Allo! Welcome back di cerita ini.. Masih tetep berterima
kasih buat yang udah meluangkan waktunya buat baca sekedar cerita ini, ngasih
vomment atau jempol dan kritiknya juga fanningnya.. Itu bener-bener berarti
lho.. Makasiih *peyuk erat*
Dan berhubung udah semester 7, makin deket sama yang namanya
seminar, skripsi, ya apapun itu, dan hal-hal itu pastinya akan banyak banget
menyita waktu. Jadi bersamaan dengan di uploadnya part 34 ini, saya mau pamit
juga.. Mungkin bakal super duper lama banget upload part selanjutnya *nangis
kejer*
Harap sabar menunggu ya.. Kalo cape nunggu (semoga nggak ada
capeknya) doain aja semoga semuanya cepet kelar..
Duh, beneran sedih ini, mah.. Ngebayangin bakal berenti,
ngalihin fokus ke tempat yang lain, itu rasanya bener-bener nggak enak banget. Tapi itu hal yang penting, bukan? So, relakan
kepergian saya *halaaaah*
Terakhir, selamat menikmati tulisan sayan sebelum saya
menghilang dari peredaran (untuk jangka waktu yang tidak dapat ditentukan)
With lots of kecup mesra dan beberapa tetes air mata,
PujiWidiastuti
+++++++++++++++++
Dia menghampiri seseorang yang
sedang berpangku tangan di atas lututnya. Mengamati beberapa carik kertas yang ada di hadapan lelaki itu. Mengerutkan
dahi, berpikir keras.
“Kakak lagi mikirin apa?”
“Tamu yang mau diundang siapa aja
ya? Masa dari kalangan mahasiswa semua? Aku rasa hasil dari penjualan tiket aja
nggak bisa ngebayar biaya penyelenggaraan konser amal ini..”
“Ck, kan aku udah bilang..
Penyelenggaraan konser amal ini Cuma bermodalkan semangat, tekad, keikhlasan
sama pertunjukkan yang akan kita suguhin sama penonton.. Nggak ada biaya-biaya
lain..”
“Tapi-“
“Gedung ini punya keluargaku,
kak.. Ayah, Ibu, kak Nino udah setuju untuk menyelenggarakan konser lengkap
dengan persiapannya di sini.. Pembawa acaranya, mbak Nia, juga udah aku contact dan dia mau bantu kita secara Cuma-Cuma, gratis.. Jadi
kakak nggak perlu khawatir sama biaya yang nggak akan ditagih itu..” Dia bisa
melihat Alex yang seperti melupakan sesuatu, menepuk dahinya kencang.
“Aku lupa yang satu itu..”
“Hahaha… Udah nggak pusing lagi
kan?” tanyanya.
“Nggak sih.. Cuma takut kalau
target yang kita tentuin sebelumnya nggak tercapai.. Seratus orang dengan
masing-masing harga tiket lima puluh ribu rupiah.. Lima juta? Yakin segitu
cukup buat rencana kita ngebantuin anak-anak yang kena busung lapar di timur
Indonesia sana sama ngirim bantuan buat korban gempa minggu kemarin?” dia
menarik napas mendengar kekhawatiran yang terus saja tertutur dari bibir
lelakinya.
“Yang penting ada niat.. Kalau
emang nggak cukup buat ngelaksanain niatan awal kita, berarti kita harus lihat
mana yang lebih membutuhkan.. Dan kakak juga harus inget, kita ini mau
melakukan perbuatan yang baik.. Tuhan pasti akan ngasih kemudahan..” Lelakinya
tersenyum. Mengusap puncak kepalanya penuh sayang.
“Kamu emang paling bisa meredakan
ketegangan.. Beruntung banget kamu ada di sini..”
“Hahaha.. Aku kan emang selalu
membawa keberuntungan..” katanya. Membuat Alex mencubit pipinya dengan gemas.
“Gimana bahunya? Masih bengkak?”
“Udah kempes kok
bengkaknya.. Dan aku bersyukur banget anak-anak orchestra yang jadi korban gempa di kampus
kemarin Cuma sedikit, bsia dihitung sama jari.. Jadi kita bisa tetep
ngelaksanain konser amal kita ini.. Yah, walaupun aula jadi nggak bisa dipake
sementara waktu..” kata Alex sambil menatap langit-langit gedung serbaguna yang
berhiaskan lukisan langit lengkap dengan awan dan burung yang berterbangan. “Lagi-lagi semua karena kamu.. Kamu
yang bisa ngasih solusi kilat buat ngegunain gedung ini.. Makasih, Marissa..”
Dia tersenyum mendengarnya. Membiarkan hatinya menjabarkan
betapa bahagianya dia karena bisa melakukan hal ini. Sebuah hal kecil yang dia
harap bisa berpengaruh besar pada kehidupan banyak orang yang membutuhkannya.
Merasa sedikit lebih dekat pada tujuan awalnya, ingin seperti Mario. Kakaknya
yang baik hati. Yang bahkan setelah kematiannya tak henti memberikannya
‘perlindungan’ karena kebaikan hatinya.
“Riri!” teriak Hamid dari ambang pintu aula. Membuatnya
menolehkan kepalanya cepat ke arah sumber suara. Kemudian dia melihat Hamid
yang tengah berlari kecil ke arahnya. “Lu pasti lupa deh. Hari ini kan lu ada
janji meeting sama klien.”
Dia kaget, menyadari kealpaannya kali ini. Dia segera merogoh
kantung celananya dan terbelalak kaget saat melihat puluhan panggilan tak
terjawab dari nomor yang sama.
“Sekarang pak Musa udah ada di depan sana. Lu temuin dulu.
Nggak enak sama dia. Gue masih ada janji sama klien yang lain..”
“Oke.. Gue ke sana sekarang..” Katanya sebelum Hamid beranjak pergi. “Kak, aku keluar dulu
sebentar.. Nanti aku ke sini lagi..”
Dia beranjak dari sebelah Alex. Berjalan cepat keluar gedung
untuk menemui kliennya yang tak sengaja terlupakan janjinya.
“Marissa!” dia mencari-cari sumber suara dan menemukan orang
yang di carinya sedang bersandar di mobilnya yang mewah.
“Pak Musa! Maaf saya lupa kalau hari ini kita ada janji
ketemu..” katanya sambil menjabat tangan lelaki paruh baya di hadapannya.
“Hahaha.. Nggak apa-apa.. Saya maklum kok.. Kamu kan lagi
sibuk nyiapin konser amal ini kan?” dia mengrenyit heran. Darimana Pak Musa
tahu? Dia bahkan tidak mengatakannya pada satupun klien yang dia temui.
“Tadi saya ke kantor kamu.. Kata Ratih kamu lagi ada di
sini.. Tega nggak bilang-bilang mau ngadain konser amal.. Saya juga mau ngeliat
acara yang di handle sama CEO dari Show in Max.. Kamu juga ikut berpartisipasi
kan?”
“Ini Cuma konser amal kecil-kecilan kok, pak.. Nggak ada
artis terkenal kayak yang biasa diselenggarakan sama perusahaan-perusahaan
besar yang disiarkan televisi..”
“Saya nggak peduli sama artis-artis yang ada di luaran sana..
Saya Cuma mau ngeliat permainan kamu yang mendiang Rio sering bangga-banggakan
sama saya dulu.. Saya boleh datang kan?” dia tercekat mendengarnya. Tak bisa
memungkiri rasa haru yang ada dalam dadanya tiap kali nama itu terlontar dari
bibir orang lain dengan penuh takzim.
“Boleh lah.. Tapi tetep harus beli tiketnya ya.. Hahaha..”
“Oke, saya pasti datang.. Sabtu malam nanti kan? Dan saya
akan bawa beberapa teman saya.. Biar mereka beramal sedikit..”
“Wah, makasih kalau begitu.. Sekarang gimana kalau kita ke
rumah makan sebelah buat membicarakan kontrak kita?” ajaknya yang disetujui
oleh pak Musa dengan segera.
Setelah mengetikkan pesan singkat untuk Alex, dia langsung
masuk ke dalam mobil pak Musa. Menutup pintunya, menimbulkan suara bedebum yang
mahal. Dan meluncur ke tempat yang mereka tuju meski hanya berjarak beberapa
puluh meter dari tempat mereka berada sekarang.
**********
Suasana malam ini terasa begitu menegangkan sekaligus
menyenangkan. Jam telah menunjukkan pukul tujuh malam. Dan gedung serbaguna
sudah hampir terisi penuh. Tiket sudah terjual habis, bahkan kurang. Hingga
panitia mengakalinya dengan memberikan stempel pada punggung tangan tamu yang
tidak mendapatkan tiket.
Para panitia tentu saja senang dengan hal ini. Target yang
mereka tetapkan sebelumnya bisa tercapai, bahkan terlewati. Lebih senang lagi
saat melihat banyaknya para mahasiswa yang ikut mengundang orang tuanya untuk
ikut berpartisipasi.
Dan suasana makin ramai saat beberapa pasangan yang
berpakaian formal masuk ke dalamnya. Membuat panitia keheranan, siapa gerangan
pasangan-pasangan ini.
Saat ini Alex tengah menyampaikan kata-kata pembukaannya yang
menandai dibukanya acara konser amal yang baru kali ini dilaksanakan oleh
Universitas Letkol Sugiyono.
“Riri mana? Dia belum dateng juga dari tadi?” tanya salah
seorang anggota orchestra yang ada di balik panggung.
“Belum. Nggak ada kabar.” Jawab Billy.
“Terus sekarang gimana? Bentar lagi Alex selesai ngasih
sambutan. Dan setelah itu kita harus mulai tampil dan dia ada bagian di sana..”
yang mendengarnya hanya terdiam. Ikut memikirkan apa yang harus dilakukan untuk
mengatasi masalah ini. Sementara Billy masih sibuk dengan ponselnya untuk mencoba
menghubungi Riri.
“Sampai saat ini dia masih belum bisa dihubungin. Jadi kita
langsung main ‘Love, Death, Birth’ aja
dulu.” Putus Billy sambil memutuskan hubungan teleponnya yang tak diangkat oleh
Riri. “Six minutes. Hope she’ll make it
in time.”
“Kalau sampe kita selesai mainin lagunya dia belum juga
dateng, well, gue nggak berharap hal
itu terjadi.” Sambung Fred. Wajahnya terlihat tidak suka dengan adanya masalah
seperti ini.
“Tiga menit!” teriak salah satu kru di balik layar.
Memberitahukan pada anggota orchestra berapa waktu yang tersisa untuk bersiap.
Kini mereka berdoa sejenak. Meminta restu dari pemilik segala
kuasa. Berharap agar niat baik mereka diberi kemudahan dan kelancaran.
Mereka mulai memasuki panggung dan menempati ‘station’nya masing-masing. Mempersiapkan
mental yang sempat sedikit terkikis karena ketidak hadiran Riri hingga saat
ini. Saat conductor mengayunkan baton-nya, denting piano segera beradu dengan
gesekan biola. Memberikan harmonisasi yang membuai telinga.
Semua tamu undangan terpaku menatap penampilan para anggota
orchestra. Terbuai oleh nada-nada yang semula lembut, kemudian berubah tegas dengan
cara yang elegan. Terlebih saat nada yang mengalun kembali melembut dan membuai
pendengaran. Bahagia dan kehilangan tergambar meski secara samar dalam tiap
nada yang mereka hasilkan.
Denting piano yang sedikit melengking dan sisa-sisa suara
gesekan biola yang semakin menghilang mengkahiri rentetan nada itu. Dan gedung
serbaguna tetap sepi. Semuanya masih berada di bawah pengaruh sihir yang
dihasilkan dari permainan anggota orchestra tadi. Hingga panitia yang ada di
sana harus bertepuk tangan dulu, baru para tamu undangan tersadar dari rasa
terkesima dan ikut bertepuk tangan.
Dalam perjalanan menuruni tangga panggung, Fred mendengar
bahwa Riri masih juga belum datang dari bisik-bisik antara pembawa acara dan
panitia. Membuatnya menghentikan langkahnya dan kembali ke arah panggung.
Terdengar suara petikan gitar yang kini ada di pangkuan Fred.
Memainkan intro lagu yang cukup familiar di telinga mereka.
“There’s a woman crying
out tonight. Her world has changed, she ask God why. Her only son has died and
now her doughter cry. She can’t sleep at night.”
Dengan segera mereka tahu kalau Fred tengah mengulur waktu
untuk menutupi keterlambatan Riri. Dan dengan cepat, pemain drum, gitar dan
bass yang ada di sana naik ke panggung. Turut mengambil alat musiknya dan
mengiringi lantunan bait yang dinyanyikan Fred.
“So this world is too
much for you to take, just lay it down and follow me. I’ll be everything you
need. In every way..”
Dan gema suara yang dihasilkan dari kelompok paduan suara
yang ikut menyanyikan lagu itu membuat suasana jadi semakin membuat
pendengarnya tak bisa berkata-kata.
“We believe.. We
believe.. We believe.. We believe.. We believe.. We believe.. In this love..”
Tepuk tangan kembali mewarnai akhir dari penampilan mereka.
Tepuk tangan yang sarat dengan rasa takjub.
“Ya! Barusan kita saksikan penampilan yang begitu mengagumkan
dari anggota orchestra universitas Letkol Sugiyono dan Fred. Dan-Oh! Itu dia!
Salah satu pihak yang membantu mewujudkan penyelenggaraan konser amal ini sudah
datang. Beri tepuk tangan untuk CEO Show
in Max, Marissa Anastacia Putri..”
Pandangan para penonton yang tadinya mengarah tepat ke arah
panggung, kini beralih ke arah pintu gedung serbaguna. Melihat orang yang tadi
sempat disebutkan namanya oleh pembawa acara. Dan yang disebutkan namanya,
hanya bisa diam mematung di ambang pintu dengan napas yang memburu. Masih
dengan sebelah tangan yang membiarkan helm full
face menggantung di sana.
Semuanya tak bisa memalingkan matanya dari orang itu. Tampil
mempesona meski hanya mengenakan skinny
jeans hitam, boots sebetis dan
kemeja longgar sabrina warna putih. Rambutnya yang tadinya dikepang menyamping
kini malah terlihat seperti bergaya loose
braid karena sedikit berantakan
setelah memakai helm tadi.
Riri berdecak sedikit kesal. Dia lupa meminta pada Nia untuk
tidak menyebutkan statusnya di perusahaan. Dan beginilah akhirnya. Dia
benar-benar jadi pusat perhatian dengan cara yang kurang dia suka, diketahui statusnya
yang merupakan seorang CEO oleh teman-temannya. Dia berani bertaruh, pasti
nanti bisik-bisik tentang dirinya kembali santer terdengar.
“Nah, kembali ke acara.. Mari kita nikmati kolaborasi yang
apik dari permainan orchestra universitas Letkol Sugiyono dengan kelompok Gita
Suara dalam lagu When You Believe..”
Dia segera sadar dari keterkejutan dan sedikit rasa tidak
sukanya atas kejadian itu kemudian menitipkan helmnya pada salah satu panitia
yang ada di dekatnya. Dia melangkah tergesa karena saat ini dia harus berada di
atas panggung dan ikut ambil bagian dalam penampilan itu.
“Kostum lu kemana?” bisik salah satu panitia.
“Nggak cukup waktu buat ganti. Nggak mungkin gue naik motor
pake gaun kayak gitu.” Jawabnya sambil berbisik kesal. Bukan kesal pada panitia
yang masih saja meributkan masalah kostum, bukan. Tapi kesal pada dirinya
sendiri karena terlalu lama beristirahat guna mengatasi rasa tidak nyaman pada
tubuhnya.
“Many nights we pray
with no proof anyone could hear. In our hearts a hopefull song we barely
understood. Now we aer not afraid. Although we know there’s much to fear. We
were moving mountains long before we knew we could..”
“There can be miracle,
when you believe. Though hope is frail, it’s hard to kill. Who knows what miracle,
you can achieve. When you believe somehow you will.. You will when you
believe..”
Semua yang ada di sana larut dengan perpaduan yang disajikan
oleh anggota UKM orchestra dan paduan suara. Suara murni yang mampu
menggetarkan sanubari. Menyentuh tiap jiwa yang ada di sana.
“They don’t always
happen when you ask. And it’s easy to give in to your fears. But when you
blinded by your pain, can’t see your way straight trought the rain. A small but
still resilient voice says hope is very near..”
“There can be miracle,
when you believe. Though hope is frail, it’s hard to kill. Who knows what
miracle, you can achieve. When you believe somehow you will.. You will when you
believe..”
Nyanyian telah mencapai puncaknya. Membuat remang bulu kuduk
pendengarnya. Mengingatkan kalau selalu ada harapan untuk bisa terus bertahan.
Pasti akan ada keajaiban yang mengiringi menuju kehidupan yang lebih baik lagi
nantinya. Meminta pada semuanya untuk percaya jika hal itu benar-benar ada, membantu
mewujudkan semua harapan dan memetik keajaiban yang terhampar.
Kali ini, para penonton memberikan standing ovation untuk penampilan mereka. Tidak menunggu hingga
permainan selesai. Tak bisa menahan diri mereka masing-masing untuk memberikan
penghargaan seperti itu setelah lagu yang dimainkan berakhir.
“Terima kasih untuk penampilan yang begitu mengagumkan..”
kata Nia sambil naik ke arah panggung dan mendekati Riri. “Tapi ada salah satu
hadirin yang bertanya pada saya, bisakah dia mendengar permainan solo dari
seorang Marissa?”
Riri yang mendengar hal itu hampir saja menjatuhkan saxophone
yang tadi di genggamnya. Segera dia mengalihkan pandangannya pada Nia.
Melayangkan ketidak setujuan dengan usulan itu.
“Tadi kan kita sudah mendengar permianan saxophone dari
Marissa. Sekarang bagaimana kalau kita mendengarkan permainan piano darinya?
Setuju?”
Dengan langkah yang sedikit ogah-ogahan dia berjalan
mendekati grand piano hitam yang letaknya agak dibelakang. Melemparkan tatapan
kesal pada Nia.
“Tega! Gue nggak ada persiapan tampil solo dalam keadaan
kayak gini!” bisikan kesal dia tujukan pada Nia saat tengah berjalan menuju
grand piano. Dan si pembawa acara hanya bisa melemparkan cengiran tanpa dosa.
Riri tediam sejenak. Memikirkan lagu apa yang bisa dia
bawakan. Sebuah lagu sederhana saja menurutnya.
Lagu yang kini ada di pikirannya harusnya bisa dia mainkan
dengan mudah. Sialnya, tangannya mulai bergetar. Bukan karena gerogi. Tapi
karena kedinginan. Dia ingin menyerah, tapi ada rasa mengganjal yang akan
menyiksanya jika membatalkan niatnya untuk bermain saat ini. Dia tidak mau
mengecewakan orang-orang yang telah menunggu permainannya.
“I just can’t sleep
tonight. Knowing the things ain’t right. It’s in the papers, it’s on the TV,
it’s everywhere that I go. Children are cying, soldiers are dying, some people
don’t have a home. But I know there’s sunshine behind that rain. I know there’s
good times behind that pain. Hey, can you tell me how I can make a change?”
Riri menutup matanya. Pandangannya sedikit berputar.
Kepalanya terasa semakin sakit. Tapi dia mengesampingkan semuanya. Dia harus
tetap melanjutkan pertunjukkannya.
“I close my eyes and I
pray for the broken-hearted. I pray for the life not started. I pray for all
the ones not breathing. I pray for all the soul in need, I pray. Can you
give’em today?”
Riri benar-benar membawakan kehangatan pada relung jiwa semua
hadirin yang ada di sana. Seperti mengetuk tiap pintu hati yang ada di sana
untuk ikut berdoa agar Tuhan memberikan rencana yang lebih baik dibalik tiap
bencana yang terjadi sekarang ini. Menyadarkan tiap pikiran yang tengah menyaksikan
penampilannya, agar tak melulu memikirkan tentang dirinya sendiri.
Berbagi, itu yang ingin Riri sampaikan. Berbagi kebahagiaan
dengan yang lain, dengan yang kurang beruntung.
Tepuk tangan menggema keras menenggelamkan denting piano
terakhir dari lagu yang dibawakan Riri. Dan yang diberikan tepuk tangan bangkit
dari duduknya. Tapi kemudian dia terpaku sebentar.
Pandangannya menghitam, walau dia masih bisa merasakan
kakinya yang berdiri tegak menopang tubuhnya. Dia membungkuk memberi hormat
dengan sedikit kaku. Tak lama karena kepalanya yang terasa semakin sakit,
diikuti oleh rasa sakit yang menyerang sekujur tubuhnya.
Riri kemudian berbalik dan mulai melangkah, hendak mencapai
tangga yang akan membawanya menghilang ke balik panggung. Tangannya sedikit terangkat
untuk meraba benda di sekitarnya. Tak bisa mengandalkan pandangannya yang sudah
berputar sejak beberapa detik yang lalu.
Fred tidak bisa untuk tidak memperhatikan hal itu. Dia segera
pergi ke tangga di belakang panggung. Ingin membantu Riri untuk menuruni anak
tangga yang cukup curam.
Baru saja dia sampai di dekat anak tangga paling bawah, tubuh
Riri tiba-tiba saja limbung dan jatuh, tepat saat panggung tertutup sempurna
oleh tirai yang menggantung di atasnya. Fred segera menangkap tubuh Riri sebelum
membentur tangga besi yang keras. Dengan sigap dia membawa Riri menuju ruangan
yang biasanya digunakan untuk make up.
Sementara Lea yang ada di sana, menyaksikan hal itu dengan
hati yang mencelos sakit. Melihat lelakinya yang hingga saat ini masih saja
membagi perhatiannya untuk gadis lain, gadis yang selama ini mengisi hati
lelakinya.
“Dia masih Fred yang dulu. Sekuat apapun lu berusaha untuk
membuat dia lupa dan nggak peduli sama Riri, itu nggak akan berhasil. Terima
kenyataan kalau Fred Cuma bisa ngasih semua rasanya buat Riri, bukan buat lu.
Jangan siksa diri lu dengan membiarkan dia tersiksa karena terus lu tahan buat
berdiri di sisi lu.” Kata Hamid yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang
Lea.
“Nggak usah ikut campur sama urusan orang lain.” Kata Lea
tanpa mengalihkan pandangannya dari titik dimana terakhir kalinya dia bisa
melihat punggung Fred sebelum menghilang dihalangi pintu kayu.
“Cinta itu terlalu kuat untuk di kekang, Lea. Lu nggak akan
bisa mengendalikan cinta. Nggak akan pernah bisa.”
Lea tidak mau mendengarkan apa yang baru saja Hamid katakan.
Dia malah melangkahkan kakinya untuk kembali ke bangku penonton. Mengurungkan
niatnya untuk memberikan semangat kepada Fred sebelum kembali tampil setelah
ini. Menolak untuk melihat tatapan khawatir yang pastinya akan dilayangkan Fred
untuk Riri. Menolak untuk menikmati rasa cinta yang masih saja tersisa di diri
seorang Fred untuk Riri, bukan untuk dirinya.
**********
Gelap. Membuatku merasa sangat tidak nyaman. Tapi kali ini
tidak membuatku takut, atau belum. Hanya merasa tidak aman karena tak bisa
melihat apapun. Telingaku berdenging. Tak bisa mendengar apapun. Dan tubuhku
tak bisa di gerakkan.
Rasanya lelah sekali.
Apa yang terjadi padaku?
Suara dengingan di telingaku lambat laun berubah. Suara ini,
aku tak tahu siapa pemiliknya. Tidak jelas terdengar di telingaku.
Tuhan! Aku ingin segera keluar dari kegelapan ini. Tapi aku
tidak dapat bergerak.
“Ri..”
Suara dengingan itu kini telah benar-benar hilang dan
berganti dengan suara yang benar-benar aku kenal.
“Ri.. Astaga, jangan bikin kakak takut kayak gini..”
Bisa kulihat pendar cahaya yang berada jauh dari sana. Aku
ingin mencapainya. Berharap mendapatkan sedikit sinar untuk mengusir kegelapan
yang sekarang mulai membuatku takut. Masalahnya adalah, aku bahkan tak bisa
merasakan tubuhku saat ini.
Kemudian cahaya itu menguat dan membesar. Mendekat dengan
kecepatan yang tidak manusiawi. Membuatku kaget dan merasakan sakit di kedua
mataku. Refleks aku berusaha untuk memejamkan mata-Hei! Aku sudah bisa
menggerakkan tubuhku!
“Riri..” Aku membuka kembali mataku. Semuanya tampak samar.
“Ri?” kukerjapkan mataku beberapa kali. Dan kini aku bisa
melihat dengan jelas betapa khawatirnya kak Nino.
“Kak Nino..” kataku. Aku sedikit mengrenyit saat mendengar suaraku
yang sedikit serak. Seperti suara nenek sihir.
“Ya ampun, Riri! Kamu kenapa nekat pergi ke sini walau lagi
sakit sih? Kakak khawatir tahu!” katanya sambil menangkup kedua pipiku dengan
tangannya yang besar.
Dan aku merasa sangat bahagia saat melihat wajahnya. Membuat
semua rasa takut dan tidak aman yang kurasakan memudar dengan cepat. Kedua
tanganku terjulur ke depan. Ingin memeluk kak Nino. Tapi tubuhku terlalu sulit
untuk ku angkat dari sofa yang menjadi alasku selama tak sadarkan diri.
Kak Nino yang melihat hal itu segera mengangkat tubuhku dari
sofa. Membawaku ke dalam pelukannya yang hangat. Merengkuhku dengan erat.
Sebelah tangannya mengusap lembut kepalaku.
“Maaf Riri udah bikin kak Nino khawatir.. Maaf Riri udah
bikin kak Nino takut..” dan tiba-tiba saja aku terisak dalam dekapannya. Entah
ini tangis penyesalan, ketakutan, atau kebahagiaan.
“Sssshh.. Nggak apa-apa.. Nggak apa-apa.. Nggak ada yang
salah.. Ssshh.. Itu kakak aja yang berlebihan..” aku merasakan air mataku yang
tak juga mau berhenti bergulir. Membasahi kemeja kak Nino tanpa ragu. Kak Nino
kemudian melepaskan pelukannya terhadapku.
“Udah dong.. Jangan nangis lagi..” kata kak Nino sambil
menyeka air mataku dengan kedua tangannya.
“Nggak bisa berenti keluar air matanya..” jawabku dengan
kedua tangan yang ikut sibuk menyeka air mataku. Kak Nino meletakkan punggung
tangannya di dahiku kemudian tersenyum.
“Kayaknya kamu nggak bisa berenti nangis gara-gara demam kamu
yang lumayan tinggi deh.. Kamu kan emang biasanya juga begitu..” aku bahkan
bingung mendengarnya. Memang apa hubungannya antara tak bisa berhenti menangis
dengan demam yang tinggi?
“Kita pulang aja ya..” ajaknya. Aku mengangguk saja. Kak Nino
meletakkan sebelah tangannya melintang di punggungku dan sebelah tangannya lagi
di belakang lututku. Aku juga melingkarkan tanganku di bahunya. Tak ingin
terjatuh meski aku tahu dia takkan membiarkan aku terjatuh.
“Makasih udah nolongin Riri tadi..” aku menoleh ke arah
pandangan kak Nino dan mendapati kak Fred yang berdiri di sana. Dan aku merasa
gelenyar menyenangkan dalam tubuhku saat mendengar hal itu. Diselamatkan oleh
kak Fred. Oke itu terdengar sedikit berlebihan.
Aku kembali memutar kepalaku saat kak Nino telah berjalan
menuju pintu belakang gedung yang ada di balik panggung. Dan sekali lagi aku
bisa menatap dia dengan sesuka hatiku. Apakah perasaan ini wajar?
Wajahku menghangat. Terlebih saat kak Fred mengatakan sesuatu
meski tanpa suara.
“Get well soon,
Marissa.”
Dan aku langsung menenggelamkan wajahku di lekukan leher kak
Nino karena malu. Merasakan malu yang entah kenapa terasa menyenangkan setelah
kak Fred mengatakan kalimat sederhana itu. Juga malu karena kini semua tatapan
dari orang-orang yang ada di ruang make up tertuju padaku.
**********
Mereka berdua merebahkan tubuh lelahnya di atas ranjang. Sang
lelaki telah mengganti kemejanya sejak tadi. Begitu juga dengan sang wanita.
Lelaki itu meletakkan kepala wanita yang ada di dekatnya di atas dadanya.
Memeluknya dengan sebelah tangannya. Kemudian menaikkan selimut hingga bisa
menutupi keduanya.
“Kamu kenapa tetep pergi ke konser itu sih? Kalau kamu lagi
sakit, mendingan kamu istirahat aja di rumah..”
“Riri juga mau ikut ambil bagian dalam konser amal itu, kak..
Riri nggak mau kalah sama demam kayak begini doang.. Riri juga punya tanggung
jawab sama anak-anak yang lain.. Bahkan pak Musa dan teman-temannya
berinisiatif untuk datang ke acara itu karena mau ngeliat Riri tampil.. Masa
iya Riri mau ngecewain mereka semua?”
“Ck, kamu tetep keras kepala kayak biasanya ya.. Untung tadi
Fred nolongin kamu.. Kalau nggak, mungkin badan kamu udah makin ringsek
gara-gara gegulingan di tangga panggung..”
“Ish, kakak.. Masa badan Riri dibilang ringsek.. Emangnya
mobil.. Ketabrak dikit langsung ringsek..” kata Riri sambil memainkan jarinya,
membentuk pola polkadot di dada Nino.
“Hahaha.. Bercanda.. Nih, minum dulu.. Biar panasnya cepet
turun..” katanya sambil menyambar gelas besar berisi air putih yang ada di
sebelah ranjang Riri dengan sebelah tangannya yang bebas. Dengan beberapa
tegukan besar, Riri meminumnya hingga tersisa setengah.
“Udah, istirahat ya.. Kakak temenin..”
“Sampe pagi, ya..” kata Riri sambil menumpukan dagu Riri di
atas dada Nino. Agar Nino bisa melihat dengan jelas binar pengharapan di
matanya.
“Maunya.. Males ah kalau sampe pagi..”
“Kakaak.. Please..”
“Hmmmm.. Iya.. Iya..” Riri tersenym mendengarnya dan kembali
menyandarkan kepalanya ditempatnya semula.
“Kakak seneng dengan kamu yang sedikit manja kayak begini..
Terlihat lebih mirip sama Riri yang dulu.. Sama Riri yang kakak dan Rio kenal..
Yang manis, yang nggak bisa diam seperti bola karet, yang ceria dengan segala
tingkah lakunya yang menggemaskan.. Our
cute little sister..” gumam Nino
setelah sekian lama. Tangannya membelai kepala Riri dengan lembut. Tak ingin
membangunkan Riri yang telah tertidur.
“Kakak nggak mau muluk-muluk dengan berharap kamu bisa
kembali jadi Riri yang seperti dulu.. Kakak ngerti, kamu pasti akan berubah
karena kejadian itu.. Kakak ngerti.. Cuma satu yang kakak nggak ngerti dan
nggak bisa terima dari dulu, perubahan kamu yang terlalu ekstrim..” Nino
menghela napas sejenak.
“Kak Rio.. Kak.. Kak Rio..” terdengar Riri yang mengigau
dalam tidurnya.
“Kakak masih bisa ngeliat kalau kamu masih belum bisa
mengikhlaskan kepergian Rio. Kakak juga.. Kakak tetep aja ngerasa sedih tiap
nginget Rio.. Kakak tetep ngerasa ingin membunuh Sammael tiap inget kalau
penyebab dari kepergian Rio adalah karena dia yang membunuhnya.. Tapi kakak
tahu, itu semua nggak ada gunanya.. Rio tetap nggak akan kembali.. Kita harus
bisa mengikhlaskan kepergian Rio, Ri.. Rio nggak akan tenang kalau kita terus
seperti ini.. Kakak nggak mau Rio tersiksa karena keegoisan kita yang masih
saja nggak bisa melepaskan dia untuk kembali kepadaNya.”
“Tanggung semua beban dan tanggung jawab yang sanggup kamu
pikul, yang sepantasnya kamu pikul.. Sisanya, biarkan kami yang memikulnya..
Jangan biarkan kamu lelah dan akhirnya menyerah dengan kehidupan karena
menanggung semua itu sendirian..” Nino mengeratkan dekapannya atas Riri.
“Jangan biarkan semua itu merenggut semua kebahagiaan kamu,
Ri.. Karena bagi kami, kebahagiaanmulah yang terpenting.. Kebahagiaan dari
milik kami yang paling berharga.. Semuanya jadi bener-bener nggak berarti kalau
kamu nggak bahagia, Ri.. Katakan semua sumber kebahagiaan kamu, dan kakak akan
mati-matian menjaga supaya sumber kebahagiaan kamu tetap hidup.. Kakak mungkin
lalai menjaga sumber kebahagiaanmu yang telah lalu. Rio. Tapi kali ini akan
berbeda. Apapun akan kakak lakuin supaya kamu tetep bisa berbahagia.. Apapun..
Walau kebahagiaan kamu harus kakak bayar sama nyawa kakak sekalipun..” kata Nino sambil mengecup puncak kepala Riri.
Cukup lama dan penuh khidmat.
**********
Dia mengganti pakaiannya dengan perlahan. Merasa lelah
setelah menggeluti konser yang tadi diadakan. Juga lelah karena dicecar
pertanyaan dari lelaki itu, Alex.
Alex tak ada di sana saat Riri jatuh tak sadarkan diri. Saat
itu Alex sedang ada di meja penerima tamu untuk mengurusi sumbangan yang
diberikan oleh para hadirin yang datang. Dan dia tak tahu apa lagi yang Alex
lakukan setelah itu hingga memakan waktu yang cukup lama.
Selain itu, ada satu lagi yang mengganggu pikirannya. Lea
yang tak kunjung datang saat konser diadakan tadi. Apakah Lea mengurungkan
niatnya untuk datang? Lalu kenapa Lea tidak memberitahunya? Apa terjadi sesuatu
dengan Lea?
Itu yang membuatnya khawatir. Karena biar bagaimanapun Lea
adalah kekasihnya saat ini. Dia mencoba menghubungi Lea, tapi tak ada jawaban.
“Liat Lea nggak?” tanyanya pada salah satu panitia. Dia yakin
kalau orang itu tahu siapa Lea karena Lea sering terlihat bersama Riri dan yang
lainnya, dulu. Atau semoga saja orang itu benar tahu siapa yang bernama Lea.
“Tadi kayaknya dia pergi ke backstage deh.. Masa iya lu nggak ketemu sama dia?” dia menggeleng
menjawabnya.
“Kapan dia pergi ke sini?” orang itu terlihat mengingat-ingat
peristiwa itu.
“Hmmhhh.. Kayaknya beberapa saat sebelum Riri pingsan tadi
deh..”
Fred tersentak mendengarnya. Sebelum Riri pingsan? Apa Lea
melihatnya yang bergerak menolong Riri? Apakah Lea marah karena hal itu? Apakah
itu bisa dianggap sebagai pengingkaran atas janjinya tempo hari?
“Oh, thanks.” Kata Fred
sebelum meninggalkan orang itu.
Apakah Lea merasa kecewa karena hal itu? Apa salah jika dia
menolong Riri? Jika ya, bukankah itu adalah sebuah keegoisan dan kecemburuan
yang membabi buta?
Keegoisan dan kecemburan yang membabi buta itu adalah sebuah kesalahan,
sesuatu yang tidak patut untuk diperlihatkan jika keadaannya seperti tadi. Lea
salah jika membiarkan sikap itu bersarang dalam dadanya. Tapi kenapa sekarang
malah dia yang merasa bersalah?
**********
Lelaki itu melajukan motornya secepat yang dia bisa dan
diijinkan oleh jalanan ibukota yang tetap saja padat meski lewat tengah malam.
Masih merasa khawatir dengan keadaan gadisnya. Rasa khawatir yang patut dia
syukuri keberadaannya karena bisa menekan rasa cemburunya setelah mengetahui
gadisnya disentuh oleh lelaki lain.
Sesampainya di tempat yang ingin dia tuju, dia segera masuk
ke pekarangan rumah besar itu. Tentu saja setelah pagar yang melindungi rumah
itu dari dunia luar dibukakan oleh satpam.
“Marissa udah ada di rumah, pak?”
“Iya, den.. Udah sampai deritadi sama den Nino..”
“Kalau gitu saya masih boleh masuk buat jenguk Marissa kan?”
tanya Alex memastikan. Karena dia merasa kurang sopan saat harus pergi
bertandang ke rumah orang di waktu yang tidak biasa seperti ini.
“Oh, nggak apa-apa, den.. Sini saya anter masuk..” katanya
sambil berjalan di depan Alex. Mengantarnya sampai ke ambang pintu kayu dan
membukakan pintunya dengan kunci duplikat yang memang diberikan padanya.
“Biasanya kalau lagi sakit, non Riri tidur sama den Nino di kamar den Rio..
Kamarnya di lantai atas..”
“Makasih, Pak.. Saya nggak lama kok..”
Dia menaiki tangga yang melingkar itu dengan perlahan. Tak
ingin menimbulkan suara yang bisa saja mengganggu waktu istirahat orang-orang
yang ada di dalamnya. Tangannya baru saja meraih kenop pintu saat dia mendengar
sayup-sayup suara Nino di dalamnya.
“Kakak masih bisa ngeliat kalau kamu masih belum bisa
mengikhlaskan kepergian Rio. Kakak juga.. Kakak tetep aja ngerasa sedih tiap
nginget Rio.. Kakak tetep ngerasa ingin membunuh Sammael tiap inget kalau
penyebab dari kepergian Rio adalah karena dia yang membunuhnya.. Tapi kakak
tahu, itu semua nggak ada gunanya.. Rio tetap nggak akan kembali.. Kita harus
bisa mengikhlaskan kepergian Rio, Ri.. Rio nggak akan tenang kalau kita terus
seperti ini.. Kakak nggak mau Rio tersiksa karena keegoisan kita yang masih
saja nggak bisa melepaskan dia untuk kembali kepadaNya.” Dia terdiam
mendengarnya. Ayahnya kembali tersebut namanya di sini. Dan tiap kali nama itu
berrkumandang, dia merasa sangat bersalah.
“Tanggung semua beban dan tanggung jawab yang sanggup kamu
pikul, yang sepantasnya kamu pikul.. Sisanya, biarkan kami yang memikulnya..
Jangan biarkan kamu lelah dan akhirnya menyerah dengan kehidupan karena
menanggung semua itu sendirian..”
“Jangan biarkan semua itu merenggut semua kebahagiaan kamu,
Ri.. Karena bagi kami, kebahagiaanmulah yang terpenting.. Kebahagiaan dari
milik kami yang paling berharga.. Semuanya jadi bener-bener nggak berarti kalau
kamu nggak bahagia, Ri.. Katakan semua sumber kebahagiaan kamu, dan kakak akan
mati-matian menjaga supaya sumber kebahagiaan kamu tetap hidup.. Kakak mungkin
lalai menjaga sumber kebahagiaanmu yang telah lalu, Rio. Tapi kali ini akan
berbeda. Apapun akan kakak lakuin supaya kamu tetep bisa berbahagia.. Apapun..
Walau kebahagiaan kamu harus kakak bayar sama nyawa kakak sekalipun..”
Alex meremas kenop pintu dalam genggamannya. Ayahnya telah
merenggut kebahagiaan gadisnya. Menimbulkan luka yang hingga saat ini masih
terbuka lebar dan berdarah-darah. Lalu sekali lagi ragu menguat dalam dadanya.
Apakah dia masih pantas untuk mendampingi gadis itu?
To be continue,
Posted at my house,
Tangerang City.
At 11:13 a.m
Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi keatas
kertas, bercerita.
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
Don’t be a silent
reader, please.. :D