Dia menekan pedal gas sepanjang
jalan. Hanya pedal gas. Bukan yang lain. Seperti melupakan kehadiran rem yang memang ada di sana. Juga tak mempedulikan kemungkinan hadirnya polisi lalu
lintas yang bisa saja menahan perjalannya yang tengah terburu-buru kali ini. Hanya satu
yang dia pedulikan. Sampai secepat mungkin di tempat tujuan. Hanya itu.
Dia menghentikan kendarannya dengan
sentakan yang amat sangat kuat. Menimbulkan decitan keras karena ban dan aspal
jalanan yang saling bergesekan. Dia menutup pintu mobilnya dengan bantingan –yang
juga- keras. Tak peduli dengan bunyi memekakkan telinga yang tercipta
karenanya. Jas dokternya berkibar-kibar tertabrak angin saat dia berlari ke
dalam pekarangan rumah.
“Assalamu’alaikum!” teriaknya
sambil membuka pintu rumah yang ada di hadapannya. Tanpa menunggu jawaban dari
si empunya rumah, dia melangkah masuk begitu saja.
“Hamid! Lu dimana?”
“Gue di kamar!” dia segera pergi ke
arah sumber suara. Dan mematung saat dia membuka pintu kamar itu.
Dia melihat Riri yang terkapar dengan
mata yang tertutup, bersandar pada kepala ranjang. Sementara Hamid duduk di
sebelahnya dengan tangan yang menggenggam tissue berwarna merah.
“Kenapa bisa begini?”
Tenggorokannya kering. Tercekat hingga tercekik melihat keadaan adik semata
wayangnya saat ini.
“Gue juga nggak tahu, No. Pas gue
lacak keberadaannya, dia ada di lapangan deket sini. Makanya gue langsung pergi
ke sana.” Nino tak berkata apa-apa. Tak fokus mendengarkan penjelasan
Hamid. Tangannya telah mengambil alih
tissue yang ada di dekat Hamid. Dengan sedikit bergetar dia menyeka darah segar
yang seperti tak ingin berhenti mengalir dari hidung Riri.
Dia telah terbiasa menangani pasien
yang lebih parah keadaannnya dari pada ini. Tapi akan sangat berbeda sekali
saat orang yang kau cintai yang hilang kesadaran dan berdarah-darah seperti
ini.
“Udah berapa lama dia begini?”
tanya Nino dengan suara bergetar. Napasnya tak teratur.
“Nggak tahu. Tapi waktu gue temuin
dia di sana, di karpet mobilnya ada sedikit tetesan darah. Gue rasa rentang waktu
dari dia mulai mimisan sampai ditemuin itu nggak terlalu jauh.”
“Ya ampun, Riri.. Kamu kenapa
begini lagi sih?” Nino masih setia menekan hidung Riri dengan ibu jari dan
telunjuknya. Berharap pendarahan yang diderita Riri bisa segera berhenti.
“Begini lagi? Maksudnya?”
**********
Nino meregangkan tubuhnya.
Semalaman dia harus berjaga di rumah sakit. Sebenarnya dia tidak harus berjaga
di ruang ICU. Tapi karena temanya ada yang sakit, maka dia menggantikannya. Hitung-
hitung dia membalas budi karena temanya itu telah rela menggantikan shift
jaganya saat Riri sakit tempo hari.
Dia pergi menuju mesin pembuat kopi
dengan langkah pelan. Dia sangat mengantuk. Membutuhkan pasokkan kafein untuk
tetap terjaga hingga masa tugasnya berakhir satu jam lagi. Rasa kantuk yang
teramat sangat membuatnya menguap lebar saat menunggu kopi selesai di proses di
mesin pembuat kopi.
Kopinya selesai di proses bersamaan
dengan terbitnya matahari. Dia terpukau dengan cahaya matahari yang masih redup
menyinari langit Jakarta. Terlena dengan keindahan yang ditawarkan. Hingga tak
menyadari gelas kopinya yang telah berpindah tangan.
“Aaahh.. Kopi buatan lu enak juga,
No..”
Nino kaget mendengar suara yang
tepat ada di sebelahnya itu. Dengan cepat dia menolehkan kepalanya ke samping
dan mencelos. Mendapati temannya yang tadi berbicara.
“Gaaah! Kopi gue!” pekik Nino saat
melihat kopi di gelasnya telah surut entah berapa banyak. Padahal dia belum
meminum sedikitpun. Setengah merengut dia kembali membuat kopi. Tentu saja
dengan menggunakan gelas kopi yang baru. Karena gelas kopinya masih ‘di
sandera’ oleh temannya itu.
“Hahaha.. Nggak usah cemberut
begitu, No.. Udah seharusnya lu berbagi kopi sama orang yang udah seminggu
hampir nggak tidur..”
“Lah, kenapa lu nggak tidur? Terus
ngapain lu di sini?”
“Gue nungguin nyokap.. Dia ada di
ICU sekarang.. Baru aja masuk tadi..”
“Ada apa sama nyokap?”
