Selasa, 15 Januari 2013

Love the Ice part 38


Allo, my lovely reader! Udah lama banget kita nggak ketemu. Sebulan lebih, betul? Sekarang diriku udah selesai UAS dan bisa kembali lagi bersama kalian! Yeeeey!
Makasih buat yang tetep setia nunggu cerita ini, buat yang tetep like, vomment juga fan-ning. Kalian membuatku terharu.. *lebaynya kumat*
Maaf banget ya uploadnya terlalu lambat.. UAS baru kelar, nak.. Koneksi internet juga mendadak musuhan sama diriku T-T
Ah, aku benci harus ngetik hal ini berkali-kali. Tapi ini resiko mahasiswa tingkat akhir. Nggak bisa seproduktif kemariiiiiiiin-kemariiiiiiin (jauuuuh banget kemarinnya) karena harus ngubek-ngubek jurnal, UP dan bikin skripsi. *langsung galau tingkat nasional*
Mikirin hal itu aja udah sukses bikin sindrom insomnia pasca-UAS-ku (please, istilah ini jangan dicari di kamus kedokteran. Nggak akan ada di sana. percaya, ana zuzur!) makin parah. Hhhhhhh.. Yasudahlah. Ini emang harus terjadi kan? Bayaran yang cukup pantas buat sebuah gelar yang nantinya akan nongkrong di belakang nama saya :p
Semoga si makhluk bernama skripsi itu bisa cepet kelar ya.. Atau minimal cerita ini yang kelar duluan sebelum aku bener-bener tenggelam di lautan jurnal-jurnal penelitian.. Doakan saya, ya! *kepal tangan*

With lots of ketjoep mesra dan bantal yang tak sempat terbelai *halaaah*,

Puji Widiastuti
+++++++++++

Jalanan saat senja seperti ini tidak akan lengkap tanpa adanya kata ramai. Resiko yang terlalu nyata untuk dielakkan dari manusia yang hidup di daerah dengan penduduk yang padat  adalah macet. Dan itulah realita yang kini tersaji di hadapannya. Tak memandang tempat walau jalanan yang kini tengah dilalui memiliki sebutan jalan bebas hambatan. Nyatanya tetap saja kendaraan-kendaraan yang ada bergerak merayap.

Dia meluncur secepat yang dia bisa. Walau pada akhirnya jarum speedometer tak pernah menyentuh angka 50km/jam. Sementara Hamid yang duduk di sebelahnya masih sibuk memandangi makhluk persegi yang ada di tangannya. Tak henti mengamati titik-titik yang terus bergerak dan berkedip.

“Perempatan depan, kita belok kanan.”

Forbidden.”

“Hah? Oh, sorry. Maksud gue depannya lagi.”

Oke, untuk orang yang telah menghabiskan lebih dari setengah waktu hidupnya di jalanan kota Jakarta dan sekitarnya, kesalahan seperti itu akan nampak aneh. Tapi mengertilah, itu bukan dikarenakan Hamid yang menderita amnesia mendadak atau kepikunan dini yang akut. Ini semua karena terlalu banyak yang dia pikirkan saat ini hingga konsentrasinya buyar.

Saat tiba di jalan tol yang mengarah ke luar kota, Nino mulai menekan pedal gas sedalam yang dia bisa. Tak peduli seberapa ramainya jalanan yang ada di hadapannya. Mungkin dia juga sudah menulikan telinganya hingga tak mendengar puluhan klakson tanda protes dari pengendara lainnya. Bahkan dia juga tak berniat –atau menahan diri- untuk mengintip apa yang sejak tadi tak henti memenjarakan pandangan Hamid.

“Ini.. Tebing damai?” Nino pada akhirnya menyerah untuk tetap melihat ke depan dan melirik ke arah tablet milik Hamid. Terlihat titik-titik merah yang berpijar dan terus berpindah dalam kecepatan yang tak bisa dibilang rendah.

Pikirannya mulai membayangkan sesuatu yang benar-benar tidak dia sukai. Dan tubuhnya bereaksi lebih cepat dari yang dia bayangkan sebelumnya. Karena dia makin menggila mengendarai mobilnya. Seperti hendak menyaingi kecepatan kedipan titik-titik merah di tablet Hamid.

“No! Nggak pake acara terlalu ngebut juga kayak begini!” tapi Nino tak mengindahkan teriakan Hamid. Matanya tetap menatap jalanan di hadapannya lengkap dengan mobil yang bertebaran dengan nyalang.

Ini membuat Hamid mengerti darimana datangnya kebiasaan ngebut Rio jika bukan dari kakaknya ini. Dan dia juga berani bertaruh kalau Nino dan Rio  juga menurunkan kemampuan kebut-kebutan seperti ini pada Riri.

For the God’s sake! Kalau kita kecelakaan gara-gara cara nyetir lu yang kayak gini, kita nggak akan bisa ngejemput Riri buat balik lagi ke rumah sakit!” Nino tetap tak menjawab. Malah membuat jarum speedometer melampaui titik 140km/jam.

“Harusnya tadi gue aja yang nyetir!” gerutu Hamid sambil mengencangkan sabuk pengamannya. Lalu dia hanya diam. Tak mau lagi melihat kelebatan mobil yang membuat pusing. Tak mau juga mengomentari cara mengemudi Nino yang lebih menyerupai orang gila. Karena pada akhirnya semua komentar-komentarnya akan terpental tanpa pernah mendapat kesempatan untuk mampir ke pendengaran Nino.

Mereka tiba di tebing damai saat keadaan telah gelap sempurna. Di kejauhan, mereka bisa melihat sorot lampu mobil yang menyinari sesosok tubuh di tepi pagar pembatas. Riri yang tengah merentangkan kedua tangannya.

“Riri!” Nino memekik tertahan di dalam mobil saat melihat tubuh Rir yang menghilang dari pandangan. Tanpa mematikan mesin, dia pergi ke bibir tebing dan langsung saja melompat menyusul Riri yang tak tampak mengapung di laut yang ganas. Hamid lagi-lagi menjadi pihak yang terabaikan kehadirannya di sana. Dia melihat ke bawah dan mendapati laut yang terlalu ganas karena pasang telah tiba.

God damn it!” rutuknya.

Dia kembali berlari dan masuk ke dalam mobil Nino. Mengendarainya memutar, melewati jalan yang memang bisa dilalui kendaraan hingga ke dekat pantai. Dia ingin turut serta menyelamatkan Riri. Tapi akan sangat tidak bijaksana terjun ke laut yang keras dengan kemampuan berenang yang tidak ada sama sekali. Bukannya membantu yang ada nanti dia malah merepotkan. Dan untungnya pikiran Hamid masih sedikit lebih jernih hingga bisa menahan tubuhnya bercengkrama dengan laut.

“Tiga menit. Dan mereka belum keliatan. Tuhan! Apa harus gue ikut nyebur? Nggak! Gue nggak bisa berenang. Terus gue harus ngapain?” dia menjejak pasir pantai berulang kali. Menciptakan lekukan di sepanjang garis pantai yang makin lama makin mendalam.

“Tuhan.. Jangan bilang mereka.. Nggak! Nggak! God! Lu bener-bener kejam kalau hal itu sampe beneran terjadi.” Dan silahkan merutuki kenekatan Hamid saat ini. Karena dia mulai melangkahkan kakinya mendekati laut yang berombak terlalu tinggi.

Saat air laut menyentuh mata kakinya, dia melihat Nino yang terus berusaha berenang ke tepian. Dengan langkah yang berat karena tertahan ombak, Hamid menghampiri mereka. Mengambil alih tubuh Riri yang memucat dan dingin sempurna, meletakkannya di atas pasir pantai yang kering.

“Ri.. Riri..” panggilnya sambil menepuk-nepuk pipi Riri. Tak ada reaksi.

“Minggir.” Kata Nino sambil mendorong tubuh Hamid agar tak menghalanginya. Nino segera memeriksa keadaan Riri sekilas. Tak ada napas yang terhembus, tak ada denyut yang berdetak. Nino telah mencoba untuk membersihkan jalan napas Riri dengan memiringkan tubuh Riri. Tapi tak ada air yang keluar dari sana.

“Buka jalan napasnya.” Hamid segera berpindah hingga kini dia ada di dekat kepala Riri. Dengan cepat namun tetap hati-hati dia membuka jalan napas Riri dengan membuat kepala Riri mendongak.

Kedua tangannya yang gemetar dia letakkan di dada Riri, berusaha membuat jantung gadis itu bekerja. Meniupkan udara yang diharapkan bisa merangsang sistem pernapasannya. Tak ada reaksi. Dia melakukannya lagi, dan tetap tak ada reaksi dari Riri.

“Ah! Lama!” pekik Hamid. Dengan cekatan Hamid membawa tubuh Riri yang benar-benar pucat ke dalam mobil. Sementara Nino sedikit tertatih karena tubuhnya yang menggigil. Giginya bergemeletuk karena kedinginan. Tapi dia seperti tak merasakannya, atau mengabaikan semua rasa dingin yang menggerogoti.

Hamid memacu mobil dengan cepat ke arah rumah sakit terdekat yang ditunjukkan oleh GPS. Sementara Nino masih tetap gigih melakukan CPR pada tubuh Riri yang tetap tak merespon apapun.

Hang in there, Ri.. Jangan pergi kemana-mana..” ucap Nino disela-sela pernapasan buatan yang dia berikan.

Hamid melirik spion tengah, mengamati kedua tubuh yang sama-sama pucat. Menatapnya miris. Dalam  hatinya terlantun doa paling tulus yang pernah dia ucapkan pada Tuhan. Memohon dengan teramat sangat agar kali ini semuanya berjalan sesuai kehendak hatinya.

***********

“Hoi, bangun, Hoi..Mau sampe kapan lu tidur di sini?” Nyamannya.. Benar, rasanya nyaman sekali.

“Perlukah lu gue panggil adik yang nggak tahu diri supaya lu bangun dari tidur cantik lu itu?”

Apa? Apa yang baru saja kudengar? Adik tak tahu diri?

Seketika mataku membuka. Membuatku mengedipkan mataku beberapa kali agar semuanya jelas terlihat, seharusnya. Tapi aku mendapati penglihatanku yang seketika tajam. Tidak melewati tahap pandangan-yang-membayang terlebih dahulu. Tak menyakitkan meski langsung menatap langit yang kelewat cerah secara tiba-tiba seperti tadi. Hanya terasa nyaman karena telah melabuhkan kepalaku dengan aman di bahu orang yang suaranya ku rindu-

Tunggu!

Aku menoleh ke arah kiriku. Dan kaget setengah mati. Tanpa sadar aku langsung bangkit mundur beberapa langkah. Apakah benar yang kulihat? Apa aku benar-benar sudah mati hingga bisa bertemu dengannya lagi? Kalau ya, well, ternyata mati itu mudah dan tidak terlalu menyiksa. Itu menurutku.

Jah! Udah sekian lama nggak ketemu, tidur lama banget sampe bikin bahu gue mati rasa, dan sekarang ngeliat gue kayak lagi ketemu setan. Emang agak kurang ajar ya adik gue yang satu ini..” kesalnya sembari bangkit mengikutiku.

