Allo, my lovely reader! Udah lama
banget kita nggak ketemu. Sebulan lebih, betul? Sekarang diriku udah selesai
UAS dan bisa kembali lagi bersama kalian! Yeeeey!
Makasih buat yang tetep setia
nunggu cerita ini, buat yang tetep like, vomment juga fan-ning. Kalian
membuatku terharu.. *lebaynya kumat*
Maaf banget ya uploadnya terlalu
lambat.. UAS baru kelar, nak.. Koneksi internet juga mendadak musuhan sama
diriku T-T
Ah, aku benci harus ngetik hal ini
berkali-kali. Tapi ini resiko mahasiswa tingkat akhir. Nggak bisa seproduktif
kemariiiiiiiin-kemariiiiiiin (jauuuuh banget kemarinnya) karena harus
ngubek-ngubek jurnal, UP dan bikin skripsi. *langsung galau tingkat nasional*
Mikirin hal itu aja udah sukses
bikin sindrom insomnia pasca-UAS-ku (please, istilah ini jangan dicari di
kamus kedokteran. Nggak akan ada di sana. percaya, ana zuzur!) makin parah.
Hhhhhhh.. Yasudahlah. Ini emang harus terjadi kan? Bayaran yang cukup pantas
buat sebuah gelar yang nantinya akan nongkrong di belakang nama saya :p
Semoga si makhluk bernama skripsi
itu bisa cepet kelar ya.. Atau minimal cerita ini yang kelar duluan sebelum aku
bener-bener tenggelam di lautan jurnal-jurnal penelitian.. Doakan saya, ya!
*kepal tangan*
With lots of ketjoep mesra dan
bantal yang tak sempat terbelai *halaaah*,
Puji Widiastuti
+++++++++++
Jalanan saat senja seperti ini
tidak akan lengkap tanpa adanya kata ramai. Resiko yang terlalu nyata untuk
dielakkan dari manusia yang hidup di daerah dengan penduduk yang padat adalah macet. Dan itulah realita yang kini
tersaji di hadapannya. Tak memandang tempat walau jalanan yang kini tengah dilalui
memiliki sebutan jalan bebas hambatan. Nyatanya tetap saja kendaraan-kendaraan
yang ada bergerak merayap.
Dia meluncur secepat yang dia bisa.
Walau pada akhirnya jarum speedometer tak pernah menyentuh angka 50km/jam.
Sementara Hamid yang duduk di sebelahnya masih sibuk memandangi makhluk persegi
yang ada di tangannya. Tak henti mengamati titik-titik yang terus bergerak dan
berkedip.
“Perempatan depan, kita belok
kanan.”
“Forbidden.”
“Hah? Oh, sorry. Maksud gue depannya lagi.”
Oke, untuk orang yang telah
menghabiskan lebih dari setengah waktu hidupnya di jalanan kota Jakarta dan
sekitarnya, kesalahan seperti itu akan nampak aneh. Tapi mengertilah, itu bukan
dikarenakan Hamid yang menderita amnesia mendadak atau kepikunan dini yang akut.
Ini semua karena terlalu banyak yang dia pikirkan saat ini hingga
konsentrasinya buyar.
Saat tiba di jalan tol yang
mengarah ke luar kota, Nino mulai menekan pedal gas sedalam yang dia bisa. Tak
peduli seberapa ramainya jalanan yang ada di hadapannya. Mungkin dia juga sudah
menulikan telinganya hingga tak mendengar puluhan klakson tanda protes dari
pengendara lainnya. Bahkan dia juga tak berniat –atau menahan diri- untuk
mengintip apa yang sejak tadi tak henti memenjarakan pandangan Hamid.
“Ini.. Tebing damai?” Nino pada
akhirnya menyerah untuk tetap melihat ke depan dan melirik ke arah tablet milik
Hamid. Terlihat titik-titik merah yang berpijar dan terus berpindah dalam
kecepatan yang tak bisa dibilang rendah.
Pikirannya mulai membayangkan
sesuatu yang benar-benar tidak dia sukai. Dan tubuhnya bereaksi lebih cepat
dari yang dia bayangkan sebelumnya. Karena dia makin menggila mengendarai
mobilnya. Seperti hendak menyaingi kecepatan kedipan titik-titik merah di
tablet Hamid.
“No! Nggak pake acara terlalu
ngebut juga kayak begini!” tapi Nino tak mengindahkan teriakan Hamid. Matanya
tetap menatap jalanan di hadapannya lengkap dengan mobil yang bertebaran dengan
nyalang.
Ini membuat Hamid mengerti darimana
datangnya kebiasaan ngebut Rio jika bukan dari kakaknya ini. Dan dia juga
berani bertaruh kalau Nino dan Rio juga
menurunkan kemampuan kebut-kebutan seperti ini pada Riri.
“For the God’s sake! Kalau kita kecelakaan gara-gara cara nyetir lu
yang kayak gini, kita nggak akan bisa ngejemput Riri buat balik lagi ke rumah
sakit!” Nino tetap tak menjawab. Malah membuat jarum speedometer melampaui
titik 140km/jam.
“Harusnya tadi gue aja yang nyetir!”
gerutu Hamid sambil mengencangkan sabuk pengamannya. Lalu dia hanya diam. Tak
mau lagi melihat kelebatan mobil yang membuat pusing. Tak mau juga mengomentari
cara mengemudi Nino yang lebih menyerupai orang gila. Karena pada akhirnya
semua komentar-komentarnya akan terpental tanpa pernah mendapat kesempatan
untuk mampir ke pendengaran Nino.
Mereka tiba di tebing damai saat
keadaan telah gelap sempurna. Di kejauhan, mereka bisa melihat sorot lampu mobil
yang menyinari sesosok tubuh di tepi pagar pembatas. Riri yang tengah
merentangkan kedua tangannya.
