Rabu, 07 November 2012

Love the Ice part 35


Hawoooooo! Saya kembali!

Pada kangen nggak sama diriku ini? *teriak*

Semoga pada nggak ngelempar pandangan sinis kemari *pasang perisai* Hehehehe..
Soalnya di part sebelumnya pernah bilang mau berenti selama seminar, skripsi ya apapun itu belum selesai. Tapi nyatanya malah balik lagi bawa lanjutan cerita ini.

Awalnya aku pikir bisa hiatus dari kegiatan berimajinasi dan menulis. Dan emang bisa! Tapi Cuma tiga minggu doang. Setelah itu berasa kayak sakau *kayak pernah ngerasain sakau aja* #ketokubin3kali

Dan setelah rehat 3 minggu, aku malah mengalami yang biasa kusebut DEGRADASI PENULISAN. Dan aku nggak mau kemunduran itu jadi makin parah. Soalnya aku pernah mengalami itu. Dan hasilnya, bisa lihat sendiri di part-part awal MiOL *ngeri*

Jadi aku kembali ke sini. Howeeeeeeh! :D

Demi kepentingan bersama *halaaah* aku mau bilang lagi kalau cerita ini nggak bisa upload seteratur dulu. Yang tiap seminggu sekali pasti nongol di ‘apa yang terbaru’ di wattpad atau do notofication Fb. Sekarang nggak bisa kayak gitu lagi. T-T Maaf ya, temans.. Tapi aku harus bisa konsentrasi memisahkan emosi kuliah sama emosi nulis. Kalau nggak, nanti cerita ini malah ikutan kerasa galau masiswa semester akhir. Kan nggak oke jadinya..

Ah, udah lah cuap-cuapnya. Anak-anakku sudah minta diperhatikan dari tadi. Kalau begitu, selamat bermain-main dengan isi kepala dan anak-anakku :p

With lots of ketjoep mesra dan banyak syekali pelukan kangen,

Puji Widiastuti

++++++++++++++

“Kakak masih bisa ngeliat kalau kamu masih belum bisa mengikhlaskan kepergian Rio. Kakak juga.. Kakak tetep aja ngerasa sedih tiap nginget Rio.. Kakak tetep ngerasa ingin membunuh Sammael tiap inget kalau penyebab dari kepergian Rio adalah karena dia yang membunuhnya.. Tapi kakak tahu, itu semua nggak ada gunanya.. Rio tetap nggak akan kembali.. Kita harus bisa mengikhlaskan kepergian Rio, Ri.. Rio nggak akan tenang kalau kita terus seperti ini.. Kakak nggak mau Rio tersiksa karena keegoisan kita yang masih saja nggak bisa melepaskan dia untuk kembali kepadaNya.” Dia terdiam mendengarnya. Ayahnya kembali tersebut namanya di sini. Dan tiap kali nama itu berrkumandang, dia merasa sangat bersalah.

“Tanggung semua beban dan tanggung jawab yang sanggup kamu pikul, yang sepantasnya kamu pikul.. Sisanya, biarkan kami yang memikulnya.. Jangan biarkan kamu lelah dan akhirnya menyerah dengan kehidupan karena menanggung semua itu sendirian..”

“Jangan biarkan semua itu merenggut semua kebahagiaan kamu, Ri.. Karena bagi kami, kebahagiaanmulah yang terpenting.. Kebahagiaan dari milik kami yang paling berharga.. Semuanya jadi bener-bener nggak berarti kalau kamu nggak bahagia, Ri..  Katakan  semua sumber kebahagiaan kamu, dan kakak akan mati-matian menjaga supaya sumber kebahagiaan kamu tetap hidup.. Kakak mungkin lalai menjaga sumber kebahagiaanmu yang telah lalu, Rio. Tapi kali ini akan berbeda. Apapun akan kakak lakuin supaya kamu tetep bisa berbahagia.. Apapun.. Walau kebahagiaan kamu harus kakak bayar sama nyawa kakak sekalipun..”

Alex meremas kenop pintu dalam genggamannya. Ayahnya telah merenggut kebahagiaan gadisnya. Menimbulkan luka yang hingga saat ini masih terbuka lebar dan berdarah-darah. Lalu sekali lagi ragu menguat dalam dadanya. Apakah dia masih pantas untuk mendampingi gadis itu?

Love the Ice part 35

“Lu kemana tadi?” tanyanya pada gadis yang kini ada di depannya. Perasaan bersalah yang tak jelas darimana datangnya menahannya untuk langsung berkendara ke rumah. Dan disinilah dia. Di hadapan gadis yang sedari tadi terus mengusik pikirannya.

“Aku pusing. Kecapean kayaknya.. Jadi aku pulang aja duluan..”

“Beneran?” gadis itu mengangguk menjawab pertanyaannya.

“Gimana keadaan Riri?” Dia hanya bisa mengangkat bahunya. Memang belum mengetahui bagaimana keadaan Riri setelah Riri dibawa pulang oleh Nino. Gadisnya menghembuskan napas panjang yang berat. Membuatnya kembali mengalihkan pandangannya pada gadis yang ada di hadapannya.

“Bolehkah aku merasa cemburu saat ini? Melihat Riri yang masih saja mendapat perhatian dari kakak?”

“Nggak.”

“Kenapa?”

“Karena biar bagaimanapun gue ngenal dia lebih dulu daripada lu, gue nggak bisa begitu aja membuang semua rasa peduli gue buat dia. Dan keadaannya bener-bener mendesak tadi. Jatuh di tangga panggung yang tiap sikunya tajam itu cukup berbahaya. Dan Alex nggak ada di sana buat nolongin dia karena sibuk sama kolega Riri yang ngasih sumbangan.”

“Tapi kakak pernah janji-“

“Ini bukan suatu hal yang bisa melanggar janji yang pernah gue ucapkan. Tenang aja, gue bukan cowok yang suka mengingkari janjinya.” Gadis itu tersenyum simpul mendengar penuturannya. Sebuah senyum yang terlihat tidak menyenangkan di matanya.

“Sekarang lu masuk, istirahat. Jangan sampe bener-bener sakit.” Katanya sambil menangkup kedua pipi gadis yang ada di hadapannya. Menghadiahkan sebuah kecupan kilat di dahi gadis itu. Membuahkan rona merah di pipi halus yang hingga beberapa saat lalu ada dalam tangkupannya.