“Kak Rio? Ini beneran kak Rio?” makhluk tampan di hadapanku mengangguk antusias.

“Mario stevano kusuma?”

“Emang ada berapa Mario sih yang singgah di hidup lu?”

“Beneran?”

“Apa perlu gue panggil mama sama papa buat ikut ngebuktiin di sini, Marissa anastacia putri?”

Aku.. Aku tak bisa menahan tubuhku untuk berlari dan menubruknya. Memeluknya dengan erat, tak memikirkan apakah dia bisa bernapas atau tidak. Aku hanya ingin melampiaskan semua rasa rindu yang memenjara sebagian besar jiwaku.

“Hueeee! Kak Rio… Gue kangen sama lu.. Bener-bener kangen…”

“Iya.. Iya.. Gue tahu.. Gue juga kengen sama lu..” katanya sambil melepaskan pelukanku.

“Mama sama papa ada di sini?”

“Ya nggak ada lah.. Mereka lagi honeymoon yang kesekian kalinya entah di mana.. Gue ogah ngikut mereka lagi.. Gue Cuma cengo dikacangin tua-tua yang lagi pada kasmaran periode kedua..” jawabnya sambil bergidik ngeri.

“Ck! Biar mereka itu tua-tua yang lagi pada kasmaran periode kedua, mereka juga orang tua lu, kak..” kataku sambil mencubit perutnya.

“Iya.. Iya.. Gue seneng kok ngeliat mereka seneng begitu.. Walau kadang gue bete gara-gara di kacangin mulu sih..”

“Kasiaan.. Sini sini.. Gue temenin biar nggak dikacangin..” kataku sambil menepuk kepalanya pelan. Dan dia memandangku dengan sorot mata yang cukup tajam. Eh? Apakah aku telah berlaku terlalu tidak sopan padanya?

“Nggak. Gue nggak butuh ditemenin sama lu.”

Apa? Apa katanya?

“Gue nggak perlu ditemenin sama adik nggak tahu diri kayak lu.” Napasku tercekat. Sebelah tanganku sontak mencengkram dadaku. Tak ada detak yang terasa, hanya kesakitan yang menyesakkan. Tuhan! Kukira kematian akan menghilangkan semua rasa sakit di hatiku. Tapi kenapa sekarang hatiku masih saja sakit?

“Kak..”

“Gue nggak butuh adik yang bikin kakak, ayah dan ibu gue sedih sampe sebegitunya.. Gue juga nggak butuh adik yang bisa bikin honeymoon mama sama papa rusak kalau mereka tahu apa yang terjadi sebenernya..”

“Tuhan.. Kak-“

“Kenapa lu sampe sebegitu bodohnya, hah? Kenapa lu nggak ngehargain kehidupan yang udah diberikan sama Tuhan?” aku tak mampu menjawab pertanyaan kak Rio yang keluar dengan nada membentak seperti itu.
Gue pergi, dan lu jadi begini. Gue nyumbangin sumsum tulang gue supaya lu bisa tetap tegar dan hidup buat membahagiakan orang-orang yang gue sayang. Tapi nyatanya lu malah ngikutin gue ke sini. Atas keinginan lu sendiri pula! Lu tahu? Gue ngerasa kecewa sama lu. Itu bikin gue ngerasa sedikit menyesal!

“Jadi lu nyesel udah nyumbangin semua itu ke gue? Jadi itu maksud dari perkataan lu sebelumnya? Adik yang nggak tahu diri? Lu nggak tahu gimana hidup gue, kak. Lu nggak tahu.” Tak kusangka di dimensi lain sekalipun kesakitan akan tetap mengikutiku. Ini membuatku benar-benar kecewa. Lalu aku harus kemana agar semua rasa sakit ini tak bisa lagi memelukku?

“Hah! Tentu aja gue tahu hidup lu. Lu pikir setelah gue pergi dari hidup kalian, gue bisa seneng-seneng gitu aja di sini? Nggak! Gue masih tetep tersiksa di sini! Gue masih nggak bisa tenang karena lu yang belum bisa ngerelain kepergian gue! Dan jangan pernah berpikiran sepicik itu ke gue! Gue bukan nyesel nyumbangin itu semu ke lu. Gue Cuma nyesel karena sempat berpikir LU AKAN TETAP KUAT SETELAH GUE PERGI!” mataku terbelalak. Bisa kulihat wajah kak Rio yang memerah. Napasnya terengah, seperti habis berlari jauh.

“Gue tahu semua hal yang terjadi dalam hidup lu.. Gue tahu semua hal tentang Alex.. Gue tahu lu kena LLA lagi.. Gue tahu lu cinta sama Fred.. Gue tahu tentang lu yang nggak bisa ngedapeti Fred.. Gue tahu..” suaranya melembut setelah beberapa saat tadi berdiam diri untuk mengatur napasnya.

Kepalaku tertunduk. Mengingat alasanku untuk mempersingkat hidupku lebih cepat lagi.

“Gue tahu lu sakit.. Sakit banget.. Tapi mati bukan solusi yang terbaik..” suaranya makin melembut di telingaku. Jemarinya melingkar di kedua lenganku.

“Bunuh diri Cuma berlaku buat orang yang nggak punya nyali, yang hatinya lemah.. Bunuh diri Cuma akan menyiksa semua orang yang lu sayang.. Lebih menyiksa daripada kematian yang telah direncanakan Tuhan, Ri..”

“Tapi cepat atau lambat gue pasti akan datang ke sini, kak..”