“Riri!” Nino memekik tertahan di
dalam mobil saat melihat tubuh Rir yang menghilang dari pandangan. Tanpa
mematikan mesin, dia pergi ke bibir tebing dan langsung saja melompat menyusul
Riri yang tak tampak mengapung di laut yang ganas. Hamid lagi-lagi menjadi
pihak yang terabaikan kehadirannya di sana. Dia melihat ke bawah dan mendapati
laut yang terlalu ganas karena pasang telah tiba.
“God damn it!” rutuknya.
Dia kembali berlari dan masuk ke
dalam mobil Nino. Mengendarainya memutar, melewati jalan yang memang bisa
dilalui kendaraan hingga ke dekat pantai. Dia ingin turut serta menyelamatkan
Riri. Tapi akan sangat tidak bijaksana terjun ke laut yang keras dengan
kemampuan berenang yang tidak ada sama sekali. Bukannya membantu yang ada nanti
dia malah merepotkan. Dan untungnya pikiran Hamid masih sedikit lebih jernih
hingga bisa menahan tubuhnya bercengkrama dengan laut.
“Tiga menit. Dan mereka belum
keliatan. Tuhan! Apa harus gue ikut nyebur? Nggak! Gue nggak bisa berenang.
Terus gue harus ngapain?” dia menjejak pasir pantai berulang kali. Menciptakan
lekukan di sepanjang garis pantai yang makin lama makin mendalam.
“Tuhan.. Jangan bilang mereka..
Nggak! Nggak! God! Lu bener-bener
kejam kalau hal itu sampe beneran terjadi.” Dan silahkan merutuki kenekatan
Hamid saat ini. Karena dia mulai melangkahkan kakinya mendekati laut yang
berombak terlalu tinggi.
Saat air laut menyentuh mata
kakinya, dia melihat Nino yang terus berusaha berenang ke tepian. Dengan
langkah yang berat karena tertahan ombak, Hamid menghampiri mereka. Mengambil
alih tubuh Riri yang memucat dan dingin sempurna, meletakkannya di atas pasir
pantai yang kering.
“Ri.. Riri..” panggilnya sambil
menepuk-nepuk pipi Riri. Tak ada reaksi.
“Minggir.” Kata Nino sambil
mendorong tubuh Hamid agar tak menghalanginya. Nino segera memeriksa keadaan
Riri sekilas. Tak ada napas yang terhembus, tak ada denyut yang berdetak. Nino
telah mencoba untuk membersihkan jalan napas Riri dengan memiringkan tubuh
Riri. Tapi tak ada air yang keluar dari sana.
“Buka jalan napasnya.” Hamid segera
berpindah hingga kini dia ada di dekat kepala Riri. Dengan cepat namun tetap
hati-hati dia membuka jalan napas Riri dengan membuat kepala Riri mendongak.
Kedua tangannya yang gemetar dia
letakkan di dada Riri, berusaha membuat jantung gadis itu bekerja. Meniupkan
udara yang diharapkan bisa merangsang sistem pernapasannya. Tak ada reaksi. Dia
melakukannya lagi, dan tetap tak ada reaksi dari Riri.
“Ah! Lama!” pekik Hamid. Dengan
cekatan Hamid membawa tubuh Riri yang benar-benar pucat ke dalam mobil.
Sementara Nino sedikit tertatih karena tubuhnya yang menggigil. Giginya
bergemeletuk karena kedinginan. Tapi dia seperti tak merasakannya, atau
mengabaikan semua rasa dingin yang menggerogoti.
Hamid memacu mobil dengan cepat ke
arah rumah sakit terdekat yang ditunjukkan oleh GPS. Sementara Nino masih tetap
gigih melakukan CPR pada tubuh Riri yang tetap tak merespon apapun.
“Hang in there, Ri.. Jangan pergi kemana-mana..” ucap Nino
disela-sela pernapasan buatan yang dia berikan.
Hamid melirik spion tengah,
mengamati kedua tubuh yang sama-sama pucat. Menatapnya miris. Dalam hatinya terlantun doa paling tulus yang
pernah dia ucapkan pada Tuhan. Memohon dengan teramat sangat agar kali ini
semuanya berjalan sesuai kehendak hatinya.
***********
“Hoi,
bangun, Hoi..Mau sampe kapan lu tidur di sini?” Nyamannya.. Benar, rasanya
nyaman sekali.
“Perlukah
lu gue panggil adik yang nggak tahu diri supaya lu bangun dari tidur cantik lu
itu?”
Apa?
Apa yang baru saja kudengar? Adik tak tahu
diri?
Seketika
mataku membuka. Membuatku mengedipkan mataku beberapa kali agar semuanya jelas
terlihat, seharusnya. Tapi aku mendapati
penglihatanku yang seketika tajam. Tidak melewati tahap
pandangan-yang-membayang terlebih dahulu. Tak menyakitkan meski langsung menatap langit yang kelewat
cerah secara tiba-tiba seperti tadi. Hanya terasa nyaman karena telah melabuhkan
kepalaku dengan aman di bahu orang yang suaranya ku rindu-
Tunggu!
Aku
menoleh ke arah kiriku. Dan kaget setengah mati. Tanpa sadar aku langsung bangkit mundur beberapa langkah. Apakah
benar yang kulihat? Apa aku benar-benar sudah mati hingga bisa bertemu
dengannya lagi? Kalau ya, well,
ternyata mati itu mudah dan tidak terlalu menyiksa. Itu menurutku.
“Jah! Udah sekian lama nggak ketemu, tidur lama banget sampe
bikin bahu gue mati rasa, dan sekarang ngeliat gue kayak lagi ketemu setan.
Emang agak kurang ajar ya adik gue yang satu ini..” kesalnya sembari bangkit
mengikutiku.
