Dia merasa kopi toraja pesanannya berubah rasa. Tidak lagi
terasa nikmat seperti sebelumnya. Apa hal ini dipengaruhi oleh perasaannya yang
tak kunjung membaik juga? Perlukah dia menghubungi gadis impiannya dan
menanyakan keadaannya? Hanya untuk sekedar berjaga-jaga, atau sekedar menenangkan perasaan tak enak yang terus
berkecamuk sejak beberapa saat lalu.
“Aku denger kakak kemarin pergi ke taman Safari.. Bener?” pertanyaan itu menghentikan gerak tangannya yang sudah ingin mengambil
ponsel dalam kantung celananya.
“Denger dari siapa?”
“Nggak penting aku denger itu dari siapa.” Dia merasakan
perasaannya yang semakin tak enak.
“Kakak pernah minta buat aku untuk membuat kakak jatuh
cinta sama aku, membuat kakak lupa sama dia. Sekarang kenapa kakak sendiri yang
menghambat aku untuk mewujudkan permintaan kakak?” bibirnya beku. Dia tidak
dapat berkata apa-apa. Hanya diam mencengkram cangkir kopinya. Harusnya dia
tahu kalau gadis di hadapannya ini akan membicarakan hal ini.
“Bisa kita bicarakan hal ini nanti?” masih ada hal lain yang lebih krusial menurutnya daripada
menghabiskan waktu untuk membahas masalah sepele seperti ini.
“Nggak bisa.”
“Tapi-“
“Apa kakak berubah pikiran? Apa kakak lupa kalau Riri udah
memilih kak Alex? Atau kakak mau jadi orang ketiga yang hina di hubungan mereka
berdua?” Fred menundukkan pandangannya. Menatap kopinya yang hitam, sehitam
pikirannya saat ini. “Atau kakak mau menarik kesempatan yang dua minggu lalu
kakak berikan sama aku?”
“Gue
nggak-“
“Harusnya
kakak berpikir dulu sebelum memberikan harapan sama aku. Kalau hanya sebuah
semu yang bisa kakak berikan, lebih baik nggak usah. Sebuah harapan yang
menghancurkan hubungan yang bahkan terbina saja pun belum.”
“Lea..”
“Makasih
karena setidaknya kakak udah memberikan sedikit kebahagiaan buat aku.” dia bisa
melihat Lea bangkit dari kursinya dengan mata berkaca-kaca.
Pikirannya
memutar semua yang ingin dia renungkan. Seperti sekelebatan film yang berputar
dengan cepat. Menampilkan wajah Riri yang terlihat begitu kehilangan saat Alex
berpura-pura amnesia, saat Alex celaka karena berusaha menyelamatkan Riri dari
cengkraman Sammael, saat Alex tak kunjung sadar dari komanya. Dia merasakan
kesedihan yang menyesakakkan hadir di sana. Lalu saat Alex sadar dari komanya,
saat Alex sudah bisa menemaninya tiap hari, ada kebahagiaan yang membuncah di
wajah gadis impiannya itu.
Sedangkan
dirinya? Seperti tak berarti di mata gadis impiannya. Riri tak datang saat dia
sakit, bahkan setelah dia menghubungi Riri untuk meminta bantuan.
Berminggu-minggu tak berjumpa, dan reaksinya tetap saja sama. Tidak menimbulkan
kelegaan dan kebahagiaan di sana. Membuat harapannya terlihat berlebihan karena
menginginkan sejumput perhatian akan dilemparkan oleh gadis itu padanya.
Nyatanya, tidak ada sama sekali.
Tidak,
dia tidak mau lagi tersakiti seperti ini. Dia sudah terlalu lama menyimpan
cintanya untuk gadis impiannya itu. Dia sudah tak sanggup lagi memikul beban
yang di timbulkan oleh rasa yang telah bertransformasi serupa gunung itu di
hatinya. Ah, dia lupa. Karena cintanya pada Riri, kini dia tak lagi punya hati.
Hatinya telah hancur lebur.
Dia
mengeluarkan dompetnya dan menaruh dua lembar uang lima puluh ribuan dan
berlari keluar kedai kopi. Mengejar gadis yang baru saja melangkah keluar dari
tempatnya berada. Segera dia menggenggam pergelangan tangan Lea begitu dia
melihatnya.
“Lepas,
kak.. Jangan beri harapan palsu yang menyakitkan untuk kedua kalinya sama
aku..” gadis itu enggan menatap ke arahnya.
“Gue
nggak ngasih harapan palsu ke lu.”
“Lalu
yang kemarin-“
“That’ll be the last time.” Lea berbalik
menghadapnya. Menatap dalam-dalam seakan mencari binar kebohongan di sorot
matanya. “I swear.”
Dia
menghapus air mata yang mengalir di pipi Lea.
“Jangan
nangis karena gue.. Gue nggak mau cewek gue nangis sedih karena gue..” Lea terkejut
mendengar perkataannya itu. Dapat dia lihat mata Lea yang membulat.
“Cewek
kakak? Aku?”