“Jangan pernah berani menebak-nebak takdir, Ri..”

“Gue capek.. Gue capek sakit terus..” sebelah tangannya mengangkat daguku. Membuat kedua manik kami beradu. Dan aku melihat kasih yang begitu besar di dalam sorot maniknya.

“Lelah tersakiti nggak bisa jadi alasan buat melakukan hal konyol seperti ini.. Kalau lu lelah, lu tinggal berpaling kearah manapun yang lu mau.. Di sana, pasti akan ada orang yang siap memanggul beban lu itu.. Lu nggak hidup sendiri, Ri.. Ada keluarga kita.. Ada sahabat-sahabat kita.. Bahkan ada sahabat baru lu yang dengan senang hati meluluhkan semua permintaan lu dari yang konyol sampai yang bener.. Siapa itu namanya? Kamal?”

“Kamil, kak..”

“Iya, itu.. Sekarang dengerin gue.. Rasa sakit akan tetap mempengaruhi hidup lu selama hati lu mengijinkannya.. Ikhlas dan sabar adalah kuncinya.. Berdamai dengan perasaan lu adalah jawaban dari rasa sakit lu.. Cinta adalah obat yang bisa menyembuhkan semua luka di jiwa lu..  Dan kebahagiaan dari orang-orang yang lu sayang adalah oksigen yang bisa membuat lu hidup..” aku masih mencerna kata-katanya. Menilik tiap pesan yang dia sampaikan padaku.

“Lu nggak bisa mendapatkan Fred, jangan kecewa dengan hal itu.. Yang penting dia bahagia.. Bukannya kebahagiaan orang yang kita cintai adalah satu hal yang utama? Dan dengan lu bersikap seperti ini, lu udah menghancurkan kebahagiaan dari orang-orang yang lu  sayang..”

Dia menarik tanganku menuju sebuah benda. Aku tak tahu benda apa itu. Tapi begitu kak Rio meletakkan telapak tangannya di atas benda itu, seberkas cahaya keluar dari sana. membentuk gambaran yang membuatku terpaku.

“Lu lihat itu? Ayah sama Ibu sampai rela nginep di bandara buat ngedapetin tiket balik ke Indonesia secepat mungkin.. Rela nunggu badai reda supaya nggak ketinggalan pesawat.. Itu semua Cuma didasarkan sama firasat ibu yang nggak enak..”

Kemudian gambar berganti. Terlihat lelaki yang juga aku sayangi duduk terdiam dengan pandangan yang kosong. Terlihat pakaiannya yang tak bisa dibilang kering, wajah pucat dan sayu. Tubuhnya tetap bergetar meski telah ditutupi selimut yang kering. Lelaki di sebelahnya pun tak berbeda jauh. Hanya saja tubuhnya tetap kering.

Lalu aku melihat lelaki berbaju basah itu melangkah kedepan. Mendekati ranjang rawat.  Menggenggam sesuatu berwarna pucat yang di susupi jarum infus. Menciuminya dengan lembut dan penuh keputus asaan. Dengan kesedihan yang membuncah. Itu.. tangan? Milik siapa?

Manik lelaki itu diselimuti kepedihan yang membuatku sakit, berembun kemudian hujan. Tak bersuara, hanya senyap. Tapi aku bisa merasakan kepedihan yang tercurah dari tiap bulir hujan miliknya yang tertumpah. Dan saat sudut pandangnya berubah, kaki-kakiku melemas, membuatku jatuh berlutut.

Tubuh yang terbujur lemah tak bergerak di atas ranjang. Nyaris tak berwarna kecuali pucat yang menyelimuti. Banyak kabel-kabel dan selang-selang yang terhubung pada tubuh itu. Seperti  itukah tubuhku sekarang?

“Sekarang lu lihat itu. Gue nggak pernah ngeliat kak Nino nangis. Bahkan waktu gue mati pun dia nggak nangis. Ibu punya ayah buat tempat bersandar saat gue pergi. Dia, kak Nino, menyediakan bahunya buat jadi tempat lu bersandar. Biar lu nggak tumbang. Karena lu juga, dia bisa tegar. Tapi saat dia ngeliat lu yang nyerah begini, apa lagi yang bisa jadi alasan dia buat tetep tegar? Mungkin dia bisa jadi tegar buat ayah dan ibu. Tapi rasa kehilangan itu akan menyiksanya beratus-ratus kali lipat, Ri.. Dia udah kehilangan gue. Sekarang lu tega bikin dia kehilangan adik lagi? Ck, hebat benget deh adik gue yang satu ini..”

Tuhan.. Sejak kapan aku berubah jadi makhluk yang senang mematahkan sayap para malaikat di hadapanku? Sejak kapan aku buta hingga seperti ini? Sejak kapan aku berubah jadi orang yang suka menyakiti hingga seperti ini?

 “Harusnya orang yang memiliki darah Benjamin dan Liliana itu kuat.. Liliana sendiri buktinya. Dia tetap berusaha bertahan meski harapan udah sirna. Lu harusnya tahu itu, mengingat lu hidup lebih lama sama dia..”

“Berdamai dengan perasaan? Gue bahkan nggak bisa ngendaliin perasaan gue sendiri, kak..” kataku lirih. Kurasakan kak Rio yang duduk di sebelahku.

“Gue nggak pernah meminta lu buat mengendalikan perasaan lu, Ri.. Tapi berdamai dengan makluk itu.. Sekali lu tahu caranya, lu akan bisa mengatasi semua rasa sakit yang ditimbulkannya..”

Gambar di hadapanku mulai meredup. Kemudian hilang tak berbekas. Senasib dengan benda yang membuat bayangan itu muncul.

Kak Rio menggendongku di depan dadanya. Membuatku leluasa menyembunyikan wajahku di lekukan lehernya seperti biasa.  Lalu dia mulai melangkah entah kemana. Aku tak mau memikirkannya. Hatiku masih terselimuti oleh rasa bersalah yang sedemikian hebatnya. Bisa-bisanya aku menyakiti hati orang yang kusayangi seperti itu.

“Biar begini dulu, kak.. Please..” pintaku saat dia hendak melepaskan rangkulanku di tubuhnya. Kak Rio mengabulkannya. Menambahkan pelukan saat telah berhasil mendudukkan tubuhnya dengan aku yang masih ada di atas pangkuannya.

“Apa gue masih punya kesempatan buat menebus semua rasa sakit yang pernah gue berkan buat mereka semua? Apa gue masih bisa membahagiakan mereka? Apa gue masih bisa memiliki kesempatan kedua?” lirihku, masih dengan wajah yang tetap menyelusup di lekukan leher kak Rio yang menyamankan hati.

“Tentu aja masih..”

“Tapi gue udah ada di sini.. Gue nggak akan bisa balik lagi-“

“Justru karena lu masih ada di sini makanya lu masih bisa mewujudkan semuanya.. Waktu lu di dunia belum habis, Ri.. Dan Tuhan memiliki harga diri yang terlalu tinggi sampai menolak semua umatnya yang kembali sebelum waktunya.. Dia tidak mau memiliki hutang waktu walau secuilpun pada umat-umatnya..”

“Jadi gue masih bisa hidup lagi?”

“Emang siapa yang bilang lu udah mati?”

Aku mendesah panjang. Ini membuatku sedih sekaligus lega. Sedih karena harus berpisah lagi dengan kak Rio. Lega karena aku masih memiliki kesempatan untuk hidup dan membahagiakan orang-orang yang kusayangi. Meski aku sangsi waktuku akan lama. Setidaknya aku bisa memberikan sedikit lagi kebahagiaan untuk mereka semua.

Ah, aku harus bersyukur karena bisa bertemu dengan kak Rio lagi. Itu bisa membebaskan sedikit rasa yang hampir mati karena terbelit rindu. Terima kasih, Tuhan..

“Kak.. Makasih..” kataku sambil menatap wajahnya yang selalu rupawan.

“Buat?”

“Semuanya.. Karena udah memberikan gue tempat bernaung setelah mama dan papa pergi.. Buat memberikan kehidupan yang berwarna selama lu hidup, bahkan setelah kematian lu yang terlalu cepat itu.. Buat semua kasih sayang dan perlindungan yang udah lu kasih ke gue selama ini.. Buat kehidupan kedua yang lu tukarkan dengan nyawa lu sendiri.. Makasih..”

“Riri..”

“Dan gue mau minta maaf.. Karena gue, lu harus mati muda..”

“Ri.. Itu semua bukan salah lu.. Jadi berhenti meminta maaf..  Magian mati muda itu nggak terlalu buruk kok.. Emang sih rasanya kesel mati sebelum bisa ngerasain yang namanya menikah.. But that’s allright.. Setidaknya gue akan selalu dikenang dengan wajah sempurna yang awet muda tanpa pernah mengalami penuaan..” aku tertawa kecil.  Kakakku yang satu ini memang selalu saja bisa membuat suasana hatiku membaik dengan cepat. Baiklah, aku akan mengingat wajahnya yang belum sedikitpun tersentuh tanda-tanda penuaan. Yang tetap tampan senantiasa.

Tapi kemudian aku melihatnya memudar. Seperti di selimuti kain putih tipis. Apa yang terjadi?

“Kak.. Lu-“

“Sepertinya lu udah bisa merelakan kepergian gue, Ri..”

Apa harus secepat ini?

“Gue rasa waktu kita udah habis..” dia membantuku berdiri.

“Gue seneng bisa ngobrol sama lu lagi, kak..”

“Gue juga.. Gue akan terus ngedampingin lu sampai gue ngerasa lu cukup kuat buat berjalan sendirian.. Gue akan terus ngejagain lu, sebisa mungkin nolong lu kayak waktu itu pas di toilet kampus..” katanya sambil mengedipkan sebelah matanya.

“Gue percaya lu selalu ada di samping gue buat ngejagain gue.. Tapi jangan ngikutin gue kalau gue mau mandi ya.. Jangan suka ngintip! Nanti bintitan segede bola basket matanya..” dia tersenyum. Dan aku masih gadis kecilnya yang sejak dulu tak bisa menahan diri untuk ikut tersenyum saat melihatnya seperti itu.

I’m gonna miss you, my lovely sister..” dia memelukku erat. Benar-benar erat. Membuat wajahku tenggelam dalam dadanya yang benar-benar hangat.

I love you, kak..

Love you, too..” sesuatu yang hangat mengalir di wajahku. Aku tahu itu air mataku. Tapi aku enggan menghapusnya dengan tanganku. Masih ingin meresapi kehangatan yang diberikan kak Rio untukku.

“Jangan sedih lagi, Ri..”

Aku membuka mataku, dan hanya putih yang nampak di hadapanku. Sejenak jantungku terasa berdegup kencang. Aku sendirian lagi. Kemudian kurasakan dingin menangkup wajahku. Perlahan semuanya meredup. Menyisakan piksel-piksel yang kabur. Menghadirkan sekelebat gambaran buram yang telah aku kenal lama.

“Riri..”