“Kak
Rio? Ini beneran kak Rio?” makhluk tampan di hadapanku mengangguk antusias.
“Mario
stevano kusuma?”
“Emang
ada berapa Mario sih yang singgah di hidup lu?”
“Beneran?”
“Apa
perlu gue panggil mama sama papa buat ikut ngebuktiin di sini, Marissa
anastacia putri?”
Aku..
Aku tak bisa menahan tubuhku untuk berlari dan menubruknya. Memeluknya dengan
erat, tak memikirkan apakah dia bisa bernapas atau tidak. Aku hanya ingin
melampiaskan semua rasa rindu yang memenjara sebagian besar jiwaku.
“Hueeee!
Kak Rio… Gue kangen sama lu.. Bener-bener kangen…”
“Iya..
Iya.. Gue tahu.. Gue juga kengen sama lu..” katanya sambil melepaskan
pelukanku.
“Mama
sama papa ada di sini?”
“Ya
nggak ada lah.. Mereka lagi honeymoon yang
kesekian kalinya entah di mana.. Gue ogah ngikut mereka lagi.. Gue Cuma cengo
dikacangin tua-tua yang lagi pada kasmaran periode kedua..” jawabnya sambil
bergidik ngeri.
“Ck!
Biar mereka itu tua-tua yang lagi pada kasmaran periode kedua, mereka juga
orang tua lu, kak..” kataku sambil mencubit perutnya.
“Iya..
Iya.. Gue seneng kok ngeliat mereka seneng begitu.. Walau kadang gue bete
gara-gara di kacangin mulu sih..”
“Kasiaan..
Sini sini.. Gue temenin biar nggak dikacangin..” kataku sambil menepuk
kepalanya pelan. Dan dia memandangku dengan sorot mata yang cukup tajam. Eh? Apakah aku telah berlaku terlalu tidak sopan padanya?
“Nggak.
Gue nggak butuh ditemenin sama lu.”
Apa?
Apa katanya?
“Gue
nggak perlu ditemenin sama adik nggak tahu diri kayak lu.” Napasku
tercekat. Sebelah tanganku sontak mencengkram dadaku. Tak ada detak yang
terasa, hanya kesakitan yang menyesakkan. Tuhan! Kukira kematian akan menghilangkan semua rasa sakit di hatiku. Tapi kenapa
sekarang hatiku masih saja sakit?
“Kak..”
“Gue
nggak butuh adik yang bikin kakak, ayah dan ibu gue sedih sampe sebegitunya..
Gue juga nggak butuh adik yang bisa bikin honeymoon
mama sama papa rusak kalau mereka tahu apa yang terjadi sebenernya..”
“Tuhan..
Kak-“
“Kenapa
lu sampe sebegitu bodohnya, hah? Kenapa lu nggak ngehargain kehidupan yang udah
diberikan sama Tuhan?” aku tak mampu menjawab pertanyaan kak Rio yang keluar
dengan nada membentak seperti itu.
“
Gue
pergi, dan lu jadi begini. Gue nyumbangin sumsum tulang gue supaya lu bisa
tetap tegar dan hidup buat membahagiakan orang-orang yang gue sayang. Tapi
nyatanya lu malah ngikutin gue ke sini. Atas keinginan lu sendiri pula! Lu tahu? Gue ngerasa kecewa sama lu. Itu bikin
gue ngerasa sedikit menyesal!”
“Jadi
lu nyesel udah nyumbangin semua itu ke gue? Jadi itu maksud dari perkataan lu
sebelumnya? Adik yang nggak tahu diri? Lu nggak tahu gimana hidup gue, kak. Lu
nggak tahu.” Tak kusangka di dimensi lain sekalipun kesakitan akan tetap
mengikutiku. Ini membuatku benar-benar kecewa. Lalu aku harus kemana agar semua
rasa sakit ini tak bisa lagi memelukku?
“Hah!
Tentu aja gue tahu hidup lu. Lu pikir setelah gue pergi dari hidup kalian, gue bisa seneng-seneng gitu aja di sini? Nggak! Gue masih tetep
tersiksa di sini! Gue masih nggak bisa tenang karena lu yang belum bisa
ngerelain kepergian gue! Dan jangan pernah berpikiran sepicik itu ke gue! Gue
bukan nyesel nyumbangin itu semu ke lu. Gue Cuma nyesel karena sempat berpikir
LU AKAN TETAP KUAT SETELAH GUE PERGI!”
mataku terbelalak. Bisa kulihat wajah kak Rio yang memerah. Napasnya terengah,
seperti habis berlari jauh.
“Gue
tahu semua hal yang terjadi dalam hidup lu.. Gue tahu semua hal tentang Alex..
Gue tahu lu kena LLA lagi.. Gue tahu
lu cinta sama Fred.. Gue tahu tentang lu yang nggak bisa ngedapeti Fred.. Gue
tahu..” suaranya melembut setelah beberapa saat tadi berdiam diri untuk
mengatur napasnya.
Kepalaku
tertunduk. Mengingat alasanku untuk mempersingkat hidupku lebih cepat lagi.
“Gue
tahu lu sakit.. Sakit banget.. Tapi mati bukan solusi yang terbaik..” suaranya makin
melembut di telingaku. Jemarinya melingkar di kedua
lenganku.
“Bunuh
diri Cuma berlaku buat orang yang nggak punya nyali, yang hatinya lemah.. Bunuh
diri Cuma akan menyiksa semua orang yang lu sayang.. Lebih menyiksa daripada
kematian yang telah direncanakan Tuhan, Ri..”
“Tapi
cepat atau lambat gue pasti akan datang ke sini, kak..”
“Jangan
pernah berani menebak-nebak takdir, Ri..”
