaan. Mungkin akan banyak rintangan setelahnya. Mungkin dia akan kesulitan
menghadapi aku yang –menurut orang-orang yang mengenalku- sangat dingin
melebihi nitrogen cair. Dan aku juga akan sedikit kesulitan menghadapi dia yang
pemikirannya terlalu sulit ditebak. Tapi aku yakin semua akan baik-baik saja.
Dia mencintaiku dan aku yang
mencintainya. Seperti berkas-berkas cahaya surga di langit yang menyinari
bongkahan es abadi, membiaskan cahaya yang benderang. Bukankah itu indah?
The end.
Akhirnya selesai! Yatta! *jejingkrakan* *lap keringet*
*lap air mata* *lap ingus*
Menyenangkan? Menyebalkan? Mengecewakan?
Just say it, guys.. Aku udah
menyiapkan mental buat ngebaca semuuaaaa komentar kalian tentang epilog ini.
Bahagiaaaa syekali udah bisa
merampungkan cerita yang satu ini. Cerita terpanjang yang pernah saya bikin
sepanjang perjalan hidup saya. Kalau di itung2 mungkin udah ngabisin lebih dari
300 halaman di ms.word *megap2*
Kenapa saya bikin akhirnya
begini? Happy end, padahal saya cinta sekali dengan sad end? Soalnya writing buddy saya, ohana saya pada mencak-mencak gara-gara semua cerita yang saya
bikin berakhir dengan kematian. Baru bahagia dikit, mati. Ditinggalin pacar,
mati. Baru balik dari pemakaman, mati lagi.
Abis yang sedih itu kadang
lebih melekat di hati. Soalnya sakitnya nyelekit bukan main. Jadi nggak mudah
dilupain. *di gorok yang baca*
Lagian sepertinya udah
waktunya saya keluar dari dunia sad end yang suram (walau nyaman). Jadi, saya
mengabulkan permintaan para pembaca yang minta happy end.
Nah, buat yang nanya apa
setelah cerita ini masih ada sekuel, side story, ya apapun itu,, ehmm.. Silahkan
tebak pikiranku. Pembaca yang mengenal saya (baik itu melalui tulisan atau
aslinya di kehidupan sehari-hari), pasti tahu maksudnya :p *berlagak misterius*
Terima kasih buat semua yang
udah nyempetin waktunya buat baca tiap part di cerita ini, buat ngasih kritik
dan semangat yang membakar sampe ke sumsum tulang *lebaynya kumat*. Sejuta cinta
buat kalian deh! *kecup banjir*
Maaf juga kalo selama ini
suka bikin kalian ngerasa kesel sendiri sama tingkah saya yang yah begitu deh. Maaf
juga kalau ngerasa kecewa sama cerita ini.
Saya pergi, entah kapan kembalinya
ke dunia pembuatan cerita. Mungkin sekarang dan beberapa waktu yang akan
datang, saya Cuma jadi pembaca (bahkan silent
reader). Ah, I’m gonna miss you, guys!
Nee—nggak
bosen-bosen ngasih tau, kalo ada yang penasaran sama lagu-lagu yang ada di
cerita ini, sila berkunjung ke kentangpedes.blogspot.com. Di sana biasanya saya
kasih link buat lagu yang ada di dalemnya. Lagu yang dimainin Fred, Alex, Billy
and Darrel waktu Riri pergi juga ada di sana sepertinya.. Hehehehe..
Dankeschön..
With lots of big-big-big-big hug *melebihi besarnya badan saya* :p
Puji Widiastuti