Sesaat setelah gadis itu menghilang dari pandangannya, dia merasakan sesuatu yang salah berontak dalam dadanya. Merasa menjadi manusia yang benar-benar menjijikan karena telah memberikan harapan yang dia sendiri pun tak tahu bisa diwujudkan atau tidak pada gadis manis itu. Dalam hati dia benar-benar mengutuk hatinya, mengutuk dirinya yang benar-benar tak bisa dia kendalikan rasanya. Kemudian beralih mengutuk keputusannya yang akan menyakiti perasaan gadis itu jika harapan yang dia suguhkan benar-benar tidak bisa terwujud.

**********

Hari-hari setelah penyelenggaraan konser amal tempo hari berlari terlalu cepat. Rasanya baru saja kemarin konser amal yang berjalan cukup sukses itu terlaksana, sekarang anggota UKM orchestra sudah harus bersiap untuk menghadapi final Apollo’s Orchestra dua bulan lagi. Mereka mulai banyak berlatih. Ingin benar-benar menampilkan sesuatu yang maksimal, sempurna, tanpa cela. Berusaha untuk keluar sebagai juaranya.

Permainan mereka masih belum bisa dikatakan baik. Ini semua dikarenakan perubahan yang terjadi pada tempo ‘Farewell’ yang akan mereka bawakan. Perubahan ini terjadi setelah mereka menghapal tempo yang selama ini mereka mainkan.

Dan karena hal itu Riri juga Billy harus rela memainkan lagu itu berkali-kali guna memberitahukan tempo yang benar pada anggota UKM orchestra lainnya. Kali ini mereka berdua tengah memainkan ‘Farewell’ untuk yang keempat kalinya. Dalam hati mereka berharap tidak ada permainan untuk yanng kelima kalinya. Tapi sepertinya hal itu hanya akan jadi harapan semata. Karena dari tampang-tampang yang terpasang di wajah anggota UKM orchestra, masih menampilkan ketidakmampuan untuk menangkap tempo yang seharusnya mereka mainkan.

“Adzan Ashar. Rehat enam puluh menit!” teriak Alex. Menghentikan permainan Riri dan Billy yang sejak tadi masih saja melatunkan ‘farewell’ dengan tempo yang baru.  Membuat Riri menghembuskan napas lega.

 “Nih, minum dulu..” kata Alex sembari menyodorkan sebotol air mineral untuk Riri. dalam beberapa detik saja air yang ada di dalam botol itu menghilang setengahnya. Berpindah ke tubuh Riri yang sedari tadi terus saja mengeluarkan keringat.

“Kamu kok keringetan terus? Emang panas ya?” tanya Alex.

“Nggak tahu, kak.. Mungkin cape abis latihan kali ya.. Kan main musik itu juga cukup menguras energi, jadi bikin aku keringetan terus..” jawab Riri asal. “Aku keluar dulu ya..”

Tanpa menunggu persetujuan Alex, Riri pergi keluar dari gedung serbaguna itu. Berjalan ke arah belakang gedung. Dia merogoh kantung celananya. Mengeluarkan sebuah kunci yang akan dia pergunakan untuk membuka pintu yang kini ada di hadapannya.

Setelah ada di balik pintu itu, dia menguncinya dan terjatuh begitu saja. Tak mampu mempertahankan tubuhnya untuk tetap berdiri tegak. Rasa sakit yang sedari tadi dia terus coba tahan telah mengalahkan raganya. Rasa sakit yang terus saja menggigiti tiap inchi tubuhnya, membuatnya tersiksa karena harus menyembunyikan rasa sakit itu agar tak diketahui oleh orang lain.

Dia tak ingin menggerakkan tubuhnya. Terlalu sakit walau hanya untuk sedikit bergeser dari tempatnya saat ini. Terlalu lemah walau hanya untuk sekedar mengambil napas. Kepalanya serasa dihantam godam. Membuat pandangannya berputar dan berkunang-kunang. Membuatnya menutup mata. Merelakan kesadarannya yang tercabut paksa.

**********

“Riri mana?” tanya Billy.

“Entahlah. Dia tadi Cuma pamit keluar. Tapi pas gue hubungin, nggak ada jawaban.” Jawab Alex sambil terus mencoba untuk menghubungi Riri melalui ponselnya.

“Menurut gue, lu nggak akan bisa ngehubungin dia selama kotak saxophonenya ada di sini. Dia selalu nyimpen ponselnya di kotak itu kalau lagi latihan.” Celetuk Fred yang tiba-tiba saja sudah ada di samping Alex.

Alex sedikit tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Fred. Dia bergerak untuk membuktikan pernyataan yang baru saja didengarnya. Dan perkataan Fred barusan benar sekali. Terlihat ponsel Riri yang masih saja berkedip-kedip menandakan ada panggilan masuk yang berasal dari Alex.

Alex sedikit merutuk. Kenapa dia tidak mengetahui kebiasaan Riri yang satu ini? Kenapa harus orang lain yang mengetahui hal ini? Padahal dialah kekasih Riri yang sebenarnya. Lalu kenapa Fred yang lebih mengetahui kebiasaan-kebiasaan Riri? Membuatnya merasa seperti bukan siapa-siapanya Riri saja.

“Mungkin dia sekarang lagi ketemu klien. Udah, kita lanjut latihan aja. Bentar lagi sore.” Kata Billy yang disambut oleh anggukan kepala Fred.

Sementara yang lain mulai berlatih untuk memainkan lagu dengan tempo yang tepat, Alex masih saja tak bisa memindahkan fokus pikirannya dari Riri. Pikirannya buyar.

‘Kamu kemana, Ri?’ tanya Alex dalam hati.

Hingga saat latihan selesai pun Riri masih belum muncul juga di gedung serbaguna. Membuat Alex merasa cemas juga makin bertanya-tanya. Apa Riri baik-baik saja? Apa benar dia sekarang tengah pergi menemui klien?

Bahkan hingga latihan selesai lima menit yang lalu, Riri belum juga nampak batang hidungnya. Membuat Alex berpikir apakah tempat bertemu kliennya jauh, atau sedang ada perdebatan alot diantara mereka.

Tapi yang paling mengganjal adalah kenapa Riri tidak pamit dan membawa serta poselnya? Apa karena takut terganggu oleh panggilan-panggilan yang mampir ke ponselnya? Sebuah alasan yang terlalu sepele sebenarnya, mengingat Riri yang selalu membuat ponselnya ‘bisu’ tiap sedang beraktivitas. Dan selama dia mengenal Riri, dia tidak pernah mendapati Riri meninggalkan begitu saja saxophonenya tanpa menitipkan pada orang-orang yang dia percaya. Lalu sekarang?

“Lu masih mau nunggu Riri di sini?” tanya Billy membuyarkan pemikiran Alex yang sudah mulai makin runyam.

“Mungkin. Kalau nggak gue pergi ke rumahnya nanti. Sekalian nganterin saxophonenya.”

“Kalau gitu kita duluan.” Pamit Billy bersama Fred. Menyisakan Alex seorang diri di dalam gedung serbaguna.

Dua jam, dan Riri masih belum juga kembali ke gedung serbaguna. Membuat Alex makin penasaran kemana sebenarnya Riri pergi sejak tadi. Akhirnya Alex memutuskan untuk pergi ke rumah Riri. Mengantarkan saxophone Riri. Berharap kalau saja Riri telah tiba di rumah sejak tadi.

**********

Sakit. Perasaan yang menyambutku sesaat setelah aku membuka kedua mataku. Mendapati ruangan yang sedikit remang karena diterangi oleh beberapa lampu sudut yang redup. Aku tahu sekali ruangan ini. Gudang tempat penyimpanan peralatan stereo.

Aku pasti collapse tadi. Kalau tidak, untuk apa aku tiduran di ruangan ini dan merasakan lemas di sekujur tubuhku. Aku menghela napas panjang saat melihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Empat jam telah terlewati begitu saja saat aku kehilangan kesadaranku. Aku dapat memastikan dengan seyakin-yakinnya kalau semua orang telah pulang. Tidak ada yang akan bersisa di sana saat jam sudah menunjukkan pukul tujuh seperti saat ini. Apalagi setelah latihan se-siangan penuh.

Aku masih belum bisa berdiri saat ini. Jadi aku berdiam saja dulu di atas lantai. Tak memperdulikan betapa dingin lantai dan perasaan kurang sukaku pada lantai yang terlalu dingin seperti ini. Sepuluh menit berlalu, dan aku masih saja duduk bersimpuh.

‘Mungkin sepuluh menit lagi.’ pikirku. Dan aku kembali menghabiskan bermenit-menit untuk mengumpulkan kekuatanku yang terberai begitu saja sebelum collapse tadi. Menghirup napas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan. Sembari menanamkan sugesti pada pikiranku kalau aku dalam keadaan yang baik-baik saja, bahwa alasan dibalik terdamparnya aku di sini hanya karena kelelahan biasa.

Akhirnya aku baru bisa berdiri setelah menghabiskan waktu hampir satu jam. Lama sekali! Padahal aku sudah merasa sangat tidak nyaman di dalam ruangan yang remang seperti ini.

Ku masukkan kunci yang tadi tergeletak begitu saja di lantai ke dalam lubangnya, memutarnya dan membuka pintu.  Sepi. Benar-benar sudah pulang semuanya. Apa satpam yang berjaga di depan juga sudah pulang? Lalu dimana motor yang tadi ku bawa? Apa hilang?

Aku tak mau memikirkan hal itu. Yang penting saat ini adalah aku harus kembali ke bagian dalam gedung dan mengambil saxophoneku. Tapi baru saja beberapa langkah meninggalkan gudang, kakiku kembali bergetar. Membuatku kehilangan keseimbangan dan terjatuh.
“Udah berapa lama lu ada di dalam sana?” aku terkejut mendengar suara itu. Tak menyadari kehadirannya hingga dia bergerak sendiri untuk menolongku, melingkarkan kedua tangannya di tubuhku.

“Sejak kapan lu ada di sini?”

“Hampir dua jam yang lalu.” Jawabnya sambil membantuku membenarkan posisi tubuhku.

“Lu pasti di dalam sana dari saat ilang pas latihan. Pingsan.” Lanjutan kalimatnya membuatku tertegun.

“Sok tahu.” Elakku.

“Gue udah terlalu terlatih buat tahu hal-hal kayak begini. Jangan ngelupain kenyataan kalau gue udah pernah nerima pelatihan bodyguard. Dan hal yang menurut lu sepele ini juga masuk dalam pelatihannya, Ri.” Jawabnya sambil terus menatap kedua mataku.

“Tubuh lu lemes-lemes begini, muka lu masih sedikit pucat, nggak akan salah kalau gue bilang lu abis pingsan sendirian di dalam sana. Dan yang lebih bikin gue naik darah adalah lu ngunci pintunya. Sedangkan gue nggak tahu posisi lu di dalem kayak gimana. Nggak mungkin gue dobrak begitu aja itu pintu. Kalau kenapa kepala lu, bahaya.”

Makin panjang kata-kata yang dia keluarkan, cengkraman di kedua lenganku makin mengencang. Membuatku kesakitan. Juga membuatku tahu apa yang dia rasakan. Kekhawatiran dan keputus asaan yang menjadi-jadi karena tak bisa berbuat apapun untuk membenahi yang terjadi.

“Kak, sakit..” tapi dia seperti menulikan telinganya.

“Lu nggak boleh lagi bertindak bodoh kayak gini. Kalau lu sakit, lu harus pergi ke dokter.” Kata-katanya penuh penekanan. Membuat semua rontaan kesakitanku berhenti saat itu juga.

“Ini Cuma kecapean, kak.. Istirahat sebentar juga sembuh..”

“Gue nggak percaya.”

“Beneran.. Gue kurang tidur dan latihan hari ini emang bikin cape banget.. Percaya deh sama gue..”

“Terus kenapa lu nggak bilang aja kalau lu butuh istirahat? Kenapa pula lu harus ngungsi ke gudang penyimpanan barang dan ngunci pintunya?”

“Kak Hamid, lu sebenernya niat mau nanya ke gue atau mau bikin tangan gue putus?” kataku sembari melirik ke arah kedua lenganku yang masih saja dicengkram erat olehnya.

Sorry.” Aku hanya mengangguk sembari mengusap-usap kedua lenganku yang memerah.

“Gue Cuma nggak mau mereka semua ngerasa khawatir.”

“Tapi lu malah bikin khawatir. Nggak bawa handphone, nggak jelas keberadaannya dimana –sampai dua jam yang lalu-, nggak ada kabar sama sekali. Hebat banget kalau gue dan yang lain nggak khawatir.”

Sorry gue udah bikin khawatir.. Sekarang biar gue ke dalem dulu buat ngambil saxophone gue terus kita pulang. Oke?!” tanpa menunggu persetujuan kak Hamid, aku langsung saja melangkahkan kakiku menuju ruangan yang tadi dipakai latihan. Tapi secepat itu pula tanganku kembali di tahan olehnya.

“Alex udah nganterin saxophone lu ke rumah. Kita ke dokter sekarang.” Putusnya. Membuatku menganga.

“Kak, kita pulang aja deh.. Gue udah ngantuk.. Cape..”

“Ke dokter.”

“Besok aja gue ke dokter sendiri.. Gue udah bener-bener cape.. Ngantuk gilaaaa..” rajukku. “Please..

Kak Hamid mau tak mau menuruti pintaku. Dia kembali membantuku berjalan ke arah parkiran. Kemudian aku tersadar akan sesuatu yang membuatku (lagi-lagi) menghentikan langkahku.

“Tunggu! Lu tahu kalau gue ngilang begitu aja pas latihan. Ada yang nelepon lu?” kak Hamid menggeleng menjawabnya.

“Tadi kan Alex nganterin kotak saxophone lu ke rumah. Dia yang bilang.” Jawab kak Hamid sambil mengangkat bahu.

“Jadi yang lain tahu kalau gue pingsan?”

“Ya nggak lah. Kalau gue bilang lu pingsan di sini sendirian, gue udah bisa ngebayangin betapa kalang kabutnya mereka. Gue juga udah bisa nebak sebenernya kenapa lu malah ngumpet dari mereka pas collapse, nggak mau ngerepotin orang. Jadi ya gue nggak ngasih tahu mereka. Kalau Nino, dia masih belum pulang. Gue juga yakin dia nggak tahu lu dimana tadi, jadi gue nggak nelepon dia dulu.” Katanya sambil sedikit menarikku agar melangkah bersamanya. Perasaanku lega luar biasa. Setidaknya aku tidak membuat orang-orang khawatir lebih dari ini.

“Mendingan sekarang lu sms yang lain. Mereka udah berbaik hati mau ikut nyariin lu keliling-keliling entah kemana.” Katanya sambil menyodorkan ponselnya padaku.

“Kali ini gue masih mau nutupin keadaan lu. Tapi kalau kejadian kayak gini keulang lagi, jangan harap gue mau nutup-nutupin lagi.”katanya mengancam. Dan aku hanya mengangguk menanggapi ancamannya.

Sementara tanganku masih aktif menenak-nekan keypad ponsel pintarnya. Mengetikkan kalau aku baik-baik saja dan baru saja lupa waktu saat bergosip dengan klien. Ah, saat mengetik alasanku menghilang karena bergosip, aku jadi merasa seperti wanita tua yang kehabisan kegiatan untuk membunuh waktu selain untuk bergosip.

“Besok lu harus ke dokter. Gue nggak mau tahu, lu harus general check up. Selama hasilnya belum gue terima, lu nggak akan bisa pergi naik motor lagi. Kunci motor lu gue tahan. Gue akan bilang ke Nino kalau motor lu lagi di maintenance. Motor lu udah di bawa pulang sama Rocky ke rumah gue pakai kunci cadangan yang ada di rumah lu.”

Kalimat-kalimat terakhirnya sukses membuat bibirku mengerucut kecewa. Tidak boleh mengendarai motor? Berarti aku harus kembali berkutat dengan kemacetan yang tak bisa sedikit ku akali dengan mudah. Ah, ini akan sulit.

**********

“Riri udah pulang, kak?”

“Udah, baru aja sampai di anter sama Hamid. Sekarang lagi di kamarnya. Tidur mungkin, Kenapa emang?”

‘Bip’

Ponselnya berbunyi. Menandakan ada pesan yang masuk saat ada panggilan yang berlangsung.

Entah kenapa kata-kata yang baru saja didengarnya melalui ponselnya membuat beban yang sedari tadi terus berputar-putar dalam dadanya terangkat. Setidaknya gadis -yang hingga detik ini masih menjadi impiannya- itu tidak mengalami hal yang beberapa saat lalu sempat berputar dalam pikirannya.

“Nggak kenapa-kenapa. Cuma mau nanya aja, dia udah sampai di rumah apa belum.” Jawabnya. Dia tahu betul kalau Nino tidak mengetahui bahwa Riri sempat menghilang pada saat latihan tadi. Dia juga tak mau membuat lelaki itu jadi khawatir jika mengetahui hal itu terjadi.

“Oh, tadi begitu selesai meeting sama klien, dia langsung pulang diantar Hamid. Begitu sampe di rumah, dia langsung tidur.” Dia mengangguk-angguk. Memahami kalau hal itu terjadi maka dia akan melakukan hal yang nyaris sama. Tentu saja dia akan berpamitan pada yang lain. Tapi mungkin saja gadis impiannya sedang benar-benar terburu- buru dan berpikir kalau pertemuannya dengan klien akan berlangsung cepat. Mungkin. Entahlah. Hanya gadis itu dan Tuhan yang mengetahui alasan dibalik sikapnya tadi sore.

“Fred, gue mau tanya. Emang akhir-akhir ini klien di perusahaan banyak banget ya?”

“Setahu gue sih emang ada peningkatan jumlah klien yang pake perusahaan kita. Tapi nggak terlalu signifikan juga. Kenapa gitu?”

“Terus kalian kalau ada klien yang mau meeting selalu mengandalkan Riri?” dia mengrenyit bingung saat mendengar perkataan itu meluncur dari bibir Nino. Apa maksud dari pertanyaan ini?

Sorry, gue nggak maksud buat bilang kalau lu dan yang lain nggak ngebantuin Riri. Tapi akhir-akhir ini dia keliatan capek banget. Mukanya makin sering pucet. Intensitas demamnya belakangan ini makin sering terjadi.” Dia kembali memikirkan perkataan Nino.

“Mungkin karena dia beberapa minggu yang lalu juga ikut jadi panitia konser amal kali, kak.. Dan kita udah biasa buat bagi-bagi klien yang bakal kita temuin. Sejauh ini Hamid yang paling sering ketemu klien, karena emang dia yang jadwalnya paling longgar.” Jelasnya hati-hati.

“Hmmhh… Begitu ya.. Kalau gitu gue titip Riri, Fred. Jaga dia selama gue atau
Hamid nggak ada di sebelahnya. Gue nggak mau dia makin sering sakit gara-gara kecapean..”

I will.

Thanks.” Kemudian sambungan terputus.

Dia menatap layar ponselnya. Sebuah pesan tertera di sana.

From: Hamid
Sorry, tadi gue pergi nggak bilang. Ada klien yang mendadak minta ketemu. Gue kira Cuma sebentar doang, nggak tahunya gue malah keasikan ngegosip sama dia. Maaf ya udah bikin khawatir.
Riri

Dia tak bisa menahan untuk tak menghembuskan napas lega (lagi) meski dia sudah tahu bagaimana keadaan gadis itu beberapa saat sebelum membuka pesan itu. Tangannya bergerak mengusap layar dan membuka foto yang baru-baru ini dia ambil. Memperlihatkan wajah gadis impiannya yang tengah tersenyum. Membuatnya ikut tersenyum.

Kemudian tangannya kembali mengusap layar ponselnya. Membuat gambar yang terpampang berganti. Masih menampilkan pemilik wajah yang sama. Hanya saja dengan ekspresi yang berbeda. Seperti menahan sesuatu, menyembunyikannya di balik senyumnya yang tipis.

Apa ada yang tidak ingin dia ketahui? Apa?

Jemarinya tanpa sadar kembali mengusap layar ponselnya. Lalu menatap gadis yang masih saja terus berusaha menumbuhkan kembali hatinya yang telah bertransformasi jadi debu. Apa dia bisa membiarkan gadis ini menjelajahi kedalaman jiwanya? Terlebih saat dia terikat janji untuk terus menjaga gadis impiannya. Apakah dia sanggup kembali menorehkan sayatan-sayatan kecil di hati gadis ini?

Ah, kau memang brengsek, Fred.

**********

“Gimana hasilnya?”

“Gue baik-baik aja.”

“Terus kenapa lu belakangan ini sering sakit? Sering pucet sama lemes begitu?” Ck, pria yang satu ini cerewet sekali seperti ibu-ibu!

“Kalau yang itu, gara-gara gue  makan nggak teratur, kurang istirahat. Jadi anemia.” Kak Hamid masih tetap bersedekap dada di hadapanku. Masih tidak puas dengan jawaban-jawaban yang kulontarkan sepertinya.

“Lu udah ngasih hasil check up lu ke Nino?” aku menggeleng menjawabnya.

“Ngapain ngasih ke kak Nino kalau kata dokter gue dalam keadaan baik-baik aja. Lu tahu sendiri gimana kak Nino. Gue nggak dia diserang panik tiba-tiba karena gue yang tahu-tahu muncul dan ngasih hasil lab ke dia.”

Kak Hamid memandangku, seperti menyelidiki kebenaran dari kata-kata yang aku ungkapkan. Dan aku membuang muka, mengalihkan wajahku ke arah berkas-berkas yang harus aku tanda tangani. Tak mau semua pemikiranku terbongkar di hadapannya.

 ‘Menurut hasil pemeriksaan, kami menemukan adanya keanehan pada darah anda.’ perasaanku benar-benar tidak enak.

‘Kami perlu mengadakan pemeriksaan kembali terhadap darah anda, nona Marissa.’

‘Ada apa sebenarnya, dok?’

Kami menemukan bahwa jumlah leukosit dalam darah anda berada dalam jumlah yang tidak normal. Untuk itu kami harus mengadakan pemeriksaan lebih lanjut.’

‘Apa yang terjadi jika leukosit dalam tubuh saya tidak normal?’ jantungku berdetak lebih kencang dari pada sebelumnya. Takut menggerayangi tanganku hingga nyaris bergatar di atas pangkuanku.

‘Ada berbagai macam kemungkinan jika terjadi hal seperti ini. Dari infeksi atau radang, hingga-‘

‘Leukemia.’ Potongku tanpa sadar.

‘Benar. Untuk itu kami menyarankan anda untuk melakukan prosedur BMP untuk memastikannya.’

Aku menarik kembali pikiranku dari kejadian kemarin. Hingga saat ini aku belum kembali ke laboratorium untuk memastikan apakah aku benar-benar menderita kanker atau tidak. Rasanya terlalu menakutkan. Aku tidak takut pada rasa sakit yang harus ku lalui saat dilakukan BMP, biopsi atau apapun itu. Aku hanya takut jika aku benar-benar mengidap penyakit laknat itu.

Adakah penyakit lain yang tidak terlalu berbahaya dengan gejala yang sama seperti ini? Tuhan! Memikirkannya saja sudah membuat semangatku surut hingga habis. Berkas-berkas yang ada di hadapanku jadi terlalu sulit untuk dibaca. Entah itu karena huruf-hurufnya yang tiba-tiba berlarian di atas kertas atau karena pandanganku yang berputar.

“Kak, gue keluar dulu sebentar. Dokumen yang ada di atas meja gue jangan di apa-apain. Gue belum baca semuanya.” Kataku sambil beranjak dari kursi yang sedari tadi aku tempati.

“Mau kemana lu?”

“Ngemil.” Jawabku sekenanya. Dan sepertinnya seporsi sate ayam akan jadi sangat menyenangkan. Perutku menggeram nyaring saat aku membayangkan bertusuk-tusuk sate ayam yang nikmat. Penyembuh yang sempurna untuk pikiranku setelah tadi sempat sedikit rusak karena memikirkan semua yang dikatakan dokter kemarin.

Kan! Harusnya aku melupakan dan tak pernah mengingatnya lagi. Lalu kenapa sekarang aku malah mengingat-ingatnya lagi?!

‘Oke! Makan aja, Ri!’

Tak cukup dengan seporsi sate ayam. Aku juga memesan roti bakar, frozen yoghurt, milkshake blueberry, dan crème soup. Benar-benar menggila sekali ‘cemilan’ku kali ini. Dan aku baru menyadari alasan dibalik kuantitas makananku yang –ehm- Luar biasa. Karena aku telah melewatkan dua jam makanku, sarapan dan makan siang.

Saat sedang menyantap frozen yoghurt-ku sebagai pencuci mulut, pelayan datang menghampiriku. Wajahnya menampilkan sebentuk senyum ramah yang sudah biasa dia berikan pada para konsumen yang mampir di restoran ini.

“Tumben makannya banyak banget, mbak.. Lagi stress ya?”

“Hahahaha.. Kurang lebih begitu, Res..” Benar! Dengan memikirkan berbagai kemungkinan dari hasil check up kemarin saja sudah sanggup membuatku stress seperti ini.

“Kembalinya tiga puluh tujuh ribu rupiah ya, mbak..”

“Makasih Resti..” kataku pada pelayan yang sudah ku kenal karena terlalu sering menyantap makanan di sini. Aku kembali memusatkan perhatianku pada dessert dingin yang ada di hadapanku.

Biasanya dia akan segera pergi meninggalkan aku sendiri dan menikmati makananku yang terisa. Tapi sekarang dia masih berdiri di sebelahku. Aku malah mendengar suara napas yang tercekat.

Aku menatap Resti. Dan aku tak tahu kenapa dia menatapku dengan pandangan yang horror karena panik.

“Mbak.. Mbak mimisan!” katanya sembari menyodorkan beberapa tissue yang memang selalu ada di saku apron-nya.

Aku secara tidak sadar menyeka hidungku. Dan aku tak tahu apa yang harus ku perbuat saat menatap cairan merah kental yang tertera di sana. Seketika berbagai kemungkinan buruk melintas di kepalaku. Tuhan, jangan buat aku takut seperti ini.

**********

Hamid masih memeriksa semua berkas yang hendak dia berikan pada Riri untuk ditanda datangi. Sementara Fred tengah memeriksa kinerja keuangan dari bagian-bagian yang ada di perusahaan. Dan Billy –yang mejanya ada di pojok ruangan dekat jendela- saat ini sedang memeriksa analisa beban kerja dan analisis tenaga kerja yang beberapa saat lalu baru dia peroleh dari bagian personalia.

Tiba-tiba saja ponsel Hamid yang ada di atas mejanya bergetar. Membuyarkan konsentrasi semua orang yang ada di ruangan itu. Membuat Hamid mendadak jadi pusat perhatian.

Sorry.” Katanya. Sebelah tangannya menyambar ponselnya yang masih tetap bergetar keras seperti bajaj. Dengan langkah lebar dia keluar dari ruangan.

“Halo?”

“Lu nggak ke kantor lagi? Kenapa?”

“Kenapa juga gue nggak boleh bilang ke Nino? Dia kan kakak lu sendiri. Lagipula mau gue bilang atau nggak ke dia, dia juga pasti akan tahu sendiri.”

“Yah, terserah lu aja deh.” Katanya sambil memutuskan sambungan telepon. Sebuah hembusan napas panjang mengiringi tangannya yang menyelusupkan ponselnya ke dalam saku celananya.

“Ada apa sama Riri sampe dia nggak mau gue tahu?”

Hamid tersentak kaget dan berbalik dengan cepat. Merasakan keterkejutan yang membuat jantungnya berdetak entah berapa kali lebih cepat daripada biasanya.

“Nino. Tumben ke sini.” Suaranya sedikit tercekat.

“Ada apa sama Riri? Kenapa dia nggak mau tahu tentang apa yang kalian bicarain tadi?” Hamid bisa merasakan tatpan Nino yang berubah tajam.

“Nggak ada apa-apa.”

“Nggak usah bohong. Gue jelas-jelas denger kalau Riri minta lu buat ngerahasiain sesuatu. Sekarang, kasih tahu ke gue.”

Sorry, gue nggak bisa ngasih tahu.”

“Jangan bikin gue marah dengan nyembunyiin sesuatu tentang Riri dari gue, Mid.” Nada suara Nino benar-benar rendah. Membuat Hamid menahan napasnya sejenak.

Nino yang kesal dengan sikap diam Hamid tak bisa menahan kedua tangannya untuk merenggut kerah kemeja yang dikenakan Hamid. Dia menyentakkan Hamid hingga punggungnya membentur dinding. Memojokkannya sambil terus memberikan tatapan yang mengintimidasi.

“Riri itu adik gue. Gue berhak tahu semua hal yang berhubungan sama dia.”

“Kalau gitu kenapa lu nggak nanya aja sama dia?”

“Ha! Nggak usah berlagak nggak tahu, Mid. Riri nggak akan ngasih tahu gue.” Tapi Hamid masih tetap diam tak bergeming. Memikirkan pilihan yang akan dia ambil.

“Kasih tahu gue, sekarang!” sekali lagi dia membenturkan tubuh Hamid ke dinding. Membuat Hamid sedikit meringis. Lelaki ini sama mengerikannya dengan Riri jika sedang marah.

“Oke, akan gue ceritain. Tapi lepasin dulu tangan lu. Gue nggak mau kemeja hadiah dari Rio rusak begitu aja karena hal ini.” kata Hamid sambil mencengkram kedua pergelangan tangan Nino.

Mendengar nama mendiang adiknya disebutkan dengan suara yang sarat dengan takzim seperti itu membuat Nino melunak sedikit. Dia melepaskan cengkramannya pada kerah kemeja Hamid dan menundukkan kepalanya. Sementara Hamid berusaha untuk merapikan kembali kemejanya yang sedikit kusut setelah direnggut Nino.

Sorry.” Katanya pelan. Tapi masih bisa terdengar dengan jelas oleh Hamid. “Gue Cuma nggak mau sesuatu yang buruk terjadi sama Riri.. Dia-“

“Satu-satunya adik lu yang tersisa. Iya, gue ngerti, No..” Nino makin menundukkan kepalanya. Selalu ada selentingan yang menyakiti hatinya saat mendengar hal itu. Mengingatkannya kalau dia pernah memiliki seorang adik selain Riri, yang saat ini tak bisa lagi dia temui keberadaannya selain di hati dan pikiranya sendiri. Adik yang juga sangat dia sayangi. Mario.

“Kita bicarain semuanya di restoran depan kantor aja, gimana?” ajak Hamid. Nino hanya mengangguk saja.

“Ayo, gue perlu sogokan buat bikin mulut gue lancar ngomong nih.. Perut gue juga..” katanya sambil merangkul bahu Nino yang sedikit lebih tinggi dari miliknya.

“Ck, jadi ceritanya minta di traktir nih?”

“Yah, kurang lebih begitu.. Seret mulut gue.. Susah ngomong.. Mungkin king crab lada hitam,  chopped lamb, caesar salad, sama caviar sushi fushion bisa meredakan kekakuan di mulut gue..”

“Itu namanya lu mau bikin dompet gue mengalami musim kemarau. Kering, nggak ada isinya..” kata Nino sambil melepaskan rangkulan di bahunya. Sebelah tangannya mendarat di kepala Hamid. Kali ini tidak terlalu kencang. Meski demikian, Hamid tetap saja berpura-pura kesakitan.

Dan Hamid benar-benar melaksanakan apa yang tadi dia katakan. Oke, tidak semuanya sih. Hanya kepiting lada hitam, sushi, dan segelas jus terong Belanda.

“Jadi darimana harus gue mulai?” tanya Hamid setelah memasukkan dua potong sushi ke dalam mulutnya.

“Ada apa sama Riri?”

“Dia nggak balik lagi ke kantor setelah keluar nyari cemilan gara-gara ngerasa badannya nggak enak.” Jawab Hamid sambil mencampurkan sedikit wasabi ke dalam shoyu yang sudah dia tuangkan ke piring kecil. “Dan belum lama ini dia gue suruh buat general check up.

General check up? Kenapa?”

“Pas latihan, dia bikin temen-temennya kalang kabut gara-gara dia yang ngilang begitu aja. Setelah gue cari, ternyata dia ada di gudang penyimpanan barang.” Hamid meletakkan sumpit yang dia pergunakan untuk melahap sushi di atas alas sumpit.

“Dan lu tahu? Dia ternyata pingsan di sana. Gue rasa dia udah nahan semua rasa sakitnya dari pas awal latihan. Tapi dia nggak mau bilang sama yang lain. Lu tahu sendiri alasannya. Parahnya lagi, dia bahkan nggak ngasih tahu gue sampe akhirnya Alex dateng ke rumah buat ngebalikin kotak saxophone sama handphone Riri yang ada di tempat latihan.”

“Terus hasilnya gimana?” tenggorokan Nino terasa kering setelah mendengar penuturan Hamid.

“Katanya sih baik-baik aja. Dia Cuma anemia sama kecapean.”

“Kenapa dia nggak ngasih hasilnya juga sama gue?”

“Lah, gimana dia mau ngasih? Lu ngedenger dia sakit dikit aja mukanya langsung berubah panik kayak begitu.  Dia nggak mau bikin lu khawatir. Makanya dia nggak ngasih tahu lu..” Hamid kembali meraih sumpitnya. Dengan tangkas dia mengambil sejumput daging kepiting yang memang sudah dipisahkan dari cangkang-cangkangnya.

“Apa gue udah mulai overprotective lagi sampai dia nggak mau ngebagi masalahnya sama gue? Atau emang gue yang terlalu sibuk belakangan ini?” tanya Nino lirih. Nada suara Nino yang seperti ini sukses membuat Hamid menahan kepiting lezat yang akan dia masukkan ke dalam mulutnya.

“Kalau menurut gue, lu biasa aja kok.. Emang lu itu orang yang sibuk, secara pekerjaan lu itu nyangkut sama hidup matinya orang lain. Tapi toh lu selalu nyempetin buat ngabisin waktu sama dia.. Yang penting lu ngabisin waktu yang berkualitas sama dia.. Dan masalah apa yang nggak lu tahu?” Hamid menatap Nino dalam-dalam.

“Masalah ini..”

“Ck, kan udah due bilang sebelumnya. Cepet atau lambat lu pasti akan tahu masalah ini.. Lagian juga hasilnya baik-baik aja.. Nggak adalah yang perlu di khawatirin.. Gue yakin Riri tahu apa yang terbaik buat dirinya sendiri.. Dia kan udah dewasa.. Satu lagi, menurut gue, Riri nggak nyeritain masalahnya ke lu, lu yang nggak tahu masalah Riri, itu sah-sah aja. Nggak semua kakak tahu semua masalah yang lagi di hadapin sama adiknya sendiri, No. Percaya deh sama gue.”

Nino tersenyum kecil menanggapinya. Mungkin dia akan mulai mempercayai Riri untuk benar-benar mengurusi masalahnya sendiri. Menunggu hingga dia menceritakan sendiri semuanya tanpa ada paksaan dari Nino. Perlahan Nino menyendok es krim green teanya. Merasakan manis yang diiringi rasa sepat yang kesat di lidahnya.

Sementara Hamid makan dengan perlahan. Masih memblokir perasaannya yang tak menentu sejak tadi. Merasa masih ada yang disembunyikan Riri.

**********

Final Apollo Orchestra Competition tinggal sebulan lagi. Semuanya makin gencar untuk latihan. Terlebih saat tahu kalau mereka harus bisa menghentikan latihannya pada saat dua minggu sebelum final di lanksanakan. Pasalnya, pada tanggal-tanggal itu akan dilaksanakan ujian akhir semester. Dan semuanya tidak mau mengambil resiko untuk tetap berlatih saat UAS berlangsung. Takut tidak maksimal, baik itu untuk hasil latihannya maupun untu hasil ujiannya.

“Riri mana, Lex? Dari dua hari yang lalu dia nggak keliatan.” Tanya salah satu dari anggota orchestra.

“Nggak tahu. Dia nggak bisa di hubungin.” Jawabnya sambil menekan tombol merah pada ponselnya dengan gemas.

“Ah, gimana sih si Riri itu.. Emang deh gue akuin kalau dia itu udah jago banget mainnya. Tapi  kan bukan berarti dia bisa seenaknya aja bolos latihan kayak begini..”

“Betul itu.. Lu bilangin dong cewek lu, Lex..”

“Iya, nanti gue bilangin.. Sekarang kita mulai aja latihannya..” kata Alex. Dia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Mengatasi sakit kepala karena memikirkan terlalu banyak hal dalam satu waktu yang bersamaan. Mengenai sikap aneh Riri yang sulit di hubungi belakangan ini, mengenai absennya Riri di banyak jadwal latihan, mengenai perasaan Riri padanya yang entah kenapa dia rasa sudah mulai memudar, dan masih banyak lagi. terlalu banyak untuk dijabarkan semuanya.

Sementara Fred, Billy, Nita dan Nate yang berada tak jauh dari Alex juga bisa mendengar apa yang dikeluhkan oleh anggota orchestra yang lain. Mereka juga tak bisa melakukan apa-apa. Riri tetap tak bisa mereka hubungi. Tak mungkin juga mereka menghubungi Nino. Karena Nino belakangan ini selalu pergi pagi dan kembali menjelang tengah malam.

“Riri kemana sih, kak? Emang ada kerjaan yang nggak bisa dia tinggalin?” tanya Nita.

“Nggak tahu dia kemana. Dia tadi pergi kok, katanya mau ke sini. Tapi kok nggak ada juga orangnya.” Jawab Billy.

“Dan kalau emang ada kerjaan yang nggak bisa ditinggalin, harusnya Hamid bisa handle.” Sambung Fred.

“Terus sekarang dia mana?”

“Kalau gue tahu, gue udah pasti bakal nyamperin dia sekarang, Nate..” kata Fred gemas.

‘Apa ada sesuatu yang terjadi sama dia? Haish! Buang semua pikiran jelek lu, Fred!’

**********

Aku menarik napas panjang. Aku harus tenang. Kalau tidak, semuanya akan jadi lebih buruk dengan berita yang baru saja aku dengar.

‘Tenang, No. Tenang..’ batinku.

Setelah memarkirkan mobil yang beberapa minggu lalu aku beli –karena mobilku ringsek setelah kecelakaan waktu itu- aku pergi ke gedung B. Berharap menemukan apa yang aku cari. Aku cukup menyadari pandangan yang dilemparkan orang-orang padaku. Ah, peduli setan dengan hal itu. Itu benar-benar tidak penting saat ini.

“Maaf, mau tanya. Lihat Marissa nggak?” tanyaku pada salah satu mahasiswi yang ada di tangga gedung B. Dia terlihat kaget. Mulutnya menganga. Ada apa dengan dia?

“Haloo? Kenal Marissa nggak?” tanyaku sekali lagi. Dan dia hanya mengangguk. Masih dengan wajah yang terkejut sekaligus terperangah.

“Tahu dimana dia sekarang?” dia menggeleng menjawab pertanyaanku.

Thanks.” Aku kembali berlari menaiki anak tangga. Mengintip di semua kelas yang ada di tiap lantai gedung B. Tapi Riri tak juga aku temukan. Tuhan, kemana anak ini?!

Aku merogoh saku celanaku. Mengambil ponselku dan berusaha menghubunginya sekali lagi. Tapi tetap tak ada jawaban. Membuatku ingin membanting ponselku saja!

“Aula! Apa dia ada di aula?” aku segera berlari ke aula yang letaknya terpisah dari gedung B. Dan ternyata aula kampus belum selesai diperbaiki. Walau demikian, aku tetap memeriksa keberadaan Riri di sana. Nihil. Aku kembali menekan keypad ponselku. Berusaha bertanya mengenai keberadaan Riri.

“Ratih? Riri ke kantor hari ini?”

“Belum ada pak hari ini.”

“Kamu tahu jadwal dia hari ini kemana aja?”

“Kalau itu saya nggak tahu, pak. Biasanya yang tahu jadwal seperti itu ya Hamid, Riri, Billy, Fred dan Darrel sendiri –Kalau dia sedang ada di Indonesia-.”

“Kalau begitu, makasih, Tih.” Aku menghembuskan napas putus asa. Dimana lagi aku harus menanyakan keberadaan Riri?

Sudah hampir satu jam aku- Ah! Kau mendadak jadi bodoh sekali kali ini, Nino! Kenapa aku tidak meminta bantuan Hamid?! Dia kan bisa melacak keberadaan Riri. Hingga saat ini Riri kan masih mengenakan kalung yang di dalamnya tertanam pelacak.

Aku menunggu jawaban dari Hamid sambil tetap melangkah mengeliling kampus yang tak bisa dibilang kecil juga. Beberapa kali aku harus berhenti untuk membalas sapaan dari dosen yang dulu pernah mengajarku. Memang, aku juga alumni universitas ini. Bisa dibilang ini adalah tradisi keluarga. Ayah dan ibu juga pernah berkuliah di sini.

Tak ada jawaban dari Hamid. Aku kembali menghubunginya. Kalau perlu aku pergi ke rumahnya sekalian.

“Halo, Mid?”

“Kenapa, No?”

“Mid, cari Riri. sekarang.”

“Riri? ada apa?”

“Udah, buruan cari dimana dia. Cepetan!”

“Tunggu, sepuluh menit lagi gue hubungin. Gue mau cari di system dulu.” Secepat itu dia bicara, secepet itu pula dia memutuskan hubungan telepon kami.

Sembari menunggu Hamid melacak keberadaan Riri, aku pergi ke kantin. Berharap bisa menemukan Riri di sana. Dan upayaku tak membuahkan hasil. Riri tak ada di kantin. Masa iya aku perlu pergi ke tiap toilet yang ada di kampus?

“Riri udah ketemu, Mid?”

“Udah. Dia ada di- Tunggu! Ini..”

“Ada apa, Mid? Riri dimana?” tak ada sahutan dari seberang sana. Yang bisa kudengar hanya suara langkah kaki yang berpijak dengan keras dan cepat diiringi desau angin yang menderu cepat.

“Mid? Mid? Ada apa, Mid?” tapi tak juga kudengar suara Hamid. Itu membuat jantungku berdebar makin kencang. Tuhan! Apa yang sebenarnya terjadi?

“Riri!” aku mendengar sayup-sayup suara Hamid yang terkesiap memanggil nama Riri. Aku merasa lututku melemas saat itu juga. Nada suara yang seperti itu, aku tidak suka. Seakan telah terjadi sesuatu yang buruk terhadap Riri. Napasku sesak. Apa  yang terjadi pada Riri?

“Nino-“

“Apa? Ada apa sama Riri?”

“Buruan ke rumah gue sekarang!”

To be continue.

Posted at Perpustakaan Daerah Kota Tangerang, Cikokol.

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan imajinasi ke atas kertas, bercerita.
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda semua :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar