Jumat, 31 Agustus 2012

Love the Ice part 33


Dia merasa kopi toraja pesanannya berubah rasa. Tidak lagi terasa nikmat seperti sebelumnya. Apa hal ini dipengaruhi oleh perasaannya yang tak kunjung membaik juga? Perlukah dia menghubungi gadis impiannya dan menanyakan keadaannya? Hanya untuk sekedar berjaga-jaga, atau sekedar menenangkan perasaan tak enak yang terus berkecamuk sejak beberapa saat lalu.

“Aku denger kakak kemarin pergi ke taman Safari.. Bener?” pertanyaan itu menghentikan gerak tangannya yang sudah ingin mengambil ponsel dalam kantung celananya.

“Denger dari siapa?”

“Nggak penting aku denger itu dari siapa.” Dia merasakan perasaannya yang semakin tak enak.

“Kakak pernah minta buat aku untuk membuat kakak jatuh cinta sama aku, membuat kakak lupa sama dia. Sekarang kenapa kakak sendiri yang menghambat aku untuk mewujudkan permintaan kakak?” bibirnya beku. Dia tidak dapat berkata apa-apa. Hanya diam mencengkram cangkir kopinya. Harusnya dia tahu kalau gadis di hadapannya ini akan membicarakan hal ini.

“Bisa kita bicarakan hal ini nanti?” masih ada hal lain yang lebih krusial menurutnya daripada menghabiskan waktu untuk membahas masalah sepele seperti ini.

“Nggak bisa.”

“Tapi-“

“Apa kakak berubah pikiran? Apa kakak lupa kalau Riri udah memilih kak Alex? Atau kakak mau jadi orang ketiga yang hina di hubungan mereka berdua?” Fred menundukkan pandangannya. Menatap kopinya yang hitam, sehitam pikirannya saat ini. “Atau kakak mau menarik kesempatan yang dua minggu lalu kakak berikan sama aku?”

“Gue nggak-“

“Harusnya kakak berpikir dulu sebelum memberikan harapan sama aku. Kalau hanya sebuah semu yang bisa kakak berikan, lebih baik nggak usah. Sebuah harapan yang menghancurkan hubungan yang bahkan terbina saja pun belum.”

“Lea..”

“Makasih karena setidaknya kakak udah memberikan sedikit kebahagiaan buat aku.” dia bisa melihat Lea bangkit dari kursinya dengan mata berkaca-kaca.

Pikirannya memutar semua yang ingin dia renungkan. Seperti sekelebatan film yang berputar dengan cepat. Menampilkan wajah Riri yang terlihat begitu kehilangan saat Alex berpura-pura amnesia, saat Alex celaka karena berusaha menyelamatkan Riri dari cengkraman Sammael, saat Alex tak kunjung sadar dari komanya. Dia merasakan kesedihan yang menyesakakkan hadir di sana. Lalu saat Alex sadar dari komanya, saat Alex sudah bisa menemaninya tiap hari, ada kebahagiaan yang membuncah di wajah gadis impiannya itu.

Sedangkan dirinya? Seperti tak berarti di mata gadis impiannya. Riri tak datang saat dia sakit, bahkan setelah dia menghubungi Riri untuk meminta bantuan. Berminggu-minggu tak berjumpa, dan reaksinya tetap saja sama. Tidak menimbulkan kelegaan dan kebahagiaan di sana. Membuat harapannya terlihat berlebihan karena menginginkan sejumput perhatian akan dilemparkan oleh gadis itu padanya. Nyatanya, tidak ada sama sekali.

Tidak, dia tidak mau lagi tersakiti seperti ini. Dia sudah terlalu lama menyimpan cintanya untuk gadis impiannya itu. Dia sudah tak sanggup lagi memikul beban yang di timbulkan oleh rasa yang telah bertransformasi serupa gunung itu di hatinya. Ah, dia lupa. Karena cintanya pada Riri, kini dia tak lagi punya hati. Hatinya telah hancur lebur.

Dia mengeluarkan dompetnya dan menaruh dua lembar uang lima puluh ribuan dan berlari keluar kedai kopi. Mengejar gadis yang baru saja melangkah keluar dari tempatnya berada. Segera dia menggenggam pergelangan tangan Lea begitu dia melihatnya.

“Lepas, kak.. Jangan beri harapan palsu yang menyakitkan untuk kedua kalinya sama aku..” gadis itu enggan menatap ke arahnya.

“Gue nggak ngasih harapan palsu ke lu.”

“Lalu yang kemarin-“

That’ll be the last time.” Lea berbalik menghadapnya. Menatap dalam-dalam seakan mencari binar kebohongan di sorot matanya. “I swear.

Dia menghapus air mata yang mengalir di pipi Lea.

“Jangan nangis karena gue.. Gue nggak mau cewek gue nangis sedih karena gue..” Lea terkejut mendengar perkataannya itu. Dapat dia lihat mata Lea yang membulat.

“Cewek kakak? Aku?”

Who else? Of course that’s is you. I’ll say once more. My girl.” Lea langsung menghambur ke pelukannya dengan kebahagiaan yang membuncah, luar biasa bahagia.

Sedangkan dia masih diam dengan kedua tangannya yang tergeletak tak berdaya di kedua sisi tubuhnya. Merasa berat untuk membalas pelukan gadis yang tengah memeluknya kini.

Merasakan keraguan yang tumbuh subur dalam jiwanya.

Apakah dia mampu melakukannya?

Dia menggerakkan tangannya. Perlahan. Sekedar membalas pelukan gadis itu. Meski hingga saat ini dia masih belum bisa menghancurkan keraguan yang berkuasa dalam dadanya.

Apakah keputusannya kali ini benar?

Jika benar, mengapa sekarang dia merasa seperti the ripper yang siap mencabut kebahagiaan gadis di dalam pelukannya?

**********

‘Bruuk’

Tubuhku terasa sakit. Dan aku bahkan tak tahu apakah rasa sakit itu karena bertubrukan dengan lantai atau karena hal lain.

“Jangan tinggalin aku, Marissa..” kakiku berhenti melangkah mendengar permohonannya yang bergitu memelas.

Tapi aku tidak bisa terus saja diam diperlakukan seperti ini. Ini sudah terlalu jauh dari batas toleransiku. Pada akhirnya aku lebih memilih untuk tidak mengindahkan perkatannya dan kembali melangkah menuju pintu kamarnya meski tertatih.

Lalu kurasakan sebuah genggaman di pergelangan tanganku. Refleks aku berbalik dan menatap pergelangan tanganku itu. Ku alihkan tatapanku pada wajah kak Alex. Intens dan tajam. Seperti memerintahkan dia untuk melepaskan pegangannya pada tanganku. Tapi dia tak juga mengerti. Membuatku kesal sendiri. Aku tak ingin lagi disentuh olehnya.

“Lepas.” Bisa kulihat dengan jelas betapa terkejut kak Alex saat mendengar nada suaraku yang berbeda dari biasanya. “Aku bilang lepasin tangan kamu.”

Dia melepaskan tangannya dengan gerakan yang sangat lambat. Lebih lambat dari slow motion di film-film. Membuatku makin geregetan. Aku langsung saja menarik tanganku. Kembali membalikkan tubuhku untuk meraih kenop pintu dan keluar dari kamar itu.

“Aku cinta sama kamu, Marissa..” katanya menghentikan tubuhku. Mendengar penuturannya entah kenapa membuat emosiku makin memuncak.

“Kakak nggak cinta sama aku.”

“Aku sangat mencintai kamu.”

‘Plaaak’

Punggung tanganku mendarat keras di pipi kanan kak Alex.

‘Plaaak’

Kali ini telapak tanganku yang menampar pipi kiri kak Alex.

“Jangan pernah bicara cinta kalau kelakuan kakak seperti itu! Sakit kak diperlakukan seperti tadi! Lebih sakit daripada dua tamparan yang tadi kakak terima!”

Tanpa kusangka dia kembali menggenggam pergelangan tanganku. Mengarahkannya ke wajahnya, menggerakkannya untuk memukuli wajahnya sendiri.

“Kak! Apa yang kakak lakukan?” aku berusaha untuk menarik kembali tanganku. Tapi tak bisa. Dia mencengkram tanganku terlalu erat.

“Kamu bilang aku udah nyakitin kamu. Pukul aku. Luapkan semua rasa sakit sama kecewa kamu ke aku melalui tangan ini, Marissa. Pukul aku sesuka hatimu, sampai kamu puas. Aku akan terima semua kesakitan yang ditimbulkannya. Asal kamu nggak ninggalin aku.” kak Alex masih saja menggerakkan tanganku untuk terus memukul wajahnya. “Aku lebih bahagia terus menerima lebam daripada kamu tinggalin..”

“Nggak kayak gini caranya, kak.. Kak, stop..” tapi dia tak mendengarkanku. Tuhan!

“KAK, STOP!” teriakku. Aku menyentakkan tanganku keras-keras. Membuatnya melepaskan tanganku. Kudapati ujung bibir kanannya yang pecah dan sedikit berdarah karena tamparan. Dan tanganku yang terasa sakit berdenyut. “Please, jangan buat ini jadi makin sulit.. Biarkan aku-“

“Apa perlu aku berlutut di hadapan kamu supaya kamu tetap ada di sisi aku? Perlu?” kak Alex tiba-tiba saja berlutu di hadapanku. Benar-benar berlutut dengan kedua kakinya. Membuat iba dalam dadaku.

Please, Marissa.. Jangan tinggalin aku.. Aku nggak bisa kalau nggak ada kamu di samping aku.. Please.. Aku nggak sanggup ngebiarin kamu pergi dari sisi aku.. Nggak sanggup ngeliat kamu diraih sama lelaki lain..” kedua tangannya menggenggam kedua tanganku erat.

Please, Marissa.. Please..” aku sontak mundur beberapa langkah saat dia bersimpuh, bersujud di depan kakiku.

“Jangan tinggalin aku..” aku menghembuskan napas panjang. Turut berlutut di hadapannya. Menyentuh kedua bahunya dan berusaha membuat tubuhnya tegak. Meski itu adalah perbuatan yang sulit karena dia seperti menolak untuk bangkit.

“Bangun, kak..” suaraku melembut. Aku merasa lelah sekarang, dalam arti kata sebenarnya. Merasa tenagaku hilang entah kemana. “Tatap mata aku.”

Kak Alex mengangkat pandangannya dan menuruti pintaku. Terlihat matanya yang berkaca-kaca.

“Maaf, kak.. Aku nggak bisa.. It’s over.. Sorry.. Sekarang biar aku berjalan di jalan yang aku pilih.. Dan aku akan membiarkan kakak untuk berjalan di jalan yang kakak yakini.. Aku rasa ini yang terbaik untuk kita berdua..”  bisa kulihat kak Alex yang kembali menundukkan wajahnya. Aku merasa itu sudah cukup. Aku kembali bangkit.

Dan pandanganku menghitam. Membuatku berdiri dulu sejenak. Menunggu bayang hitam yang menguasai pandanganku memudar.

“Kamu meyakini dengan melangkah menjauh dariku adalah jalan yang benar untukmu. Maka untukku, melangkah keluar dari kehidupan adalah jalan yang kuyakini kebenarannya.” Aku tetap melangkah meningalkannya. Aku tak mau keputusanku untuk berpisah dengan kak Alex jadi makin goyah. Tidak. Itu tidak boleh terjadi.

Aku sudah mencapai pinggiran tangga saat aku mendengar suara seperti kaca yang pecah. Dan aku malah terdiam dulu di tempat. Menimbang-nimbang apakah aku perlu masuk kembali ke kamar kak Alex atau tidak. Pada akhirnya aku menyerah dan memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kamar kak Alex. Takut kalau-kalau dia melakukan hal lain yang diluar batas seperti mencelakai dirinya sendiri atau apa.

Dan saat aku melongok ke dalam kamarnya, aku tahu kalau keputusanku kali ini tepat. Aku melihat kaca besar yang menempel di pintu lemarinya telah hancur berkeping-keping dengan bercak darah yang terlihat jelas dan menetes-netes di lantai. Saat aku mengikuti jejak bercak darah itu, aku melihat kak Alex yang tengah menghunuskan pecahan kaca yang cukup besar ke pergelangan tangan kirinya.

“Kak! Kakak apa-apaan sih?!” teriakku sambil mencoba untuk merebut pecahan kaca itu.

“Aku melakukan apa yang tadi aku katakan, yang aku yakini kebenarannya. Melangkah keluar dari kehidupan.” Katanya sambil terus berusaha untuk memotong nadi pergelangan tangannya.

“Jangan, kak!” kataku sambil menggenggam tangan kanannya yang hingga kini masih saja menggenggam pecahan kaca itu dengan erat dan menimbulkan luka di sana.

“Jangan begini, kak.. Jangan gegabah seperti ini..”

Dengan susah payah aku berusaha merebut pecahan kaca itu. Dan setelah menghasilkan beberapa goresan di tanganku, aku berhasil merebutnya. Aku membuang jauh-jauh pecahan kaca itu entah kemana. Yang jelas, jika dia mau mengambil pecahan kaca itu lagi, dia harus melewatiku dulu. Dan aku pasti akan mencegahnya melakukan hal itu. Gila saja jika aku membiarkan hal itu terjadi.

“Kamu mau pergi dari sisiku? Silahkan. Itu keinginanmu, keyakinanmu.”

“Kakak bilang begitu seakan kakak udah ngerelain aku pergi dari sisi kakak. Tapi kenapa tadi kakak mencoba buat bunuh diri, hah?” pekikku.

“Kamu meyakini jalanmu. Aku meyakini jalanku. Kamu pergi, aku pergi. Sesederhana itu.”

“Tapi nggak gitu juga, kak..”

“Lalu harus seperti apa? Kehidupan terlalu hampa tanpa ada kamu di sisiku.. Aku udah pernah merasakannya. Dan aku nggak mau ngerasain hal itu sekali lagi, Marissa..” aku merasakan pendirianku benar-benar goyah. Aku tak bisa dan tidak pernah mau lagi menyaksikan kematian seseorang hanya karena diriku. Cukup sekali. Jangan terulang lagi.

Batinku berperang. Berpisah, dengan resiko terlalu besar bagi kak Alex. Atau aku harus tetap bersama dengannya? Aku kembali menatap kak Alex. Dia saat ini sedang memutar pandangannya ke seluruh penjuru kamar, kemudian memaku pandangannya pada sesuatu. Aku mengikuti arah pandangannya dan terkesiap kaget. Anak ini benar-benar berbahaya.

“Apa yang harus aku lakuin supaya kakak menghentikan niatan kakak untuk bunuh diri?” kataku saat melihat dia sudah melangkah kearah meja kecil di dekat ranjangnya. Dan hal itu secara otomatis menghentikan niatnya untuk meraih pisau buah yang ada di sana.

“Jangan pergi dari sisiku.” Katanya pelan. Aku tidak akan kaget lagi mendengar jawaban darinya. Sebuah jawaban yang sudah ku ketahui bahkan sebelum dia lontarkan padaku.

“Baik. Aku akan ngasih kesempatan kedua sama kakak.. Jangan buat aku kecewa kali ini..”

Wajahnya berubah bahagia saat mendengar rentetan kalimat dari bibirku. Berulang kali dia mengungapkan rasa terima kasihnya yang hanya kubalas dengan senyum kecil.

Sementara dalam diriku, masih saja sibuk berusaha untuk mengubah keyakinanku. Meyakinkan kalau hal ini adalah hal yang benar, memberikan kesempatan kedua pada kak Alex. Karena tiap orang berhak untuk kesempatan kedua.

Menanam keyakinan baru kalau semua akan kembali seperti semula. Semoga.

Setelah membersihkan luka yang ada di tangan dan tepian bibir kak Alex, juga luka gores yang ada di tanganku, aku pamit pulang. Benar-benar tak tahan untuk segera merebahkan tubuhku di atas kasur kamarku dan beristirahat. Hari ini benar-benar menghabiskan energi-ku walau hari baru terlewati setengahnya.

Dapat kurasakan kekhawatiran kak Alex saat mengantarku ke depan rumahnya. Dia sampai harus menuntunku saat menuruni anak tangga karena tubuhku yang terus sempoyongan.

“Kamu yakin nggak kenapa-kenapa?” aku mengangguk. “Apa perlu aku anterin sampe rumah?”

“Nggak.. Nggak usah.. Aku bisa sendiri kok.. Aku ini wanita perkasa, kak..” kataku sambil tersenyum. Mencoba menghapus rasa khawatir yang terlukis gamblang di wajahnya. Meski aku sangsi hal itu berkerja dengan baik. Lihat saja sekarang. Dia masih memandangiku dengan wajah khawatir miliknya. Dan bisa juga kujumpai sejumput rasa bersalah yang hadir di sana.

“Kamu begini pasti karena perbuatanku tadi. Aku bener-bener minta maaf, Marissa. Aku terlalu bodoh sampai nyaris memp-“ aku memotong kata-katanya dengan menutup mulutnya menggunakan sebelah tanganku. Aku tak ingin mendengar kata laknat itu. Aku tak mau mengingat peristira tadi.

“Aku nggak mau nginget hal itu lagi. Jadi kakak nggak usah ngungkit hal itu lagi, oke?” dia mengangguk menyetujui. Setelah aku masuk kedalam Citroen warisan dari kak Mario –yang aku deklarasikan sendiri-, dia menutupkan pintunya untukku.

“Kak, aku harap kakak nggak cerita tentang hal yang tadi ke siapa-siapa. Cukup kita dan Tuhan aja yang tahu..” kataku setelah membuka jendela mobil.

“Kenapa?”

“Aku nggak mau orang beranggapan yang nggak-nggak sama kakak..”

“Marissa..”

“Janji?” dia terdiam cukup lama. “Janji, kak?”

Dia sedikit menggelengkan kepalanya, seperti mengumpulkan kesadarannya. Kemudian mengangguk menjawabnya. Aku buru-buru tancap gas. Makin cepat aku pergi dari sini, makin cepat aku sampai rumah. Makin cepat pula aku melepas seglaa lelah yang sedaritadi menggelayut.

Dan jangan tanya lagi bagaimana keadaan jalanan Jakarta siang ini. Tetap saja macet. Membuatku makin tersiksa. Tubuhku telah terasa sedemikian lelah dan lemas. Ditambah harus tetap mengendarai mobil sampai di rumah. Tuhan!

Tapi ada yang membuatku aneh. Saat di jalan, aku benar-benar merasa lelah. Dan saat jarak dari rumah tinggal beberapa ratus meter lagi, aku merasa lelah itu terus berkurang. Dan makin berkurang saat aku menginjakkan kakiku di  rumah. Hanya menyisakan kantuk.

Oke, sepertinya hal itu tidak perlu dipikirkan. Yang penting sekarang aku akan beristirahat saja. Tidur siang. Kemewahan yang terlalu jarang kucicipi selama ini. Mengistirahatkan tubuhku juga pikiranku. Berharap mimpi-mimpi selama tidur siang nanti bisa menghapus peristiwa tadi.

**********

“Pagi, pak..” sapanya pada pengajar yang usianya masih bisa dibilang muda.

“Hai! Pagi, Ri.. Kok lu belum masuk kelas?”

“Ehm, kayaknya saya nggak masuk kelas bapak hari ini deh.. Bisa diganti ke kelas lain nggak? Masuk kelas malam gitu?”

“Hah? Kenapa nggak masuk? Terus nanti yang bakalan ngejawab semua pertanyaan gue selama kuliah siapa? Yang meramaikan kuliah gue pagi ini siapa?”

“Pak, nggak usah lebay kayak ababil deh.. Kan masih banyak anak-anak yang lain..”

“Dih, lebay itu baik untuk kesehatan jiwa tau.. Ngomong-ngomong ababil itu apa ya? Masa kemarin gue juga dibilang ababil sama keponakan gue..” Riri hanya bisa menepuk dahinya. Merutuk setengah heran, kenapa bisa dia punya dosen macam pak Martin ini. Dosen yang terlalu gaul karena usianya yang masih kepala dua.

“Iya deh iya.. Baik untuk kesehatan jiwa..  Ababil itu ABG labil, sepertiya..” jawab Riri ragu. Menurutnya itu jawaban yang benar. Tapi entah menurut orang lain. “Jadi saya boleh ikut yang kelas malam, pak?”

“Lu mah nggak ikut kelas gue sampe seterusnya juga nggak apa-apa..”

“Lah, kok gitu?”

“Kan lu udah berhasil ngejawab pertanyaan super gue waktu itu.. Gue udah bilang waktu itu, siapa aja yang bisa ngejawab pertanyaan itu boleh nggak masuk seterusnya di kelas gue, nggak ikut UAS juga bisa, dan tetep dapet nilai A.. Lu gimana sih? Masa iya lupa?”

“Emang iya, ya? Hehehehe.. Saya lupa, pak..” jawab Riri sambil memberikan cengiran tanpa dosanya. Membuat pak Martin menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Ckckckc.. Riri.. Riri.. Sepanjang sejarah gue jadi dosen –yang belum terlalu panjang waktunnya-, baru kali ini gue nemuin mahasiswa yang lupa sama poin emas kayak begini.. Gue sampe heran lu masuk kelas gue karena kesengsem sama gue, terlalu cinta sama mata kuliah yang gue ajar apa Cuma buat ngebisin waktu doang deh? Kalau lu kesengsem sama gue, sorry banget, Ri.. Gue udah ada yang punya-”

“Pak.. Pak.. Jangan mimpi dulu, pak.. Ini masih pagi.. Please deh.. Masa iya saya kesengsem sama bapak.. Dan kayaknya bapak harus buru-buru ke kelas deh.. Ini udah hampir jam setengah sembilan loh..” kata Riri menghentikan ocehan narsis dosennya itu.

Whaat?! Oke, gue ke kelas dulu. Masalah absen, tenang aja.. Ada gue.. Semoga kita nggak ketemu lagi di kelas.. Bye..” pamit pak Martin pada Riri. Membuat banyak mahasiswa di koridor melirik ke arah Riri. Sementara Riri hanya bisa geleng-geleng setelah menghadapi dosen ajaibnya itu.

Riri kemudian melanjutkan perjalanannya menuju aula yang ada di luar gedung perkuliahan. Tak lama, Riri mendengar teriakan panik dari banyak mahasiswa dan orang-orang yang tiba-tiba saja menghambur dari tiap bangunan yang ada di sana. Membuat Riri kaget sendiri.

Riri ingin menanyakan apa yang terjadi pada manusia-manusia yang berhamburan melewatinya. Tapi tidak pernah mendapat kesempatan. Dan saat Riri melihat ke arah gedung B, Riri segera tahu apa yang sedang terjadi. Gempa bumi. Cukup besar sepertinya. Hingga membuat gedung-gedung yang ada di sana sedikit bergoyang.

Tak sampai dua menit, gempa itu berakhir. Menyisakan suara orang-orang yang masih saling berbagi kisah saat gempa itu terjadi.

‘Drrrt..’

“Halo, kak?”

“Hah? Yang bener?”

“Oke, aku kesana.” Dengan terburu-buru Riri berlari menuju aula kampus. Ingin menyaksikan kebenaran yang baru saja diberitahukan padanya oleh Alex.

Sesampainya di sana, aula telah kembali ramai oleh mahasiswa yang ingin melihat sendiri efek gempa tadi pada aula. Riri harus berjalan perlahan untuk bisa sampai di tepi panggung.

Dan terlihatlah pemandangan yang cukup kacau di sana. Panggung yang ada di depan sana sebagian rubuh karena guncangan. Membuat grand piano hitam yang ada di atasnya ikut terjatuh dan rusak. Tiang tempat menggantung lampu warna-warni yang ada di atas panggung juga ikut jatuh dan mengakibatkan lampu-lampu itu pecah. Intinya adalah panggung di aula berubah ringsek.

Yang lebih membetot perhatianya adalah saat Riri melihat Alex yang ada di ujung tepian panggung. Berdiri menghadap ke arah piano yang rusak dengan baju yang kotor oleh serpihan tembok.

“Kakak nggak kenapa-kenapa, kan?”

“Nggak.. Nggak kenapa-kenapa.. Tapi kita jadi harus cari tempat lain buat nyelenggarain konser amal ini.. Aku rasa aula nggak akan siap dalam waktu tiga minggu.. Dan kita juga harus nyari pinjeman grand piano atau keyboard..”

“Kalau masalah itu tenang aja.. Aku bisa handle..” kata Riri yakin.

“Nggak.. Aku nggak mau kamu capek gara-gara muter-muter buat nyari tempat.. Kemarin aja keadaan kamu udah terlalu mengkhawatirkan tahu..”

“Ck, aku nggak akan kecapean buat hal yang satu ini..”

“Yakin bener kamu..”

“Yakin lah.. Kita tinggal pake Gedung Serbaguna Kusuma.. Masalah perijinan, gampang.. Di sana juga ada alat musiknya.. Bisa nampung sekitar 350 orang..” Jawab Riri percaya diri. “Nah, sekarang aku mau nanya, ini kenapa baju kakak kotor begini?”

“Ssshhh!” Riri kaget mendengar rintihan tertahan dari Alex. Dia segera menarik tangannya dari bahu Alex dengan cepat.

“Sakit, ya? Maaf..”

“Nggak.. Nggak apa-apa..”

“Nggak apa-apa? Ketowel dikit aja udah meringis-ringis begitu kakak bilang nggak apa-apa? Jangan bilang kakak ketimpa yang  tiang penyangga lampu-lampu itu..” Alex diam. Membuat Riri gemas.

“Kak, jawab dong..”

“Katanya tadi disuruh jangan bilang.. Sekarang nggak bilang, aku dimarahin.. Jadi yang bener gimana?”

“Ya ampunn.. Kak Alex-ku yang tampan, bilang dong kalau kenapa-kenapa.. Ayo ah, kita ke klinik kampus.. Biar diperiksa sama dokter jaga di sana..” kata Riri sambil menarik tangan kiri Alex. Sedangkan yang ditarik hanya bisa pasrah mengikuti langkah kaki gadis yang ada di depannya sambil terus  menyangga tangan kanannya yang sakit.

“Ayo jalannya lebih cepet, kak.. Makin cepet diobatin, makin baik..” kata Riri sambil terus menarik-narik tangan Alex agar berjalan lebih cepat lagi.

“Ck, Ini nggak terlalu parah, Marissa..”

“Sok tahu.. Ayo buruan..”

“Nggak percaya banget deh ini anak.. Tapi seneng juga rasanya.. Dikhawatirin sama kamu itu rasanya kayak dapet harta karun yang bikin aku kaya tujuh turunan..”

“Lagi sakit masih sempet-sempetnya aja ya ngegombal..” kata Riri sambil mencubit pelan pinggang Alex. Membuat pria di sampingnya kegelian.

Sementara sepasang mata yang ada jauh di belakangnya merasakan perasaannya yang membuncah oleh rasa sakit. Lebih sakit dari luka yang menganga di lengannya. Sepasang mata yang pada akhirnya lebih memilih untuk memutar balik dan pergi dari tempat itu.

**********

Dia melangkah berbalik dari tujuannya semula. Tak yakin bisa kembali melihat butir-butir kebersamaan yang dikeluarkan oleh gadis impiannya. Lebih memilih untuk pergi ke parkiran dan meluncur pergi entah kemana.

“Mau kemana lu?” tangannya yang sudah siap menyalakan motornya terhenti saat mendengar suara yang dia kenal. Dia menghembuskan napas panjang.

“Jangan sampe gue narik lu turun dari  motor lu gara-gara lu tetep mau pergi dengan luka yang masih netes-netes begitu darahnya.” Lanjut suara itu. Fred lebih memilih untuk tidak mengindahkan perkataan Billy tersebut dan menyalakan mesin motornya.

Billy yang merasa perkataannya dianggap angin lalu jadi geram. Dengan cepat tangannya mematikan mesin motor Fred dan mencabut kuncinya. Menyimpannya di kantung celananya. Dengan sekali hentakan dia menarik tubuh Fred hingga nyaris jatuh dan tertimpa motornya.

“Lu gila! Kalau gue sampe jatoh dan ketimpa motor gimana? Lu bener-bener ya!” pekik Fred kaget mendapat perlakuan seperti itu dari seorang Billy.

“Tinggal diobatin. Selesai. Lu pasti tahu gue orang yang akan selalu ngelaksanain apa yang gue bilang.” Kata Billy datar sambil mempersiapkan kotak P3K yang dia ambil dari mobilnya beberapa saat lalu. Setelah memasangkan standar satu pada motor Fred, Billy mulai bergelut dengan luka milik lelaki di hadapannya.

“Kenapa lu nggak ke ruang kesehatan?” tanya Billy sambil memeriksa luka di lengan Fred.

‘Toook!’

“Bego! Sakit!” pekik Fred sekali lagi sesaat setelah merasakan kepalan tangan Billy yang mendarat keras di kepalanya. Sebelah tangannya refleks mengusap-usap kepalanya yang terasa nyut-nyutan.

“Anak bodoh, luka sekotor ini mau lu ajak pergi naik motor?! Emang hebat deh lu! Kenapa lu nggak ke ruang kesehatan dan minta di obatin sama dokter jaga di sana, hah?! Kalau sampe infeksi gimana? Apa perlu gue ulangin wejangan dari kak Nino khusus buat lu, hah?!” Diam sejenak. Dan Billy yang merasakan keheningan itu segera mengalihkan pandangannya ke arah Fred.

Saat itu, dia melihat Fred yang menatapnya penuh tanda tanya. Seperti tengah menatap alien yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya.

‘Taak!’

“Heh! Sakit!” lagi-lagi Fred kesakitan setelah dahinya di sentil dengan sepenuh hati oleh Billy.

“Lu ngapain ngeliatin gue begitu?”

“Lu beneran Billy, kan? Bukan jin yang nyamar jadi Billy, kan? Atau lu lagi kesurupan?” Billy menghela napas panjang mendengar pertanyaan Fred yang baru saja dilontarkan.

 “Ini gue Billy.. Romebillyan Saputra..” jawabnya kalem. Masih berusaha untuk membersihkan luka Fred dari serpihan-serpihan bahan bangunan yang seperti enggan minggat dari sana.

“Beneran? Bukan orang yang pake topeng mukanya si Billy?” tanya Fred sambil memegang-megang pipi Billy dengan sebelah tangannya yang sehat. Seolah ingin memastikan wajah yang sedang dipegangnya saat ini topeng atau bukan.

Kesal karena konsentrasinya dibuyarkan, Billy menghempaskan tangan Fred yang sedari tadi bertumpu di tangannya. Membuat Fred mengaduh kesakitan (lagi).

“Lu niat ngobatin tangan gue nggak sih? Sakit, monyong!”

“Makanya nggak usah pegang-pegang muka gue. Lagian ada angin apa pula lu nanyain hal kayak gitu ke gue. Dasar sinting.” Jawabnya setengah merengut. Kemudian Billy kembali meraih lengan Fred yang sempat dia hempaskan tadi, kembali membersihkan luka itu sampai benar-benar bersih sebelum dibaluri obat merah.

“Gue Cuma heran aja..” Fred sedikit meringis saat Billy membubuhkan obat merah pada lengannya. “Lu mendadak jadi lebih banyak ngomong daripada biasanya. Jadi lebih galak juga. Dikit doang tapinya.”

“Abis di depan gue ada bocah dengan kepala batu plus bodoh yang suka berbuat seenak jidatnya sendiri tanpa mikirin kedepannya gimana. Emang lu aja yang bisa galak kalau ada yang sakit? Gue juga bisa.” Katanya sambil membebat luka yang sudah selesai dibubuhi obat merah. “Gue tanya sekali lagi, kenapa lu nggak pergi ke ruang kesehatan?”

Fred menghela napas panjang. Berharap Billy, yang sudah mengenalnya sejak duduk di sekolah dasar, bisa mengetahui jawabannya tanpa dia beritahukan alasannya.

“Oke, nggak usah dijawab. Gue udah tahu jawabannya.” Jawaban Billy itu tentu saja membuat Fred tak mampu menahan pandangannya agar tak menoleh dengan cepat ke arah Billy.

“Gue kenal lu udah lama, Fred. Nggak usah heran begitu. Gue ngerti alasan lu nggak ngelakuin hal itu. Tapi lu nggak bisa berlaku seenak jidat lu dengan nggak ngobatin luka lu begitu. Lu bisa panggil gue.  Gue dengan ikhlas dan tabah bakal ngerawat luka lu itu.”

I know.”

“Terus kenapa tadi lu nggak ngelakuin hal itu?” kesal Billy.

“Jangan pukul kepala gue lagi, please..” pinta Fred sembari melindungi kepalanya. Padahal Billy sedang sibuk merapikan kotak obatnya.

“Jangan bilang nggak mau ngerepotin.” Katanya.

Well, itu dia alasannya.” Billy kini beralih menatap Fred yang masih bersandar di body motornya.

“Jangan pernah beranggapan kayak begitu. Gue nggak suka kalau ada yang bilang kayak gitu.”

We’re ohana. And ohana protect each other. You’ve said that before.” Potongnya sebelum Fred bisa menimpali perkataan Billy sebelumnya. Membuat Fred membuang pandangannya pada langit yang cerah.

“Gue pergi. Ada kuliah bentar lagi.”

“Bill..” Billy menghentikan langkah kakinya dan membalikkan badannya ke arah Fred yang tadi memanggilnya. “Thanks..

Nevermind.” Jawab Billy sambil melemparkan senyumnya yang jaraaaang sekali bisa dilihat orang lain. Sebuah senyum yang bisa saja membuatnya klepek-klepek dimabuk kepayang karenanya, jika saja dia seorang wanita.

Setelah memakain jaket kulit yang selalu menemaninya kemanapun dia pergi jika mengendarai motor dan helm, dia segera pergi dari tempat itu. Lebih memilih untuk beranjak dari kumpulan bangunan itu dan menuju sarangnya sendiri. Kehilangan semangat untuk mengikuti kuliah hari ini. Juga memikirkan cara agar denyut kesakitan yang sedaritadi terus menari di lengannya cepat pergi.

**********

“Kakak abis darimana?”

“Abis ngobatin tangannya si Fred.” Jawabnya sambil menggandeng jemari gadisnya.

“Lah, emang kak Fred kenapa?”

“Ketimpa tiang penyangga lampu di panggung aula. Nggak terlalu parah sih, Cuma kotor doang lukanya. Jadi ngebersihinnya agak lama.” Nita mengangguk-angguk mendengarnya.

“Kenapa dia nggak minta bantuan sama dokter jaga di klinik kampus?” Billy memutar matanya. Pertanyaan yang sama yang dia pikir akan dilontarkan oleh tiap kepala yang melihat kejadian itu.

“Kan dokter jaga di sana Cuma ada satu, dan lagi ngerawat Alex yang juga luka.. Sisanya, kamu tahu alasannya karena apa.”

“Di sana ada kak Alex, berarti ada Riri juga.” Billy mengangguk menjawabnya.

“Kenapa kak Fred nggak bilang yang sebenernya ke Riri? Daripada dia terus-terusan sakit kayak begitu.. Apa perlu aku yang bilang ke Riri?”

“Ck, kita nggak usah ikut campur sama urusan mereka deh, Nit.. Itu urusan pribadi mereka..”

“Tapi-“

“Nggak usah. Aku percaya mereka bisa menyelesaikan ini sendiri. Kalau tiba waktunya, baru kita turun tangan..”

“Kalau kakak bilang begitu, aku Cuma bisa ngikutin aja.. Aku percaya sama apa yang calon imamku percayai..” Billy kembali menyunggingkan senyum miringnya yang membuat Nita tergila-gila. Sebuah senyum yang tak pernah luput dia berikan pada gadisnya.

**********

Gedung serbaguna itu tak lagi sepi tak berpenghuni. Kini banyak orang yang akan hadir di sana setiap harinya. Para pengisi acara untuk konser amal mau tak mau berlatih di tempat itu karena aula masih dalam tahap renovasi.

Mereka telah berlatih sejak dua jam yang lalu. Dan sekarang tiba waktunya untuk beristirahat. Billy dan Fred beristirahat di dekat Nita dan Nate yang memberikan mereka minuman untuk menyegarkan tubuh.

Saat sedang beristirahat, pintu gedung serbaguna itu terbuka. Menampilkan siluet yang telah mereka kenal sejak lama. Riri.

“Hai, sorry gue baru dateng.. Tadi ada kuis.Kata Riri sambil mengambil posisi duduk di atas lantai.

“Tapi bisa kan kuisnya?” tanya Nita.

“Bisa sih.. Tapi-“

“Marissa, bisa bantui sebentar?” tanya Alex.

Sorry gue pergi dulu.. Bye..” pamit Riri.

“Selalu aja begitu.. Kenapa tiap kita mau ngobrol ngalor-ngidul kayak dulu dia selalu ada urusan sih? Kemarin kak Alex minta bantuan sama Riri.. Kemarinnya juga.. Kesannya kayak nggak ada orang lain yang nggak bisa dimintain bantuan selain Riri..” rutuk Nita.

“Iya.. Sampe Riri nggak punya waktu buat kita.. Dulu sesibuk apapun Riri, dia pasti selalu nyisihin waktu buat hang out sama kita.. Sekarang? Ngobrol aja susah.. Pasti adaaa aja urusannya..” sambung Nate.

Sorry, gue pergi dulu. Ada urusan.” Pamit Fred pada Billy, Nita dan Nate.

“Dan dia juga ikut-ikutan kayak Riri. Emang klop banget deh.” Kesal Nate.

Billy hanya diam saja menyaksikan hal itu terjadi. Menduga-duga apa yang mendasari semua perubahan ini. Sembari sibuk berdoa semoga saja kesimpulan-kesimpulan dari pemikirannya barusan tidaklah benar. Berharap semoga persahabatan mereka takkan semakin merenggang lebih jauh daripada saat ini.

To be continue..

Posted at My house, Tangerang City.

At 10:23 p.m

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita.
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
Don’t be a silent reader, please.. :D