“Who else? Of course that’s is you. I’ll say once more. My girl.” Lea langsung
menghambur ke pelukannya dengan kebahagiaan yang membuncah, luar biasa bahagia.
Sedangkan
dia masih diam dengan kedua tangannya yang tergeletak tak berdaya di kedua sisi
tubuhnya. Merasa berat untuk membalas pelukan gadis yang tengah memeluknya
kini.
Merasakan
keraguan yang tumbuh subur dalam jiwanya.
Apakah
dia mampu melakukannya?
Dia
menggerakkan tangannya. Perlahan. Sekedar membalas pelukan gadis itu. Meski
hingga saat ini dia masih belum bisa menghancurkan keraguan yang berkuasa dalam
dadanya.
Apakah
keputusannya kali ini benar?
Jika
benar, mengapa sekarang dia merasa seperti the
ripper yang siap mencabut kebahagiaan gadis di dalam pelukannya?
**********
‘Bruuk’
Tubuhku
terasa sakit. Dan aku bahkan tak tahu apakah rasa sakit itu karena bertubrukan
dengan lantai atau karena hal lain.
“Jangan
tinggalin aku, Marissa..” kakiku berhenti melangkah mendengar permohonannya
yang bergitu memelas.
Tapi
aku tidak bisa terus saja diam diperlakukan seperti ini. Ini sudah terlalu jauh
dari batas toleransiku. Pada akhirnya aku lebih memilih untuk tidak
mengindahkan perkatannya dan kembali melangkah menuju pintu kamarnya meski
tertatih.
Lalu
kurasakan sebuah genggaman di pergelangan tanganku. Refleks aku berbalik dan
menatap pergelangan tanganku itu. Ku alihkan tatapanku pada wajah kak Alex.
Intens dan tajam. Seperti memerintahkan dia untuk melepaskan pegangannya pada
tanganku. Tapi dia tak juga mengerti. Membuatku kesal sendiri. Aku tak ingin
lagi disentuh olehnya.
“Lepas.”
Bisa kulihat dengan jelas betapa terkejut kak Alex saat mendengar nada suaraku
yang berbeda dari biasanya. “Aku bilang lepasin tangan kamu.”
Dia
melepaskan tangannya dengan gerakan yang sangat lambat. Lebih lambat dari slow motion di film-film. Membuatku
makin geregetan. Aku langsung saja menarik tanganku. Kembali membalikkan
tubuhku untuk meraih kenop pintu dan keluar dari kamar itu.
“Aku
cinta sama kamu, Marissa..” katanya menghentikan tubuhku. Mendengar
penuturannya entah kenapa membuat emosiku makin memuncak.
“Kakak
nggak cinta sama aku.”
“Aku
sangat mencintai kamu.”
‘Plaaak’
Punggung
tanganku mendarat keras di pipi kanan kak Alex.
‘Plaaak’
Kali
ini telapak tanganku yang menampar pipi kiri kak Alex.
“Jangan
pernah bicara cinta kalau kelakuan kakak seperti itu! Sakit kak diperlakukan
seperti tadi! Lebih sakit daripada dua tamparan yang tadi kakak terima!”
Tanpa
kusangka dia kembali menggenggam pergelangan tanganku. Mengarahkannya ke
wajahnya, menggerakkannya untuk memukuli wajahnya sendiri.
“Kak!
Apa yang kakak lakukan?” aku berusaha untuk menarik kembali tanganku. Tapi tak
bisa. Dia mencengkram tanganku terlalu erat.
“Kamu
bilang aku udah nyakitin kamu. Pukul aku. Luapkan semua rasa sakit sama kecewa
kamu ke aku melalui tangan ini, Marissa. Pukul aku sesuka hatimu, sampai kamu
puas. Aku akan terima semua kesakitan yang ditimbulkannya. Asal kamu nggak
ninggalin aku.” kak Alex masih saja menggerakkan tanganku untuk terus memukul
wajahnya. “Aku lebih bahagia terus menerima lebam daripada kamu tinggalin..”
“Nggak
kayak gini caranya, kak.. Kak, stop..”
tapi dia tak mendengarkanku. Tuhan!
“KAK,
STOP!” teriakku. Aku menyentakkan
tanganku keras-keras. Membuatnya melepaskan tanganku. Kudapati ujung bibir
kanannya yang pecah dan sedikit berdarah karena tamparan. Dan tanganku yang
terasa sakit berdenyut. “Please, jangan
buat ini jadi makin sulit.. Biarkan aku-“
“Apa
perlu aku berlutut di hadapan kamu supaya kamu tetap ada di sisi aku? Perlu?”
kak Alex tiba-tiba saja berlutu di hadapanku. Benar-benar berlutut dengan kedua
kakinya. Membuat iba dalam dadaku.
“Please, Marissa.. Jangan tinggalin aku..
Aku nggak bisa kalau nggak ada kamu di samping aku.. Please.. Aku nggak sanggup ngebiarin kamu pergi dari sisi aku..
Nggak sanggup ngeliat kamu diraih sama lelaki lain..” kedua tangannya
menggenggam kedua tanganku erat.
“Please, Marissa.. Please..” aku sontak mundur beberapa langkah saat dia bersimpuh,
bersujud di depan kakiku.
“Jangan
tinggalin aku..” aku menghembuskan napas panjang. Turut berlutut di hadapannya.
Menyentuh kedua bahunya dan berusaha membuat tubuhnya tegak. Meski itu adalah
perbuatan yang sulit karena dia seperti menolak untuk bangkit.
“Bangun,
kak..” suaraku melembut. Aku merasa lelah sekarang, dalam arti kata sebenarnya.
Merasa tenagaku hilang entah kemana. “Tatap mata aku.”
Kak
Alex mengangkat pandangannya dan menuruti pintaku. Terlihat matanya yang
berkaca-kaca.
“Maaf,
kak.. Aku nggak bisa.. It’s over..
Sorry.. Sekarang biar aku berjalan di jalan yang aku pilih.. Dan aku akan
membiarkan kakak untuk berjalan di jalan yang kakak yakini.. Aku rasa ini yang
terbaik untuk kita berdua..” bisa
kulihat kak Alex yang kembali menundukkan wajahnya. Aku merasa itu sudah cukup.
Aku kembali bangkit.
Dan
pandanganku menghitam. Membuatku berdiri dulu sejenak. Menunggu bayang hitam
yang menguasai pandanganku memudar.
“Kamu
meyakini dengan melangkah menjauh dariku adalah jalan yang benar untukmu. Maka
untukku, melangkah keluar dari kehidupan adalah jalan yang kuyakini
kebenarannya.” Aku tetap melangkah meningalkannya. Aku tak mau keputusanku
untuk berpisah dengan kak Alex jadi makin goyah. Tidak. Itu tidak boleh
terjadi.
Aku
sudah mencapai pinggiran tangga saat aku mendengar suara seperti kaca yang
pecah. Dan aku malah terdiam dulu di tempat. Menimbang-nimbang apakah aku perlu
masuk kembali ke kamar kak Alex atau tidak. Pada akhirnya aku menyerah dan
memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kamar kak Alex. Takut kalau-kalau dia
melakukan hal lain yang diluar batas seperti mencelakai dirinya sendiri atau
apa.
Dan
saat aku melongok ke dalam kamarnya, aku tahu kalau keputusanku kali ini tepat.
Aku melihat kaca besar yang menempel di pintu lemarinya telah hancur berkeping-keping
dengan bercak darah yang terlihat jelas dan menetes-netes di lantai. Saat aku
mengikuti jejak bercak darah itu, aku melihat kak Alex yang tengah menghunuskan
pecahan kaca yang cukup besar ke pergelangan tangan kirinya.
“Kak!
Kakak apa-apaan sih?!” teriakku sambil mencoba untuk merebut pecahan kaca itu.
“Aku
melakukan apa yang tadi aku katakan, yang aku yakini kebenarannya. Melangkah
keluar dari kehidupan.” Katanya sambil terus berusaha untuk memotong nadi
pergelangan tangannya.
“Jangan,
kak!” kataku sambil menggenggam tangan kanannya yang hingga kini masih saja
menggenggam pecahan kaca itu dengan erat dan menimbulkan luka di sana.
“Jangan
begini, kak.. Jangan gegabah seperti ini..”
Dengan
susah payah aku berusaha merebut pecahan kaca itu. Dan setelah menghasilkan
beberapa goresan di tanganku, aku berhasil merebutnya. Aku membuang jauh-jauh
pecahan kaca itu entah kemana. Yang jelas, jika dia mau mengambil pecahan kaca
itu lagi, dia harus melewatiku dulu. Dan aku pasti akan mencegahnya melakukan
hal itu. Gila saja jika aku membiarkan hal itu terjadi.
“Kamu
mau pergi dari sisiku? Silahkan. Itu keinginanmu, keyakinanmu.”
“Kakak
bilang begitu seakan kakak udah ngerelain aku pergi dari sisi kakak. Tapi
kenapa tadi kakak mencoba buat bunuh diri, hah?” pekikku.
“Kamu
meyakini jalanmu. Aku meyakini jalanku. Kamu pergi, aku pergi. Sesederhana
itu.”
“Tapi
nggak gitu juga, kak..”
“Lalu
harus seperti apa? Kehidupan terlalu hampa tanpa ada kamu di sisiku.. Aku udah
pernah merasakannya. Dan aku nggak mau ngerasain hal itu sekali lagi,
Marissa..” aku merasakan pendirianku benar-benar goyah. Aku tak bisa dan tidak
pernah mau lagi menyaksikan kematian seseorang hanya karena diriku. Cukup
sekali. Jangan terulang lagi.
Batinku
berperang. Berpisah, dengan resiko terlalu besar bagi kak Alex. Atau aku harus
tetap bersama dengannya? Aku kembali menatap kak Alex. Dia saat ini sedang
memutar pandangannya ke seluruh penjuru kamar, kemudian memaku pandangannya
pada sesuatu. Aku mengikuti arah pandangannya dan terkesiap kaget. Anak ini
benar-benar berbahaya.
“Apa
yang harus aku lakuin supaya kakak menghentikan niatan kakak untuk bunuh diri?”
kataku saat melihat dia sudah melangkah kearah meja kecil di dekat ranjangnya.
Dan hal itu secara otomatis menghentikan niatnya untuk meraih pisau buah yang
ada di sana.
“Jangan
pergi dari sisiku.” Katanya pelan. Aku tidak akan kaget lagi mendengar jawaban
darinya. Sebuah jawaban yang sudah ku ketahui bahkan sebelum dia lontarkan
padaku.
“Baik.
Aku akan ngasih kesempatan kedua sama kakak.. Jangan buat aku kecewa kali
ini..”
Wajahnya
berubah bahagia saat mendengar rentetan kalimat dari bibirku. Berulang kali dia
mengungapkan rasa terima kasihnya yang hanya kubalas dengan senyum kecil.
Sementara
dalam diriku, masih saja sibuk berusaha untuk mengubah keyakinanku. Meyakinkan
kalau hal ini adalah hal yang benar, memberikan kesempatan kedua pada kak Alex.
Karena tiap orang berhak untuk kesempatan kedua.
Menanam
keyakinan baru kalau semua akan kembali seperti semula. Semoga.
Setelah
membersihkan luka yang ada di tangan dan tepian bibir kak Alex, juga luka gores
yang ada di tanganku, aku pamit pulang. Benar-benar tak tahan untuk segera
merebahkan tubuhku di atas kasur kamarku dan beristirahat. Hari ini benar-benar
menghabiskan energi-ku walau hari baru terlewati setengahnya.
Dapat
kurasakan kekhawatiran kak Alex saat mengantarku ke depan rumahnya. Dia sampai
harus menuntunku saat menuruni anak tangga karena tubuhku yang terus
sempoyongan.
“Kamu
yakin nggak kenapa-kenapa?” aku mengangguk. “Apa perlu aku anterin sampe
rumah?”
“Nggak..
Nggak usah.. Aku bisa sendiri kok.. Aku ini wanita perkasa, kak..” kataku
sambil tersenyum. Mencoba menghapus rasa khawatir yang terlukis gamblang di
wajahnya. Meski aku sangsi hal itu berkerja dengan baik. Lihat saja sekarang.
Dia masih memandangiku dengan wajah khawatir miliknya. Dan bisa juga kujumpai
sejumput rasa bersalah yang hadir di sana.
“Kamu
begini pasti karena perbuatanku tadi. Aku bener-bener minta maaf, Marissa. Aku
terlalu bodoh sampai nyaris memp-“ aku memotong kata-katanya dengan menutup
mulutnya menggunakan sebelah tanganku. Aku tak ingin mendengar kata laknat itu.
Aku tak mau mengingat peristira tadi.
“Aku
nggak mau nginget hal itu lagi. Jadi kakak nggak usah ngungkit hal itu lagi,
oke?” dia mengangguk menyetujui. Setelah aku masuk kedalam Citroen warisan dari
kak Mario –yang aku deklarasikan sendiri-, dia menutupkan pintunya untukku.
“Kak,
aku harap kakak nggak cerita tentang hal yang tadi ke siapa-siapa. Cukup kita
dan Tuhan aja yang tahu..” kataku setelah membuka jendela mobil.
“Kenapa?”
“Aku
nggak mau orang beranggapan yang nggak-nggak sama kakak..”
“Marissa..”
“Janji?”
dia terdiam cukup lama. “Janji, kak?”
Dia
sedikit menggelengkan kepalanya, seperti mengumpulkan kesadarannya. Kemudian
mengangguk menjawabnya. Aku buru-buru tancap gas. Makin cepat aku pergi dari
sini, makin cepat aku sampai rumah. Makin cepat pula aku melepas seglaa lelah
yang sedaritadi menggelayut.
Dan
jangan tanya lagi bagaimana keadaan jalanan Jakarta siang ini. Tetap saja
macet. Membuatku makin tersiksa. Tubuhku telah terasa sedemikian lelah dan
lemas. Ditambah harus tetap mengendarai mobil sampai di rumah. Tuhan!
Tapi
ada yang membuatku aneh. Saat di jalan, aku benar-benar merasa lelah. Dan saat
jarak dari rumah tinggal beberapa ratus meter lagi, aku merasa lelah itu terus
berkurang. Dan makin berkurang saat aku menginjakkan kakiku di rumah. Hanya menyisakan kantuk.
Oke,
sepertinya hal itu tidak perlu dipikirkan. Yang penting sekarang aku akan
beristirahat saja. Tidur siang. Kemewahan yang terlalu jarang kucicipi selama
ini. Mengistirahatkan tubuhku juga pikiranku. Berharap mimpi-mimpi selama tidur
siang nanti bisa menghapus peristiwa tadi.
**********
“Pagi,
pak..” sapanya pada pengajar yang usianya masih bisa dibilang muda.
“Hai!
Pagi, Ri.. Kok lu belum masuk kelas?”
“Ehm,
kayaknya saya nggak masuk kelas bapak hari ini deh.. Bisa diganti ke kelas lain
nggak? Masuk kelas malam gitu?”
“Hah?
Kenapa nggak masuk? Terus nanti yang bakalan ngejawab semua pertanyaan gue
selama kuliah siapa? Yang meramaikan kuliah gue pagi ini siapa?”
“Pak,
nggak usah lebay kayak ababil deh.. Kan masih banyak anak-anak yang lain..”
“Dih,
lebay itu baik untuk kesehatan jiwa tau.. Ngomong-ngomong ababil itu apa ya?
Masa kemarin gue juga dibilang ababil sama keponakan gue..” Riri hanya bisa
menepuk dahinya. Merutuk setengah heran, kenapa bisa dia punya dosen macam pak
Martin ini. Dosen yang terlalu gaul karena usianya yang masih kepala dua.
“Iya
deh iya.. Baik untuk kesehatan jiwa.. Ababil itu ABG labil, sepertiya..” jawab Riri
ragu. Menurutnya itu jawaban yang benar. Tapi entah menurut orang lain. “Jadi
saya boleh ikut yang kelas malam, pak?”
“Lu
mah nggak ikut kelas gue sampe seterusnya juga nggak apa-apa..”
“Lah,
kok gitu?”
“Kan
lu udah berhasil ngejawab pertanyaan super gue waktu itu.. Gue udah bilang
waktu itu, siapa aja yang bisa ngejawab pertanyaan itu boleh nggak masuk
seterusnya di kelas gue, nggak ikut UAS juga bisa, dan tetep dapet nilai A.. Lu
gimana sih? Masa iya lupa?”
“Emang
iya, ya? Hehehehe.. Saya lupa, pak..” jawab Riri sambil memberikan cengiran tanpa
dosanya. Membuat pak Martin menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ckckckc..
Riri.. Riri.. Sepanjang sejarah gue jadi dosen –yang belum terlalu panjang
waktunnya-, baru kali ini gue nemuin mahasiswa yang lupa sama poin emas kayak
begini.. Gue sampe heran lu masuk kelas gue karena kesengsem sama gue, terlalu
cinta sama mata kuliah yang gue ajar apa Cuma buat ngebisin waktu doang deh?
Kalau lu kesengsem sama gue, sorry banget,
Ri.. Gue udah ada yang punya-”
“Pak..
Pak.. Jangan mimpi dulu, pak.. Ini masih pagi.. Please deh.. Masa iya saya kesengsem sama bapak.. Dan kayaknya
bapak harus buru-buru ke kelas deh.. Ini udah hampir jam setengah sembilan
loh..” kata Riri menghentikan ocehan narsis dosennya itu.
“Whaat?! Oke, gue ke kelas dulu. Masalah
absen, tenang aja.. Ada gue.. Semoga kita nggak ketemu lagi di kelas.. Bye..” pamit pak Martin pada Riri.
Membuat banyak mahasiswa di koridor melirik ke arah Riri. Sementara Riri hanya
bisa geleng-geleng setelah menghadapi dosen ajaibnya itu.
Riri
kemudian melanjutkan perjalanannya menuju aula yang ada di luar gedung
perkuliahan. Tak lama, Riri mendengar teriakan panik dari banyak mahasiswa dan
orang-orang yang tiba-tiba saja menghambur dari tiap bangunan yang ada di sana.
Membuat Riri kaget sendiri.
Riri
ingin menanyakan apa yang terjadi pada manusia-manusia yang berhamburan
melewatinya. Tapi tidak pernah mendapat kesempatan. Dan saat Riri melihat ke
arah gedung B, Riri segera tahu apa yang sedang terjadi. Gempa bumi. Cukup
besar sepertinya. Hingga membuat gedung-gedung yang ada di sana sedikit
bergoyang.
Tak
sampai dua menit, gempa itu berakhir. Menyisakan suara orang-orang yang masih
saling berbagi kisah saat gempa itu terjadi.
‘Drrrt..’
“Halo,
kak?”
“Hah?
Yang bener?”
“Oke,
aku kesana.” Dengan terburu-buru Riri berlari menuju aula kampus. Ingin
menyaksikan kebenaran yang baru saja diberitahukan padanya oleh Alex.
Sesampainya
di sana, aula telah kembali ramai oleh mahasiswa yang ingin melihat sendiri
efek gempa tadi pada aula. Riri harus berjalan perlahan untuk bisa sampai di
tepi panggung.
Dan
terlihatlah pemandangan yang cukup kacau di sana. Panggung yang ada di depan sana
sebagian rubuh karena guncangan. Membuat grand piano hitam yang ada di atasnya
ikut terjatuh dan rusak. Tiang tempat menggantung lampu warna-warni yang ada di
atas panggung juga ikut jatuh dan mengakibatkan lampu-lampu itu pecah. Intinya adalah
panggung di aula berubah ringsek.
Yang
lebih membetot perhatianya adalah saat Riri melihat Alex yang ada di ujung
tepian panggung. Berdiri menghadap ke arah piano yang rusak dengan baju yang
kotor oleh serpihan tembok.
“Kakak
nggak kenapa-kenapa, kan?”
“Nggak..
Nggak kenapa-kenapa.. Tapi kita jadi harus cari tempat lain buat nyelenggarain
konser amal ini.. Aku rasa aula nggak akan siap dalam waktu tiga minggu.. Dan
kita juga harus nyari pinjeman grand piano atau keyboard..”
“Kalau
masalah itu tenang aja.. Aku bisa handle..”
kata Riri yakin.
“Nggak..
Aku nggak mau kamu capek gara-gara muter-muter buat nyari tempat.. Kemarin aja
keadaan kamu udah terlalu mengkhawatirkan tahu..”
“Ck,
aku nggak akan kecapean buat hal yang satu ini..”
“Yakin
bener kamu..”
“Yakin
lah.. Kita tinggal pake Gedung Serbaguna Kusuma.. Masalah perijinan, gampang..
Di sana juga ada alat musiknya.. Bisa nampung sekitar 350 orang..” Jawab Riri
percaya diri. “Nah, sekarang aku mau nanya, ini kenapa baju kakak kotor
begini?”
“Ssshhh!”
Riri kaget mendengar rintihan tertahan dari Alex. Dia segera menarik tangannya
dari bahu Alex dengan cepat.
“Sakit,
ya? Maaf..”
“Nggak..
Nggak apa-apa..”
“Nggak
apa-apa? Ketowel dikit aja udah meringis-ringis begitu kakak bilang nggak
apa-apa? Jangan bilang kakak ketimpa yang tiang penyangga lampu-lampu itu..” Alex diam.
Membuat Riri gemas.
“Kak,
jawab dong..”
“Katanya
tadi disuruh jangan bilang.. Sekarang nggak bilang, aku dimarahin.. Jadi yang
bener gimana?”
“Ya
ampunn.. Kak Alex-ku yang tampan, bilang dong kalau kenapa-kenapa.. Ayo ah,
kita ke klinik kampus.. Biar diperiksa sama dokter jaga di sana..” kata Riri
sambil menarik tangan kiri Alex. Sedangkan yang ditarik hanya bisa pasrah
mengikuti langkah kaki gadis yang ada di depannya sambil terus menyangga tangan kanannya yang sakit.
“Ayo
jalannya lebih cepet, kak.. Makin cepet diobatin, makin baik..” kata Riri
sambil terus menarik-narik tangan Alex agar berjalan lebih cepat lagi.
“Ck,
Ini nggak terlalu parah, Marissa..”
“Sok
tahu.. Ayo buruan..”
“Nggak
percaya banget deh ini anak.. Tapi seneng juga rasanya.. Dikhawatirin sama kamu
itu rasanya kayak dapet harta karun yang bikin aku kaya tujuh turunan..”
“Lagi
sakit masih sempet-sempetnya aja ya ngegombal..” kata Riri sambil mencubit
pelan pinggang Alex. Membuat pria di sampingnya kegelian.
Sementara
sepasang mata yang ada jauh di belakangnya merasakan perasaannya yang membuncah
oleh rasa sakit. Lebih sakit dari luka yang menganga di lengannya. Sepasang
mata yang pada akhirnya lebih memilih untuk memutar balik dan pergi dari tempat
itu.
**********
Dia
melangkah berbalik dari tujuannya semula. Tak yakin bisa kembali melihat
butir-butir kebersamaan yang dikeluarkan oleh gadis impiannya. Lebih memilih
untuk pergi ke parkiran dan meluncur pergi entah kemana.
“Mau
kemana lu?” tangannya yang sudah siap menyalakan motornya terhenti saat
mendengar suara yang dia kenal. Dia menghembuskan napas panjang.
“Jangan
sampe gue narik lu turun dari motor lu
gara-gara lu tetep mau pergi dengan luka yang masih netes-netes begitu
darahnya.” Lanjut suara itu. Fred lebih memilih untuk tidak mengindahkan
perkataan Billy tersebut dan menyalakan mesin motornya.
Billy
yang merasa perkataannya dianggap angin lalu jadi geram. Dengan cepat tangannya
mematikan mesin motor Fred dan mencabut kuncinya. Menyimpannya di kantung
celananya. Dengan sekali hentakan dia menarik tubuh Fred hingga nyaris jatuh
dan tertimpa motornya.
“Lu
gila! Kalau gue sampe jatoh dan ketimpa motor gimana? Lu bener-bener ya!” pekik
Fred kaget mendapat perlakuan seperti itu dari seorang Billy.
“Tinggal
diobatin. Selesai. Lu pasti tahu gue orang yang akan selalu ngelaksanain apa
yang gue bilang.” Kata Billy datar sambil mempersiapkan kotak P3K yang dia
ambil dari mobilnya beberapa saat lalu. Setelah memasangkan standar satu pada
motor Fred, Billy mulai bergelut dengan luka milik lelaki di hadapannya.
“Kenapa
lu nggak ke ruang kesehatan?” tanya Billy sambil memeriksa luka di lengan Fred.
‘Toook!’
“Bego!
Sakit!” pekik Fred sekali lagi sesaat setelah merasakan kepalan tangan Billy
yang mendarat keras di kepalanya. Sebelah tangannya refleks mengusap-usap
kepalanya yang terasa nyut-nyutan.
“Anak
bodoh, luka sekotor ini mau lu ajak pergi naik motor?! Emang hebat deh lu! Kenapa
lu nggak ke ruang kesehatan dan minta di obatin sama dokter jaga di sana, hah?!
Kalau sampe infeksi gimana? Apa perlu gue ulangin wejangan dari kak Nino khusus
buat lu, hah?!” Diam sejenak. Dan Billy yang merasakan keheningan itu segera
mengalihkan pandangannya ke arah Fred.
Saat
itu, dia melihat Fred yang menatapnya penuh tanda tanya. Seperti tengah menatap
alien yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya.
‘Taak!’
“Heh!
Sakit!” lagi-lagi Fred kesakitan setelah dahinya di sentil dengan sepenuh hati
oleh Billy.
“Lu
ngapain ngeliatin gue begitu?”
“Lu
beneran Billy, kan? Bukan jin yang nyamar jadi Billy, kan? Atau lu lagi
kesurupan?” Billy menghela napas panjang mendengar pertanyaan Fred yang baru
saja dilontarkan.
“Ini gue Billy.. Romebillyan Saputra..”
jawabnya kalem. Masih berusaha untuk membersihkan luka Fred dari
serpihan-serpihan bahan bangunan yang seperti enggan minggat dari sana.
“Beneran?
Bukan orang yang pake topeng mukanya si Billy?” tanya Fred sambil
memegang-megang pipi Billy dengan sebelah tangannya yang sehat. Seolah ingin
memastikan wajah yang sedang dipegangnya saat ini topeng atau bukan.
Kesal
karena konsentrasinya dibuyarkan, Billy menghempaskan tangan Fred yang sedari
tadi bertumpu di tangannya. Membuat Fred mengaduh kesakitan (lagi).
“Lu
niat ngobatin tangan gue nggak sih? Sakit, monyong!”
“Makanya
nggak usah pegang-pegang muka gue. Lagian ada angin apa pula lu nanyain hal
kayak gitu ke gue. Dasar sinting.” Jawabnya setengah merengut. Kemudian Billy
kembali meraih lengan Fred yang sempat dia hempaskan tadi, kembali membersihkan
luka itu sampai benar-benar bersih sebelum dibaluri obat merah.
“Gue
Cuma heran aja..” Fred sedikit meringis saat Billy membubuhkan obat merah pada
lengannya. “Lu mendadak jadi lebih banyak ngomong daripada biasanya. Jadi lebih
galak juga. Dikit doang tapinya.”
“Abis
di depan gue ada bocah dengan kepala batu plus
bodoh yang suka berbuat seenak jidatnya sendiri tanpa mikirin kedepannya
gimana. Emang lu aja yang bisa galak kalau ada yang sakit? Gue juga bisa.” Katanya
sambil membebat luka yang sudah selesai dibubuhi obat merah. “Gue tanya sekali
lagi, kenapa lu nggak pergi ke ruang kesehatan?”
Fred
menghela napas panjang. Berharap Billy, yang sudah mengenalnya sejak duduk di
sekolah dasar, bisa mengetahui jawabannya tanpa dia beritahukan alasannya.
“Oke,
nggak usah dijawab. Gue udah tahu jawabannya.” Jawaban Billy itu tentu saja
membuat Fred tak mampu menahan pandangannya agar tak menoleh dengan cepat ke
arah Billy.
“Gue
kenal lu udah lama, Fred. Nggak usah heran begitu. Gue ngerti alasan lu nggak
ngelakuin hal itu. Tapi lu nggak bisa berlaku seenak jidat lu dengan nggak
ngobatin luka lu begitu. Lu bisa panggil gue.
Gue dengan ikhlas dan tabah bakal ngerawat luka lu itu.”
“I know.”
“Terus
kenapa tadi lu nggak ngelakuin hal itu?” kesal Billy.
“Jangan
pukul kepala gue lagi, please..”
pinta Fred sembari melindungi kepalanya. Padahal Billy sedang sibuk merapikan
kotak obatnya.
“Jangan
bilang nggak mau ngerepotin.” Katanya.
“Well, itu dia alasannya.” Billy kini
beralih menatap Fred yang masih bersandar di body motornya.
“Jangan
pernah beranggapan kayak begitu. Gue nggak suka kalau ada yang bilang kayak
gitu.”
“We’re ohana. And ohana protect each other. You’ve
said that before.” Potongnya sebelum Fred bisa menimpali perkataan Billy
sebelumnya. Membuat Fred membuang pandangannya pada langit yang cerah.
“Gue
pergi. Ada kuliah bentar lagi.”
“Bill..”
Billy menghentikan langkah kakinya dan membalikkan badannya ke arah Fred yang
tadi memanggilnya. “Thanks..”
“Nevermind.” Jawab Billy sambil
melemparkan senyumnya yang jaraaaang sekali bisa dilihat orang lain. Sebuah senyum
yang bisa saja membuatnya klepek-klepek dimabuk kepayang karenanya, jika saja
dia seorang wanita.
Setelah
memakain jaket kulit yang selalu menemaninya kemanapun dia pergi jika
mengendarai motor dan helm, dia segera pergi dari tempat itu. Lebih memilih
untuk beranjak dari kumpulan bangunan itu dan menuju sarangnya sendiri. Kehilangan
semangat untuk mengikuti kuliah hari ini. Juga memikirkan cara agar denyut kesakitan
yang sedaritadi terus menari di lengannya cepat pergi.
**********
“Kakak
abis darimana?”
“Abis
ngobatin tangannya si Fred.” Jawabnya sambil menggandeng jemari gadisnya.
“Lah,
emang kak Fred kenapa?”
“Ketimpa
tiang penyangga lampu di panggung aula. Nggak terlalu parah sih, Cuma kotor
doang lukanya. Jadi ngebersihinnya agak lama.” Nita mengangguk-angguk
mendengarnya.
“Kenapa
dia nggak minta bantuan sama dokter jaga di klinik kampus?” Billy memutar
matanya. Pertanyaan yang sama yang dia pikir akan dilontarkan oleh tiap kepala
yang melihat kejadian itu.
“Kan
dokter jaga di sana Cuma ada satu, dan lagi ngerawat Alex yang juga luka.. Sisanya,
kamu tahu alasannya karena apa.”
“Di
sana ada kak Alex, berarti ada Riri juga.” Billy mengangguk menjawabnya.
“Kenapa
kak Fred nggak bilang yang sebenernya ke Riri? Daripada dia terus-terusan sakit
kayak begitu.. Apa perlu aku yang bilang ke Riri?”
“Ck,
kita nggak usah ikut campur sama urusan mereka deh, Nit.. Itu urusan pribadi
mereka..”
“Tapi-“
“Nggak
usah. Aku percaya mereka bisa menyelesaikan ini sendiri. Kalau tiba waktunya,
baru kita turun tangan..”
“Kalau
kakak bilang begitu, aku Cuma bisa ngikutin aja.. Aku percaya sama apa yang
calon imamku percayai..” Billy kembali menyunggingkan senyum miringnya yang
membuat Nita tergila-gila. Sebuah senyum yang tak pernah luput dia berikan pada
gadisnya.
**********
Gedung
serbaguna itu tak lagi sepi tak berpenghuni. Kini banyak orang yang akan hadir
di sana setiap harinya. Para pengisi acara untuk konser amal mau tak mau
berlatih di tempat itu karena aula masih dalam tahap renovasi.
Mereka
telah berlatih sejak dua jam yang lalu. Dan sekarang tiba waktunya untuk
beristirahat. Billy dan Fred beristirahat di dekat Nita dan Nate yang
memberikan mereka minuman untuk menyegarkan tubuh.
Saat
sedang beristirahat, pintu gedung serbaguna itu terbuka. Menampilkan siluet
yang telah mereka kenal sejak lama. Riri.
“Hai,
sorry gue baru dateng.. Tadi ada
kuis.” Kata Riri sambil mengambil
posisi duduk di atas lantai.
“Tapi
bisa kan kuisnya?” tanya Nita.
“Bisa
sih.. Tapi-“
“Marissa,
bisa bantui sebentar?” tanya Alex.
“Sorry gue pergi dulu.. Bye..” pamit Riri.
“Selalu
aja begitu.. Kenapa tiap kita mau ngobrol ngalor-ngidul kayak dulu dia selalu
ada urusan sih? Kemarin kak Alex minta bantuan sama Riri.. Kemarinnya juga..
Kesannya kayak nggak ada orang lain yang nggak bisa dimintain bantuan selain
Riri..” rutuk Nita.
“Iya..
Sampe Riri nggak punya waktu buat kita.. Dulu sesibuk apapun Riri, dia pasti
selalu nyisihin waktu buat hang out sama
kita.. Sekarang? Ngobrol aja susah.. Pasti adaaa aja urusannya..” sambung Nate.
“Sorry, gue pergi dulu. Ada urusan.” Pamit
Fred pada Billy, Nita dan Nate.
“Dan
dia juga ikut-ikutan kayak Riri. Emang klop banget deh.” Kesal Nate.
Billy
hanya diam saja menyaksikan hal itu terjadi. Menduga-duga apa yang mendasari
semua perubahan ini. Sembari sibuk berdoa semoga saja kesimpulan-kesimpulan
dari pemikirannya barusan tidaklah benar. Berharap semoga persahabatan mereka
takkan semakin merenggang lebih jauh daripada saat ini.
To be continue..
Posted at My house, Tangerang City.
At 10:23 p.m
Puji
Widiastuti,
Seseorang
yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita.
Dan
saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
Don’t be a silent reader, please.. :D