Selasa, 15 Januari 2013

Love the Ice part 37


Hawooooh readersku yang baik hatinya..
Kembali berjumpa dengan saya, pencerita yang kebanyakan hiatusnya.. Hehehe
Sebenernya part ini udah di post jauh sebelum ini.. Tapi berhubung koneksi internetnya kelewat bagus –saking bagusnya buat ngebuka blog aja sampe lumutan- jadi nggak sempet post ke sini. Baru sempet upload ke Fb sama wattpad doang.. Jadi untuk menebus kesalahanku –sebenernya ini nggak bisa masuk itungan- aku akan langsung post 2 part, 37 dan 38..

With lots of ketjoep mesra dan koneksi internet yang keseringan bubar jalan,

Puji Widiastuti
++++++++++

Aku masih saja begini. Tak henti memelototi layar tak bersalah yang berpendar di hadapanku. Apa yang ku dengar tadi siang adalah pemicunya. Dan aku sedikit kesal karena hal itu lagi-lagi luput dari perhatianku yang akhir-akhir ini disibukkan oleh pasien-pasien yang seakan menyanderaku. Menyita hampir tiap detik yang ku miliki seharian.
“Nak, gimana keadaan adik kamu?”
“Masih baik-baik aja.. Tapi mukanya makin hari makin pucet. Oh iya, Dok. Hasil BMP belum keluar juga?” dan aku mendapati wajah dokter Sucipto yang mengrenyit heran. Memangnya pertanyaanku salah?
“Emangnya adik kamu belum ngasih tahu, Nak?” aku menggeleng.
“Hasilnya benar-benar buruk. Saya bahkan ragu bagaimana cara mengatasi yang satu itu.. Saya angkat tangan..”
Aku mendengar hal itu tadi siang. Jujur, aku terkejut. Sangat terkejut. Sekaligus memaklumi alasan Riri yang hingga saat ini belum memberitahukan hasil pemeriksaannya padaku. Seperti yang tadi aku bilang. Beberapa hari ini kami hampir tak pernah ketemu. Hanya bertatap muka beberapa saat waktu sarapan.
Ayah dan ibu belum mengetahui masalah ini. Aku bingung bagaimana cara memberitahukannya pada mereka. Takut ada teriakan histeris setelah mengetahui semuanya. Walau aku tahu, cepat atau lambat mereka juga harus tahu semuanya.
Ah, singkirkan semua pikiran itu, No! Sekarang berkonsentrasilah mencari sesuatu untuk mempertahankan hidup Riri di sisimu lebih lama lagi!
“Kak Nino? Tumben udah di rumah.. Kapan pulang?” kata Riri yang baru pulang, entah dari mana.
“Tadi sore kakak pulang.” Riri duduk di atas sofa, tepat di sebelahku. Dia melirik sekilas ke arah laptop yang ada di atas meja ruang tamu, kemudian melengos.
“Hasilnya jelek, kak.. Two months..” katanya sambil melemparkan punggungnya pada sandaran sofa.
“Kemo.”
“Ogah. Ngapain. Dokter aja udah bilang kalau kemungkinannya terlalu tipis. 70% : 30%. Jadi Riri nggak mau kemo.”
“Tapi gimana-“
“Riri mau menikmati hari-hari yang tersisa aja. Belajar jadi orang egois yang hanya mementingkan dan mengejar kebahagiaan sendiri seperti orang gila, mungkin. Yang jelas, Riri akan ngelakuin semua hal yang Riri suka.” Aku terdiam tak percaya dengan semua yang dia ucapkan. Tidak seperti orang yang tengah belajar untuk menjadi pribadi yang egois. Tidak.
“Satu beban telah terlepas. Walau tetap akan ada ikatan yang membelenggu, Riri nggak peduli. Yang penting beban-beban yang selama ini ada, harus enyah sesegera mungkin.” Katanya sambil bangkit dari sofa dengan cepat. Menimbulkan sedikit guncangan pada tubuhku yang ada tepat di sebelahnya.
“Riri mau bikin cheesy fetucinne. Kakak mau?” aku tak menjawab. Hanya memandanginya. “I’ll take that as a ‘yes’. Wait for a couple minutes, handsome.” Jemarinya menyapu lembut pipiku. Membuatku bergidik ngeri.
Dia mencoba menggodaku. Dan untuk sesaat aku tak mengenalinya sama sekali. Apa benar dia gadis yang sama dengan yang gadis kecil kesayangan kami?
Dia mencoba menggodaku dengan nada cerianya. Tapi yang sampai di telingaku malah bentuk kemarahan pada kehidupan yang terlihat mengenaskan. Seakan ingin menghempaskan semua keresahan dan kesedihan hatinya pada Tuhan beserta jajaran malaikat yang tak kasat mata. Terdengar menyedihkan untuk seorang Riri.
Dan itu pula yang membuatku kembali memaksakan mataku yang lelah untuk terus melemparkan pandangan tajam pada benda persegi di hadapanku. Memaksanya memberikan jawaban atas semua pertanyaan yang berputar dalam benakku.
**********
Dia telah menjejak tanah tegap sejak kemarin, setelah menghabiskan waktu hampir tujuh jam untuk terbang melayang di udara. Dan saat ini, di sinilah dia berada. Di sebuah kedai kopi kecil yang ada di pinggiran kota Sydney. Bersama wanita renta penggila kopi yang dipanggilnya dengan sebutan nenek.
Setelah memesan mochabela frappe untuknya dan secangkir iced latte untuk neneknya, mereka duduk berhadapan di dekat jendela. Agar bebas memandangi taman kecil yang ada di sebrang kedai kopi dengan leluasa.
“Nama?”
“Alexander Thang.”
“Umur?”
“20 tahun.”
“Status.”
“Baru single. He- Hei!” lagi-lagi dia terjebak oleh permainan kecil khas milik neneknya. Permainan yang selalu dimainkan jika mereka bertemu setelah sekian lama.
“Masih aja suka menginterogasi cucu sendiri.”
“Itu namanya bukan menginterogasi, Alex sayang.. Itu namanya mengorek informasi.”
“Sama aja..” Grrrr! Kalau saja wanita yang kini duduk di hadapannya bukanlah wanita berumur, bisa dipastikan tangannya sudah melayang menarik-narik pipi wanita itu agar melebar seperti piring pasta.
“Hahaha… Dan kamu masih aja terlibat di permainan ini tanpa kamu sadarin.. Ckckckc… Jadi, siapa gadis itu?”
“Siapa?”
“Ah, jangan pura-pura deh. Siapa gadis yang kamu cintai itu?” sadar kalau neneknya lebih lihai dalam hal mengorek informasi daripada seorang detektif, Alex hanya bisa menghela napas. Perbincangan ini akan jadi sangaaat panjang –menurut ramalannya-.
“Namanya Marissa..”
“Gimana orangnya? Ceritain sama nenek.” Alex mengalihkan pandangannya pada taman yang masih bermandikan sinar matahari siang.
“Dia dingin, terlalu dingin buat perempuan seusia dia. Matanya selalu menatap tajam pada apapun yang menjadi objek pandangannya, fokus. Bibirnya hanya menimbulkan garis datar di wajahnya yang seperti porselen. Berwibawa karena dari usia yang masih muda sudah terjun ke dunia bisnis menggantikan kakaknya. Pendiam dan tertutup. Satu hal lagi, dia gila.” Wanita tua di hadapan Alex menaikkan sebelah alisnya. Masih menatap wajah pria tampan di hadapannya yang tak jemu memandang objek paling membosankan di taman seberang kedai kopi, rumput.
“Juijitsu, aikido, karate, judo. Dia penggila martial art, mungkin. Alex nggak akan heran kalau suatu saat nanti dia belajar tinju atau Muay Thai.  Dia lebih cocok jadi atlet panahan dan menembak dibandingkan mahasiswi. Dia juga sulit percaya dengan orang lain, nggak suka bertumpu pada orang lain. Nggak suka menjadi pusat perhatian. Unik.” Seulas senym merekah di wajah pria itu. Senyum kecil yang selalu tampil saat mengenang semua impian yang pupus di tangannya.
“Tapi itu dulu. Setelah Alex mengenalnya lebih jauh, rasanya hangat. Marissa orang yang penyayang dan dermawan. Sabar dan pengertian, juga perhatian. Dia mempelajari banyak martial Art  untuk menjadi kuat, agar tak ada lagi yang pergi meninggalkan dia, agar dia bisa melindungi semua hal yang berharga dalam hidupnya. Karena dia tahu, dunianya jadi lebih gelap dan berbahaya sejak dia mengenal ayah. Manja. Sangat berbeda dengan perempuan kebanyakan. Kuat dan lemah dalam waktu bersamaan. Loveable.
You love her. How lucky she is.
Lucky. Kata itu selalu menghadirkan kontradiksi yang pelik di kehidupannya.”
“Kenapa?”
“Dia yatim piatu, walau sekarang tinggal dengan saudara angkatnya. Hampir kehilangan  nyawanya karena leukemia, terselamatkan oleh kakak kandungnya meski kakaknya harus tewas karena ayah. Terancam kehilangan nyawanya, lagi-lagi karena ayah. See? Kehidupanya pun sangat berbeda dari kebanyakan orang. Kadar keberuntungan dan kesialannya nyaris seimbang.” Senyum kecut menjuntai di wajah Alex. Dia menyesap mochabela frappenya terlalu cepat. Menghadirkan sensasi beku di kepalanya. Brain freezing. Setelah efeknya menghilang, dia menghela napas.
“Dan terakhir-“ Alex dengan tiba-tiba menghentikan semua ocehannya. Napasnya tercekat.
“Ada apa, Lex?”
“Perasaan Alex nggak enak. Alex takut ada apa-apa sama Marissa.”
“Apa ada hubungannya sama ketidak beruntungannya yang terakhir? Yang belum kamu sebutkan itu. Apa?”
“Dia kembali kena leukemia, waktunya terlalu singkat dan hingga saat ini dia belum mendapatkan kebahagiaan yang satu itu. Nenek pasti tahu.”
“Kamu pasti sangat mencintai dia.”
“Jangan ditanya lagi. Sayangnya Alex bukan orang yang bisa memberikan kebahagiaan yang satu itu ke dia. Sekeras apapun Alex nyoba, dia nggak akan bisa bahagia sama Alex.”
“Satu yang bisa kamu berikan ke dia, Lex. Doa. Doakan yang terbaik untuk hidup Marissa.”
Dia mengerti akan hal itu. Dan dia sudah melangkah untuk melaksanakan keyakinan hatinya. Hanya saja, pengaruh wanita itu benar-benar terlalu korosif. Hingga rasanya sulit untuk membuat hatinya yang bebal untuk berhenti mengindahkan segala hal yang berhubungan dengan wanita itu.
**********
Aku mulai bergerak. Setidaknya semuanya harus dimulai scepat mungkin. Tak perlu lagi menunda semua yang ada. Bertumpuk-tumpuk berkas yang selama ini teronggok manja di atas mejaku harus hilang sebelum aku yang menghilang.
Dari kemarin aku sudah mulai mencicil. Membaca tanpa henti semua berkas yang memang harus secepatnya di selesaikan. Membuat kak Hamid heran dengan kecepatanku ‘mengeksekusi’ satu map tebal berkas tiap jamnya.
“Hoi hoi hoi! Baca yang bener..  Jangan sampe ada yang kelewat..”
“Lu ngebet banget ngeberesin semua berkas itu.. Emang ada apaan deh? Nggak biasanya lu begini..”
Dan tiap aku mendengar semua tanyanya yang keheranan begitu, aku hanya bisa tersenyum. Memaklumi semua tanda tanya yang hadir di kepalanya. Akupun sedikit heran dengan semua perubahanku. Biasanya untuk ‘mengeksekusi’ satu map tebal, aku membutuhkan waktu paling tidak satu setengah jam. Dan sekarang, dalam satu setengah jam, aku bisa menyelesaikan tiga sampai empat berkas. Benar-benar the power of kepepet!
Aku kemudian melirik ke arah kananku. Mendapati meja yang seharusnya ditempati oleh orang itu kosong, dan bersih. 
“Kak Fred kemana?” tanyaku pada siapa saja yang mendengarnya.
“Lagi pergi ke kantor pajak buat ngurusin masalah pajak yang kurang dibayar.” Jawab kak Billy. Aku mengangguk.
Sudah tiap tahun seperti ini. Dan aku rasa bisa-bisa pegawai di KPP1 bisa kenal dengannya. Dia memang sengaja untuk membuat jumlah pajak yang di setor selalu kurang. Ini dikarenakan masalah kurang bayar pajak lebih simpel dibandingkan dengan kelebihan bayar. Kalau kelebihan bayar walau hanya seratus rupiah, bisa panjaaang sekali urusannya.
Ekor mataku menyambar sesuatu yang menarik dan berkedip di dekat lenganku. Ponselku. Berkedip-kedip, menandakan ada pesan yang masuk ke dalamnya.
‘Makan sana! Abis itu minum obat. Atau gue akan bilang ke Nino kalau lu mangkir minum obat. Terus gue bilangin juga ke yang lain biar mereka semua tahu kalau lu sakit lagi.’
Grrrrr! Lelaki itu benar-benar telah bertransformasi menjadi nenek tua yang kelewat cerewet. Tak pernah berhenti mengingatkan aku untuk meminum semua obat yang aku tahu takkan ada pengaruhnya di tubuhku. Semuanya karena kak Nino yang tetap kukuh untuk mencekokiku dengan semua obat ynag katanya bisa menghambat penyebaran sel-sel kanker yang ada di dalam tubuhku ke organ yang lain.
Aku mengangguk dan meregangkan tubuhku. Kemudian berpikir sebentar apa yang kira-kira enak untuk ku lahap. Nasi padang? Emh, porsinya terlalu banyak. Bisa-bisa aku malah mengantuk saat bekerja nanti. Nasi goreng? Masa makan nasi goreng lagi? Tadi pagi kan sudah sarapan nasi goreng. Tapi nasi padang sukses membuatku menelan ludah karena membayangkan kelezatan rempahnya. Hhhhh..
Oke! Makan nasi padang. Nasi padang, here I come!
Aku mengantungi ponselku kemudian mengambil kunci mobil yang ada dalam tasku. Jangan sampai lupa membawa dompet. Karena akan terasa sangat malu saat penampilan sudah formal, makan dengan percaya diri dan akhirnya bilang pada pelayan kalau dompet ketinggalan. Deeuuh!
“Ehm, Riri.. Kayaknya ada yang ketinggalan..” kata kak Hamid. Membuatku tak kuasa memutar bola mataku.
Orang ini seperti penguntit yang mengikuti apapun yang aku lakukan. Padahal aku sudah berencana untuk meninggalkan saja obatku di dalam tas. Ternyata kak Hamid menyadarinya. Ish! Malasnya membawa obat itu. Muak rasanya melihat segala bentuk obat yang jumlahnya luar binasa. Membuatku lebih memilih untuk memasukkan obat-obat itu ke toilet dibandingkan menenggelamkannya ke dalam tubuhku. Ssst! Ini rahasia ya!
Pada akhirnya mau tak mau aku membawa juga tasku dan memasukkan kembali  segala hal yang tadi sempat aku keluarkan dari dalamnya –kecuali ponsel yang kusarangkan di kantung celanaku-. Daripada aku harus mengeluarkan plastik yang berisi segala macam pil-pil –jahanam-  yang akan membuat semuanya mengetahui apa yang terjadi. Tentu saja itu membuat kak Hamid menyeringai puas.
Aku melemparkan senyum pada tiap orang yang ku temui saat menuju basement tempat mobilku terparkir. Saat lift terbuka aku merasakan pandanganku sedikit berputar, disusul dengan sensasi ‘clekit-clekit’ di punggungku. Tuhan!
Dan baru kali ini aku menyesali keputusan kak Rio yang memilih menara ini sebagai kantor dan menempatkan perusahaan di lantai yang cukup tinggi.
Aku hanya bersandar sambil bersedekap dada. Menundukkan kepala agar tak ada lagi yang menyapa. Berpikiran kalau aku sedang lelah dan tertidur sambil berdiri, meski itu hanya sia-sia. Nyatanya masih saja ada yang menyapa dan mengajak berbincang, sedangkan aku hanya bisa meresponnya dengan senyuman.
Kaki-kakiku mulai bergetar saat pintu lift berdenting untuk yang kesekian kalinya. Thanks God! Ini sudah sampai di basement.
High heelsku membuat perjalananku menuju mobil kian terasa sulit. Terseok-seok dan tersandung kakiku sendiri. Hingga akhirnya aku terjatuh dan tak mampu bangkit lagi. Lemas, tak bisa bergerak.
Adakah yang bisa menolongku?
**********
“Mid, gadget lu bunyi ya?” tanya Billy. Hamid dengan gelagapan membuka benda persegi yang ada di tepi meja. Benda itu berkedip dan mengeluarkan bunyi yang sudah dia hapal. Yang jadi pertanyaan kali ini adalah, siapa yang memanggilnya?
Dengan segera dia membuka tabletnya. Masuk ke dalam sistem yang dia buat sendiri dan menguak misteri mengenai siapa yang memanggilnya. Tak butuh waktu yang terlalu lama karena jaringan internet sedang bagus-bagusnya.