“Gue
capek.. Gue capek sakit terus..” sebelah tangannya mengangkat daguku.
Membuat kedua manik kami beradu. Dan aku melihat kasih yang begitu besar di
dalam sorot maniknya.
“Lelah
tersakiti nggak bisa jadi alasan buat melakukan hal konyol seperti ini.. Kalau
lu lelah, lu tinggal berpaling
kearah manapun yang lu mau.. Di sana, pasti akan ada orang yang siap memanggul beban lu itu.. Lu nggak hidup sendiri, Ri.. Ada keluarga
kita.. Ada sahabat-sahabat kita.. Bahkan ada sahabat baru lu yang dengan senang
hati meluluhkan semua permintaan lu dari yang konyol sampai yang bener.. Siapa
itu namanya? Kamal?”
“Kamil,
kak..”
“Iya,
itu.. Sekarang dengerin gue.. Rasa sakit akan tetap mempengaruhi hidup lu
selama hati lu mengijinkannya.. Ikhlas dan sabar adalah kuncinya.. Berdamai
dengan perasaan lu adalah jawaban dari rasa sakit lu.. Cinta adalah obat yang
bisa menyembuhkan semua luka di jiwa lu..
Dan kebahagiaan dari orang-orang yang lu sayang adalah oksigen yang bisa
membuat lu hidup..” aku masih mencerna kata-katanya. Menilik tiap pesan yang
dia sampaikan padaku.
“Lu nggak bisa mendapatkan Fred,
jangan kecewa dengan hal itu.. Yang penting dia bahagia.. Bukannya kebahagiaan
orang yang kita cintai adalah satu hal yang utama? Dan dengan lu bersikap
seperti ini, lu udah menghancurkan kebahagiaan dari orang-orang yang lu sayang..”
Dia menarik tanganku menuju sebuah
benda. Aku tak tahu benda apa itu. Tapi begitu kak Rio meletakkan telapak
tangannya di atas benda itu, seberkas cahaya keluar dari sana. membentuk
gambaran yang membuatku terpaku.
“Lu lihat itu? Ayah sama Ibu sampai
rela nginep di bandara buat ngedapetin tiket balik ke Indonesia secepat
mungkin.. Rela nunggu badai reda supaya nggak ketinggalan pesawat.. Itu semua
Cuma didasarkan sama firasat ibu yang nggak enak..”
Kemudian gambar berganti. Terlihat
lelaki yang juga aku sayangi duduk terdiam dengan pandangan yang kosong. Terlihat
pakaiannya yang tak bisa dibilang kering, wajah pucat dan sayu. Tubuhnya tetap bergetar
meski telah ditutupi selimut yang kering. Lelaki di sebelahnya pun tak berbeda
jauh. Hanya saja tubuhnya tetap kering.
Lalu aku melihat lelaki berbaju
basah itu melangkah kedepan. Mendekati ranjang rawat. Menggenggam sesuatu berwarna pucat yang di
susupi jarum infus. Menciuminya dengan lembut dan penuh keputus asaan. Dengan
kesedihan yang membuncah. Itu.. tangan? Milik siapa?
Manik lelaki itu diselimuti kepedihan
yang membuatku sakit, berembun kemudian hujan. Tak bersuara, hanya senyap. Tapi
aku bisa merasakan kepedihan yang tercurah dari tiap bulir hujan miliknya yang
tertumpah. Dan saat sudut pandangnya berubah, kaki-kakiku melemas, membuatku
jatuh berlutut.
Tubuh yang terbujur lemah tak
bergerak di atas ranjang. Nyaris tak berwarna kecuali pucat yang menyelimuti.
Banyak kabel-kabel dan selang-selang yang terhubung pada tubuh itu.
Seperti itukah tubuhku sekarang?
“Sekarang lu lihat itu. Gue nggak
pernah ngeliat kak Nino nangis. Bahkan waktu gue mati pun dia nggak nangis. Ibu
punya ayah buat tempat bersandar saat gue pergi. Dia, kak Nino, menyediakan
bahunya buat jadi tempat lu bersandar. Biar lu nggak tumbang. Karena lu juga,
dia bisa tegar. Tapi saat dia ngeliat lu yang nyerah begini, apa lagi yang bisa
jadi alasan dia buat tetep tegar? Mungkin dia bisa jadi tegar buat ayah dan
ibu. Tapi rasa kehilangan itu akan menyiksanya beratus-ratus kali lipat, Ri..
Dia udah kehilangan gue. Sekarang lu tega bikin dia kehilangan adik lagi? Ck,
hebat benget deh adik gue yang satu ini..”
Tuhan.. Sejak kapan aku berubah
jadi makhluk yang senang mematahkan sayap para malaikat di hadapanku? Sejak
kapan aku buta hingga seperti ini? Sejak kapan aku berubah jadi orang yang suka
menyakiti hingga seperti ini?
“Harusnya orang yang memiliki darah Benjamin
dan Liliana itu kuat.. Liliana sendiri buktinya. Dia tetap berusaha bertahan
meski harapan udah sirna. Lu harusnya tahu itu, mengingat lu hidup lebih lama
sama dia..”
“Berdamai dengan perasaan? Gue
bahkan nggak bisa ngendaliin perasaan gue sendiri, kak..” kataku lirih.
Kurasakan kak Rio yang duduk di sebelahku.
“Gue nggak pernah meminta lu buat mengendalikan
perasaan lu, Ri.. Tapi berdamai dengan makluk itu.. Sekali lu tahu caranya, lu
akan bisa mengatasi semua rasa sakit yang ditimbulkannya..”
Gambar di hadapanku mulai meredup.
Kemudian hilang tak berbekas. Senasib dengan benda yang membuat bayangan itu
muncul.
Kak Rio menggendongku di depan
dadanya. Membuatku leluasa menyembunyikan wajahku di lekukan lehernya seperti
biasa. Lalu dia mulai melangkah entah
kemana. Aku tak mau memikirkannya. Hatiku masih terselimuti oleh rasa bersalah
yang sedemikian hebatnya. Bisa-bisanya aku menyakiti hati orang yang kusayangi
seperti itu.
“Biar begini dulu, kak.. Please..” pintaku saat dia hendak
melepaskan rangkulanku di tubuhnya. Kak Rio mengabulkannya. Menambahkan pelukan
saat telah berhasil mendudukkan tubuhnya dengan aku yang masih ada di atas
pangkuannya.
“Apa gue masih punya kesempatan
buat menebus semua rasa sakit yang pernah gue berkan buat mereka semua? Apa gue
masih bisa membahagiakan mereka? Apa gue masih bisa memiliki kesempatan kedua?”
lirihku, masih dengan wajah yang tetap menyelusup di lekukan leher kak Rio yang
menyamankan hati.
“Tentu aja masih..”
“Tapi gue udah ada di sini.. Gue
nggak akan bisa balik lagi-“
“Justru karena lu masih ada di sini
makanya lu masih bisa mewujudkan semuanya.. Waktu lu di dunia belum habis, Ri..
Dan Tuhan memiliki harga diri yang terlalu tinggi sampai menolak semua umatnya
yang kembali sebelum waktunya.. Dia tidak mau memiliki hutang waktu walau
secuilpun pada umat-umatnya..”
“Jadi gue masih bisa hidup lagi?”
“Emang siapa yang bilang lu udah
mati?”
Aku mendesah panjang. Ini membuatku
sedih sekaligus lega. Sedih karena harus berpisah lagi dengan kak Rio. Lega
karena aku masih memiliki kesempatan untuk hidup dan membahagiakan orang-orang
yang kusayangi. Meski aku sangsi waktuku akan lama. Setidaknya aku bisa
memberikan sedikit lagi kebahagiaan untuk mereka semua.
Ah, aku harus bersyukur karena bisa
bertemu dengan kak Rio lagi. Itu bisa membebaskan sedikit rasa yang hampir mati
karena terbelit rindu. Terima kasih, Tuhan..
“Kak.. Makasih..” kataku sambil
menatap wajahnya yang selalu rupawan.
“Buat?”
“Semuanya.. Karena udah memberikan
gue tempat bernaung setelah mama dan papa pergi.. Buat memberikan kehidupan
yang berwarna selama lu hidup, bahkan setelah kematian lu yang terlalu cepat
itu.. Buat semua kasih sayang dan perlindungan yang udah lu kasih ke gue selama
ini.. Buat kehidupan kedua yang lu tukarkan dengan nyawa lu sendiri..
Makasih..”
“Riri..”
“Dan gue mau minta maaf.. Karena
gue, lu harus mati muda..”
“Ri.. Itu semua bukan salah lu..
Jadi berhenti meminta maaf.. Magian mati
muda itu nggak terlalu buruk kok.. Emang sih rasanya kesel mati sebelum bisa
ngerasain yang namanya menikah.. But
that’s allright.. Setidaknya gue akan selalu dikenang dengan wajah sempurna
yang awet muda tanpa pernah mengalami penuaan..” aku tertawa kecil. Kakakku yang satu ini memang selalu saja bisa
membuat suasana hatiku membaik dengan cepat. Baiklah, aku akan mengingat
wajahnya yang belum sedikitpun tersentuh tanda-tanda penuaan. Yang tetap tampan
senantiasa.
Tapi kemudian aku melihatnya
memudar. Seperti di selimuti kain putih tipis. Apa yang terjadi?
“Kak.. Lu-“
“Sepertinya lu udah bisa merelakan
kepergian gue, Ri..”
Apa harus secepat ini?
“Gue rasa waktu kita udah habis..”
dia membantuku berdiri.
“Gue seneng bisa ngobrol sama lu
lagi, kak..”
“Gue juga.. Gue akan terus
ngedampingin lu sampai gue ngerasa lu cukup kuat buat berjalan sendirian.. Gue
akan terus ngejagain lu, sebisa mungkin nolong lu kayak waktu itu pas di toilet
kampus..” katanya sambil mengedipkan sebelah matanya.
“Gue percaya lu selalu ada di
samping gue buat ngejagain gue.. Tapi jangan ngikutin gue kalau gue mau mandi
ya.. Jangan suka ngintip! Nanti bintitan segede bola basket matanya..” dia
tersenyum. Dan aku masih gadis kecilnya yang sejak dulu tak bisa menahan diri
untuk ikut tersenyum saat melihatnya seperti itu.
“I’m gonna miss you, my lovely sister..” dia memelukku erat.
Benar-benar erat. Membuat wajahku tenggelam dalam dadanya yang benar-benar
hangat.
“I love you, kak..”
“Love you, too..” sesuatu yang hangat mengalir di wajahku. Aku tahu
itu air mataku. Tapi aku enggan menghapusnya dengan tanganku. Masih ingin
meresapi kehangatan yang diberikan kak Rio untukku.
“Jangan sedih lagi, Ri..”
Aku membuka mataku, dan hanya putih
yang nampak di hadapanku. Sejenak jantungku terasa berdegup kencang. Aku
sendirian lagi. Kemudian kurasakan dingin menangkup wajahku. Perlahan semuanya
meredup. Menyisakan piksel-piksel yang kabur. Menghadirkan sekelebat gambaran buram
yang telah aku kenal lama.
“Riri..”
**********
“Cuma ini yang bisa gue temuin di
mobil Riri.” aku menoleh ke sebelahku. Mendapati Hamid yang telah meletakkan
selimut tipis di atas tubuhku yang masih
sedikit basah setelah berenang di laut lepas. “Tadi Cheetah sama Shark
yang bawa mobilnya Riri ke sini. Sekarang mereka udah balik lagi buat kerja.”
Terserah. Aku merasa tak perlu mempedulikan hal itu.
“Kopi panas?” aku menggeleng.
“Ayolah, No.. Lu harus bikin badan
lu sedikit hangat.. Jangan sampe lu kena hipotermia.. Badan lu menggigil dari
tadi dan sampe sekarang belum berhenti juga, No.. Gue tahu lu nggak ganti baju
lu yang basah kuyup tadi karena nggak ada baju kering, tapi bukan berarti lu
menolak sesuatu buat bikin badan lu sedikit hangat, kan?”
Benarkah? Aku bahkan tidak bisa
merasakan hal itu. Jika benar, mungkin suara-suara mengganggu yang selama ini
kudengar bukan berasal dari AC yang bertiup setengah hati. Tapi berasal dari
gigi-gigiku yang tak henti bergemeletuk. Entahlah. Aku tak bisa memikirkan hal
lain saat ini. Tubuhku sepertinya mati rasa. Bahkan saat Hamid membuat kedua
tanganku menggenggam gelas kopi yang masih mengepul, aku tak bisa merasakan
apa-apa.
Aku meletakkan gelas kopi itu ke
lantai dekat kakiku. Kemudian mulai melangkah ke arah ranjang rawat yang sedari
tadi terus menarik perhatianku. Sakit. Sesak. Saat aku melihatnya seperti itu.
Kulitnya yang memang pada dasarnya telah berubah kembali serupa porselen, kini
terlihat makin pucat. Tak ada rona yang biasa menghiasi kulitnya.
Aku meraih sebelah tangannya yang
selamat dari susupan kabel-kabel pesakitan. Mengecup punggung tangannya
perlahan.
Apa dunia sudah berlaku terlalu
kejam padanya? Apa dia benar-benar merasa tersakiti oleh takdir? Apakah tak ada
yang bisa aku lakukan untuk mengurangi semua rasa sakit itu? Apa aku ini kakak
yang benar-benar tidak berguna karena tidak bisa menjaganya?
Apapun. Apapun akan aku lakukan
untuk mengurangi rasa sakitnya walau sedikit.
Sebelah tanganku masih menggenggam
tangan Riri, membawanya dan menyandarkannya di pipiku. Sebelah tanganku yang
lain kugunakan untuk mengusap kepalanya. Berusaha merapikan surai hitam yang
terlihat begitu semerawut di atas bantal. Menyisirkan seadanya memakai kelima jariku. Menyusunnya helai demi helai.
Tak mengindahkan genggamanku yang sedari tadi telah basah oleh air mataku.
Pandanganku terganggu. Segerombolan
berkas cahaya mengganggu penglihatanku. Saat aku menengok asal segala macam
cahaya yang menerobos masuk, hatiku mencelos.
“Sunrise.. Kamu nggak mau ngeliat sunrise, Ri?” tetap tak ada respon. “Mataharinya cantik lho, Ri..”
dan dia tetap diam dalam tidurnya yang lelap.
“Bangun, Ri..” lirihku begitu
memelas. Berharap Riri akan tergugah dengan suaraku yang begitu menyedihkan.
Tapi dia tak juga terbangun. Membuat isak tangis yang sejak tadi malam belum
mereda semakin berani menampakkan wujudnya.
“Nino..” aku menoleh demi mendapati
pandanganku yang kemudian menggelap. Merasakan sebuah pelukan erat yang membuat
tangisku semakin kencang.
“Maafin Nino, Bu.. Riri.. Riri..”
aku tak bisa menyelesaikan kalimatku.
“Ssshh.. Riri pasti baik-baik
aja..”
Aku juga berharap dia akan
baik-baik saja. Tapi tidak setelah aku mengingat semua hal tentangnya. Dan
semua itu membuat tangisku tak bisa berhenti berderai.
Ibu melepaskan pelukannya, begitu
juga aku. Lalu ibu berjalan ke arah ayah yang ada di dekat pintu kamar bersama
Hamid. Aku kembali menatap wajah Riri yang meski telah tersorot matahari tetap
saja tak bersinar seperti biasa. Tapi kemudian aku melihat sesuatu yang
memantulkan sinar mentari. Sesuatu yang menggantung di tepi ceruk matanya.
Apa dia menangis karena aku
menangisinya? Atau karena hatinya yang sakit setelah berhadapan dengan
kenyataan hidupnya? Aku tak tahu. Yang aku tahu, tanganku bergerak begitu saja
untuk menghapus bulir itu.
“Jangan sedih lagi, Ri..” bisikku.
Kemudian kulihat matanya
menggeletar dan terbuka perlahan. Matanya masih belum fokus. Ku tangkup
wajahnya. Memberikan kabar kehadiranku yang ada di sisinya saat ini. Dia
menoleh kearahku. Matanya fokus dengan amat perlahan.
“Riri..” panggilku.
“-O.. Hhhh.. Kak Nino..” suaranya
begitu pelan menyapu pendengaranku. Membuahkan perasaan lega berlipat-lipat
yang mengisi seluruh rongga dadaku. Membuatku seketika berdiri dan membalikkan
badan. Berjalan ke arah ayah dan ibu. Ingin memberitahukan Riri yang telah
bangun dari tidurnya.
Tak peduli sensansi melayang saat
kakiku melangkah. Tak peduli rasa kaku yang menghinggapi tubuhku. Tak
mempermasalahkan juga pandanganku yang buram. Tak peduli juga pada rasa sakit
di kakiku setelah menabrak kaki ranjang rawat.
Pada akhirnya, aku harus peduli
juga pada kegelapan yang datang menyelimuti. Mencabut semua kemampuan indraku
untuk berinterakasi.
**********
“Gimana keadaannya Nino?” tanya
ibu.
“Dia Cuma shock sama kurang
istirahat.. Soalnya sejak kemarin-kemarin dia sibuk nanganin pasiennya di rumah
sakit.. Bentar lagi juga sadar dia..” jawab Hamid. Dan entah karena memang jago
menebak atau memang bisa melihat masa depan, Nino siuman beberapa saat setelah
Hamid berbicara seperti itu.
“Tuh, kan bener dia langsung
bangun..”
“Mau minum, No?” tawar ibu sambil
menyorongkan segelas teh manis hangat ke hadapan Nino. Setelah Nino menyeruput
sedikit, dia kembali meletakkan gelas itu di meja kecil dekat sofa tempat Nino
berbaring sekarang, di seberang ranjang rawat Riri.
“Bisa jelasin apa yang sebenernya
terjadi di sini, Mid, No?” pinta ayah.
“Riri sakit lagi.” ucap Riri yang
sejak tadi hanya diam memperhatikan mereka yang tengah berkerumun di sekitar
Nino. Sontak semuanya mengalihkan pandangannya ke arah Riri.
“Riri nggak mau ikut kemo karena
harapannya terlalu tipis..” sambungnya sambil menundukkan wajahnya. Membuat
tubuh ibu bergetar. Sementara para pria hanya bisa menatap Riri dengan
pandangan prihatin.
“Waktu Riri udah makin pendek..
Makanya Riri mau minta maaf dari sekarang.. Maaf kalau Riri sering banget bikin
kalian khawatir.. Sering banget bikin kalian sedih.. Sering banget bikin kalian
repot..” samar-samar Riri bisa mendengar isak tangis tertahan yang keluar dari
mulut ibu.
“Karena itu juga Riri mau minta
beberapa hal sama kalian..” Riri menarik napas dalam-dalam dan menegakkan
wajahnya.
“Riri harap kita semua bisa nyimpen
hal ini rapat-rapat.. Riri nggak mau ada terlalu banyak pihak yang tahu tentang
hal ini.. Bisa?” keempat manusia yang ada di sana mengangguk perlahan.
“Ehmm, satu lagi.. Boleh kita
liburan bareng ke banyak tempat yang ingin Riri kunjungin dari dulu? Ngabisin
banyak waktu buat bersantai.. Barengan.. Semuanya.. Riri kangen ngabisin banyak
waktu sama ayah, ibu, kak Nino dan kak Hamid.. Minimal kita bisa barbeque-an di
halaman belakang, nganterin Lucky nyalon, atau sekedar jalan-jalan di taman
kota.. Boleh?” ibu mengangguk dengan wajah yang dihiasi air mata. Maju dengan
cepat dan meraup Riri dalam pelukannya.
“Nggak ada yang perlu di maafin,
Ri.. Malah harusnya kami yang bilang makasih ke kamu karena kamu udah datang ke
kehidupan kami semua.. Dan tentang permintaan kamu itu, tentu aja boleh.. Kamu
mau kemana? Kita akan pergi ke sana.. Nanti ibu sama ayah yang ngurus segala
macem perlengkapannya.. Ya, sayang?”
“Benar itu, pokoknya kamu tinggal
terima beres.. Cukup bersikap manis aja kayak putri keraton..” sahut ayah yang
juga telah memeluk Riri dan ibu sekaligus.
“Tapi ada satu yang akan kakak
tetap lakukan, Ri.. Kakak nggak akan nyerah untuk terus nyari pengobatan buat
kamu.. Kakak nggak akan berhenti untuk yang satu itu..” ucap Nino yang perlahan
bangkit dari sofa. Berjalan perlahan ke arah Riri. Ikut memeluknya, bersama.
“Lu ngapain masih berdiri di situ?
Sini ikutan.. Masa Teletubbies menolak berpelukan..” Hamid ikut melangkah ke
arah Riri. Dan begitu sampai di sana, dia menarik-narik pipi Riri dengan gemas.
“Adadadadah..”
Bletak!
“Woy! Adik gue tuh.. Lu kira balon
main tarik-tarik aja.. Awas ya kalo pipinya sampe melar..” kata Nino setelah
melepaskan jitakan mautnya ke atas kepala Hamid.
“Rasain! Hahaha” ejek Riri.
“Makasih kakakku yang tampan –walau tingkat kekerenannya sedikit turun setelah
pingsan setelah ngeliat Riri siuman- karena udah ngebelain Riri..”
“Ehm, kamu sebenernya niat muji apa
nggak sih, Ri?” kata Nino dengan wajah yang kalau saja ada di dunia komik,
sudah menampilkan wajah sweatdrop.
“E-hehehehehe- Adadadadahh.. Kak
Nino kenapa ikutan juga? Huwee..” pekik Riri karena kini kedua pipinya kembali
melar. Sebelah kiri ditarik oleh Hamid sedang sebelahnya di tarik Nino.
“Abis kayaknya enak aja narik-narik
pipi kamu.. Hahahaha..” Riri yang tak terima dengan hal itu mulai melancarkan
serangan balasan. Menarik hidung Nino hingga si empunya hidung megap-megap
seperti ikan mas kekurangan air. Menarik sebelah telinga Hamid hingga kepala
Hamid rebah di kasur rawat.
Sedangkan ayah dan ibu hanya bisa
menatap heran anak-anaknya. Bagaimana bisa mereka merusak suasana haru yang
indah dengan adegan tarik-menarik anggota tubuh yang terkesan brutal seperti
itu.
‘Semoga Tuhan memelihara pikiran
mereka’ batin ayah dan ibu. Tapi kemudian mereka berdua tersenyum melihat
tingkah muda-mudi di hadapannya. Setidaknya kebahagiaan itu masih bisa bertahan
di antara mereka semua.
**********
“Empat hari menjelang final. Dan
kita masih belum bisa latihan karena anak teknik sama hukum belum selesai UAS.
Dan sepertinya kita nggak bisa latihan sampai hari H. Kita nggak bisa pergi ke
final gitu aja tanpa gladi bersih, terutama setelah dua minggu lebih nggak
latihan.” Berpuluh-puluh pasang mata tetap menatap si pembicara yang ada di
hadapan mereka.
“Jadi gue harap, kalian semua
datang satu jam sebelum waktu keberangkatan kita ke tempat perlombaan. Saat
itu, kita akan gladi bersih. Sekarang gue tanya, siapa yang kostumnya belum
ada?” lima orang mahasiswa mengangkat tangannya.
“Bill, tuxedo lu ada lebih dari
satu kan?”dia bertanya pada orang yang ada di sebelahnya. Pelan, nyaris seperti
bisikan.
“Ada. Tapi buat dua orang itu harus
pake punya lu. Gue rasa ukuran mereka lebih gede. Mungkin sama kayak ukuran lu,
Fred.” Billy balas berbicara pelan.
“Gue sama Billy punya tuxedo lebih
dari satu. Yang belum punya, abis ini bisa langsung ikut kita buat fitting. Ada masalah lain?” semuanya
diam.
“Kalau nggak ada, sekian pertemuan
kali ini. jangan lupa buat dateng lebih pagi nanti. Dan buat yang belum punya
tuxedo, gue tunggu di parkiran sepuluh menit lagi.” katanya menutup acara
pertemuan.
Dia merogoh kantung celananya,
meraih ponselnya yang sedari tadi terabaikan. Dia mencari nomor di kontak, dan
menghubunginya.
“Halo? Maaf aku nggak bisa nganter
kamu. Aku harus langsung ke rumah sama yang lain buat fitting tuxedo. Nggak apa-apa kan?”
“Makasih. Kabarin kalau kamu udah sampai di
rumah.”
Saat dia memutuskan hubungan telepon. Dia terdiam
memandangi wallpaper ponselnya.
Terlihat foto gadis yang hingga saat ini tak pernah lelah untuk menumbuhkan
hatinya yang telah hancur. Dan jauh di belakangnya, di sudut yang hampir tak
terlihat, ada sosok gadis impiannya. Yang tak pernah bisa dia sisihkan
keberadaannya dari dalam benaknya.
Setitik rasa bersalah menodai
perasaannya. Merasa bersalah karena tetap saja memajang foto itu di ponselnya.
Meski dia tahu hal itu membuat semua perasaannya makin tercurah pada gadis
impiannya. Merasa bersalah karena tak mampu mengganti gambar itu dengan yang
lain.
**********
‘Apa ada perkembangan terbaru? Apa
ada yang bisa dilakukan untuk merbuah segala ham ini menjadi lebih baik?’
Itu pertanyaan yang selalu berputar
dalam kepalanya tiap kali dia akan menjalankan rutinitasnya belakangan ini. Dan
jawabannya selalu saja sama. Belum ada.
Mungkinkah ada jawaban lain hari
ini? Dia tidak berani berharap, tapi juga tak mau berpasrah. Dia takkan mampu
jika harus merasa kehilangan lagi. Tidak, dia belum siap untuk menghadapi semua
itu.
Sebelah tangannya mengetikkan kata
yang telah terekam di ingatan ototnya. Sementara yang satunya menopang
kepalanya.
Membuka pesan yang berisi balasan
dari ratusan pesan yang dia kirimkan ke seluruh penjuru akhir-akhir ini. satu,
dua, tiga, empat, sepuluh, lima belas, dua puluh. Semuanya tetap sama.
Haruskah dia menyerah?
Kedua matanya perih setelah
berhari-hari menghadapi pendar cahaya yang menyilaukan. Apakah ini saatnya dia
berhenti mencari?
“Satu lagi. Kalau isinya sama,
mungkin emang harus-” tidak, dia bahkan tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya.
Dia menarik napas dan
menghembuskannya perlahan. Berusaha membuat pikirannya jernih sebentar. Setelah
dirasa cukup, dia membuka pesan terakhir yang diterimanya hari ini. dia
memejamkan matanya saat pesannya sedang di proses. Memantapkan hatinya untuk
menerima hal yang hingga saat ini tetap tak mau dia pasrahkan keberadaannya.
“Walau isinya nggak sesuai harapan,
lu nggak boleh nyerah. Lu harus tetap bertahan!” katanya pada dirinya sendiri.
Dia membuka matanya dan mulai
membaca pesan itu. Dan dia baru tahu kalau fatamorgana juga bisa terjadi di
lingkungan yang bisa dibilang normal seperti ini, di dalam kamarnya yang
nyaman.
“Haish! Ini nggak mungkin
fatamorgana. Iya, kan? Tentu aja nggak mungkin. Atau mungkin ini ilusi?” dan
sekarang kewarasannya juga dipertanyakan setelah berbicara sendiri seperti itu.
Dia menggelengkan kepalanya,
mengucek matanya beberapa kali. Kemudian dia membaca pesan itu sekali lagi.
Setelahnya, dia kembali mengucek matanya dan kembali membaca pesan itu. Sekedar
memastikan kalau apa yang dilihatnya tidaklah fana. Kalau isi pesan itu
tidaklah sama seperti yang lainnya. Kalau dia telah berhasil menemukan apa yang
selama ini dicarinya setengah mati.
Bahwa masih ada cara untuk mempertahankan
kebahagiaannya.
To be continue.
Posted at My House, Tangerang.
Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar
menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita.
Dan saya mengharapkan kritik
konstruktif dari anda.
Don’t be a silent reader, please. :D