“Dia di rawat di rumah sakit deket
rumahnya gara-gara kena serangan jantung.. Udah mendingan dan boleh pulang
setelah dirawat selama semingguan.. Dia bilang mau ikut ke rumah gue.. Kangen
sama cucunya katanya.. Tapi tadi subuh, nyokap tiba-tiba jatuh begitu aja..
Ternyata pembuluh darah di otaknya pecah..” Nino tahu temannya yang satu ini
mencoba untuk tidak tampak terbebani oleh kesedihan. Terlihat dari genggaman
tangannya yang mengencang pada gelas kopinya.
Nino paham betul apa yang di
rasakan oleh temannya itu. Melihat orang yang begitu dicintai terkapar sebegitu
tidak berdayanya, tanpa bisa menolong, itu benar-benar menyakiti hati nurani. Mengetahui
harapan hidup orang yang paling kita kasihi nyaris padam. Dengar sendiri kan
tadi? Pecah pembuluh darah otak, stroke! Hanya sekitar 30% sampai 40% yang bisa
sembuh dengan sempurna, itupun bila penanganan yang diberikan kurang dari enam jam setelah serangan stroke
terjadi. Dan Nino tak mau menanyakan hal yang dia rasa makin membuat sedih
temannya tersebut.
Mereka berjalan beriringan menuju
ruang ICU dalam diam. Masih dengan tangan yang menggenggam gelas kopi yang
mengepul. Nino menemani temannya itu duduk di kursi tunggu ruang ICU yang tak
bisa dibilang kosong juga.
“Hmmhhh.. Lu tahu? Tiba-tiba aja
gue kepikiran sama orang yang check up di tempat gue praktek..” Nino hanya diam
mendengarkan dengan seksama. Tak ingin menyela orang yang keadaan hatinya
sedang bersedih saat ini.
“Dia masih muda, cantik, penyayang.
Terbukti dari tindakannya yang tanpa berlama-lama mikir berkali-kali buat
nolongin pasien yang nggak mampu buat periksa di lab dan nebusin obatnya. Gadis
ramah yang tetap senyum walau ada bapak-bapak yang nggak sengaja numpahin
kopinya ke pakaian yang dipakai gadis itu.” Temannya itu menghela napas berat.
“Tapi sayang, keadaannya nggak terlalu bagus.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Ada peningkatan di jumlah basofil, limposit dan monositnya. Entah
itu karena ada infeksi di tubuhnya hingga hasil pemeriksaannya seperti itu,
atau suspect leukemia. Harusnya dia
segera melakukan prosedur BMP. Tapi
dia nggak dateng-dateng juga.. Entah karena dia melakukannya di laboratorium
yang lain atau apa..”
Nino tersenyum kering. Di tengah kesedihannya, temannya yang satu ini
masih bisa-bisanya menghkawatirkan keadaan orang lain. Itu yang membuatnya
salut, membuatnya betah berteman dengan orang yang satu ini. Mungkin itu salah
satu caranya untuk bisa mengalihkan perhatiannya dari kesedihan yang masih
menawan jiwanya. Mungkin.
“Dan, lu tahu? Sekilas dia mirip
sama Rio..” Nino tersentak mendengarnya. Hingga gelas kopinya sedikit tersentak
dan memerciki jas dokternya yang berwarna putih itu.
“Lu inget siapa namanya?” tanya
Nino cepat. Pria di sebelahnya mengerutkan dahi dalam-dalam. Berusaha menggali
ke dalam pikirannya yang sejak kemarin tak henti dijejali pikiran-pikiran yang
seperti memberatkan bahunya yang lelah.
“Mavia.. Stevia Putri.. Stavia..
Tunggu, No.. Gue inget- inget dulu namanya..” Nino diam, tak mengijinkan
mulutnya berkata-kata.
“Siapa ya.. Hmmmhh.. Marissa Stevia
Putri..” Nino seperti menelan kaktus.
“Marissa Anastacia Putri.” Lirih
Nino.
“Naah! Betul itu! Eh, kok lu tahu?”
Nino tak bisa berkata apa-apa. Napasnya menghilang entah kemana. Membuat
dadanya sesak.
Sumpah demi Tuhan! Dia baru saja
merasakan jantungnya hampir berhenti bekerja karena terlalu cepat berdetak.
“Lu yakin namanya Marissa Anastacia
Putri?”
“Gue yakin banget, No..”
“Suspect leukemia?” teman di sebelahnya mengangguk.
Tanpa kata Nino bangkit dari
duduknya. Membuat temannya kaget dengan kelakuan Nino yang seperti itu. Dia
meletakkan gelas kopinya begitu saja di bangku tunggu ruang ICU. Kemudian dia
melangkah pergi dengan cepat, meski langkahnya terlihat goyah.
Haruskah Riri-nya mengalamai hal
seperti ini lagi? Leukemia?
**********
“Jadi Riri suspect leukemia?” tanya Hamid saat kami berdua tengah ada di ruang
tengah. Aku hanya bisa mengangguk lemah.
“Tapi baru suspect kan? Dia nggak bener-bener leukemia lagi, kan?”
“Gue berharap nggak. Tapi mengingat
riwayat kesehatannya, gue.. Gue bahkan takut buat mengatakan hal itu, Mid..
Tuhaaan.. Kenapa sepertinya cobaan ini nggak berhenti-berhenti juga?” Kepalaku
sakit jika harus membayangkan semuanya terjadi. Mataku terasa panas, napasku
berubah tak beraturan.
“Tenang, No.. Riri akan baik-baik
aja..”
“Baik-baik aja? Riri nggak akan
baik-baik aja, Mid! Suspect leukemia,
dan lu masih bilang dia akan baik-baik aja?! Gimana kalau dia benar-benar
menderita leukemia untuk yang kedua kalinya?” aku berteriak frustasi.
“Pasti ada jalan keluarnya, No..
Pasti ada pengobatan yang bisa bikin Riri bertahan di sini lebih lama lagi..”
“Gimana seandainya pengobatan yang
dilakukan gagal ngusir penyakit sialan itu dari tubuhnya? Gimana kalau akhirnya
gue harus kehilangan adik lagi? Gue nggak akan sanggup, Mid.. Nggak akan
sanggup.. Tuhan! Gue nggak mau ngebayangin gimana cara gue ngejalanin hari-hari
gue tanpa bisa ngeliat senyum Riri lagi.. Gue takut ngebayangin hal itu
terjadi, Mid..” Jangan.. Jangan biarkan mataku mengabur karena air mata.
Aku menopang kepalaku dengan sebelah
tanganku. Meremasnya. Kepalaku sakit. Seperti hati dan jiwaku yang tersakiti
oleh semua kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi atas hidup Riri.
Kenapa Tuhan senang sekali mencoba anak itu?!
“Nino! Berhenti ngomong yang
nggak-nggak!” pekik Hamid sembari menghempaskan tangan yang ku gunakan untuk
menopang kepalaku. Membebaskan kepalaku dari rasa sakit yang bertambah sejak ku
putuskan untuk berusaha menghancurkan tengkorakku dengan tanganku sendiri.
“Kak Nino nangis?” aku segera
menoleh ke arah sumber suara dan menemukan Riri yang tengah berdiri di ambang
pintu, menumpukan tubuhnya yang terlihat masih lemah di sana.
“Nggak.. Kakak nggak nangis kok..” Tuhan,
jaga suaraku agar tak bergetar seperti ini.
“Bukan nggak nangis, kak.. Tapi
belum..” Aku melihatnya tersenyum. Harusnya itu bisa membuatku bahagia. Lalu
kenapa sekarang mataku malah makin mengabur oleh air mata kesedihan yang
menyakitkan? Sial!
“Riri..” aku tercekat saat menatap
wajahnya yang sedikit pucat. Dia berjalan sangat perlahan menuju ke arah kami.
Aku membantunya untuk duduk di sebelahku.
“Riri.. Kenapa kamu nggak bilang
kalau hasil check up kamu nggak
baik?” dia tak menjawab. Hanya terus menatap wajahku.
“Ini..” katanya sambil mengusap mataku.
“Ini yang bikin Riri nggak bilang ke kak Nino tentang semua hasilnya.. Riri
nggak bisa ngeliat kak Nino nangis kayak gini..”
Aku menggenggam tangannya yang tadi
menghapus air mataku meski belum tertumpah. Merasakan sedikit dingin yang
bertengger di sana.
“Kita BMP sekarang, ya?” kataku bergetar.
Dan dia menggeleng. “Kenapa?”
“Riri takut..”
“Jangan takut.. Kakak akan nemenin
kamu.. Kakak akan memastikan supaya kamu nggak ngerasain sakit selama-”
“Bukan.. Riri bukan takut karena
hal itu.. Sekarang Riri nggak takut lagi sama yang namanya sakit, kak.. Sudah
terlalu familiar dengan rasa sakit di badan..” sebelah tangannya ikut
menggenggam tanganku. Erat sekali.
“Riri takut dengan kebenaran,
kak..” dia memutuskan kontak mata diantara kami. “Riri takut kalau Riri benar
mengidap leukemia, lagi.. Riri takut nggak bisa survive..”
Kurasakan ada yang menetes ke atas
tanganku. Air mata Riri. Tuhan.. Kenapa Kau tega membuat malaikat kesayanganku
menangis sedih seperti ini?
Serta merta aku meraupnya dalam pelukanku.
Merasakan tubuhnya yang bergetar. Merasakan air matanya yang terus bergulir.
Kali ini aku tak bisa memintanya untuk menghentikan segala tangis kesedihannya.
Bagaimana aku bisa memintanya untuk
berhenti menangis, sedangkan aku pun turut menangis bersamanya?
**********
Dia merasakan ada sesuatu yang
salah dalam dadanya. Bukan, bukan karena alasan kesehatan. Tapi lebih kepada
jiwanya yang terusik. Gelisah. Tapi tak tahu apa yang membuatnya gelisah.
Sekali lagi dia mengedarkan
pandangannya. Mencari sosok yang selama ini bisa membuat hatinya tenang. Dan
dia tak menemukannya. Kemana gadis impiannya?
Empat hari, gadis impiannya itu
menghilang dari peredaran. Dia tak bisa menemukan gadis itu di kampus, di
rumahnya, bahkan hingga di kantor. Kemana gadis impiannya pergi?
Jangan tanyakan betapa tidak
kondusif acara latihan orchestra akhir-akhir ini. Bahkan lelaki yang memiliki
hati gadis impiannya saja tak tahu menahu tentang keberadaan Riri.
Dia sudah mencoba untuk menghubungi
Nino. Tapi tak pernah berhasil. Nino juga seakan menghilang bersama Riri. Menanyakannya
pada Hamid, dan dia hanya mendapatkan kalimat yang sama. ‘Gue udah nyebar anak
buah gue. Tinggal nunggu mereka ngasih kabar.’
Sungguh, dia ingin sekali pergi
mencari Riri. Mungkin saja setelah bisa melihat wajah gadis itu, dia bisa
merasa tenang. Tapi tak mungkin dia meninggalkan kewajibannya di sini.
“Kak, Minggu depan ada waktu?” dia
mengangguk menanggapi pertanyaan gadisnya. “Bisa temenin aku ke toko perhiasan?
Aku mau ngambil cincin mamaku..”
“Oke.. Name the time and I’ll pick you up.”
“Makasih, kak..”
“Sama-sama..” sebelah tangannya
bergerak mengusap puncak kepala gadisnya. Sebuah gerakan kecil, namun masih
saja bisa membuahkan gurat merah tipis di pipi gadisnya. Membuat gadisnya
melangkah ringan, pergi dari hadapannya.
“Kak, Riri masih belum ada
kabarnya?” tanya Nita pada Billy. Dia mendengar pertanyaan itu samar-samar
karena jarak yang membentang. Dan dia yakin, 700%, Billy akan menjawab tidak
tahu.
“Dia pergi buat ngurus masalah yang
ada di perkebunan sawit miliknya.”
“Darimana lu tahu kalau dia pergi
ke sana?” dia tak bisa menahan lidahnya untuk tak melontarkan pertanyaan itu
secepat kakinya melangkah ke arah dua orang itu.
“Hamid.”
“Kenapa bukan Hamid aja yang ke
sana?”
“Jangan tanya ke gue. Gue nggak
pernah ngerti jalan pikiran anak itu.”
Dia menghela napas panjang. Memang,
hanya jika mereka beruntung saja mereka bisa menebak jalan pikiran Riri.
Sisanya, hanya Riri dan Tuhan yang tahu.
Tapi tak apa. Setidaknya dia sudah
tahu keadaan gadis impiannya baik-baik saja. Setidaknya badai gelisah yang
sejak kemarin menghantui dadanya sedikit mereda.
***********
Dia melangkah perlahan. Menyusuri
lorong rumah sakit yang ada tidak terlalu jauh dari rumahnya. Ibunya, berada di
sini. Setelah kemarin tertabrak mobil saat sedang mengendarai sepeda motornya.
Khawatir masih saja ada di dadanya. Walau dokter telah mengatakan kalau ibunya
itu tak terluka terlalu parah. Hanya sedikit shock dan memerlukan beberapa
jahitan di kakinya.
Kalau keadaannya sudah membaik, dia
bisa membawa pulang ibunya hari ini juga. Yah, semoga saja bisa keluar hari ini
juga. Dia tidak tahan jika harus terus-terusan mendengar suara ibunya –yang
lebih mirip rengekan- yang meminta untuk sesegera mungkin pulang ke rumah.
“Nona Marissa..” Dia menghentikan
langkahnya.
“Marissa.. Marissa Anastacia
Putri..” dan dia melihat gadisnya melangkah perlahan menuju ruang praktek
dokter. Ada apa dengan Marissa? Kenapa dia tidak tahu?
Onkologis? Dokter spesialis kanker?
Apa yang terjadi?
Dia tak bisa melangkahkan kakinya
untuk beranjak dari tempat itu. Tidak setelah dia melihat gadisnya yang
memasuki ruang praktek dokter dengan wajah yang tertekan seperti itu.
Saat perawat masuk ke ruangan itu
dengan membawa amplop yang tidak terlalu besar, dia mencegah pintu ruang
praktek itu tertutup sempurna. Membuat jalan bagi suara dari dalam untuk
merangkak keluar. Juga membuat dia bisa mengintip ke dalam.
Terlihat dokter paruh baya yang
sedang membuka amplop itu. Kemudian dia bisa menangkap sejumput raut penuh
prihatin yang tersamarkan pada wajah dokter itu.
“Maaf, Marissa..” Punggung gadisnya
yang menegang tiba-tiba bisa dia tangkap dengan jelas dari tempatnya berdiri.
“Apa yang kita takutkan selama
ini.. Hhh.. Benar-benar terjadi..”
Dia berdiri dalam kebekuan yang
menakutkan. Merasakan hatinya yang seperti jadi beku kemudian hancur dengan
tidak beradab. Ketok palu yang terlalu kejam untuk gadisnya telah dia dengar
dengan telinganya sendiri. Membuahkan kehancuran pada sekeping jiwanya yang
setipis lapisan es.
***********
“Gimana tadi? Bisa ngerjain
soalnya?”
“Bisa dong.. Masa iya udah berguru
sama kakak tapi nggak bisa-bisa juga..”
“Good. That’s my girl..” katanya sembari menepuk pelan puncak kepala
gadisnya.
“Karena hari ini kita selesai ujian
dan udah nggak latihan lagi, gimana kalau kita jalan-jalan?”
“Kemana?”
“Kita duduk aja di situ.. Sambil
makan es krim bucket enak kayaknya..”
Riri mengikuti arah pandangan Alex dan mengangguk setuju. Taman belakang kampus
yang terlalu sering jadi tempat mereka berkencan.
Setelah Alex membeli es krim yang
cukup besar dan meminjam sendok dari penjaga kantin, mereka duduk bersama. Di
bawah pohon rindang yang melindungi mereka dari paparan sinar matahari.
Riri menyendok es yang ada dalam
dekapan Alex. Memasukkanya ke mulutnya, dan merasakan manis vanilla yang lumer
membasahi lidahnya. Sementara Alex malah diam menikmati aksi Riri yang berusaha
melenyapkan es krim dari tempatnya.
“Kakak nggak makan? Sini aku
suapin.. Aaaaa…” sebentuk sabit tersembul di bibir Alex mendapat perlakuan
seperti itu. Segera saja dia melahap es krim yang di sodorkan Riri.
Dengan nyamannya Riri bersandar di
dada Alex. Dan Alex dengan kesenangan yang meluap-luap mendekap erat Riri.
Seperti yang biasa mereka lakukan. Membiarkan begitu saja es krim yang tinggal sepertiga
isinya. Seperti lupa kalau es takkan selamanya membeku.
“Menurut kamu, apa yang terpenting
dalam sebuah hubungan? Selain cinta.”
“Hmmmhh.. Menurutku kepercayaan dan
komunikasi. Juga pengertian dan keihklasan. Kebesaran hati untuk memaafkan juga
penting.” Alex tersenyum mendengarnya.
“Kepercayaan..” Alex menghela napas
sejenak. “Kamu bahagia, Marissa?”
“Tentu.” Alex melepaskan
dekapannya. Mencengkram lembut kedua lengan Riri. Membuatnya bisa melihat kedua
cerminan hati milik gadisnya.
“Kamu tahu? Kamu masih perlu banyak
belajar buat menyembunyikan perasaan kamu yang sebenarnya.”
“Maksudnya?”
“Kamu nggak bahagia, Marissa. I can see that in your eyes..” Hanya
sepi. Diam. keduanya sibuk dengan gejolak perasaannya masing-masing.
“Mau sampai kapan kamu menyembunyikan
kebenarannya?”
“Apa?”
“Aku udah tahu semuanya, Marissa..
Nggak ada gunanya lagi kamu nutupin hal itu sekarang..”
“Hal apa?”
“Aku tahu kalau kamu menderita..
Leukemia..”
**********
“Aku tahu kalau kamu menderita..
Leukemia..”
Telingaku berdenging mendengarnya.
Seperti terkena serangan jantung! Kapan dia mengetahui hal itu? Bagaimana bisa?
Yang mengetahui hal ini hanya Tuhan, dokter, kak Nino, kak Hamid dan aku saja.
Lalu kak Alex?
“Gimana kakak bisa tahu?”
“Berarti bukan telingaku yang salah
mendengar waktu itu.” Apa? Apa yang baru saja dia katakan? Aku benar-benar
tidak mengerti. Apa yang barus dia katakan? Berarti dia belum mengetahui
semuanya secara jelas? God, tell me what
the hell is going on!
“Jadi kakak-“
“Minggu yang lalu, saat aku pergi
ke rumah sakit buat nemenin mama, aku nggak sengaja denger semua di ruang
praktek dokter. Aku kira aku salah denger. Tapi ternyata.. Kamu memang
bener-bener udah nyembunyiin hal sepenting itu dari aku. Itu mengecewakan
sekali..” Bisa ku lihat dia yang mati-matian menahan emosinya. Kedua tangannya
saling terpaut kencang.
“Bukankah sebuah hubungan terbangun
atas dasar saling percaya? Atau memang itu keyakinan naif aku doang? Atau itu
Cuma gumaman semu yang meluncur dari bibir kamu tanpa ada makna di baliknya?” Sumpah
demi Tuhan. Aku tak tahu harus mengatakan apa.
“Sekarang jelasin semuanya. Jangan
ada yang kamu tutupin lagi, please..”
aku hanya bisa menatap matanya. Tak mampu berpikir, tak mampu melakukan apapun.
Korsleting sepertinya.
“Marissa.. Jelasin semuanya..
Gimana keadaan kamu sebenernya.. Please, jangan
buat aku ngerasa jadi pria yang bodoh dan nggak berguna, Marissa..” dia
mengguncang pelan bahuku. Dan aku berterima kasih akan hal itu. Setidaknya
guncangan kecil itu mampu memperbaiki sistem motorik tubuhku.
“Hhhh.. Leukemia limfositik akut.
Itu namanya. Dulu aku pernah kena LLA. Tapi karena sumsum tulang dari kak Rio,
aku bisa survive.” Ku lihat kak Alex
yang masih berkonsentrasi mendengarkan semua informasi yang akan kumuntahkan ke
hadapan wajahnya.
“Kata dokter, aku terlambat
terdeteksi. Keadaan aku udah terlalu parah. Kalau pengobatan gagal, aku tinggal
menunggu waktu buat reunian sama kak Rio, mama dan papa.”
“Berapa lama?”
“Menurut perkiraan dokter, dua
bulan. Tapi itu Cuma perkiraan. Bisa juga lebih cepat.” Aku mengatakannya
sembari mengembangkan senyum. Berusaha memberikan senyum terbaikku. Meski aku
tahu, senyumku sangat jauh dari kata baik.
“Kamu kemo?”
“Nggak. Percuma juga kayaknya ikut
kemo. Cuma bikin aku makin menderita. Efek sampingnya bikin hari aku rusak. Apalagi
kalau sampe ada ekstravasasi, ehm, obat yang ada di pembuluh darah bocor.. Itu
sakit banget.. Aku pernah ngalamin hal itu, dan aku nggak mau lagi kalau hal
itu terjadi lagi. Aku juga bingung kenapa dokter-dokter seneng banget nyuruh
pasien kankernya buat kemo. Kayak nggak ada pengobatan yang lebih manusiawi
aja.” Aku menggedikkan bahuku. Tak mau membayangkan apa yang baru saja ku
katakan.
“Terus apa yang akan kamu lakuin
sekarang?” aku menengadahkan wajahku. Menentang langit yang masih terlalu terik
–meski pandanganku tetap teduh karena bayang pohon-.
“Aku akan bersenang-senang.
Berusaha berbahagia di sisa umur aku yang terlalu singkat ini. Berbagi
kebahagiaan, kalau mungkin. Juga menyelesaikan kerjaan di kantor yang masih
numpuk kayak Mount Everest.” Aku
harus bahagia. Atau setidaknya menampilkan raut yang membuat kak Alex tak
terlalu terbebani oleh kenyataan ini.
Kak Alex meraupku dalam pelukannya.
Erat. Mungkin semua kenyataan ini terlalu berat untuk diterimanya. Aku tak mau
memungkiri, ini juga berat untukku. Tapi apa mau dikata. Aku juga yang salah.
Aku tak cepat memeriksakan diri karena menganggap remeh dan takut dengan kebenaran
yang akan kuterima nantinya.
“Kamu harus bahagia, Marissa..”
“Pasti.. Aku akan bahagia..”
“Kalau begitu, kejarlah
kebahagiaanmu.. Aku melepaskanmu untuk pergi dari dekapanku..” dia melepaskan
pelukannya perlahan.
“Kakak ngomong apa sih? Kakak nggak
mau buat aku bahagia?”
“Aku mau membuat kamu bahagia,
Marissa.. Dan inilah caranya..” kini kedua tangannya menangkup wajahku.
“Pria juga punya kemampuan untuk
mendeteksi kebahagiaan, Marissa.. Dan aku tahu kalau kamu nggak bahagia lagi
saat sama aku.. Makanya aku membebaskan kamu untuk pergi mengejar kebahagiaan
kamu..”
“Kak..”
“Aku mencintai kamu. Tapi perasaan
kamu udah berubah. I know that. Aku
tahu perasaan kamu udah berpaling pada yang lain. Dan aku nggak nyalahin hal
itu terjadi.. Aku udah terlalu banyak memberikan luka di hati kamu.. Dan
parahnya, setelah aku melukai hati kamu, aku bahkan nggak pernah mencoba buat
mengobatinya..”
“Fred.. Dia yang menjahit hampir
semua luka yang aku timbulkan.. Kamu mencintai Fred.. Iya, kan?”
“Aku nggak tahu..” kak Alex memindahkan
kedua tangannya ke atas kedua bahuku.
“Sekarang aku tanya. Apa tiap
ngeliat aku kamu ngerasa deg-degan?” aku berpikir sebentar. Kemudian menggeleng
perlahan.
“Apa tiap kamu sama aku kamu bisa
lupa segala hal? Lupa sama semua kelelahan, pikiran, masalah?” dan aku kembali
menggeleng.
“Apa aku yang ada di pikiran kamu
saat pertama kali kamu mendengar kata bahagia? Selain kak Nino, Hamid, ayah dan
ibu, tentu saja..” aku menggeleng makin perlahan.
“Pertanyaan terakhir. Kamu
deg-degan, lupa segala hal, dan memikirkan dia saat mendengar kata bahagia kan?
Fred..” aku terdiam. Merasa mendapat pembenaran. Seperti menerima wahyu dari
Tuhan.
“Nggak usah di jawablah itu.. Aku
udah sering ngeliat hal itu kok.. Kamu jatuh cinta sama dia.. Dia kebahagiaan
kamu.. Bukan aku..” aku menundukkan kepalaku.
“Haish.. Tatap aku.. Sekarang aku
mau kamu janji. Kamu harus bahagia. Kamu harus bisa menaklukan singa dingin
itu. Kamu juga harus tetap berusaha nyari jalan buat kesembuhan kamu. Oke?!”
aku tak bisa berkata apa-apa. Semua emosi bercampur aduk dalam dadaku. Membuat
otakku korsleting untuk yang kedua kalinya selama seharian ini.
“Janji?” kulihat kak Alex yang
menyodorkan kelingkingnya. Membuatku mau tak mau tersenyum menanggapi sikap
kekanakkannya itu.
“Aku juga mau kakak janji. Kakak
harus nemuin perempuan yang mencintai kakak sepenuhnya. Kakak juga harus
bahagia. Cross your heart!”
Perintahku. Dan dia melakukannya dengan segera. Membuat tanda silang di atas
dadanya.
“Anak pintar..” dengan gaya yang
sok dewasa aku menepuk-nepuk puncak kepalanya. Seperti seorang ibu yang tengah
memuji anaknya yang berkelakuan baik seharian.
“Ehm, hari ini aku pergi ke
Sydney.. Nenek aku terlalu kangen sama cucu kesayangannya yang satu ini.. Jadi
aku rasa aku baru bisa balik lagi ke sini pas hari lombanya..”
“Salam buat dia.. Bilang, salam
cinta dari aku..” kak Alex menepuk-nepuk pelan puncak kepalaku. Kemudian dia
kembali membuatku bersandar di dadanya. Mendekapku erat.
“Biar begini, Marissa.. Bairkan
seperti ini.. Setidaknya sampai tiba waktunya aku harus berangkat ke bandara..
Biar aku merasakan untuk yang terakhir kalinya..” aku tak membalas
perkataannya. Membiarkan dia melakukan apa yang dia mau saat ini. Hanya ini
yang bisa aku berikan untuknya sebagai tanda terima kasih karena telah berbesar
hati melepaskan aku dari genggamannya.
Kami hanya diam. Menikmati terik
mentari yang terhalang pepohonan. Menanti senja yang akan datang nanti.
“Maaf..” katanya. Aku mengrenyit,
bertanya-tanya untuk apa dia meminta maaf.
“Maaf karena aku udah menahan kamu
untuk terus ada di sisi aku.. Karena aku masih saja bebal, menganggap aku bisa
membahagiakan kamu walau aku tahu kamu takkan pernah bahagia kalau sama aku..
Maaf aku udah menjelma jadi pria yang terlalu egois.. Aku pasti berlumur dosa
karena telah terus menahan malaikat untuk tetap ada di bumi, hingga
sayap-sayapnya patah dan tak mampu lagi terbang ke kahyangan..” aku bangkit
dari peraduanku dan mengusap wajah kak Alex.
“Nggak ada yang salah, kak.. Dan
sejak kapan kakak jadi puitis begini? Kayak bukan Alexander aja.. Hahahaha…”
“Sejak aku jatuh cinta sama kamu..”
“Kak, jangan ngegombalin aku
melulu.. Mendingan kakak mulai ngegombalin cewek lain.. Atau jangan-jangan
kakak lagi belajar buat ngegombalin cewek-cewek di Sydney ya? Hayo ngaku!”
“Oh man! Kok kamu bisa tahu sih!” aku tergelak saat melihat kak Alex
yang mengerucutkan bibirnya. Berpura-pura sebal. Sungguh, kekanakkan sekali.
Senja hampir berakhir, bersamaan
dengan kebersamaan kami yang harus berakhir. Kak Alex membantuku berdiri. Setelah
menepuk-nepuk celanaku untuk mengusur kotoran yang menempel di sana, kami
berjalan menuju kantin. Hendak mengembalikan sendok yang kami pakai tadi.
Kak Alex menggenggam tanganku
sepanjang jalan menuju kantin. Bahkan hingga kami tiba di parkiran, kami masih
bergandengan tangan.
“Kakak nggak bawa motor atau mobil?”
dan dia menggeleng. “Mau aku anter ke bandara? Tante ikut juga?”
“Nggak usah.. Aku naik taksi aja..
Mama juga ikut kok.. Dia udah duluan ke bandara, sekalian bawa tas pakaian
aku..” aku mengangguk-angguk.
“May I?” aku mengangguk saja.
Dia melumat bibirku, perlahan. Singkat
dan berat. Kemudian dia memelukku erat. Erat sekali. Berkali-kali mendaratkan
kecupan di puncak kepalaku.
“Ah, I’m gonna miss these moments.. But
I have to let you go, right? Makasih buat semua kebahagiaan, keikhlasan dan
pengertian yang kamu kasih buat aku, Marissa..” aku tak bisa menjawabnya. Dia melepaskan
pelukannya. Meninggalkan genggaman tangannya yang masih saja erat membingkai
tanganku.
“Jadi, inilah akhirnya.. Look. Senja berakhir. Begitu juga
hubungan kita.. Semoga kamu bisa mendapatkan semua kebahagiaan kamu..”
“Semoga kakak juga bisa menemukan
kebahagiaan yang lebih indah daripada yang pernah aku berikan..”
Kak Alex menghentikan taksi yang
lewat di depan kampus, tepat di depan moncong mobil yang ku pakai. Dia membuka
pintu taksi dan berhenti sejenak. mengalihkan pandangannya padaku dan
tersenyum. Sebuah senyum yang memancing air mataku untuk bergulir dengan deras.
Senyum yang berbalurkan kerelaan
menerima sayatan di hatinya karena telah melepaskan sesuatu yang sangat berharga.
Terima kasih, kak.
**********
Mungkinkan masih ada waktu yang
tersisa untukku
Mungkinkah masih ada cinta di
hatimu
Andaikan saja aku tahu, kau tak
hadirkan cintamu
Ingin ku melepasmu dengan pelukan
(Tentang Cinta – Ipank)
**********
Dia duduk terdiam di dalam taksi
yang terus menggelinding menyusuri jalan ibukota. Merayap karena kepadatan lalu
lintas yang takkan ada habisnya. Sembari pikirannya memikirkan semua hal yang
terjadi. Tentang semua hal yang pernah dia alami bersama wanita yang hingga
beberapa menit yang lalu masih menjadi gadisnya.
Dia tersenyum mengingat
pertamuannya yang berawal dari –kalau bisa dibilang- sebuah tragedi. Saat dia
menolong Riri di hutan kala itu, dia telah merasakan ada sesuatu yang beda.
Dia takkan pernah bisa melupakan
ekspresi wajah Riri saat dia sedikit menggodanya kala itu. Saat Riri yang masih
terkenal dengan sikap dinginnya pergi ke kelasnya hanya untuk mengembalikan
jaket miliknya. Tanpa pernah Riri tahu, hal itu membuatnya makin kecanduan
dengan dirinya. Karena di jaket itu, samar-samar tercium aroma Riri yang manis.
Vanilla.
Juga saat Riri menolongnya setelah
kesulitan bernapas karena alergi. Untuk pertama kalinya, dia melihat wajah
panik Riri. Terlihat manis. Hingga membuat dia makin kesulitan bernapas karena
gugup.
“Gue
orang yang sayang dan cinta sama lu dari awal kita KETEMU di hutan! Orang yang
udah jatuh cinta sama lu sejak gue ngeliat lu bergumul sama musik di malam
inagurasi! GUE ALEXANDER!”
“Gue
mau jadi orang yang special di hati lu.. Gue mau lu jadi milik gue.. Gue mau lu
jadi orang yang selalu ada di hati gue.. Bukan sebagai adik.. Tapi sebagai
kekasih..”
“Would
you?”
Dia tersenyum saat mengenang
kembali pernyataan hatinya pada Riri. Bahkan hingga dua kali, karena Riri masih
beranggapan kalau dirinya sama seperti Ken.
Dan bodohnya, bisa-bisanya dia menyakiti
hati gadis itu. Dengan alasan yang absurd pula. Gah! Dia benar-benar tak
mengerti pola pikirnya saat itu. Berpura-pura melupakan gadis itu walau dia
tahu benar kalau gadisnya akan benar-benar tersakiti hatinya. Hingga gadisnya
berpaling.
Tidak, dia tidak menyalahkan
dirinya sendiri. Tidak pula menyesali apa yang dia lakukan untuk gadisnya. Setidaknya
kini dia bisa bertindak dengan benar. Sesuai dengan hati nuraninya yang
terdalam. Mencoba meredakan luka hati dara manisnya.
“Mas, udah nyampe, mas..” suara
supir taksi menyadarkannya dari semua bayangan di benaknya.
“Oh, iya.. Makasih, pak..” dia
mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna biru. “Kembalinya simpen aja..”
“Makasih, mas..” dia mengangguk dan
mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru bandara. Mencari keberadaan ibunya
yang akan melengkapi kepergiannya kali ini.
Dia berjalan ke dekat pintu
terminal saat melihat seorang wanita yang melambaikan tangannya. Di sebelah
wanita itu ada trolley yang telah terisi dengan beberapa tas yang tidak terlalu
besar.
“Alex..” kata wanita itu saat Alex
telah tiba di hadapannya.
“Udah siap semuanya, Ma?” Wanita
itu mengangguk. Dia meletakkan sebelah tangannya pipi anaknya. Melihat pahatan
Tuhan yang begitu bersinar di matanya.
“Kamu yakin dengan keputusan kamu, Lex?”
“Alex yakin, Ma.. Setelah semua
luka yang Alex berikan buat dia, hanya ini satu-satunya yang bisa Alex berikan
untuk meredakan lukanya. Kebebasan untuk mengejar kebahagiaannya..”
“Kamu sedih?” Alex menggenggam
tangan yang tadi melekat di pipinya.
“Bohong banget kalau Alex bilang
Alex nggak sedih.. Tapi Alex harap ini sebanding dengan semua kesedihan yang
pernah Alex timbulkan di hidupnya, sebanding dengan semua kebahagiaan yang akan
dia dapatkan nantinya..” Wanita itu tersenyum. Menyadari anaknya yang telah
beranjak dewasa.
Saat adzan isya’ selesai
berkumandang, Alex telah ada di dalam pesawat. Merekam pemandangan yang tak
akan terlalu lama dia tinggalkan. Tersenyum pada langit kelam. Terbang bersama
semua rasa kerelaan yang dia pertahankan dalam dadanya.
‘Semoga kamu bahagia, Marissa..’
To be continue..
Posted at My house, Tangerang City.
Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar
menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita.
Dan saya mengharapkan kritik
konstruktif dari anda.
Don’t be a silent reader, please.. :D