“Gue ada urusan. Entah balik lagi ke sini atau nggak.” Hamid melangkah meninggalkan ruangan itu dengan langkah yang biasa. Membenamkan kedua tangannya dalam kantung celana katun hitam miliknya.
Dari luar memang terlihat biasa-biasa saja. Tapi sebenarnya, hatinya berkecamuk. Khawatir. Ketika pintu ruangan tertutup, dia melebarkan langkahnya. Dan saat melihat lift yang mengantre untuk makan siang, dia lebih memilih untuk turun menggunakan tangga darurat.
Tak ada pilihan lain. Dia harus sesegera mungkin tiba di sana. Tak usah memikirkan keadaannya nanti setelah sukses berlari turun dari lantai 17.
Saat dia sampai, entah kenapa dia tak terkejut lagi mendapati apa yang kini ada di hadapannya. Mungkin dia sudah menyangka kalau hal ini yang akan dia temui saat berhasil menaklukan tangga yang menjulang tinggi.
Riri yang terkapar pingsan di basement.
Dengan ini dia baru saja melanggar salah satu prinsip dalam hidupnya. Membuka isi tas wanita tanpa izin. Hal ini semata-mata dilakukan untuk mengambil kunci mobil Riri yang ada di dalamnya.
Setelah itu dia mengangkat tubuh Riri dan membawanya menuju mobil. Meluncur ke rumah sakit. Sambil menyetir, dia memasang handsfree pada ponselnya, menghubungi seseorang.
“No, Riri pingsan, lagi. Gue mau bawa dia ke tempat lu sekarang.”
Dan dia kembali berkonsentrasi menekuri jalanan ibukota yang makin lama makin padat. Mencoba mencari celah untuk menyelinap agar makin cepat sampai di rumah sakit. Dalam hati dia berdoa pada sang Khalik. Agar tangan-tangan perkasa-Nya menyingkirkan segala macam kendaraan yang menutupi jalannya.
**********
“Kamu yakin mau resign, No?” aku mengangguk. Tekadku sudah bulat. Apapun resikonya, aku tak boleh mundur lagi.
“Kenapa? Kamu udah nggak betah kerja di sini lagi?”
“Bukan. Saya Cuma mau berkonsentrasi. Mencurahkan semua perhatian saya buat Riri.”
“Adik kamu?” aku mengangguk. “Gimana keadaannya?”
“Dua bulan. Dia sudah menyerah dengan keadaan. Tapi saya nggak akan nyerah. Saya akan terus mencari segala sesuatu yang bisa membuat Riri bertahan.”
“Saya mendukung kamu untuk mencari pengobatan yang lebih baik untuk adik kamu. Tapi apa perlu kamu resign? Kemampuan kamu masih sangat di butuhkan di sini..”
“Ini juga keputusan yang cukup berat untuk saya. Tapi Riri adalah yang terpenting bagi saya saat ini. Saya ingin mencurahkan semua perhatian saya buat dia, secara penuh. Saya tahu saya telah melanggar kontrak yang telah saya tanda tangani. Dan saya akan bertanggung jawab atas hal itu. saya akan membayar ganti rugi sesuai dengan nilai yang telah kita sepakati sebelumnya.”
“Maaf.” Kataku saat merasakan ponselku yang bergetar. Hamid?
“Hal-“
“No, Riri pingsan, lagi. Gue mau bawa dia ke tempat lu sekarang.” Sambungan langsung terputus begitu saja. Dan efeknya sangat terasa di tubuhku.
“Maaf, pak. Riri.. Saya harus pergi. Maaf.”
Aku berlari seperti orang kesetanan di sepanjang lorong rumah sakit. Menunggu dengan cemas di pintu masuk ruang UGD. Mondar mandir, lebih parah dari pada setrika baju. Jangan bilang mereka dihadang macet. Tuhan!
Tak lama aku malah mendengar panggilan tugas untukku. Salah satu pasien di ruang ICU keadaannya memburuk. Membuatku mau tak mau harus pergi meninggalkan ruang UGD dan pergi menuju ruang ICU.
Saat aku sampai di ruang ICU, aku segera mengenakan pakaian khusus yang harus digunakan saat berada di dalam ruang itu. Berlari mengejar keselamatan pasien yang hingga saat ini masih ada di bawah tanggung jawabku.
“Pasien mengalami demam dan kadar keratinin darah pasien naik.” Kata perawat saat melihatku datang.
“Penolakan akut. Beri methylprednisolone2 30mg intravena  enam jam sekali selama dua hari.” Kataku dengan mata yang masih menatap pada hasil pemeriksaan keratinin.
Perawat segera melaksanakan apa yang aku katakan. Sementara aku terus mengamati perkembangan pasien. Setelah merasa perawat bisa menangani pasien, aku kembali pergi ke UGD. Berharap Riri sudah tiba dan mendapatkan perawatan dari dokter.
Di depan ruang UGD aku melihat Hamid yang tengah menunggu. Menenggelamkan kepalanya di kedua telapak tangannya. Aku menyentuh bahunya dan dia berjengit kaget.
“Gimana?”
“Masih belum keluar dokternya. Udah ketemu pengobatan buat Riri?” tanyanya balik padaku.
“Belum. Gue masih nggak bisa fokus buat nyari jalan pengobatan untuk Riri selama gue masih sibuk wara-wiri di rumah sakit.”
“Jadi lu mau resign?” aku mengangguk.
Tak lama dokter keluar dari ruang UGD. Membuatku segera mendatanginya. Meminta penjelasan tentang keadaan Riri saat ini.
“Riri udah bisa dipindah ke ruang rawat.” Katanya.
“Gimana keadaannya?”
“Bisa kita bicarakan di ruangan saya?” aku mengangguk pelan.
“Mid, tolong temenin Riri di kamarnya.” Pintaku pada Hamid.
“Hmm.”
Thanks.
Anytime.”
Aku melangkah mengekori dokter Sucipto menuju ruangannya. Berjalan dengan ditemani perasaan tak enak yang terus berputar di sekelilingku. Tuhan, jangan lakukan sesuatu yang lebih kejam daripada ini!
***********
“Jadi gimana keadaan Riri?” Nino hanya bisa menarik napas dalam-dalam.
“Kita omongin di luar aja.” Katanya. Sebelah tangannya mengusap lembut wajah Riri yang masih tenang dalam tidurnya. Memberikan sebuah kecupan di dahinya. Kemudian dia duduk di sisi ranjang rawat.
“Bentar, gue ke kamar mandi dulu.” Kata Hamid sambil meletakkan kunci mobil dan ponsel milik Riri ke meja kecil yang ada di samping ranjang rawat.
Nino kembali mengamati wajah Riri yang sedikit pucat. Napas panjang kembali terbuang dari tubuhnya. Sebelah tangannya menggenggam tangan Riri yang tak di susupi jarum infus.
“Kakak sayang sama kamu. Kakak nggak mau kehilangan kamu. Kamu harus bisa bertahan sampai kakak bisa nemuin pengobatan buat kamu. Kamu harus kuat. Buktikan kalau kamu benar-benar memiliki darah yang sama dengan Rio. Kamu harus kuat. Kamu nggak boleh nyerah.” Bisiknya di telinga Riri.
Kembali Nino mendaratkan kecupan di dahi Riri. Juga di kedua pipi Riri. Terakhir dia setengah memeluk tubuh Riri. menenggelamkan wajahnya di lekukan leher Riri yang tertutupi helaian rambut hitam milik adiknya itu. Tak lama Hamid keluar dari kamar mandi.
Mereka berdua beriringan jalan ke luar ruangan dan berdiri di ujung lorong kamar rawat yang benar-benar sepi. Memerlukan ketenangan mutlak untuk memberitahukan apa yang baru saja Nino dengan dari rekan sejawatnya.
“Melihat keadaan Riri saat ini, dokter bilang udah angkat tangan.”
“Bagian itu gue udah tahu. Kita udah tahu. Dan saat ini lu lagi nyari jalan buat ngatasin masalah itu.”
“Perkiraannya meleset. Sel-sel kanker di tubuh Riri berkembang terlalu pesat.”
“Jadi?”
“Gue harus bisa nyari jalan keluar itu dalam waktu tiga minggu.”
“Jadi Riri-“
“Sebulan. Waktunya tinggal sebulan.”  Hening. Nino merasakan kesesakkan yang teramat sangat mendera dadanya. Sedangkan Hamid, dia seperti tak merasakan apa-apa.
Entah kenapa dia tidak terkejut. Mungkin karena lagi-lagi dia sudah bisa memperkirakan apa yang terjadi. Mempersiapkan hatinya agar tak terlalu banyak berharap pada keadaan dan kekeras-kepalaan Riri saat ini.
Mereka tersesat dalam labirin pikiran masing-masing. Hanya diam, berpandangan dengan tatapan yang benar-benar tak fokus ke mana arahnya. Hingga tak mendengar suara terkesiap di ujung lorong lainnya.
***********
Dia berjalan santai dengan kedua tangan yang tertanam nyaman dalam saku celananya. Sementara di sebelahnya seorang gadis tak henti membelitkan tangan serupa akar di tangan kirinya. Dia sedikit jengah dengan hal itu. Tapi enggan memberitahukan perasaannya itu pada gadis itu. Membiarkannya begitu saja. Menahan tangan kanannya yang sedikit terkepal agar tak keluar dari sarangnya dan melepaskan belitan di tangan kirinya.
Di sinilah dia. Terdampar di pusat perbelanjaan yang tak bisa dibilang dekat juga dengan kantor tempatnya bekerja. Memenuhi janjinya pada sang kekasih untuk menemani pergi ke toko perhiasan.
“Kak, abis dari toko perhiasan kita makan dulu ya.. Aku laper..” dia menganggu menjawabnya.
“Nanti tolongin ya?” gadis di sebelahnya menoleh heran. Jarang sekali lelaki ini meminta pertolongannya.
“Tolongin apa?”
“Bantuin gue beli cincin buat nyokap.”
“Mama kakak ulang tahun? Ulang tahunnya apa ulang tahun pernikahan?”
“Ulang tahunnya sendiri.”
“Oke! With my pleasure..” dia merasa heran dengan sikap gadisnya itu.
Dimintai tolong seperti itu sudah sebegini kesenangannya. Apa gadisnya ini memang memiliki sindrom bahagia berlebihan atau memiliki jiwa sosial yang terlalu tinggi. Entahlah. Dia enggan menyelam dan menebak-nebak isi kepala gadis itu. Terlalu sulit dan melelahkan.
“Selamat sore.. Selamat datang..” sambut penjaga toko perhiasan begitu melihatnya datang bersama gadis yang tak henti melilit tangannya.
“Sore..” jawab Lea ramah.
“Ada yang bisa kami bantu?”
“Saya mau ngambil perhiasan pesanan mama di sini..” kata Lea sambil menyodorkan tanda terima pada penjaga toko itu.
“Aaahh.. Iya.. Tunggu sebentar ya, mbak..” dan penjaga toko itu menghilang ke balik dinding. meninggalkannya begitu saja berdua di depan etalase yang memamerkan banyak jenis perhiasan.
“Sambil nunggu mbaknya ngambil cincin pesenan mama, mendingan sekarang kakak milih perhiasan yang mau kakak kasih ke tante..” Dia mengangguk lagi menyetujui usul yang diberikan oleh gadisnya.
Matanya tak henti berkeliling di jajaran etalase yang memamerkan perhiasan dari emas putih yang ada di sana. Kemudian matanya tertumbuk pada sebuah cincin sederhana. Tanpa mata berlian atau batu berharga yang tertanam di atasnya. Hanya terdiri dari jalinan emas kuning dan platina yang benar-benar sederhana. Terjalin anggun dengan cara yang berbeda. Dia pikir cincin yang seperti itu akan cocok dengan pribadi ibunya yang ceria, sederhana dan anggun dengan caranya sendiri.
“Udah ketemu?” dia mengangguk. “Yang mana?”
Telunjuknya secara lugas menunjuk cincin yang hingga saat ini masih menjadi objek tetap pandangannya. Seakan terpesona oleh segala macam pesona yang dikeluarkan benda mati itu.
“Cantiknya….”
“Hm.”
“Silahkan di lihat, mbak.. Apa sesuai dengan pesanan?” Lea menerima cincin yang diberikan oleh penjaga toko. Mengamati dengan seksama. Mengingat-ingat rancangan yang di pernah dijabarkan oleh ibunya mengenai cincin yang diinginkan. Merangkainya dengan kemampuan berimajinasi yang tidak terlalu bagus.
“Emmm.. Nggak tau, mbak.. Nanti saya tanyain dulu deh ke mama saya.. Kalau nggak sesuai pesanannya, nanti saya balik lagi ke sini..”
“Oh, iya..”
“Mbak, coba lihat yang ini.” katanya. Sembari tangannya menunjuk objek yang sama, yang telah menyita perhatiannya.
Dengan sigap penjaga toko memberikan apa yang dia mau. Meletakkan benda berkilauan di atas meja etalase.
Tanpa meminta izin terlebih dahulu, dia meraih tangan Lea. Memasangkan cincin itu di tangan gadisnya. Sekilas dia mendengar suara terkesiap yang di bubuhi bahagia mengudara, menyinggung pendengarannya. Dan dia tak menghiraukan hal itu. Dia sibuk memandangi benda berkilauan yang tampak semakin cantik di tangan gadis itu. Jemari yang mirip dengan milik wanita yang paling berarti dalam hidupnya.
“Pas?”
“Emh, sedikit longgar. Tapi kalau menurutku di tangan tante jadi pas.. Lagian juga kan nggak enak kalau pake cincin yang terlalu kenceng..”
Good. Saya ambil yang ini. Tolong di bungkus.” Katanya sembari mengembalikan cincin itu kepada penjaga toko agar terbalut dengan layak sebelum bisa di berikan pada wanita kesayangannya.
Dia tersentak sedikit. Punggungnya terasa dingin. Seperti ada sepasang mata yang mengawasinya dari kejauhan. Membuatnya menoleh ke arah kiri. Tak terlihat siapapun yang sekiranya tengah melemparkan pandangan padanya.
“Makasih ya, kak..”
Dan matanya terbelalak saat merasakan sesuatu yang hangat singgah sebentar di pipi –nyaris menyentuh bbir- kanannya.
Deg!
Perasaannya terasa tak enak. Dingin makin kejam memecut punggungnya yang terbungkus turtle neck tipis berwarna cokelat tua. Dia memutar dengan cepat lehernya hingga dia bisa menyapu landscape di belakang punggungnya. Kembali dia tak menemukan apapun.
Tunggu!
Matanya menyipit. Berusaha menambah daya jangkaunya. Ingin melihat sosok tubuh yang tengah berjalan cepat menjauhinya. Terlihat familiar. Apakah mungkin? Kemudian dia menggelengkan kepalanya.
Itu sedikit tidak mungkin. Karena menurutnya orang itu masih tenggelam di balik map-map tebal yang bertebaran di atas mejanya. Seperti yang terjadi kemarin, hingga lupa waktu.
“Kenapa, kak?”
“Nggak kenapa-kenapa. Tunggu sebentar, gue bayar dulu.” Gadis di sebelahnya mengangguk. Tak lupa memberikan senyum paling lebar yang dia miliki.
Rampung bayar-membayar, dia melangkah keluar dari toko perhiasan. Bersama gadis yang sedari tadi menemaninya –atau yang dia temani- lengkap dengan sulur-sulur tangan yang membelit sebelah lengannya. Lagi-lagi dia tak berniat untuk melepaskan sulur-sulur itu dari tangannya yang kokoh. Membiasakan diri untuk menerima perlakuan seperti ini selama mungkin.
**********
Aku berlari dan terus berlari. Mencari-cari seperti orang gila. Padahal ini masih lantai dasar. Dan aku sudah kelelahan seperti ini saat harus berputar-putar untuk mencari orang itu. Sepertinya waktuku memang sudah benar-benar menipis.
“Perkiraannya meleset. Sel-sel kanker di tubuh Riri berkembang terlalu pesat.”
“Jadi?”
“Gue harus bisa nyari jalan keluar itu dalam waktu tiga minggu.”
“Jadi Riri-“
“Sebulan. Waktunya tinggal sebulan.”
Percakapan kak Nino dan kak Hamid masih saja berputar di kepalaku seperti kaset rusak. Tanpa diberitahu seperti itu juga aku sudah tahu. Aku tahu tubuhku yang sudah hampir menyerah karena penyakit ini. Aku tahu. Maka dari itu aku ada di sini. Meraih salah satu kebahagiaanku, berusaha menggapainya.
Tanganku masih berdenyut-denyut. Mungkin sebelum berencana untuk melarikan diri dari rumah sakit, aku harus belajar cara melepaskan jarum infus dengan baik dan benar. Biar tak ada lagi kulit yang sedikit perih karena sobek saat jarum infus tertarik dari tanganku.
Aku terlalu banyak berlari, sepertinya. Hingga dadaku terasa sakit. Seandainya saja aku tidak sebodoh itu memotong perkataan Kamil, mungkin aku sudah menemukan apa yan gaku cari. Dan bodohnya lagi, aku bahkan memintanya untuk mematikan ponselnya. Sekarang aku tak bisa menghubunginya dan harus berlari-lari memutari mall.
Oh, apa aku sudah mengatakan kalau sekarang aku sudah akrab dengan Kamil? Atau biasa dipanggil Cheetah? Kalau belum, well, tadi aku baru mengatakannya.
Aku telah tiba di lantai tiga. Seperti tadi, aku melangkahkan kakiku, berlari ke arah kanan hingga ke depan toko yang menjual barang-barang elektronik. Gemuruh napas yang seperti badai tak bisa terelakkan lagi keberadaannya. Keringat sebesar biji jagung telah merembes dari pori-pori kulitku. Tuhan, dimana dia?
Aku mengedarkan pandanganku. Menolehkan kepala ke arah kanan. Menyapunya hingga-
“Eh?”
Aku tercekat. Mataku seperti menyapu siluet yang familiar. Aku menoleh perlahan ke arah kiri. Dan tak memungkiri kelegaan menerjang seperti air bah. Akhirnya aku menemukannya. Sedang tertunduk meneliti sesuatu. Oh, bahkan menemukannya saja sudah memberikan euforia hingga sebegini hebatnya. Membuat sistem saraf motorikku sedikit terganggu. Aku pasti sudah benar-benar jatuh cinta padanya.
Aku merutuki kelambanan gerak tubuhku saat ini. Hingga untuk berjalan beberapa puluh meter pun terasa lama sekali. Dan mataku, mataku tak pernah bisa lepas dari siluetnya. Tubuhku seperti membengkak. Membengkak dengan rasa yang menyenang-
Apa?
Apa yang baru saja dilakukannya?
Siapa?
Apa Tuhan dan takdir sedang menertawaiku? Apa ini hukuman atas kebodohanku karena tak menyadari perasaanku ynag sebenarnya selama ini? Tapi.. Tapi ini benar-benar tidak adil. Kenapa.. Kenapa rasanya sebegini menyakitkan?
Apa mereka-
Jadi mereka..
Tuhan.. Tuhan.. Tuhan..
Sebelah tanganku menopang tubuhku yang terhuyung pada dinding toko yang terbuat dari kaca. Sementara yang lain menekan dadaku, kencang. Aku tak bisa bernapas.
Kesempatanku telah habis. Sudah. Tak ada yang tersisa. Rasa sesak ini membutakan aku. Menggelapkan pikiranku. Semuanya telah berlalu untukku. Tak bisa ku raih kembali. Seberapapun besarnya keinginanku untuk merengkuhnya. Tidak akan ada yang bisa kulakukan lagi untuk meraih kebahagiaanku.
Aku.. Kalah. Aku menyerah. Aku lelah terombang-ambing oleh perasaanku yang kini hanya sebuah nista. Aku bosan terus berjuang untuk melawan belati takdir yang tajam mengiris nadi.
Kepalaku sakit. Hatiku nyeri. Nyeri itu beresonansi dengan bagian tubuhku yang lain. Rasa ini terlalu besar untuk ku tanggung.
Adakah pilihan untuk menyudahi semua rasa sakit ini, Tuhan?
**********
Hamid berdiam di lorong kamar rawat. Sendirian. Tanpa di temani Nino yang harus pergi ke ruang kepala rumah sakit untuk (kembali) mengajukan surat pengunduran dirinya. Hamid tak mampu masuk ke dalam sana jika hanya wajah pucat Riri yang tampak. Dia sudah terlanjur menyayangi gadis itu. Hingga saat ini dia merasa hatinya tercabut dari tempatnya saat melihat Riri yang begitu lemah seperti itu.
Selama ini dia bertahan untuk menaungi keluarga itu dalam perlindungannya bukan hanya semata-mata karena permintaan Rio. Bukan hanya semata-mata sebagai balas budi. Tapi juga karena gadis itu. Gadis yang bisa membuatnya berdamai dengan hatinya.
Dan Hamid masih tak habis pikir. Kenapa gadis sebaik itu bisa menderita hingga sebegininya? Dimana letak keadilan Tuhan?
“Permisi.. Keluarga dari pasien Marissa?” tanya seorang perawat yang menemukannya terduduk di lantai koridor sebelah kamar rawat Riri.
“Iya. Ada apa, ya?”
“Maaf, ini ada resep obat yang harus di tebus.”
“Oh, iya.. Makasih..”
Hamid menatap resep obat yang tersampir di tangannya dengan tatapan nestapa. Begitu banyak jenis obat yang harus masuk ke dalam tubuh gadis itu. Dia tak bisa membayangkan bagaimana rasanya harus menelan semua obat-obat itu setiap hari.
Dia pergi ke apotek yang memang berada di dalam kawasan rumah sakit. Menebus obat yang akan segera di berikan pada Riri. Dan dia harus puas saat dua jenis obat habis setelah dua jam dia mengantri. Mau tak mau dia pergi mencari obat di apotek lain.
Dan karena di sekitar rumah sakit ini tak ada apotek, maka dia kembali ke kamar rawat. Berniat untuk mengambil kunci mobil Riri dan pergi untuk mencari obat yang tak ada itu. Dia menarik napas dalam-dalam saat telah tiba di depan kamar rawat Riri. Mengumpulkan keberanian untuk memasuki ruangan itu.
‘Ah, come on, Mid.. Masa Cuma gara-gara ini lu jadi penakut begini.. Nggak lucu banget!’ batinnya. Dia mengangguk dan membuka pintu dengan cepat. Bertekad untuk segera masuk dan sesegera mungkin pergi dari ruang itu. Kalau perlu tanpa melihat wajah pucat Riri.
“Gue pergi nebus obat dulu bentar.” Pamitnya pada Riri yang menurutnya masih belum sadarkan diri. Tapi matanya tak sepicingpun melirik ke arah ranjang rawat.
Kemudian gerakannya terhenti. Ada yang salah di sini. Benar-benar salah.
Ponsel Riri menghilang. Apa tadi Riri sudah sadar dan mengambil ponselnya? Tapi kenapa suasana kamar masih hening. Biasanya anak itu akan segera meminta pulang. Lalu sekarang?
Dia berbalik ke arah ranjang rawat. Matanya membelalak. Terkesiap dan napasnya terhenti sejenak.
Riri menghilang!
**********
Dia terus melajukan mobilnya menelusuri jalanan yang gelap. Ditemani oleh air mata yang terus menggenang dan hati yang terluka. Tangannya tetap berpegang pada kemudi. Tak pernah sekalipun menghampiri wajahnya untuk menghapus air matanya.
Dia pergi menuju tempat yang biasanya bisa membuatnya tenang. Tempat dimana bayu bisa membawa terbang semua beban di pundaknya.
Sesampainya di sana, dia mematikan mesin. Lama dia terdiam di samping mobil. Masih memikirkan apakah semua ini benar terjadi lagi dan lagi. Apakah dia akan kehilangan cintanya untuk yang kedua kalinya.
Sekelebatan terbayang saat orang yang dicintainya menggandeng wanita lain yang sudah dikenalnya dan siap untuk menjadi sahabatnya. Dia benar-benar tak mengerti mengapa ini harus terjadi. Membuat lubang besar untuk kesekian kalinya di hatinya yang telah terlalu rapuh.
Kakinya melangkah maju. Menuju tepian tebing yang terjal. Matanya menatap lurus kedepan. Dia masih terlalu lemah untuk menghadapi semua ini. Dia belum siap menghadapinya. Ditambah sakit itu kembali hadir. Memangkas waktunya untuk bertahan di dunia ini dengan kejam.
Satu-satunya yang dibutuhkan saat ini adalah cinta. Dia ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan pria yang dicintainya.
Tapi yang terjadi adalah, dia melihat pria itu pergi begitu saja. Dan parahnya, dia yang melepaskan pria itu dari sisinya.
Dalam hati dia terus bertanya pada Tuhan. Kenapa nasib seperti mempermainkannya? Kenapa dia seperti orang yang harus kehilangan kebahagiaan pada akhirnya? Kapan kebahagiaan itu akan menjadi miliknya tanpa harus hilang lagi?
Kakinya telah mencapai ujung tebing. Tangannya mencengkram pagar pembatas dengan erat. Hingga buku-buku jarinya memutih.
Angin berhembus cukup kencang. Menerbangkan rambutnya yang lurus tergerai.
Pikirannya seketika mengabur. Terlalu kalut untuk berpikir dengan jernih. Semuanya tampak sama. Tak berwarna dan luluh lantak.
Sebelah kakinya melangkah melewati pagar pembatas. Dilanjutkan dengan kakinya yang lain. Hingga kini dia benar-benar ada di ujung tebing. Tanpa ada apapun yang menghalanginya lagi.
Kedua tangannya masih berpegang erat pada pagar pembatas yang kini ada di belakangnya. Perlahan dia melepaskan kedua tangannya dari pagar.
Dia memejamkan matanya. Menghela napas dalam-dalam. Menghirup bukti kehidupan yang akan dicecapnya untuk yang terakhir kalinya.
‘Cepat atau lambat, semuanya akan berakhir. Berujung pada kematianku.’
Dia merentangkan kedua tangannya jauh-jauh. Seperti sedang melebarkan sayapnya dan bersiap untuk terbang.
‘Jadi biarkan aku yang mendatanginya terlebih dahulu. Menghampiri mautku.’
Dia membiarkan tubuhnya pergi melawan gravitasi. Membiarkan angin berdesing di tepi telinganya. Dia memejamkan kedua matanya. Biar gelap menemaninya menghadap Tuhan.
Dadanya terasa sakit setelah membentur air dengan kencang.
Dia memasrahkan tubuhnya pada air, pada laut. Tak keberatan jika laut memeluknya hingga ke dasar. Tak keberatan jika banyu enggan menerimanya dan menghempaskannya ke tebing-tebing kasar yang ada di dekatnya. Sungguh, dia tak peduli.
Kesadarannya memudar. Bersamaan dengan rasa sakit yang bertambah sejak air garam yang asin menerobos masuk dalam tenggorokannya. Tak mengindahkan rasa terbakar dan perih yang menhampiri jalan pernapasannya. Tak juga menghiraukan dingin yang telah melahap tubuhnya hingga habis tak bersisa.
Dia hanya ingin damai walau harus pergi.
Dia hanya tak mau lagi tersakiti walau itu berarti ia harus mati.
Dia hanya ingin semuanya berhenti secepat mungkin.
“Riri? Riri.. Riri!”
Dia hanya tersenyum samar. Mengenali suara yang memanggilnya.
“Riri! Apa yang lu lakuin di sini?!” Dia tak bisa menjawabnya. Kesadarannya telah mencapai titik nadir.
“Berenang ke tepi sekarang juga, Ri!” tidak. Dia tak juga menggerakkan tubuhnya.
“Riri! Please jan..! Pergi..ekarang juga! Please..Please,..renan..pi..” dia tak mampu mendengar suara yang terus bergema secara utuh. Sudah tak mampu lagi mencengkram kesadarannya.
Laut bosan memeluk tubuhnya. Kemudian dengan mudah melempar tubuh ringkihnya ke pelukan tebing yang kasar.
Tak apa. Dia telah mengucapkan selamat tinggal pada kesadarannya.

To be continue..

1 Kantor Pelayanan Pajak
2 Kortikosteroid dengan kerja intermediate yang termasuk kategori adrenokortkois, antiinflamasi dan imunosupresan. Digunakan untuk mengatasi penolakan akut pada pasien transplantasi.

Posted at My house, Tangerang City

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita.
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
Don’t be a silent reader, please :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar