Hawoooooo! Saya
kembali!
Pada kangen nggak sama
diriku ini? *teriak*
Semoga pada nggak ngelempar pandangan sinis kemari *pasang
perisai* Hehehehe..
Soalnya di part sebelumnya pernah bilang mau berenti selama
seminar, skripsi ya apapun itu belum selesai. Tapi nyatanya malah balik lagi
bawa lanjutan cerita ini.
Awalnya aku pikir bisa hiatus dari kegiatan berimajinasi dan
menulis. Dan emang bisa! Tapi Cuma tiga minggu doang. Setelah itu berasa kayak
sakau *kayak pernah ngerasain sakau aja* #ketokubin3kali
Dan setelah rehat 3 minggu, aku malah mengalami yang biasa
kusebut DEGRADASI PENULISAN. Dan aku
nggak mau kemunduran itu jadi makin parah. Soalnya aku pernah mengalami itu. Dan
hasilnya, bisa lihat sendiri di part-part awal MiOL *ngeri*
Jadi aku kembali ke sini. Howeeeeeeh! :D
Demi kepentingan bersama *halaaah* aku mau bilang lagi kalau
cerita ini nggak bisa upload seteratur dulu. Yang tiap seminggu sekali pasti
nongol di ‘apa yang terbaru’ di wattpad atau do notofication Fb. Sekarang nggak
bisa kayak gitu lagi. T-T Maaf ya, temans.. Tapi aku harus bisa konsentrasi
memisahkan emosi kuliah sama emosi nulis. Kalau nggak, nanti cerita ini malah
ikutan kerasa galau masiswa semester akhir. Kan nggak oke jadinya..
Ah, udah lah cuap-cuapnya. Anak-anakku sudah minta
diperhatikan dari tadi. Kalau begitu, selamat bermain-main dengan isi kepala
dan anak-anakku :p
With lots of ketjoep mesra dan banyak syekali pelukan kangen,
Puji Widiastuti
++++++++++++++
“Kakak masih bisa ngeliat kalau kamu masih belum bisa
mengikhlaskan kepergian Rio. Kakak juga.. Kakak tetep aja ngerasa sedih tiap
nginget Rio.. Kakak tetep ngerasa ingin membunuh Sammael tiap inget kalau
penyebab dari kepergian Rio adalah karena dia yang membunuhnya.. Tapi kakak
tahu, itu semua nggak ada gunanya.. Rio tetap nggak akan kembali.. Kita harus
bisa mengikhlaskan kepergian Rio, Ri.. Rio nggak akan tenang kalau kita terus
seperti ini.. Kakak nggak mau Rio tersiksa karena keegoisan kita yang masih
saja nggak bisa melepaskan dia untuk kembali kepadaNya.” Dia terdiam
mendengarnya. Ayahnya kembali tersebut namanya di sini. Dan tiap kali nama itu
berrkumandang, dia merasa sangat bersalah.
“Tanggung semua beban dan tanggung jawab yang sanggup kamu
pikul, yang sepantasnya kamu pikul.. Sisanya, biarkan kami yang memikulnya..
Jangan biarkan kamu lelah dan akhirnya menyerah dengan kehidupan karena
menanggung semua itu sendirian..”
“Jangan biarkan semua itu merenggut semua kebahagiaan kamu,
Ri.. Karena bagi kami, kebahagiaanmulah yang terpenting.. Kebahagiaan dari
milik kami yang paling berharga.. Semuanya jadi bener-bener nggak berarti kalau
kamu nggak bahagia, Ri.. Katakan semua sumber kebahagiaan kamu, dan kakak akan
mati-matian menjaga supaya sumber kebahagiaan kamu tetap hidup.. Kakak mungkin
lalai menjaga sumber kebahagiaanmu yang telah lalu, Rio. Tapi kali ini akan
berbeda. Apapun akan kakak lakuin supaya kamu tetep bisa berbahagia.. Apapun..
Walau kebahagiaan kamu harus kakak bayar sama nyawa kakak sekalipun..”
Alex meremas kenop pintu dalam genggamannya. Ayahnya telah
merenggut kebahagiaan gadisnya. Menimbulkan luka yang hingga saat ini masih
terbuka lebar dan berdarah-darah. Lalu sekali lagi ragu menguat dalam dadanya.
Apakah dia masih pantas untuk mendampingi gadis itu?
Love the
Ice part 35
“Lu
kemana tadi?” tanyanya pada gadis yang kini ada di depannya. Perasaan bersalah
yang tak jelas darimana datangnya menahannya untuk langsung berkendara ke
rumah. Dan disinilah dia. Di hadapan gadis yang sedari tadi terus mengusik
pikirannya.
“Aku
pusing. Kecapean kayaknya.. Jadi aku pulang aja duluan..”
“Beneran?”
gadis itu mengangguk menjawab pertanyaannya.
“Gimana
keadaan Riri?” Dia hanya bisa mengangkat bahunya. Memang belum mengetahui
bagaimana keadaan Riri setelah Riri dibawa pulang oleh Nino. Gadisnya
menghembuskan napas panjang yang berat. Membuatnya kembali mengalihkan
pandangannya pada gadis yang ada di hadapannya.
“Bolehkah
aku merasa cemburu saat ini? Melihat Riri yang masih saja mendapat perhatian dari
kakak?”
“Nggak.”
“Kenapa?”
“Karena
biar bagaimanapun gue ngenal dia lebih dulu daripada lu, gue nggak bisa begitu
aja membuang semua rasa peduli gue buat dia. Dan keadaannya bener-bener
mendesak tadi. Jatuh di tangga panggung yang tiap sikunya tajam itu cukup
berbahaya. Dan Alex nggak ada di sana buat nolongin dia karena sibuk sama
kolega Riri yang ngasih sumbangan.”
“Tapi
kakak pernah janji-“
“Ini
bukan suatu hal yang bisa melanggar janji yang pernah gue ucapkan. Tenang aja,
gue bukan cowok yang suka mengingkari janjinya.” Gadis itu tersenyum simpul
mendengar penuturannya. Sebuah senyum yang terlihat tidak menyenangkan di
matanya.
“Sekarang
lu masuk, istirahat. Jangan sampe bener-bener sakit.” Katanya sambil menangkup
kedua pipi gadis yang ada di hadapannya. Menghadiahkan sebuah kecupan kilat di
dahi gadis itu. Membuahkan rona merah di pipi halus yang hingga beberapa
saat lalu ada dalam tangkupannya.
Sesaat
setelah gadis itu menghilang dari pandangannya, dia merasakan sesuatu yang
salah berontak dalam dadanya. Merasa menjadi manusia yang benar-benar
menjijikan karena telah memberikan harapan yang dia sendiri pun tak tahu bisa
diwujudkan atau tidak pada gadis manis itu. Dalam hati dia benar-benar mengutuk
hatinya, mengutuk dirinya yang benar-benar tak bisa dia kendalikan rasanya.
Kemudian beralih mengutuk keputusannya yang akan menyakiti perasaan gadis itu
jika harapan yang dia suguhkan benar-benar tidak bisa terwujud.
**********
Hari-hari setelah penyelenggaraan
konser amal tempo hari berlari terlalu cepat. Rasanya baru saja kemarin konser
amal yang berjalan cukup sukses itu terlaksana, sekarang anggota UKM orchestra
sudah harus bersiap untuk menghadapi final Apollo’s Orchestra dua bulan lagi.
Mereka mulai banyak berlatih. Ingin benar-benar menampilkan sesuatu yang
maksimal, sempurna, tanpa cela. Berusaha untuk keluar sebagai juaranya.
Permainan mereka masih belum bisa
dikatakan baik. Ini semua dikarenakan perubahan yang terjadi pada tempo ‘Farewell’ yang akan mereka bawakan.
Perubahan ini terjadi setelah mereka menghapal tempo yang selama ini mereka
mainkan.
Dan karena hal itu Riri juga Billy
harus rela memainkan lagu itu berkali-kali guna memberitahukan tempo yang benar
pada anggota UKM orchestra lainnya. Kali ini mereka berdua tengah memainkan ‘Farewell’ untuk yang keempat kalinya.
Dalam hati mereka berharap tidak ada permainan untuk yanng kelima kalinya. Tapi
sepertinya hal itu hanya akan jadi harapan semata. Karena dari tampang-tampang
yang terpasang di wajah anggota UKM orchestra, masih menampilkan ketidakmampuan
untuk menangkap tempo yang seharusnya mereka mainkan.
“Adzan Ashar. Rehat enam puluh
menit!” teriak Alex. Menghentikan permainan Riri dan Billy yang sejak tadi
masih saja melatunkan ‘farewell’
dengan tempo yang baru. Membuat Riri menghembuskan
napas lega.
“Nih, minum dulu..” kata Alex sembari
menyodorkan sebotol air mineral untuk Riri. dalam beberapa detik saja air yang
ada di dalam botol itu menghilang setengahnya. Berpindah ke tubuh Riri yang
sedari tadi terus saja mengeluarkan keringat.
“Kamu kok keringetan terus? Emang
panas ya?” tanya Alex.
“Nggak tahu, kak.. Mungkin cape
abis latihan kali ya.. Kan main musik itu juga cukup menguras energi, jadi
bikin aku keringetan terus..” jawab Riri asal. “Aku keluar dulu ya..”
Tanpa menunggu persetujuan Alex,
Riri pergi keluar dari gedung serbaguna itu. Berjalan ke arah belakang gedung.
Dia merogoh kantung celananya. Mengeluarkan sebuah kunci yang akan dia
pergunakan untuk membuka pintu yang kini ada di hadapannya.
Setelah ada di balik pintu itu, dia
menguncinya dan terjatuh begitu saja. Tak mampu mempertahankan tubuhnya untuk
tetap berdiri tegak. Rasa sakit yang sedari tadi dia terus coba tahan telah
mengalahkan raganya. Rasa sakit yang terus saja menggigiti tiap inchi tubuhnya,
membuatnya tersiksa karena harus menyembunyikan rasa sakit itu agar tak
diketahui oleh orang lain.
Dia tak ingin menggerakkan
tubuhnya. Terlalu sakit walau hanya untuk sedikit bergeser dari tempatnya saat
ini. Terlalu lemah walau hanya untuk sekedar mengambil napas. Kepalanya serasa
dihantam godam. Membuat pandangannya berputar dan berkunang-kunang. Membuatnya
menutup mata. Merelakan kesadarannya yang tercabut paksa.
**********
“Riri mana?” tanya Billy.
“Entahlah. Dia tadi Cuma pamit
keluar. Tapi pas gue hubungin, nggak ada jawaban.” Jawab Alex sambil terus
mencoba untuk menghubungi Riri melalui ponselnya.
“Menurut gue, lu nggak akan bisa
ngehubungin dia selama kotak saxophonenya ada di sini. Dia selalu nyimpen
ponselnya di kotak itu kalau lagi latihan.” Celetuk Fred yang tiba-tiba saja
sudah ada di samping Alex.
Alex sedikit tak percaya dengan apa
yang dikatakan oleh Fred. Dia bergerak untuk membuktikan pernyataan yang baru
saja didengarnya. Dan perkataan Fred barusan benar sekali. Terlihat ponsel Riri
yang masih saja berkedip-kedip menandakan ada panggilan masuk yang berasal dari
Alex.
Alex sedikit merutuk. Kenapa dia
tidak mengetahui kebiasaan Riri yang satu ini? Kenapa harus orang lain yang
mengetahui hal ini? Padahal dialah kekasih Riri yang sebenarnya. Lalu kenapa
Fred yang lebih mengetahui kebiasaan-kebiasaan Riri? Membuatnya merasa seperti
bukan siapa-siapanya Riri saja.
“Mungkin dia sekarang lagi ketemu
klien. Udah, kita lanjut latihan aja. Bentar lagi sore.” Kata Billy yang
disambut oleh anggukan kepala Fred.
Sementara yang lain mulai berlatih
untuk memainkan lagu dengan tempo yang tepat, Alex masih saja tak bisa
memindahkan fokus pikirannya dari Riri. Pikirannya buyar.
‘Kamu kemana, Ri?’ tanya Alex dalam
hati.
Hingga saat latihan selesai pun
Riri masih belum muncul juga di gedung serbaguna. Membuat Alex merasa cemas juga
makin bertanya-tanya. Apa Riri baik-baik saja? Apa benar dia sekarang tengah
pergi menemui klien?
Bahkan hingga latihan selesai lima
menit yang lalu, Riri belum juga nampak batang hidungnya. Membuat Alex berpikir
apakah tempat bertemu kliennya jauh, atau sedang ada perdebatan alot diantara
mereka.
Tapi yang paling mengganjal adalah
kenapa Riri tidak pamit dan membawa serta poselnya? Apa karena takut terganggu
oleh panggilan-panggilan yang mampir ke ponselnya? Sebuah alasan yang terlalu
sepele sebenarnya, mengingat Riri yang selalu membuat ponselnya ‘bisu’ tiap
sedang beraktivitas. Dan selama dia mengenal Riri, dia tidak pernah mendapati
Riri meninggalkan begitu saja saxophonenya tanpa menitipkan pada orang-orang
yang dia percaya. Lalu sekarang?
“Lu masih mau nunggu Riri di sini?”
tanya Billy membuyarkan pemikiran Alex yang sudah mulai makin runyam.
“Mungkin. Kalau nggak gue pergi ke
rumahnya nanti. Sekalian nganterin saxophonenya.”
“Kalau gitu kita duluan.” Pamit
Billy bersama Fred. Menyisakan Alex seorang diri di dalam gedung serbaguna.
Dua jam, dan Riri masih belum juga
kembali ke gedung serbaguna. Membuat Alex makin penasaran kemana sebenarnya
Riri pergi sejak tadi. Akhirnya Alex memutuskan untuk pergi ke rumah Riri.
Mengantarkan saxophone Riri. Berharap kalau saja Riri telah tiba di rumah sejak
tadi.
**********
Sakit. Perasaan yang menyambutku
sesaat setelah aku membuka kedua mataku. Mendapati ruangan yang sedikit remang
karena diterangi oleh beberapa lampu sudut yang redup. Aku tahu sekali ruangan
ini. Gudang tempat penyimpanan peralatan stereo.
Aku pasti collapse tadi. Kalau tidak, untuk apa aku tiduran di ruangan ini
dan merasakan lemas di sekujur tubuhku. Aku menghela napas panjang saat melihat
jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Empat jam telah terlewati begitu
saja saat aku kehilangan kesadaranku. Aku dapat memastikan dengan
seyakin-yakinnya kalau semua orang telah pulang. Tidak ada yang akan bersisa di
sana saat jam sudah menunjukkan pukul tujuh seperti saat ini. Apalagi setelah
latihan se-siangan penuh.
Aku masih belum bisa berdiri saat
ini. Jadi aku berdiam saja dulu di atas lantai. Tak memperdulikan betapa dingin
lantai dan perasaan kurang sukaku pada lantai yang terlalu dingin seperti ini.
Sepuluh menit berlalu, dan aku masih saja duduk bersimpuh.
‘Mungkin sepuluh menit lagi.’
pikirku. Dan aku kembali menghabiskan bermenit-menit untuk mengumpulkan
kekuatanku yang terberai begitu saja sebelum collapse tadi. Menghirup napas dalam-dalam, menghembuskannya
perlahan. Sembari menanamkan sugesti pada pikiranku kalau aku dalam keadaan
yang baik-baik saja, bahwa alasan dibalik terdamparnya aku di sini hanya karena
kelelahan biasa.
Akhirnya aku baru bisa berdiri
setelah menghabiskan waktu hampir satu jam. Lama sekali! Padahal aku sudah
merasa sangat tidak nyaman di dalam ruangan yang remang seperti ini.
Ku masukkan kunci yang tadi
tergeletak begitu saja di lantai ke dalam lubangnya, memutarnya dan membuka
pintu. Sepi. Benar-benar sudah pulang
semuanya. Apa satpam yang berjaga di depan juga sudah pulang? Lalu dimana motor
yang tadi ku bawa? Apa hilang?
Aku tak mau memikirkan hal itu.
Yang penting saat ini adalah aku harus kembali ke bagian dalam gedung dan
mengambil saxophoneku. Tapi baru saja beberapa langkah meninggalkan gudang,
kakiku kembali bergetar. Membuatku kehilangan keseimbangan dan terjatuh.
“Udah berapa lama lu ada di dalam
sana?” aku terkejut mendengar suara itu. Tak menyadari kehadirannya hingga dia
bergerak sendiri untuk menolongku, melingkarkan kedua tangannya di tubuhku.
“Sejak kapan lu ada di sini?”
“Hampir dua jam yang lalu.”
Jawabnya sambil membantuku membenarkan posisi tubuhku.
“Lu pasti di dalam sana dari saat
ilang pas latihan. Pingsan.” Lanjutan kalimatnya membuatku tertegun.
“Sok tahu.” Elakku.
“Gue udah terlalu terlatih buat tahu
hal-hal kayak begini. Jangan ngelupain kenyataan kalau gue udah pernah nerima
pelatihan bodyguard. Dan hal yang menurut lu sepele ini juga masuk dalam
pelatihannya, Ri.” Jawabnya sambil terus menatap kedua mataku.
“Tubuh lu lemes-lemes begini, muka
lu masih sedikit pucat, nggak akan salah kalau gue bilang lu abis pingsan
sendirian di dalam sana. Dan yang lebih bikin gue naik darah adalah lu ngunci
pintunya. Sedangkan gue nggak tahu posisi lu di dalem kayak gimana. Nggak
mungkin gue dobrak begitu aja itu pintu. Kalau kenapa kepala lu, bahaya.”
Makin panjang kata-kata yang dia
keluarkan, cengkraman di kedua lenganku makin mengencang. Membuatku kesakitan.
Juga membuatku tahu apa yang dia rasakan. Kekhawatiran dan keputus asaan yang
menjadi-jadi karena tak bisa berbuat apapun untuk membenahi yang terjadi.
“Kak, sakit..” tapi dia seperti
menulikan telinganya.
“Lu nggak boleh lagi bertindak
bodoh kayak gini. Kalau lu sakit, lu harus pergi ke dokter.” Kata-katanya penuh
penekanan. Membuat semua rontaan kesakitanku berhenti saat itu juga.
“Ini Cuma kecapean, kak.. Istirahat
sebentar juga sembuh..”
“Gue nggak percaya.”
“Beneran.. Gue kurang tidur dan
latihan hari ini emang bikin cape banget.. Percaya deh sama gue..”
“Terus kenapa lu nggak bilang aja
kalau lu butuh istirahat? Kenapa pula lu harus ngungsi ke gudang penyimpanan
barang dan ngunci pintunya?”
“Kak Hamid, lu sebenernya niat mau
nanya ke gue atau mau bikin tangan gue putus?” kataku sembari melirik ke arah
kedua lenganku yang masih saja dicengkram erat olehnya.
“Sorry.” Aku hanya mengangguk sembari mengusap-usap kedua lenganku
yang memerah.
“Gue Cuma nggak mau mereka semua
ngerasa khawatir.”
“Tapi lu malah bikin khawatir.
Nggak bawa handphone, nggak jelas keberadaannya dimana –sampai dua jam yang
lalu-, nggak ada kabar sama sekali. Hebat banget kalau gue dan yang lain nggak
khawatir.”
“Sorry gue udah bikin khawatir.. Sekarang biar gue ke dalem dulu
buat ngambil saxophone gue terus kita pulang. Oke?!” tanpa menunggu persetujuan
kak Hamid, aku langsung saja melangkahkan kakiku menuju ruangan yang tadi
dipakai latihan. Tapi secepat itu pula tanganku kembali di tahan olehnya.
“Alex udah nganterin saxophone lu
ke rumah. Kita ke dokter sekarang.” Putusnya. Membuatku menganga.
“Kak, kita pulang aja deh.. Gue
udah ngantuk.. Cape..”
“Ke dokter.”
“Besok aja gue ke dokter sendiri..
Gue udah bener-bener cape.. Ngantuk gilaaaa..” rajukku. “Please..”
Kak Hamid mau tak mau menuruti
pintaku. Dia kembali membantuku berjalan ke arah parkiran. Kemudian aku
tersadar akan sesuatu yang membuatku (lagi-lagi) menghentikan langkahku.
“Tunggu! Lu tahu kalau gue ngilang
begitu aja pas latihan. Ada yang nelepon lu?” kak Hamid menggeleng menjawabnya.
“Tadi kan Alex nganterin kotak
saxophone lu ke rumah. Dia yang bilang.”
Jawab kak Hamid sambil mengangkat bahu.
“Jadi yang lain tahu kalau gue
pingsan?”
“Ya nggak lah. Kalau gue bilang lu
pingsan di sini sendirian, gue udah bisa ngebayangin betapa kalang kabutnya
mereka. Gue juga udah bisa nebak sebenernya kenapa lu malah ngumpet dari mereka
pas collapse, nggak mau ngerepotin
orang. Jadi ya gue nggak ngasih tahu mereka. Kalau Nino, dia masih belum
pulang. Gue juga yakin dia nggak tahu lu dimana tadi, jadi gue nggak nelepon
dia dulu.” Katanya sambil sedikit menarikku agar melangkah bersamanya. Perasaanku
lega luar biasa. Setidaknya aku tidak membuat orang-orang khawatir lebih dari
ini.
“Mendingan sekarang lu sms yang
lain. Mereka udah berbaik hati mau ikut nyariin lu keliling-keliling entah
kemana.” Katanya sambil menyodorkan ponselnya padaku.
“Kali ini gue masih mau nutupin
keadaan lu. Tapi kalau kejadian kayak gini keulang lagi, jangan harap gue mau
nutup-nutupin lagi.”katanya mengancam. Dan aku hanya mengangguk menanggapi
ancamannya.
Sementara tanganku masih aktif
menenak-nekan keypad ponsel pintarnya.
Mengetikkan kalau aku baik-baik saja dan baru saja lupa waktu saat bergosip
dengan klien. Ah, saat mengetik alasanku menghilang karena bergosip, aku jadi
merasa seperti wanita tua yang kehabisan kegiatan untuk membunuh waktu selain
untuk bergosip.
“Besok lu harus ke dokter. Gue
nggak mau tahu, lu harus general check
up. Selama hasilnya belum gue terima, lu nggak akan bisa pergi naik motor
lagi. Kunci motor lu gue tahan. Gue akan bilang ke Nino kalau motor lu lagi di maintenance. Motor lu udah di bawa
pulang sama Rocky ke rumah gue pakai kunci cadangan yang ada di rumah lu.”
Kalimat-kalimat terakhirnya sukses
membuat bibirku mengerucut kecewa. Tidak boleh mengendarai motor? Berarti aku
harus kembali berkutat dengan kemacetan yang tak bisa sedikit ku akali dengan
mudah. Ah, ini akan sulit.
**********
“Riri udah pulang, kak?”
“Udah, baru aja sampai di anter
sama Hamid. Sekarang lagi di kamarnya. Tidur mungkin, Kenapa emang?”
‘Bip’
Ponselnya berbunyi. Menandakan ada
pesan yang masuk saat ada panggilan yang berlangsung.
Entah kenapa kata-kata yang baru
saja didengarnya melalui ponselnya membuat beban yang sedari tadi terus
berputar-putar dalam dadanya terangkat. Setidaknya gadis -yang hingga detik ini
masih menjadi impiannya- itu tidak mengalami hal yang beberapa saat lalu sempat
berputar dalam pikirannya.
“Nggak kenapa-kenapa. Cuma mau
nanya aja, dia udah sampai di rumah apa belum.” Jawabnya. Dia tahu betul kalau
Nino tidak mengetahui bahwa Riri sempat menghilang pada saat latihan tadi. Dia
juga tak mau membuat lelaki itu jadi khawatir jika mengetahui hal itu terjadi.
“Oh, tadi begitu selesai meeting sama klien, dia langsung pulang
diantar Hamid. Begitu sampe di rumah, dia langsung tidur.” Dia
mengangguk-angguk. Memahami kalau hal itu terjadi maka dia akan melakukan hal
yang nyaris sama. Tentu saja dia akan berpamitan pada yang lain. Tapi mungkin
saja gadis impiannya sedang benar-benar terburu- buru dan berpikir kalau
pertemuannya dengan klien akan berlangsung cepat. Mungkin. Entahlah. Hanya
gadis itu dan Tuhan yang mengetahui alasan dibalik sikapnya tadi sore.
“Fred, gue mau tanya. Emang
akhir-akhir ini klien di perusahaan banyak banget ya?”
“Setahu gue sih emang ada
peningkatan jumlah klien yang pake perusahaan kita. Tapi nggak terlalu
signifikan juga. Kenapa gitu?”
“Terus kalian kalau ada klien yang
mau meeting selalu mengandalkan
Riri?” dia mengrenyit bingung saat mendengar perkataan itu meluncur dari bibir
Nino. Apa maksud dari pertanyaan ini?
“Sorry, gue nggak maksud buat bilang kalau lu dan yang lain nggak
ngebantuin Riri. Tapi akhir-akhir ini dia keliatan capek banget. Mukanya makin
sering pucet. Intensitas demamnya belakangan ini makin sering terjadi.” Dia
kembali memikirkan perkataan Nino.
“Mungkin karena dia beberapa minggu
yang lalu juga ikut jadi panitia konser amal kali, kak.. Dan kita udah biasa
buat bagi-bagi klien yang bakal kita temuin. Sejauh ini Hamid yang paling
sering ketemu klien, karena emang dia yang jadwalnya paling longgar.” Jelasnya
hati-hati.
“Hmmhh… Begitu ya.. Kalau gitu gue
titip Riri, Fred. Jaga dia selama gue atau
Hamid nggak ada di sebelahnya. Gue nggak mau dia makin sering sakit gara-gara kecapean..”
Hamid nggak ada di sebelahnya. Gue nggak mau dia makin sering sakit gara-gara kecapean..”
“I will.”
“Thanks.” Kemudian sambungan terputus.
Dia menatap layar ponselnya. Sebuah
pesan tertera di sana.
From: Hamid
Sorry, tadi
gue pergi nggak bilang. Ada klien yang mendadak minta ketemu. Gue kira Cuma sebentar
doang, nggak tahunya gue malah keasikan ngegosip sama dia. Maaf ya udah bikin
khawatir.
Riri
Dia tak bisa menahan untuk tak
menghembuskan napas lega (lagi) meski dia sudah tahu bagaimana keadaan gadis
itu beberapa saat sebelum membuka pesan itu. Tangannya bergerak mengusap layar
dan membuka foto yang baru-baru ini dia ambil. Memperlihatkan wajah gadis
impiannya yang tengah tersenyum. Membuatnya ikut tersenyum.
Kemudian tangannya kembali mengusap
layar ponselnya. Membuat gambar yang terpampang berganti. Masih menampilkan pemilik
wajah yang sama. Hanya saja dengan ekspresi yang berbeda. Seperti menahan
sesuatu, menyembunyikannya di balik senyumnya yang tipis.
Apa ada yang tidak ingin dia
ketahui? Apa?
Jemarinya tanpa sadar kembali
mengusap layar ponselnya. Lalu menatap gadis yang masih saja terus berusaha menumbuhkan
kembali hatinya yang telah bertransformasi jadi debu. Apa dia bisa membiarkan
gadis ini menjelajahi kedalaman jiwanya? Terlebih saat dia terikat janji untuk
terus menjaga gadis impiannya. Apakah dia sanggup kembali menorehkan
sayatan-sayatan kecil di hati gadis ini?
Ah, kau memang brengsek, Fred.
**********
“Gimana hasilnya?”
“Gue baik-baik aja.”
“Terus kenapa lu belakangan ini
sering sakit? Sering pucet sama lemes begitu?” Ck, pria yang satu ini cerewet
sekali seperti ibu-ibu!
“Kalau yang itu, gara-gara gue makan nggak teratur, kurang istirahat. Jadi
anemia.” Kak Hamid masih tetap bersedekap dada di hadapanku. Masih tidak puas
dengan jawaban-jawaban yang kulontarkan sepertinya.
“Lu udah ngasih hasil check up lu ke Nino?” aku menggeleng
menjawabnya.
“Ngapain ngasih ke kak Nino kalau
kata dokter gue dalam keadaan baik-baik aja. Lu tahu sendiri gimana kak Nino.
Gue nggak dia diserang panik tiba-tiba karena gue yang tahu-tahu muncul dan
ngasih hasil lab ke dia.”
Kak Hamid memandangku, seperti
menyelidiki kebenaran dari kata-kata yang aku ungkapkan. Dan aku membuang muka,
mengalihkan wajahku ke arah berkas-berkas yang harus aku tanda tangani. Tak mau
semua pemikiranku terbongkar di hadapannya.
‘Menurut hasil pemeriksaan, kami
menemukan adanya keanehan pada darah anda.’ perasaanku benar-benar tidak enak.
‘Kami perlu mengadakan pemeriksaan kembali terhadap darah anda, nona
Marissa.’
‘Ada apa sebenarnya, dok?’
‘Kami menemukan bahwa jumlah leukosit dalam darah anda berada dalam
jumlah yang tidak normal. Untuk itu kami harus mengadakan pemeriksaan lebih
lanjut.’
‘Apa yang terjadi jika leukosit dalam tubuh saya tidak normal?’ jantungku
berdetak lebih kencang dari pada sebelumnya. Takut menggerayangi tanganku
hingga nyaris bergatar di atas pangkuanku.
‘Ada berbagai macam kemungkinan jika terjadi hal seperti ini. Dari infeksi
atau radang, hingga-‘
‘Leukemia.’ Potongku tanpa sadar.
‘Benar. Untuk itu kami menyarankan anda untuk melakukan prosedur BMP untuk memastikannya.’
Aku menarik kembali pikiranku dari
kejadian kemarin. Hingga saat ini aku belum kembali ke laboratorium untuk
memastikan apakah aku benar-benar menderita kanker atau tidak. Rasanya terlalu
menakutkan. Aku tidak takut pada rasa sakit yang harus ku lalui saat dilakukan
BMP, biopsi atau apapun itu. Aku hanya takut jika aku benar-benar mengidap
penyakit laknat itu.
Adakah penyakit lain yang tidak
terlalu berbahaya dengan gejala yang sama seperti ini? Tuhan! Memikirkannya
saja sudah membuat semangatku surut hingga habis. Berkas-berkas yang ada di
hadapanku jadi terlalu sulit untuk dibaca. Entah itu karena huruf-hurufnya yang
tiba-tiba berlarian di atas kertas atau karena pandanganku yang berputar.
“Kak, gue keluar dulu sebentar.
Dokumen yang ada di atas meja gue jangan di apa-apain. Gue belum baca
semuanya.” Kataku sambil beranjak dari kursi yang sedari tadi aku tempati.
“Mau kemana lu?”
“Ngemil.” Jawabku sekenanya. Dan
sepertinnya seporsi sate ayam akan jadi sangat menyenangkan. Perutku menggeram
nyaring saat aku membayangkan bertusuk-tusuk sate ayam yang nikmat. Penyembuh
yang sempurna untuk pikiranku setelah tadi sempat sedikit rusak karena
memikirkan semua yang dikatakan dokter kemarin.
Kan! Harusnya aku melupakan dan tak
pernah mengingatnya lagi. Lalu kenapa sekarang aku malah mengingat-ingatnya
lagi?!
‘Oke! Makan aja, Ri!’
Tak cukup dengan seporsi sate ayam.
Aku juga memesan roti bakar, frozen
yoghurt, milkshake blueberry, dan crème
soup. Benar-benar menggila sekali ‘cemilan’ku kali ini. Dan aku baru
menyadari alasan dibalik kuantitas makananku yang –ehm- Luar biasa. Karena aku
telah melewatkan dua jam makanku, sarapan dan makan siang.
Saat sedang menyantap frozen yoghurt-ku sebagai pencuci mulut,
pelayan datang menghampiriku. Wajahnya menampilkan sebentuk senyum ramah yang
sudah biasa dia berikan pada para konsumen yang mampir di restoran ini.
“Tumben makannya banyak banget,
mbak.. Lagi stress ya?”
“Hahahaha.. Kurang lebih begitu,
Res..” Benar! Dengan memikirkan berbagai kemungkinan dari hasil check up kemarin saja sudah sanggup
membuatku stress seperti ini.
“Kembalinya tiga puluh tujuh ribu
rupiah ya, mbak..”
“Makasih Resti..” kataku pada
pelayan yang sudah ku kenal karena terlalu sering menyantap makanan di sini.
Aku kembali memusatkan perhatianku pada dessert
dingin yang ada di hadapanku.
Biasanya dia akan segera pergi
meninggalkan aku sendiri dan menikmati makananku yang terisa. Tapi sekarang dia
masih berdiri di sebelahku. Aku malah mendengar suara napas yang tercekat.
Aku menatap Resti. Dan aku tak tahu
kenapa dia menatapku dengan pandangan yang horror karena panik.
“Mbak.. Mbak mimisan!” katanya
sembari menyodorkan beberapa tissue yang memang selalu ada di saku apron-nya.
Aku secara tidak sadar menyeka
hidungku. Dan aku tak tahu apa yang harus ku perbuat saat menatap cairan merah
kental yang tertera di sana. Seketika berbagai kemungkinan buruk melintas di kepalaku.
Tuhan, jangan buat aku takut seperti ini.
**********
Hamid masih memeriksa semua berkas
yang hendak dia berikan pada Riri untuk ditanda datangi. Sementara Fred tengah
memeriksa kinerja keuangan dari bagian-bagian yang ada di perusahaan. Dan Billy
–yang mejanya ada di pojok ruangan dekat jendela- saat ini sedang memeriksa
analisa beban kerja dan analisis tenaga kerja yang beberapa saat lalu baru dia
peroleh dari bagian personalia.
Tiba-tiba saja ponsel Hamid yang
ada di atas mejanya bergetar. Membuyarkan konsentrasi semua orang yang ada di
ruangan itu. Membuat Hamid mendadak jadi pusat perhatian.
“Sorry.” Katanya. Sebelah tangannya menyambar ponselnya yang masih
tetap bergetar keras seperti bajaj. Dengan langkah lebar dia keluar dari
ruangan.
“Halo?”
“Lu nggak ke kantor lagi? Kenapa?”
“Kenapa juga gue nggak boleh bilang
ke Nino? Dia kan kakak lu sendiri. Lagipula mau gue bilang atau nggak ke dia,
dia juga pasti akan tahu sendiri.”
“Yah, terserah lu aja deh.” Katanya
sambil memutuskan sambungan telepon. Sebuah hembusan napas panjang mengiringi
tangannya yang menyelusupkan ponselnya ke dalam saku celananya.
“Ada apa sama Riri sampe dia nggak
mau gue tahu?”
Hamid tersentak kaget dan berbalik
dengan cepat. Merasakan keterkejutan yang membuat jantungnya berdetak entah
berapa kali lebih cepat daripada biasanya.
“Nino. Tumben ke sini.” Suaranya
sedikit tercekat.
“Ada apa sama Riri? Kenapa dia nggak
mau tahu tentang apa yang kalian bicarain tadi?” Hamid bisa merasakan tatpan
Nino yang berubah tajam.
“Nggak ada apa-apa.”
“Nggak usah bohong. Gue jelas-jelas
denger kalau Riri minta lu buat ngerahasiain sesuatu. Sekarang, kasih tahu ke
gue.”
“Sorry, gue nggak bisa ngasih tahu.”
“Jangan bikin gue marah dengan
nyembunyiin sesuatu tentang Riri dari gue, Mid.” Nada suara Nino benar-benar
rendah. Membuat Hamid menahan napasnya sejenak.
Nino yang kesal dengan sikap diam
Hamid tak bisa menahan kedua tangannya untuk merenggut kerah kemeja yang
dikenakan Hamid. Dia menyentakkan Hamid hingga punggungnya membentur dinding. Memojokkannya
sambil terus memberikan tatapan yang mengintimidasi.
“Riri itu adik gue. Gue berhak tahu
semua hal yang berhubungan sama dia.”
“Kalau gitu kenapa lu nggak nanya
aja sama dia?”
“Ha! Nggak usah berlagak nggak
tahu, Mid. Riri nggak akan ngasih tahu gue.” Tapi Hamid masih tetap diam tak
bergeming. Memikirkan pilihan yang akan dia ambil.
“Kasih tahu gue, sekarang!” sekali
lagi dia membenturkan tubuh Hamid ke dinding. Membuat Hamid sedikit meringis.
Lelaki ini sama mengerikannya dengan Riri jika sedang marah.
“Oke, akan gue ceritain. Tapi
lepasin dulu tangan lu. Gue nggak mau kemeja hadiah dari Rio rusak begitu aja
karena hal ini.” kata Hamid sambil mencengkram kedua pergelangan tangan Nino.
Mendengar nama mendiang adiknya
disebutkan dengan suara yang sarat dengan takzim seperti itu membuat Nino
melunak sedikit. Dia melepaskan cengkramannya pada kerah kemeja Hamid dan
menundukkan kepalanya. Sementara Hamid berusaha untuk merapikan kembali
kemejanya yang sedikit kusut setelah direnggut Nino.
“Sorry.” Katanya pelan. Tapi masih bisa terdengar dengan jelas oleh
Hamid. “Gue Cuma nggak mau sesuatu yang buruk terjadi sama Riri.. Dia-“
“Satu-satunya adik lu yang tersisa.
Iya, gue ngerti, No..” Nino makin menundukkan kepalanya. Selalu ada selentingan
yang menyakiti hatinya saat mendengar hal itu. Mengingatkannya kalau dia pernah
memiliki seorang adik selain Riri, yang saat ini tak bisa lagi dia temui
keberadaannya selain di hati dan pikiranya sendiri. Adik yang juga sangat dia
sayangi. Mario.
“Kita bicarain semuanya di restoran
depan kantor aja, gimana?” ajak Hamid. Nino hanya mengangguk saja.
“Ayo, gue perlu sogokan buat bikin
mulut gue lancar ngomong nih.. Perut gue juga..” katanya sambil merangkul bahu
Nino yang sedikit lebih tinggi dari miliknya.
“Ck, jadi ceritanya minta di
traktir nih?”
“Yah, kurang lebih begitu.. Seret mulut
gue.. Susah ngomong.. Mungkin king crab lada
hitam, chopped lamb, caesar salad, sama caviar sushi fushion bisa
meredakan kekakuan di mulut gue..”
“Itu namanya lu mau bikin dompet gue
mengalami musim kemarau. Kering, nggak ada isinya..” kata Nino sambil
melepaskan rangkulan di bahunya. Sebelah tangannya mendarat di kepala Hamid.
Kali ini tidak terlalu kencang. Meski demikian, Hamid tetap saja berpura-pura
kesakitan.
Dan Hamid benar-benar melaksanakan
apa yang tadi dia katakan. Oke, tidak semuanya sih. Hanya kepiting lada hitam,
sushi, dan segelas jus terong Belanda.
“Jadi darimana harus gue mulai?”
tanya Hamid setelah memasukkan dua potong sushi ke dalam mulutnya.
“Ada apa sama Riri?”
“Dia nggak balik lagi ke kantor setelah
keluar nyari cemilan gara-gara ngerasa badannya nggak enak.” Jawab Hamid sambil
mencampurkan sedikit wasabi ke dalam shoyu
yang sudah dia tuangkan ke piring kecil. “Dan belum lama ini dia gue suruh
buat general check up.”
“General check up? Kenapa?”
“Pas latihan, dia bikin
temen-temennya kalang kabut gara-gara dia yang ngilang begitu aja. Setelah gue
cari, ternyata dia ada di gudang penyimpanan barang.” Hamid meletakkan sumpit
yang dia pergunakan untuk melahap sushi di atas alas sumpit.
“Dan lu tahu? Dia ternyata pingsan
di sana. Gue rasa dia udah nahan semua rasa sakitnya dari pas awal latihan.
Tapi dia nggak mau bilang sama yang lain. Lu tahu sendiri alasannya. Parahnya
lagi, dia bahkan nggak ngasih tahu gue sampe akhirnya Alex dateng ke rumah buat
ngebalikin kotak saxophone sama handphone Riri yang ada di tempat latihan.”
“Terus hasilnya gimana?”
tenggorokan Nino terasa kering setelah mendengar penuturan Hamid.
“Katanya sih baik-baik aja. Dia
Cuma anemia sama kecapean.”
“Kenapa dia nggak ngasih hasilnya
juga sama gue?”
“Lah, gimana dia mau ngasih? Lu
ngedenger dia sakit dikit aja mukanya langsung berubah panik kayak begitu. Dia nggak mau bikin lu khawatir. Makanya dia
nggak ngasih tahu lu..” Hamid kembali meraih sumpitnya. Dengan tangkas dia
mengambil sejumput daging kepiting yang memang sudah dipisahkan dari
cangkang-cangkangnya.
“Apa gue udah mulai overprotective lagi sampai dia nggak mau
ngebagi masalahnya sama gue? Atau emang gue yang terlalu sibuk belakangan ini?”
tanya Nino lirih. Nada suara Nino yang seperti ini sukses membuat Hamid menahan
kepiting lezat yang akan dia masukkan ke dalam mulutnya.
“Kalau menurut gue, lu biasa aja
kok.. Emang lu itu orang yang sibuk, secara pekerjaan lu itu nyangkut sama
hidup matinya orang lain. Tapi toh lu selalu nyempetin buat ngabisin waktu sama
dia.. Yang penting lu ngabisin waktu yang berkualitas sama dia.. Dan masalah
apa yang nggak lu tahu?” Hamid menatap Nino dalam-dalam.
“Masalah ini..”
“Ck, kan udah due bilang
sebelumnya. Cepet atau lambat lu pasti akan tahu masalah ini.. Lagian juga
hasilnya baik-baik aja.. Nggak adalah yang perlu di khawatirin.. Gue yakin Riri
tahu apa yang terbaik buat dirinya sendiri.. Dia kan udah dewasa.. Satu lagi,
menurut gue, Riri nggak nyeritain masalahnya ke lu, lu yang nggak tahu masalah
Riri, itu sah-sah aja. Nggak semua kakak tahu semua masalah yang lagi di hadapin
sama adiknya sendiri, No. Percaya deh sama gue.”
Nino tersenyum kecil menanggapinya.
Mungkin dia akan mulai mempercayai Riri untuk benar-benar mengurusi masalahnya
sendiri. Menunggu hingga dia menceritakan sendiri semuanya tanpa ada paksaan
dari Nino. Perlahan Nino menyendok es krim green
teanya. Merasakan manis yang diiringi rasa sepat yang kesat di lidahnya.
Sementara Hamid makan dengan
perlahan. Masih memblokir perasaannya yang tak menentu sejak tadi. Merasa masih
ada yang disembunyikan Riri.
**********
Final Apollo Orchestra Competition
tinggal sebulan lagi. Semuanya makin gencar untuk latihan. Terlebih saat tahu
kalau mereka harus bisa menghentikan latihannya pada saat dua minggu sebelum
final di lanksanakan. Pasalnya, pada tanggal-tanggal itu akan dilaksanakan
ujian akhir semester. Dan semuanya tidak mau mengambil resiko untuk tetap
berlatih saat UAS berlangsung. Takut tidak maksimal, baik itu untuk hasil
latihannya maupun untu hasil ujiannya.
“Riri mana, Lex? Dari dua hari yang
lalu dia nggak keliatan.” Tanya salah satu dari anggota orchestra.
“Nggak tahu. Dia nggak bisa di
hubungin.” Jawabnya sambil menekan tombol merah pada ponselnya dengan gemas.
“Ah, gimana sih si Riri itu.. Emang
deh gue akuin kalau dia itu udah jago banget mainnya. Tapi kan bukan berarti dia bisa seenaknya aja
bolos latihan kayak begini..”
“Betul itu.. Lu bilangin dong cewek
lu, Lex..”
“Iya, nanti gue bilangin.. Sekarang
kita mulai aja latihannya..” kata Alex. Dia menarik napas panjang dan
menghembuskannya perlahan. Mengatasi sakit kepala karena memikirkan terlalu
banyak hal dalam satu waktu yang bersamaan. Mengenai sikap aneh Riri yang sulit
di hubungi belakangan ini, mengenai absennya Riri di banyak jadwal latihan,
mengenai perasaan Riri padanya yang entah kenapa dia rasa sudah mulai memudar,
dan masih banyak lagi. terlalu banyak untuk dijabarkan semuanya.
Sementara Fred, Billy, Nita dan
Nate yang berada tak jauh dari Alex juga bisa mendengar apa yang dikeluhkan
oleh anggota orchestra yang lain. Mereka juga tak bisa melakukan apa-apa. Riri
tetap tak bisa mereka hubungi. Tak mungkin juga mereka menghubungi Nino. Karena
Nino belakangan ini selalu pergi pagi dan kembali menjelang tengah malam.
“Riri kemana sih, kak? Emang ada
kerjaan yang nggak bisa dia tinggalin?” tanya Nita.
“Nggak tahu dia kemana. Dia tadi
pergi kok, katanya mau ke sini. Tapi kok nggak ada juga orangnya.” Jawab Billy.
“Dan kalau emang ada kerjaan yang
nggak bisa ditinggalin, harusnya Hamid bisa handle.”
Sambung Fred.
“Terus sekarang dia mana?”
“Kalau gue tahu, gue udah pasti
bakal nyamperin dia sekarang, Nate..” kata Fred gemas.
‘Apa ada sesuatu yang terjadi sama
dia? Haish! Buang semua pikiran jelek lu, Fred!’
**********
Aku menarik napas panjang. Aku harus
tenang. Kalau tidak, semuanya akan jadi lebih buruk dengan berita yang baru
saja aku dengar.
‘Tenang, No. Tenang..’ batinku.
Setelah memarkirkan mobil yang
beberapa minggu lalu aku beli –karena mobilku ringsek setelah kecelakaan waktu
itu- aku pergi ke gedung B. Berharap menemukan apa yang aku cari. Aku cukup
menyadari pandangan yang dilemparkan orang-orang padaku. Ah, peduli setan
dengan hal itu. Itu benar-benar tidak penting saat ini.
“Maaf, mau tanya. Lihat Marissa
nggak?” tanyaku pada salah satu mahasiswi yang ada di tangga gedung B. Dia
terlihat kaget. Mulutnya menganga. Ada apa dengan dia?
“Haloo? Kenal Marissa nggak?”
tanyaku sekali lagi. Dan dia hanya mengangguk. Masih dengan wajah yang terkejut
sekaligus terperangah.
“Tahu dimana dia sekarang?” dia
menggeleng menjawab pertanyaanku.
“Thanks.” Aku kembali berlari menaiki anak tangga. Mengintip di
semua kelas yang ada di tiap lantai gedung B. Tapi Riri tak juga aku temukan.
Tuhan, kemana anak ini?!
Aku merogoh saku celanaku. Mengambil
ponselku dan berusaha menghubunginya sekali lagi. Tapi tetap tak ada jawaban. Membuatku
ingin membanting ponselku saja!
“Aula! Apa dia ada di aula?” aku
segera berlari ke aula yang letaknya terpisah dari gedung B. Dan ternyata aula
kampus belum selesai diperbaiki. Walau demikian, aku tetap memeriksa keberadaan
Riri di sana. Nihil. Aku kembali menekan keypad ponselku. Berusaha bertanya
mengenai keberadaan Riri.
“Ratih? Riri ke kantor hari ini?”
“Belum ada pak hari ini.”
“Kamu tahu jadwal dia hari ini
kemana aja?”
“Kalau itu saya nggak tahu, pak.
Biasanya yang tahu jadwal seperti itu ya Hamid, Riri, Billy, Fred dan Darrel
sendiri –Kalau dia sedang ada di Indonesia-.”
“Kalau begitu, makasih, Tih.” Aku
menghembuskan napas putus asa. Dimana lagi aku harus menanyakan keberadaan
Riri?
Sudah hampir satu jam aku- Ah! Kau mendadak
jadi bodoh sekali kali ini, Nino! Kenapa aku tidak meminta bantuan Hamid?! Dia
kan bisa melacak keberadaan Riri. Hingga saat ini Riri kan masih mengenakan
kalung yang di dalamnya tertanam pelacak.
Aku menunggu jawaban dari Hamid
sambil tetap melangkah mengeliling kampus yang tak bisa dibilang kecil juga. Beberapa
kali aku harus berhenti untuk membalas sapaan dari dosen yang dulu pernah
mengajarku. Memang, aku juga alumni universitas ini. Bisa dibilang ini adalah
tradisi keluarga. Ayah dan ibu juga pernah berkuliah di sini.
Tak ada jawaban dari Hamid. Aku
kembali menghubunginya. Kalau perlu aku pergi ke rumahnya sekalian.
“Halo, Mid?”
“Kenapa, No?”
“Mid, cari Riri. sekarang.”
“Riri? ada apa?”
“Udah, buruan cari dimana dia.
Cepetan!”
“Tunggu, sepuluh menit lagi gue
hubungin. Gue mau cari di system dulu.” Secepat itu dia bicara, secepet itu
pula dia memutuskan hubungan telepon kami.
Sembari menunggu Hamid melacak
keberadaan Riri, aku pergi ke kantin. Berharap bisa menemukan Riri di sana. Dan
upayaku tak membuahkan hasil. Riri tak ada di kantin. Masa iya aku perlu pergi
ke tiap toilet yang ada di kampus?
“Riri udah ketemu, Mid?”
“Udah. Dia ada di- Tunggu! Ini..”
“Ada apa, Mid? Riri dimana?” tak
ada sahutan dari seberang sana. Yang bisa kudengar hanya suara langkah kaki
yang berpijak dengan keras dan cepat diiringi desau angin yang menderu cepat.
“Mid? Mid? Ada apa, Mid?” tapi tak
juga kudengar suara Hamid. Itu membuat jantungku berdebar makin kencang. Tuhan!
Apa yang sebenarnya terjadi?
“Riri!” aku mendengar sayup-sayup
suara Hamid yang terkesiap memanggil nama Riri. Aku merasa lututku melemas saat
itu juga. Nada suara yang seperti itu, aku tidak suka. Seakan telah terjadi sesuatu
yang buruk terhadap Riri. Napasku sesak. Apa yang terjadi pada Riri?
“Nino-“
“Apa? Ada apa sama Riri?”
“Buruan ke rumah gue sekarang!”
To be continue.
Posted at Perpustakaan Daerah Kota Tangerang, Cikokol.
Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar
menuangkan imajinasi ke atas kertas, bercerita.
Dan saya mengharapkan kritik
konstruktif dari anda semua :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar