Jumat, 16 November 2012

Love the Ice part 36


Dia menekan pedal gas sepanjang jalan. Hanya pedal gas. Bukan yang lain. Seperti melupakan kehadiran rem yang memang ada di sana. Juga tak mempedulikan kemungkinan hadirnya polisi lalu lintas yang bisa saja menahan perjalannya yang tengah terburu-buru kali ini. Hanya satu yang dia pedulikan. Sampai secepat mungkin di tempat tujuan. Hanya itu.

Dia menghentikan kendarannya dengan sentakan yang amat sangat kuat. Menimbulkan decitan keras karena ban dan aspal jalanan yang saling bergesekan. Dia menutup pintu mobilnya dengan bantingan –yang juga- keras. Tak peduli dengan bunyi memekakkan telinga yang tercipta karenanya. Jas dokternya berkibar-kibar tertabrak angin saat dia berlari ke dalam pekarangan rumah.

“Assalamu’alaikum!” teriaknya sambil membuka pintu rumah yang ada di hadapannya. Tanpa menunggu jawaban dari si empunya rumah, dia melangkah masuk begitu saja.

“Hamid! Lu dimana?”

“Gue di kamar!” dia segera pergi ke arah sumber suara. Dan mematung saat dia membuka pintu kamar itu.

Dia melihat Riri yang terkapar dengan mata yang tertutup, bersandar pada kepala ranjang. Sementara Hamid duduk di sebelahnya dengan tangan yang menggenggam tissue berwarna merah.

“Kenapa bisa begini?” Tenggorokannya kering. Tercekat hingga tercekik melihat keadaan adik semata wayangnya saat ini.

“Gue juga nggak tahu, No. Pas gue lacak keberadaannya, dia ada di lapangan deket sini. Makanya gue langsung pergi ke sana.” Nino tak berkata apa-apa. Tak fokus mendengarkan penjelasan Hamid.  Tangannya telah mengambil alih tissue yang ada di dekat Hamid. Dengan sedikit bergetar dia menyeka darah segar yang seperti tak ingin berhenti mengalir dari hidung Riri.

Dia telah terbiasa menangani pasien yang lebih parah keadaannnya dari pada ini. Tapi akan sangat berbeda sekali saat orang yang kau cintai yang hilang kesadaran dan berdarah-darah seperti ini.

“Udah berapa lama dia begini?” tanya Nino dengan suara bergetar. Napasnya tak teratur.

“Nggak tahu. Tapi waktu gue temuin dia di sana, di karpet mobilnya ada sedikit tetesan darah. Gue rasa rentang waktu dari dia mulai mimisan sampai ditemuin itu nggak terlalu jauh.”

“Ya ampun, Riri.. Kamu kenapa begini lagi sih?” Nino masih setia menekan hidung Riri dengan ibu jari dan telunjuknya. Berharap pendarahan yang diderita Riri bisa segera berhenti.

“Begini lagi? Maksudnya?”

**********

Nino meregangkan tubuhnya. Semalaman dia harus berjaga di rumah sakit. Sebenarnya dia tidak harus berjaga di ruang ICU. Tapi karena temanya ada yang sakit, maka dia menggantikannya. Hitung- hitung dia membalas budi karena temanya itu telah rela menggantikan shift jaganya saat Riri sakit tempo hari.

Dia pergi menuju mesin pembuat kopi dengan langkah pelan. Dia sangat mengantuk. Membutuhkan pasokkan kafein untuk tetap terjaga hingga masa tugasnya berakhir satu jam lagi. Rasa kantuk yang teramat sangat membuatnya menguap lebar saat menunggu kopi selesai di proses di mesin pembuat kopi.

Kopinya selesai di proses bersamaan dengan terbitnya matahari. Dia terpukau dengan cahaya matahari yang masih redup menyinari langit Jakarta. Terlena dengan keindahan yang ditawarkan. Hingga tak menyadari gelas kopinya yang telah berpindah tangan.

“Aaahh.. Kopi buatan lu enak juga, No..”

Nino kaget mendengar suara yang tepat ada di sebelahnya itu. Dengan cepat dia menolehkan kepalanya ke samping dan mencelos. Mendapati temannya yang tadi berbicara.

“Gaaah! Kopi gue!” pekik Nino saat melihat kopi di gelasnya telah surut entah berapa banyak. Padahal dia belum meminum sedikitpun. Setengah merengut dia kembali membuat kopi. Tentu saja dengan menggunakan gelas kopi yang baru. Karena gelas kopinya masih ‘di sandera’ oleh temannya itu.

“Hahaha.. Nggak usah cemberut begitu, No.. Udah seharusnya lu berbagi kopi sama orang yang udah seminggu hampir nggak tidur..”

“Lah, kenapa lu nggak tidur? Terus ngapain lu di sini?”

“Gue nungguin nyokap.. Dia ada di ICU sekarang.. Baru aja masuk tadi..”

“Ada apa sama nyokap?”

“Dia di rawat di rumah sakit deket rumahnya gara-gara kena serangan jantung.. Udah mendingan dan boleh pulang setelah dirawat selama semingguan.. Dia bilang mau ikut ke rumah gue.. Kangen sama cucunya katanya.. Tapi tadi subuh, nyokap tiba-tiba jatuh begitu aja.. Ternyata pembuluh darah di otaknya pecah..” Nino tahu temannya yang satu ini mencoba untuk tidak tampak terbebani oleh kesedihan. Terlihat dari genggaman tangannya yang mengencang pada gelas kopinya.

Nino paham betul apa yang di rasakan oleh temannya itu. Melihat orang yang begitu dicintai terkapar sebegitu tidak berdayanya, tanpa bisa menolong, itu benar-benar menyakiti hati nurani. Mengetahui harapan hidup orang yang paling kita kasihi nyaris padam. Dengar sendiri kan tadi? Pecah pembuluh darah otak, stroke! Hanya sekitar 30% sampai 40% yang bisa sembuh dengan sempurna, itupun bila penanganan yang diberikan  kurang dari enam jam setelah serangan stroke terjadi. Dan Nino tak mau menanyakan hal yang dia rasa makin membuat sedih temannya tersebut.

Mereka berjalan beriringan menuju ruang ICU dalam diam. Masih dengan tangan yang menggenggam gelas kopi yang mengepul. Nino menemani temannya itu duduk di kursi tunggu ruang ICU yang tak bisa dibilang kosong juga.

“Hmmhhh.. Lu tahu? Tiba-tiba aja gue kepikiran sama orang yang check up di tempat gue praktek..” Nino hanya diam mendengarkan dengan seksama. Tak ingin menyela orang yang keadaan hatinya sedang bersedih saat ini.

“Dia masih muda, cantik, penyayang. Terbukti dari tindakannya yang tanpa berlama-lama mikir berkali-kali buat nolongin pasien yang nggak mampu buat periksa di lab dan nebusin obatnya. Gadis ramah yang tetap senyum walau ada bapak-bapak yang nggak sengaja numpahin kopinya ke pakaian yang dipakai gadis itu.” Temannya itu menghela napas berat. “Tapi sayang, keadaannya nggak terlalu bagus.”

“Kenapa bisa begitu?”

“Ada peningkatan di jumlah basofil, limposit dan monositnya. Entah itu karena ada infeksi di tubuhnya hingga hasil pemeriksaannya seperti itu, atau suspect leukemia. Harusnya dia segera melakukan prosedur BMP. Tapi dia nggak dateng-dateng juga.. Entah karena dia melakukannya di laboratorium yang lain atau apa..”

Nino tersenyum kering.  Di tengah kesedihannya, temannya yang satu ini masih bisa-bisanya menghkawatirkan keadaan orang lain. Itu yang membuatnya salut, membuatnya betah berteman dengan orang yang satu ini. Mungkin itu salah satu caranya untuk bisa mengalihkan perhatiannya dari kesedihan yang masih menawan jiwanya. Mungkin.

“Dan, lu tahu? Sekilas dia mirip sama Rio..” Nino tersentak mendengarnya. Hingga gelas kopinya sedikit tersentak dan memerciki jas dokternya yang berwarna putih itu.

“Lu inget siapa namanya?” tanya Nino cepat. Pria di sebelahnya mengerutkan dahi dalam-dalam. Berusaha menggali ke dalam pikirannya yang sejak kemarin tak henti dijejali pikiran-pikiran yang seperti memberatkan bahunya yang lelah.

“Mavia.. Stevia Putri.. Stavia.. Tunggu, No.. Gue inget- inget dulu namanya..” Nino diam, tak mengijinkan mulutnya berkata-kata.

“Siapa ya.. Hmmmhh.. Marissa Stevia Putri..” Nino seperti menelan kaktus.

“Marissa Anastacia Putri.” Lirih Nino.

“Naah! Betul itu! Eh, kok lu tahu?” Nino tak bisa berkata apa-apa. Napasnya menghilang entah kemana. Membuat dadanya sesak.

Sumpah demi Tuhan! Dia baru saja merasakan jantungnya hampir berhenti bekerja karena terlalu cepat berdetak.

“Lu yakin namanya Marissa Anastacia Putri?”

“Gue yakin banget, No..”

Suspect leukemia?” teman di sebelahnya mengangguk.

Tanpa kata Nino bangkit dari duduknya. Membuat temannya kaget dengan kelakuan Nino yang seperti itu. Dia meletakkan gelas kopinya begitu saja di bangku tunggu ruang ICU. Kemudian dia melangkah pergi dengan cepat, meski langkahnya terlihat goyah.

Haruskah Riri-nya mengalamai hal seperti ini lagi? Leukemia?

**********

“Jadi Riri suspect leukemia?” tanya Hamid saat kami berdua tengah ada di ruang tengah. Aku hanya bisa mengangguk lemah.

“Tapi baru suspect kan? Dia nggak bener-bener leukemia lagi, kan?”

“Gue berharap nggak. Tapi mengingat riwayat kesehatannya, gue.. Gue bahkan takut buat mengatakan hal itu, Mid.. Tuhaaan.. Kenapa sepertinya cobaan ini nggak berhenti-berhenti juga?” Kepalaku sakit jika harus membayangkan semuanya terjadi. Mataku terasa panas, napasku berubah tak beraturan.

“Tenang, No.. Riri akan baik-baik aja..”

“Baik-baik aja? Riri nggak akan baik-baik aja, Mid! Suspect leukemia, dan lu masih bilang dia akan baik-baik aja?! Gimana kalau dia benar-benar menderita leukemia untuk yang kedua kalinya?” aku berteriak frustasi.

“Pasti ada jalan keluarnya, No.. Pasti ada pengobatan yang bisa bikin Riri bertahan di sini lebih lama lagi..”

“Gimana seandainya pengobatan yang dilakukan gagal ngusir penyakit sialan itu dari tubuhnya? Gimana kalau akhirnya gue harus kehilangan adik lagi? Gue nggak akan sanggup, Mid.. Nggak akan sanggup.. Tuhan! Gue nggak mau ngebayangin gimana cara gue ngejalanin hari-hari gue tanpa bisa ngeliat senyum Riri lagi.. Gue takut ngebayangin hal itu terjadi, Mid..” Jangan.. Jangan biarkan mataku mengabur karena air mata.

Aku menopang kepalaku dengan sebelah tanganku. Meremasnya. Kepalaku sakit. Seperti hati dan jiwaku yang tersakiti oleh semua kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi atas hidup Riri. Kenapa Tuhan senang sekali mencoba anak itu?!

“Nino! Berhenti ngomong yang nggak-nggak!” pekik Hamid sembari menghempaskan tangan yang ku gunakan untuk menopang kepalaku. Membebaskan kepalaku dari rasa sakit yang bertambah sejak ku putuskan untuk berusaha menghancurkan tengkorakku dengan tanganku sendiri.

“Kak Nino nangis?” aku segera menoleh ke arah sumber suara dan menemukan Riri yang tengah berdiri di ambang pintu, menumpukan tubuhnya yang terlihat masih lemah di sana.

“Nggak.. Kakak nggak nangis kok..” Tuhan, jaga suaraku agar tak bergetar seperti ini.

“Bukan nggak nangis, kak.. Tapi belum..” Aku melihatnya tersenyum. Harusnya itu bisa membuatku bahagia. Lalu kenapa sekarang mataku malah makin mengabur oleh air mata kesedihan yang menyakitkan? Sial!

“Riri..” aku tercekat saat menatap wajahnya yang sedikit pucat. Dia berjalan sangat perlahan menuju ke arah kami. Aku membantunya untuk duduk di sebelahku.

“Riri.. Kenapa kamu nggak bilang kalau hasil check up kamu nggak baik?” dia tak menjawab. Hanya terus menatap wajahku.

“Ini..” katanya sambil mengusap mataku. “Ini yang bikin Riri nggak bilang ke kak Nino tentang semua hasilnya.. Riri nggak bisa ngeliat kak Nino nangis kayak gini..”

Aku menggenggam tangannya yang tadi menghapus air mataku meski belum tertumpah. Merasakan sedikit dingin yang bertengger di sana.

“Kita BMP sekarang, ya?” kataku bergetar. Dan dia menggeleng. “Kenapa?”

“Riri takut..”

“Jangan takut.. Kakak akan nemenin kamu.. Kakak akan memastikan supaya kamu nggak ngerasain sakit selama-”

“Bukan.. Riri bukan takut karena hal itu.. Sekarang Riri nggak takut lagi sama yang namanya sakit, kak.. Sudah terlalu familiar dengan rasa sakit di badan..” sebelah tangannya ikut menggenggam tanganku. Erat sekali.

“Riri takut dengan kebenaran, kak..” dia memutuskan kontak mata diantara kami. “Riri takut kalau Riri benar mengidap leukemia, lagi.. Riri takut nggak bisa survive..

Kurasakan ada yang menetes ke atas tanganku. Air mata Riri. Tuhan.. Kenapa Kau tega membuat malaikat kesayanganku menangis sedih seperti ini?

Serta merta aku meraupnya dalam pelukanku. Merasakan tubuhnya yang bergetar. Merasakan air matanya yang terus bergulir. Kali ini aku tak bisa memintanya untuk menghentikan segala tangis kesedihannya.

Bagaimana aku bisa memintanya untuk berhenti menangis, sedangkan aku pun turut menangis bersamanya?

**********

Dia merasakan ada sesuatu yang salah dalam dadanya. Bukan, bukan karena alasan kesehatan. Tapi lebih kepada jiwanya yang terusik. Gelisah. Tapi tak tahu apa yang membuatnya gelisah.

Sekali lagi dia mengedarkan pandangannya. Mencari sosok yang selama ini bisa membuat hatinya tenang. Dan dia tak menemukannya. Kemana gadis impiannya?

Empat hari, gadis impiannya itu menghilang dari peredaran. Dia tak bisa menemukan gadis itu di kampus, di rumahnya, bahkan hingga di kantor. Kemana gadis impiannya pergi?

Jangan tanyakan betapa tidak kondusif acara latihan orchestra akhir-akhir ini. Bahkan lelaki yang memiliki hati gadis impiannya saja tak tahu menahu tentang keberadaan Riri.

Dia sudah mencoba untuk menghubungi Nino. Tapi tak pernah berhasil. Nino juga seakan menghilang bersama Riri. Menanyakannya pada Hamid, dan dia hanya mendapatkan kalimat yang sama. ‘Gue udah nyebar anak buah gue. Tinggal nunggu mereka ngasih kabar.’

Sungguh, dia ingin sekali pergi mencari Riri. Mungkin saja setelah bisa melihat wajah gadis itu, dia bisa merasa tenang. Tapi tak mungkin dia meninggalkan kewajibannya di sini.

“Kak, Minggu depan ada waktu?” dia mengangguk menanggapi pertanyaan gadisnya. “Bisa temenin aku ke toko perhiasan? Aku mau ngambil cincin mamaku..”

“Oke.. Name the time and I’ll pick you up.”

“Makasih, kak..”

“Sama-sama..” sebelah tangannya bergerak mengusap puncak kepala gadisnya. Sebuah gerakan kecil, namun masih saja bisa membuahkan gurat merah tipis di pipi gadisnya. Membuat gadisnya melangkah ringan, pergi dari hadapannya.

“Kak, Riri masih belum ada kabarnya?” tanya Nita pada Billy. Dia mendengar pertanyaan itu samar-samar karena jarak yang membentang. Dan dia yakin, 700%, Billy akan menjawab tidak tahu.

“Dia pergi buat ngurus masalah yang ada di perkebunan sawit miliknya.”

“Darimana lu tahu kalau dia pergi ke sana?” dia tak bisa menahan lidahnya untuk tak melontarkan pertanyaan itu secepat kakinya melangkah ke arah dua orang itu.

“Hamid.”

“Kenapa bukan Hamid aja yang ke sana?”

“Jangan tanya ke gue. Gue nggak pernah ngerti jalan pikiran anak itu.”

Dia menghela napas panjang. Memang, hanya jika mereka beruntung saja mereka bisa menebak jalan pikiran Riri. Sisanya, hanya Riri dan Tuhan yang tahu.

Tapi tak apa. Setidaknya dia sudah tahu keadaan gadis impiannya baik-baik saja. Setidaknya badai gelisah yang sejak kemarin menghantui dadanya sedikit mereda.

***********

Dia melangkah perlahan. Menyusuri lorong rumah sakit yang ada tidak terlalu jauh dari rumahnya. Ibunya, berada di sini. Setelah kemarin tertabrak mobil saat sedang mengendarai sepeda motornya. Khawatir masih saja ada di dadanya. Walau dokter telah mengatakan kalau ibunya itu tak terluka terlalu parah. Hanya sedikit shock dan memerlukan beberapa jahitan di kakinya.

Kalau keadaannya sudah membaik, dia bisa membawa pulang ibunya hari ini juga. Yah, semoga saja bisa keluar hari ini juga. Dia tidak tahan jika harus terus-terusan mendengar suara ibunya –yang lebih mirip rengekan- yang meminta untuk sesegera mungkin pulang ke rumah.

“Nona Marissa..” Dia menghentikan langkahnya.

“Marissa.. Marissa Anastacia Putri..” dan dia melihat gadisnya melangkah perlahan menuju ruang praktek dokter. Ada apa dengan Marissa? Kenapa dia tidak tahu?

Onkologis? Dokter spesialis kanker? Apa yang terjadi?

Dia tak bisa melangkahkan kakinya untuk beranjak dari tempat itu. Tidak setelah dia melihat gadisnya yang memasuki ruang praktek dokter dengan wajah yang tertekan seperti itu.

Saat perawat masuk ke ruangan itu dengan membawa amplop yang tidak terlalu besar, dia mencegah pintu ruang praktek itu tertutup sempurna. Membuat jalan bagi suara dari dalam untuk merangkak keluar. Juga membuat dia bisa mengintip ke dalam.

Terlihat dokter paruh baya yang sedang membuka amplop itu. Kemudian dia bisa menangkap sejumput raut penuh prihatin yang tersamarkan pada wajah dokter itu.

“Maaf, Marissa..” Punggung gadisnya yang menegang tiba-tiba bisa dia tangkap dengan jelas dari tempatnya berdiri.

“Apa yang kita takutkan selama ini.. Hhh.. Benar-benar terjadi..”

Dia berdiri dalam kebekuan yang menakutkan. Merasakan hatinya yang seperti jadi beku kemudian hancur dengan tidak beradab. Ketok palu yang terlalu kejam untuk gadisnya telah dia dengar dengan telinganya sendiri. Membuahkan kehancuran pada sekeping jiwanya yang setipis lapisan es.

***********

“Gimana tadi? Bisa ngerjain soalnya?”

“Bisa dong.. Masa iya udah berguru sama kakak tapi nggak bisa-bisa juga..”

Good. That’s my girl..” katanya sembari menepuk pelan puncak kepala gadisnya.

“Karena hari ini kita selesai ujian dan udah nggak latihan lagi, gimana kalau kita jalan-jalan?”

“Kemana?”

“Kita duduk aja di situ.. Sambil makan es krim bucket enak kayaknya..” Riri mengikuti arah pandangan Alex dan mengangguk setuju. Taman belakang kampus yang terlalu sering jadi tempat mereka berkencan.

Setelah Alex membeli es krim yang cukup besar dan meminjam sendok dari penjaga kantin, mereka duduk bersama. Di bawah pohon rindang yang melindungi mereka dari paparan sinar matahari.

Riri menyendok es yang ada dalam dekapan Alex. Memasukkanya ke mulutnya, dan merasakan manis vanilla yang lumer membasahi lidahnya. Sementara Alex malah diam menikmati aksi Riri yang berusaha melenyapkan es krim dari tempatnya.

“Kakak nggak makan? Sini aku suapin.. Aaaaa…” sebentuk sabit tersembul di bibir Alex mendapat perlakuan seperti itu. Segera saja dia melahap es krim yang di sodorkan Riri.

Dengan nyamannya Riri bersandar di dada Alex. Dan Alex dengan kesenangan yang meluap-luap mendekap erat Riri. Seperti yang biasa mereka lakukan. Membiarkan begitu saja es krim yang tinggal sepertiga isinya. Seperti lupa kalau es takkan selamanya membeku.

“Menurut kamu, apa yang terpenting dalam sebuah hubungan? Selain cinta.”

“Hmmmhh.. Menurutku kepercayaan dan komunikasi. Juga pengertian dan keihklasan. Kebesaran hati untuk memaafkan juga penting.” Alex tersenyum mendengarnya.

“Kepercayaan..” Alex menghela napas sejenak. “Kamu bahagia, Marissa?”

“Tentu.” Alex melepaskan dekapannya. Mencengkram lembut kedua lengan Riri. Membuatnya bisa melihat kedua cerminan hati milik gadisnya.

“Kamu tahu? Kamu masih perlu banyak belajar buat menyembunyikan perasaan kamu yang sebenarnya.”

“Maksudnya?”

“Kamu nggak bahagia, Marissa. I can see that in your eyes..” Hanya sepi. Diam. keduanya sibuk dengan gejolak perasaannya masing-masing.

“Mau sampai kapan kamu menyembunyikan kebenarannya?”

“Apa?”

“Aku udah tahu semuanya, Marissa.. Nggak ada gunanya lagi kamu nutupin hal itu sekarang..”

“Hal apa?”

“Aku tahu kalau kamu menderita.. Leukemia..”

**********

“Aku tahu kalau kamu menderita.. Leukemia..”

Telingaku berdenging mendengarnya. Seperti terkena serangan jantung! Kapan dia mengetahui hal itu? Bagaimana bisa? Yang mengetahui hal ini hanya Tuhan, dokter, kak Nino, kak Hamid dan aku saja. Lalu kak Alex?

“Gimana kakak bisa tahu?”

“Berarti bukan telingaku yang salah mendengar waktu itu.” Apa? Apa yang baru saja dia katakan? Aku benar-benar tidak mengerti. Apa yang barus dia katakan? Berarti dia belum mengetahui semuanya secara jelas? God, tell me what the hell is going on!

“Jadi kakak-“

“Minggu yang lalu, saat aku pergi ke rumah sakit buat nemenin mama, aku nggak sengaja denger semua di ruang praktek dokter. Aku kira aku salah denger. Tapi ternyata.. Kamu memang bener-bener udah nyembunyiin hal sepenting itu dari aku. Itu mengecewakan sekali..” Bisa ku lihat dia yang mati-matian menahan emosinya. Kedua tangannya saling terpaut kencang.

“Bukankah sebuah hubungan terbangun atas dasar saling percaya? Atau memang itu keyakinan naif aku doang? Atau itu Cuma gumaman semu yang meluncur dari bibir kamu tanpa ada makna di baliknya?” Sumpah demi Tuhan. Aku tak tahu harus mengatakan apa.

“Sekarang jelasin semuanya. Jangan ada yang kamu tutupin lagi, please..” aku hanya bisa menatap matanya. Tak mampu berpikir, tak mampu melakukan apapun. Korsleting sepertinya.

“Marissa.. Jelasin semuanya.. Gimana keadaan kamu sebenernya.. Please, jangan buat aku ngerasa jadi pria yang bodoh dan nggak berguna, Marissa..” dia mengguncang pelan bahuku. Dan aku berterima kasih akan hal itu. Setidaknya guncangan kecil itu mampu memperbaiki sistem motorik tubuhku.

“Hhhh.. Leukemia limfositik akut. Itu namanya. Dulu aku pernah kena LLA. Tapi karena sumsum tulang dari kak Rio, aku bisa survive.” Ku lihat kak Alex yang masih berkonsentrasi mendengarkan semua informasi yang akan kumuntahkan ke hadapan wajahnya.

“Kata dokter, aku terlambat terdeteksi. Keadaan aku udah terlalu parah. Kalau pengobatan gagal, aku tinggal menunggu waktu buat reunian sama kak Rio, mama dan papa.”

“Berapa lama?”

“Menurut perkiraan dokter, dua bulan. Tapi itu Cuma perkiraan. Bisa juga lebih cepat.” Aku mengatakannya sembari mengembangkan senyum. Berusaha memberikan senyum terbaikku. Meski aku tahu, senyumku sangat jauh dari kata baik.

“Kamu kemo?”

“Nggak. Percuma juga kayaknya ikut kemo. Cuma bikin aku makin menderita. Efek sampingnya bikin hari aku rusak. Apalagi kalau sampe ada ekstravasasi, ehm, obat yang ada di pembuluh darah bocor.. Itu sakit banget.. Aku pernah ngalamin hal itu, dan aku nggak mau lagi kalau hal itu terjadi lagi. Aku juga bingung kenapa dokter-dokter seneng banget nyuruh pasien kankernya buat kemo. Kayak nggak ada pengobatan yang lebih manusiawi aja.” Aku menggedikkan bahuku. Tak mau membayangkan apa yang baru saja ku katakan.

“Terus apa yang akan kamu lakuin sekarang?” aku menengadahkan wajahku. Menentang langit yang masih terlalu terik –meski pandanganku tetap teduh karena bayang pohon-.

“Aku akan bersenang-senang. Berusaha berbahagia di sisa umur aku yang terlalu singkat ini. Berbagi kebahagiaan, kalau mungkin. Juga menyelesaikan kerjaan di kantor yang masih numpuk kayak Mount Everest.” Aku harus bahagia. Atau setidaknya menampilkan raut yang membuat kak Alex tak terlalu terbebani oleh kenyataan ini.

Kak Alex meraupku dalam pelukannya. Erat. Mungkin semua kenyataan ini terlalu berat untuk diterimanya. Aku tak mau memungkiri, ini juga berat untukku. Tapi apa mau dikata. Aku juga yang salah. Aku tak cepat memeriksakan diri karena menganggap remeh dan takut dengan kebenaran yang akan kuterima nantinya.

“Kamu harus bahagia, Marissa..”

“Pasti.. Aku akan bahagia..”

“Kalau begitu, kejarlah kebahagiaanmu.. Aku melepaskanmu untuk pergi dari dekapanku..” dia melepaskan pelukannya perlahan.

“Kakak ngomong apa sih? Kakak nggak mau buat aku bahagia?”

“Aku mau membuat kamu bahagia, Marissa.. Dan inilah caranya..” kini kedua tangannya menangkup wajahku.

“Pria juga punya kemampuan untuk mendeteksi kebahagiaan, Marissa.. Dan aku tahu kalau kamu nggak bahagia lagi saat sama aku.. Makanya aku membebaskan kamu untuk pergi mengejar kebahagiaan kamu..”

“Kak..”

“Aku mencintai kamu. Tapi perasaan kamu udah berubah. I know that. Aku tahu perasaan kamu udah berpaling pada yang lain. Dan aku nggak nyalahin hal itu terjadi.. Aku udah terlalu banyak memberikan luka di hati kamu.. Dan parahnya, setelah aku melukai hati kamu, aku bahkan nggak pernah mencoba buat mengobatinya..”

“Fred.. Dia yang menjahit hampir semua luka yang aku timbulkan.. Kamu mencintai Fred.. Iya, kan?”

“Aku nggak tahu..” kak Alex memindahkan kedua tangannya ke atas kedua bahuku.

“Sekarang aku tanya. Apa tiap ngeliat aku kamu ngerasa deg-degan?” aku berpikir sebentar. Kemudian menggeleng perlahan.

“Apa tiap kamu sama aku kamu bisa lupa segala hal? Lupa sama semua kelelahan, pikiran, masalah?” dan aku kembali menggeleng.

“Apa aku yang ada di pikiran kamu saat pertama kali kamu mendengar kata bahagia? Selain kak Nino, Hamid, ayah dan ibu, tentu saja..” aku menggeleng makin perlahan.

“Pertanyaan terakhir. Kamu deg-degan, lupa segala hal, dan memikirkan dia saat mendengar kata bahagia kan? Fred..” aku terdiam. Merasa mendapat pembenaran. Seperti menerima wahyu dari Tuhan.

“Nggak usah di jawablah itu.. Aku udah sering ngeliat hal itu kok.. Kamu jatuh cinta sama dia.. Dia kebahagiaan kamu.. Bukan aku..” aku menundukkan kepalaku.

“Haish.. Tatap aku.. Sekarang aku mau kamu janji. Kamu harus bahagia. Kamu harus bisa menaklukan singa dingin itu. Kamu juga harus tetap berusaha nyari jalan buat kesembuhan kamu. Oke?!” aku tak bisa berkata apa-apa. Semua emosi bercampur aduk dalam dadaku. Membuat otakku korsleting untuk yang kedua kalinya selama seharian ini.

“Janji?” kulihat kak Alex yang menyodorkan kelingkingnya. Membuatku mau tak mau tersenyum menanggapi sikap kekanakkannya itu.

“Aku juga mau kakak janji. Kakak harus nemuin perempuan yang mencintai kakak sepenuhnya. Kakak juga harus bahagia. Cross your heart!” Perintahku. Dan dia melakukannya dengan segera. Membuat tanda silang di atas dadanya.

“Anak pintar..” dengan gaya yang sok dewasa aku menepuk-nepuk puncak kepalanya. Seperti seorang ibu yang tengah memuji anaknya yang berkelakuan baik seharian.

“Ehm, hari ini aku pergi ke Sydney.. Nenek aku terlalu kangen sama cucu kesayangannya yang satu ini.. Jadi aku rasa aku baru bisa balik lagi ke sini pas hari lombanya..”

“Salam buat dia.. Bilang, salam cinta dari aku..” kak Alex menepuk-nepuk pelan puncak kepalaku. Kemudian dia kembali membuatku bersandar di dadanya. Mendekapku erat.

“Biar begini, Marissa.. Bairkan seperti ini.. Setidaknya sampai tiba waktunya aku harus berangkat ke bandara.. Biar aku merasakan untuk yang terakhir kalinya..” aku tak membalas perkataannya. Membiarkan dia melakukan apa yang dia mau saat ini. Hanya ini yang bisa aku berikan untuknya sebagai tanda terima kasih karena telah berbesar hati melepaskan aku dari genggamannya.

Kami hanya diam. Menikmati terik mentari yang terhalang pepohonan. Menanti senja yang akan datang nanti.

“Maaf..” katanya. Aku mengrenyit, bertanya-tanya untuk apa dia meminta maaf.

“Maaf karena aku udah menahan kamu untuk terus ada di sisi aku.. Karena aku masih saja bebal, menganggap aku bisa membahagiakan kamu walau aku tahu kamu takkan pernah bahagia kalau sama aku.. Maaf aku udah menjelma jadi pria yang terlalu egois.. Aku pasti berlumur dosa karena telah terus menahan malaikat untuk tetap ada di bumi, hingga sayap-sayapnya patah dan tak mampu lagi terbang ke kahyangan..” aku bangkit dari peraduanku dan mengusap wajah kak Alex.

“Nggak ada yang salah, kak.. Dan sejak kapan kakak jadi puitis begini? Kayak bukan Alexander aja.. Hahahaha…”

“Sejak aku jatuh cinta sama kamu..”

“Kak, jangan ngegombalin aku melulu.. Mendingan kakak mulai ngegombalin cewek lain.. Atau jangan-jangan kakak lagi belajar buat ngegombalin cewek-cewek di Sydney ya? Hayo ngaku!”

Oh man! Kok kamu bisa tahu sih!” aku tergelak saat melihat kak Alex yang mengerucutkan bibirnya. Berpura-pura sebal. Sungguh, kekanakkan sekali.

Senja hampir berakhir, bersamaan dengan kebersamaan kami yang harus berakhir. Kak Alex membantuku berdiri. Setelah menepuk-nepuk celanaku untuk mengusur kotoran yang menempel di sana, kami berjalan menuju kantin. Hendak mengembalikan sendok yang kami pakai tadi.

Kak Alex menggenggam tanganku sepanjang jalan menuju kantin. Bahkan hingga kami tiba di parkiran, kami masih bergandengan tangan.

“Kakak nggak bawa motor atau mobil?” dan dia menggeleng. “Mau aku anter ke bandara? Tante ikut juga?”

“Nggak usah.. Aku naik taksi aja.. Mama juga ikut kok.. Dia udah duluan ke bandara, sekalian bawa tas pakaian aku..” aku mengangguk-angguk.

May I?” aku mengangguk saja.

Dia melumat bibirku, perlahan. Singkat dan berat. Kemudian dia memelukku erat. Erat sekali. Berkali-kali mendaratkan kecupan di puncak kepalaku.

“Ah, I’m gonna miss these moments.. But I have to let you go, right? Makasih buat semua kebahagiaan, keikhlasan dan pengertian yang kamu kasih buat aku, Marissa..” aku tak bisa menjawabnya. Dia melepaskan pelukannya. Meninggalkan genggaman tangannya yang masih saja erat membingkai tanganku.

“Jadi, inilah akhirnya.. Look. Senja berakhir. Begitu juga hubungan kita.. Semoga kamu bisa mendapatkan semua kebahagiaan kamu..”

“Semoga kakak juga bisa menemukan kebahagiaan yang lebih indah daripada yang pernah aku berikan..”

Kak Alex menghentikan taksi yang lewat di depan kampus, tepat di depan moncong mobil yang ku pakai. Dia membuka pintu taksi dan berhenti sejenak. mengalihkan pandangannya padaku dan tersenyum. Sebuah senyum yang memancing air mataku untuk bergulir dengan deras.

Senyum yang berbalurkan kerelaan menerima sayatan di hatinya karena telah melepaskan sesuatu yang sangat berharga.

Terima kasih, kak.

**********

Mungkinkan masih ada waktu yang tersisa untukku
Mungkinkah masih ada cinta di hatimu
Andaikan saja aku tahu, kau tak hadirkan cintamu
Ingin ku melepasmu dengan pelukan
(Tentang Cinta – Ipank)

**********

Dia duduk terdiam di dalam taksi yang terus menggelinding menyusuri jalan ibukota. Merayap karena kepadatan lalu lintas yang takkan ada habisnya. Sembari pikirannya memikirkan semua hal yang terjadi. Tentang semua hal yang pernah dia alami bersama wanita yang hingga beberapa menit yang lalu masih menjadi gadisnya.

Dia tersenyum mengingat pertamuannya yang berawal dari –kalau bisa dibilang- sebuah tragedi. Saat dia menolong Riri di hutan kala itu, dia telah merasakan ada sesuatu yang beda.

Dia takkan pernah bisa melupakan ekspresi wajah Riri saat dia sedikit menggodanya kala itu. Saat Riri yang masih terkenal dengan sikap dinginnya pergi ke kelasnya hanya untuk mengembalikan jaket miliknya. Tanpa pernah Riri tahu, hal itu membuatnya makin kecanduan dengan dirinya. Karena di jaket itu, samar-samar tercium aroma Riri yang manis. Vanilla.

Juga saat Riri menolongnya setelah kesulitan bernapas karena alergi. Untuk pertama kalinya, dia melihat wajah panik Riri. Terlihat manis. Hingga membuat dia makin kesulitan bernapas karena gugup.

“Gue orang yang sayang dan cinta sama lu dari awal kita KETEMU di hutan! Orang yang udah jatuh cinta sama lu sejak gue ngeliat lu bergumul sama musik di malam inagurasi! GUE ALEXANDER!”

“Gue mau jadi orang yang special di hati lu.. Gue mau lu jadi milik gue.. Gue mau lu jadi orang yang selalu ada di hati gue.. Bukan sebagai adik.. Tapi sebagai kekasih..”

“Would you?”

Dia tersenyum saat mengenang kembali pernyataan hatinya pada Riri. Bahkan hingga dua kali, karena Riri masih beranggapan kalau dirinya sama seperti Ken.

Dan bodohnya, bisa-bisanya dia menyakiti hati gadis itu. Dengan alasan yang absurd pula. Gah! Dia benar-benar tak mengerti pola pikirnya saat itu. Berpura-pura melupakan gadis itu walau dia tahu benar kalau gadisnya akan benar-benar tersakiti hatinya. Hingga gadisnya berpaling.

Tidak, dia tidak menyalahkan dirinya sendiri. Tidak pula menyesali apa yang dia lakukan untuk gadisnya. Setidaknya kini dia bisa bertindak dengan benar. Sesuai dengan hati nuraninya yang terdalam. Mencoba meredakan luka hati dara manisnya.

“Mas, udah nyampe, mas..” suara supir taksi menyadarkannya dari semua bayangan di benaknya.

“Oh, iya.. Makasih, pak..” dia mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna biru. “Kembalinya simpen aja..”

“Makasih, mas..” dia mengangguk dan mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru bandara. Mencari keberadaan ibunya yang akan melengkapi kepergiannya kali ini.

Dia berjalan ke dekat pintu terminal saat melihat seorang wanita yang melambaikan tangannya. Di sebelah wanita itu ada trolley yang telah terisi dengan beberapa tas yang tidak terlalu besar.

“Alex..” kata wanita itu saat Alex telah tiba di hadapannya.

“Udah siap semuanya, Ma?” Wanita itu mengangguk. Dia meletakkan sebelah tangannya pipi anaknya. Melihat pahatan Tuhan yang begitu bersinar di matanya.

“Kamu yakin dengan keputusan kamu, Lex?”

“Alex yakin, Ma.. Setelah semua luka yang Alex berikan buat dia, hanya ini satu-satunya yang bisa Alex berikan untuk meredakan lukanya. Kebebasan untuk mengejar kebahagiaannya..”

“Kamu sedih?” Alex menggenggam tangan yang tadi melekat di pipinya.

“Bohong banget kalau Alex bilang Alex nggak sedih.. Tapi Alex harap ini sebanding dengan semua kesedihan yang pernah Alex timbulkan di hidupnya, sebanding dengan semua kebahagiaan yang akan dia dapatkan nantinya..” Wanita itu tersenyum. Menyadari anaknya yang telah beranjak dewasa.

Saat adzan isya’ selesai berkumandang, Alex telah ada di dalam pesawat. Merekam pemandangan yang tak akan terlalu lama dia tinggalkan. Tersenyum pada langit kelam. Terbang bersama semua rasa kerelaan yang dia pertahankan dalam dadanya.

‘Semoga kamu bahagia, Marissa..’


To be continue..

Posted at My house, Tangerang City.

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi ke atas kertas, bercerita.
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda.
Don’t be a silent reader, please.. :D