**********

“Cuma ini yang bisa gue temuin di mobil Riri.” aku menoleh ke sebelahku. Mendapati Hamid yang telah meletakkan selimut tipis di atas tubuhku yang masih  sedikit basah setelah berenang di laut lepas. “Tadi Cheetah sama Shark yang bawa mobilnya Riri ke sini. Sekarang mereka udah balik lagi buat kerja.” Terserah. Aku merasa tak perlu mempedulikan hal itu.

“Kopi panas?” aku menggeleng.

“Ayolah, No.. Lu harus bikin badan lu sedikit hangat.. Jangan sampe lu kena hipotermia.. Badan lu menggigil dari tadi dan sampe sekarang belum berhenti juga, No.. Gue tahu lu nggak ganti baju lu yang basah kuyup tadi karena nggak ada baju kering, tapi bukan berarti lu menolak sesuatu buat bikin badan lu sedikit hangat, kan?”

Benarkah? Aku bahkan tidak bisa merasakan hal itu. Jika benar, mungkin suara-suara mengganggu yang selama ini kudengar bukan berasal dari AC yang bertiup setengah hati. Tapi berasal dari gigi-gigiku yang tak henti bergemeletuk. Entahlah. Aku tak bisa memikirkan hal lain saat ini. Tubuhku sepertinya mati rasa. Bahkan saat Hamid membuat kedua tanganku menggenggam gelas kopi yang masih mengepul, aku tak bisa merasakan apa-apa.

Aku meletakkan gelas kopi itu ke lantai dekat kakiku. Kemudian mulai melangkah ke arah ranjang rawat yang sedari tadi terus menarik perhatianku. Sakit. Sesak. Saat aku melihatnya seperti itu. Kulitnya yang memang pada dasarnya telah berubah kembali serupa porselen, kini terlihat makin pucat. Tak ada rona yang biasa menghiasi kulitnya.

Aku meraih sebelah tangannya yang selamat dari susupan kabel-kabel pesakitan. Mengecup punggung tangannya perlahan.

Apa dunia sudah berlaku terlalu kejam padanya? Apa dia benar-benar merasa tersakiti oleh takdir? Apakah tak ada yang bisa aku lakukan untuk mengurangi semua rasa sakit itu? Apa aku ini kakak yang benar-benar tidak berguna karena tidak bisa menjaganya?

Apapun. Apapun akan aku lakukan untuk mengurangi rasa sakitnya walau sedikit.

Sebelah tanganku masih menggenggam tangan Riri, membawanya dan menyandarkannya di pipiku. Sebelah tanganku yang lain kugunakan untuk mengusap kepalanya. Berusaha merapikan surai hitam yang terlihat begitu semerawut di atas bantal. Menyisirkan seadanya memakai  kelima jariku. Menyusunnya helai demi helai. Tak mengindahkan genggamanku yang sedari tadi telah basah oleh air mataku.

Pandanganku terganggu. Segerombolan berkas cahaya mengganggu penglihatanku. Saat aku menengok asal segala macam cahaya yang menerobos masuk, hatiku mencelos.

Sunrise.. Kamu nggak mau ngeliat sunrise, Ri?” tetap tak ada respon. “Mataharinya cantik lho, Ri..” dan dia tetap diam dalam tidurnya yang lelap.

“Bangun, Ri..” lirihku begitu memelas. Berharap Riri akan tergugah dengan suaraku yang begitu menyedihkan. Tapi dia tak juga terbangun. Membuat isak tangis yang sejak tadi malam belum mereda semakin berani menampakkan wujudnya.

“Nino..” aku menoleh demi mendapati pandanganku yang kemudian menggelap. Merasakan sebuah pelukan erat yang membuat tangisku semakin kencang.

“Maafin Nino, Bu.. Riri.. Riri..” aku tak bisa menyelesaikan kalimatku.

“Ssshh.. Riri pasti baik-baik aja..”

Aku juga berharap dia akan baik-baik saja. Tapi tidak setelah aku mengingat semua hal tentangnya. Dan semua itu membuat tangisku tak bisa berhenti berderai.

Ibu melepaskan pelukannya, begitu juga aku. Lalu ibu berjalan ke arah ayah yang ada di dekat pintu kamar bersama Hamid. Aku kembali menatap wajah Riri yang meski telah tersorot matahari tetap saja tak bersinar seperti biasa. Tapi kemudian aku melihat sesuatu yang memantulkan sinar mentari. Sesuatu yang menggantung di tepi ceruk matanya.

Apa dia menangis karena aku menangisinya? Atau karena hatinya yang sakit setelah berhadapan dengan kenyataan hidupnya? Aku tak tahu. Yang aku tahu, tanganku bergerak begitu saja untuk menghapus bulir itu.

“Jangan sedih lagi, Ri..” bisikku.

Kemudian kulihat matanya menggeletar dan terbuka perlahan. Matanya masih belum fokus. Ku tangkup wajahnya. Memberikan kabar kehadiranku yang ada di sisinya saat ini. Dia menoleh kearahku. Matanya fokus dengan amat perlahan.

“Riri..” panggilku.

“-O.. Hhhh.. Kak Nino..” suaranya begitu pelan menyapu pendengaranku. Membuahkan perasaan lega berlipat-lipat yang mengisi seluruh rongga dadaku. Membuatku seketika berdiri dan membalikkan badan. Berjalan ke arah ayah dan ibu. Ingin memberitahukan Riri yang telah bangun dari tidurnya.

Tak peduli sensansi melayang saat kakiku melangkah. Tak peduli rasa kaku yang menghinggapi tubuhku. Tak mempermasalahkan juga pandanganku yang buram. Tak peduli juga pada rasa sakit di kakiku setelah menabrak kaki ranjang rawat.

Pada akhirnya, aku harus peduli juga pada kegelapan yang datang menyelimuti. Mencabut semua kemampuan indraku untuk berinterakasi.

**********

“Gimana keadaannya Nino?” tanya ibu.

“Dia Cuma shock sama kurang istirahat.. Soalnya sejak kemarin-kemarin dia sibuk nanganin pasiennya di rumah sakit.. Bentar lagi juga sadar dia..” jawab Hamid. Dan entah karena memang jago menebak atau memang bisa melihat masa depan, Nino siuman beberapa saat setelah Hamid berbicara seperti itu.

“Tuh, kan bener dia langsung bangun..”

“Mau minum, No?” tawar ibu sambil menyorongkan segelas teh manis hangat ke hadapan Nino. Setelah Nino menyeruput sedikit, dia kembali meletakkan gelas itu di meja kecil dekat sofa tempat Nino berbaring sekarang, di seberang ranjang rawat Riri.

“Bisa jelasin apa yang sebenernya terjadi di sini, Mid, No?” pinta ayah.

“Riri sakit lagi.” ucap Riri yang sejak tadi hanya diam memperhatikan mereka yang tengah berkerumun di sekitar Nino. Sontak semuanya mengalihkan pandangannya ke arah Riri.

“Riri nggak mau ikut kemo karena harapannya terlalu tipis..” sambungnya sambil menundukkan wajahnya. Membuat tubuh ibu bergetar. Sementara para pria hanya bisa menatap Riri dengan pandangan prihatin.

“Waktu Riri udah makin pendek.. Makanya Riri mau minta maaf dari sekarang.. Maaf kalau Riri sering banget bikin kalian khawatir.. Sering banget bikin kalian sedih.. Sering banget bikin kalian repot..” samar-samar Riri bisa mendengar isak tangis tertahan yang keluar dari mulut ibu.

“Karena itu juga Riri mau minta beberapa hal sama kalian..” Riri menarik napas dalam-dalam dan menegakkan wajahnya.

“Riri harap kita semua bisa nyimpen hal ini rapat-rapat.. Riri nggak mau ada terlalu banyak pihak yang tahu tentang hal ini.. Bisa?” keempat manusia yang ada di sana mengangguk perlahan.

“Ehmm, satu lagi.. Boleh kita liburan bareng ke banyak tempat yang ingin Riri kunjungin dari dulu? Ngabisin banyak waktu buat bersantai.. Barengan.. Semuanya.. Riri kangen ngabisin banyak waktu sama ayah, ibu, kak Nino dan kak Hamid.. Minimal kita bisa barbeque-an di halaman belakang, nganterin Lucky nyalon, atau sekedar jalan-jalan di taman kota.. Boleh?” ibu mengangguk dengan wajah yang dihiasi air mata. Maju dengan cepat dan meraup Riri dalam pelukannya.

“Nggak ada yang perlu di maafin, Ri.. Malah harusnya kami yang bilang makasih ke kamu karena kamu udah datang ke kehidupan kami semua.. Dan tentang permintaan kamu itu, tentu aja boleh.. Kamu mau kemana? Kita akan pergi ke sana.. Nanti ibu sama ayah yang ngurus segala macem perlengkapannya.. Ya, sayang?”

“Benar itu, pokoknya kamu tinggal terima beres.. Cukup bersikap manis aja kayak putri keraton..” sahut ayah yang juga telah memeluk Riri dan ibu sekaligus.

“Tapi ada satu yang akan kakak tetap lakukan, Ri.. Kakak nggak akan nyerah untuk terus nyari pengobatan buat kamu.. Kakak nggak akan berhenti untuk yang satu itu..” ucap Nino yang perlahan bangkit dari sofa. Berjalan perlahan ke arah Riri. Ikut memeluknya, bersama.

“Lu ngapain masih berdiri di situ? Sini ikutan.. Masa Teletubbies menolak berpelukan..” Hamid ikut melangkah ke arah Riri. Dan begitu sampai di sana, dia menarik-narik pipi Riri dengan gemas.

“Adadadadah..”

Bletak!

“Woy! Adik gue tuh.. Lu kira balon main tarik-tarik aja.. Awas ya kalo pipinya sampe melar..” kata Nino setelah melepaskan jitakan mautnya ke atas kepala Hamid.

“Rasain! Hahaha” ejek Riri. “Makasih kakakku yang tampan –walau tingkat kekerenannya sedikit turun setelah pingsan setelah ngeliat Riri siuman- karena udah ngebelain Riri..”

“Ehm, kamu sebenernya niat muji apa nggak sih, Ri?” kata Nino dengan wajah yang kalau saja ada di dunia komik, sudah menampilkan wajah sweatdrop.

“E-hehehehehe- Adadadadahh.. Kak Nino kenapa ikutan juga? Huwee..” pekik Riri karena kini kedua pipinya kembali melar. Sebelah kiri ditarik oleh Hamid sedang sebelahnya di tarik Nino.

“Abis kayaknya enak aja narik-narik pipi kamu.. Hahahaha..” Riri yang tak terima dengan hal itu mulai melancarkan serangan balasan. Menarik hidung Nino hingga si empunya hidung megap-megap seperti ikan mas kekurangan air. Menarik sebelah telinga Hamid hingga kepala Hamid rebah di kasur rawat.

Sedangkan ayah dan ibu hanya bisa menatap heran anak-anaknya. Bagaimana bisa mereka merusak suasana haru yang indah dengan adegan tarik-menarik anggota tubuh yang terkesan brutal seperti itu.

‘Semoga Tuhan memelihara pikiran mereka’ batin ayah dan ibu. Tapi kemudian mereka berdua tersenyum melihat tingkah muda-mudi di hadapannya. Setidaknya kebahagiaan itu masih bisa bertahan di antara mereka semua.

**********

“Empat hari menjelang final. Dan kita masih belum bisa latihan karena anak teknik sama hukum belum selesai UAS. Dan sepertinya kita nggak bisa latihan sampai hari H. Kita nggak bisa pergi ke final gitu aja tanpa gladi bersih, terutama setelah dua minggu lebih nggak latihan.” Berpuluh-puluh pasang mata tetap menatap si pembicara yang ada di hadapan mereka.

“Jadi gue harap, kalian semua datang satu jam sebelum waktu keberangkatan kita ke tempat perlombaan. Saat itu, kita akan gladi bersih. Sekarang gue tanya, siapa yang kostumnya belum ada?” lima orang mahasiswa mengangkat tangannya.

“Bill, tuxedo lu ada lebih dari satu kan?”dia bertanya pada orang yang ada di sebelahnya. Pelan, nyaris seperti bisikan.

“Ada. Tapi buat dua orang itu harus pake punya lu. Gue rasa ukuran mereka lebih gede. Mungkin sama kayak ukuran lu, Fred.” Billy balas berbicara pelan.

“Gue sama Billy punya tuxedo lebih dari satu. Yang belum punya, abis ini bisa langsung ikut kita buat fitting. Ada masalah lain?” semuanya diam.

“Kalau nggak ada, sekian pertemuan kali ini. jangan lupa buat dateng lebih pagi nanti. Dan buat yang belum punya tuxedo, gue tunggu di parkiran sepuluh menit lagi.” katanya menutup acara pertemuan.

Dia merogoh kantung celananya, meraih ponselnya yang sedari tadi terabaikan. Dia mencari nomor di kontak, dan menghubunginya.

“Halo? Maaf aku nggak bisa nganter kamu. Aku harus langsung ke rumah sama yang lain buat fitting tuxedo. Nggak apa-apa kan?”

 “Makasih. Kabarin kalau kamu udah sampai di rumah.”

Saat dia  memutuskan hubungan telepon. Dia terdiam memandangi wallpaper ponselnya. Terlihat foto gadis yang hingga saat ini tak pernah lelah untuk menumbuhkan hatinya yang telah hancur. Dan jauh di belakangnya, di sudut yang hampir tak terlihat, ada sosok gadis impiannya. Yang tak pernah bisa dia sisihkan keberadaannya dari dalam benaknya.

Setitik rasa bersalah menodai perasaannya. Merasa bersalah karena tetap saja memajang foto itu di ponselnya. Meski dia tahu hal itu membuat semua perasaannya makin tercurah pada gadis impiannya. Merasa bersalah karena tak mampu mengganti gambar itu dengan yang lain.

**********

‘Apa ada perkembangan terbaru? Apa ada yang bisa dilakukan untuk merbuah segala ham ini menjadi lebih baik?’

Itu pertanyaan yang selalu berputar dalam kepalanya tiap kali dia akan menjalankan rutinitasnya belakangan ini. Dan jawabannya selalu saja sama. Belum ada.

Mungkinkah ada jawaban lain hari ini? Dia tidak berani berharap, tapi juga tak mau berpasrah. Dia takkan mampu jika harus merasa kehilangan lagi. Tidak, dia belum siap untuk menghadapi semua itu.

Sebelah tangannya mengetikkan kata yang telah terekam di ingatan ototnya. Sementara yang satunya menopang kepalanya.

Membuka pesan yang berisi balasan dari ratusan pesan yang dia kirimkan ke seluruh penjuru akhir-akhir ini. satu, dua, tiga, empat, sepuluh, lima belas, dua puluh. Semuanya tetap sama.

Haruskah dia menyerah?

Kedua matanya perih setelah berhari-hari menghadapi pendar cahaya yang menyilaukan. Apakah ini saatnya dia berhenti mencari?

“Satu lagi. Kalau isinya sama, mungkin emang harus-” tidak, dia bahkan tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya.

Dia menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Berusaha membuat pikirannya jernih sebentar. Setelah dirasa cukup, dia membuka pesan terakhir yang diterimanya hari ini. dia memejamkan matanya saat pesannya sedang di proses. Memantapkan hatinya untuk menerima hal yang hingga saat ini tetap tak mau dia pasrahkan keberadaannya.

“Walau isinya nggak sesuai harapan, lu nggak boleh nyerah. Lu harus tetap bertahan!” katanya pada dirinya sendiri.

Dia membuka matanya dan mulai membaca pesan itu. Dan dia baru tahu kalau fatamorgana juga bisa terjadi di lingkungan yang bisa dibilang normal seperti ini, di dalam kamarnya yang nyaman.

“Haish! Ini nggak mungkin fatamorgana. Iya, kan? Tentu aja nggak mungkin. Atau mungkin ini ilusi?” dan sekarang kewarasannya juga dipertanyakan setelah berbicara sendiri seperti itu.

Dia menggelengkan kepalanya, mengucek matanya beberapa kali. Kemudian dia membaca pesan itu sekali lagi. Setelahnya, dia kembali mengucek matanya dan kembali membaca pesan itu. Sekedar memastikan kalau apa yang dilihatnya tidaklah fana. Kalau isi pesan itu tidaklah sama seperti yang lainnya. Kalau dia telah berhasil menemukan apa yang selama ini dicarinya setengah mati.

Bahwa masih ada cara untuk mempertahankan kebahagiaannya.


To be continue.

Posted at My House, Tangerang.

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita.
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda.
Don’t be a silent reader, please. :D