Jumat, 07 September 2012

Love the Ice part 34


Allo! Welcome back di cerita ini.. Masih tetep berterima kasih buat yang udah meluangkan waktunya buat baca sekedar cerita ini, ngasih vomment atau jempol dan kritiknya juga fanningnya.. Itu bener-bener berarti lho.. Makasiih *peyuk erat*

Dan berhubung udah semester 7, makin deket sama yang namanya seminar, skripsi, ya apapun itu, dan hal-hal itu pastinya akan banyak banget menyita waktu. Jadi bersamaan dengan di uploadnya part 34 ini, saya mau pamit juga.. Mungkin bakal super duper lama banget upload part selanjutnya *nangis kejer*

Harap sabar menunggu ya.. Kalo cape nunggu (semoga nggak ada capeknya) doain aja semoga semuanya cepet kelar..

Duh, beneran sedih ini, mah.. Ngebayangin bakal berenti, ngalihin fokus ke tempat yang lain, itu rasanya bener-bener nggak enak banget.  Tapi itu hal yang penting, bukan? So, relakan kepergian saya *halaaaah*

Terakhir, selamat menikmati tulisan sayan sebelum saya menghilang dari peredaran (untuk jangka waktu yang tidak dapat ditentukan)


With lots of kecup mesra dan beberapa tetes air mata,

PujiWidiastuti

+++++++++++++++++

Dia menghampiri seseorang yang sedang berpangku tangan di atas lututnya. Mengamati beberapa carik kertas yang ada di hadapan lelaki itu. Mengerutkan dahi, berpikir keras.

“Kakak lagi mikirin apa?”

“Tamu yang mau diundang siapa aja ya? Masa dari kalangan mahasiswa semua? Aku rasa hasil dari penjualan tiket aja nggak bisa ngebayar biaya penyelenggaraan konser amal ini..”

“Ck, kan aku udah bilang.. Penyelenggaraan konser amal ini Cuma bermodalkan semangat, tekad, keikhlasan sama pertunjukkan yang akan kita suguhin sama penonton.. Nggak ada biaya-biaya lain..”

“Tapi-“

“Gedung ini punya keluargaku, kak.. Ayah, Ibu, kak Nino udah setuju untuk menyelenggarakan konser lengkap dengan persiapannya di sini.. Pembawa acaranya, mbak Nia, juga udah aku contact dan dia mau bantu kita secara Cuma-Cuma, gratis.. Jadi kakak nggak perlu khawatir sama biaya yang nggak akan ditagih itu..” Dia bisa melihat Alex yang seperti melupakan sesuatu, menepuk dahinya kencang.

“Aku lupa yang satu itu..”

“Hahaha… Udah nggak pusing lagi kan?” tanyanya.

“Nggak sih.. Cuma takut kalau target yang kita tentuin sebelumnya nggak tercapai.. Seratus orang dengan masing-masing harga tiket lima puluh ribu rupiah.. Lima juta? Yakin segitu cukup buat rencana kita ngebantuin anak-anak yang kena busung lapar di timur Indonesia sana sama ngirim bantuan buat korban gempa minggu kemarin?” dia menarik napas mendengar kekhawatiran yang terus saja tertutur dari bibir lelakinya.

“Yang penting ada niat.. Kalau emang nggak cukup buat ngelaksanain niatan awal kita, berarti kita harus lihat mana yang lebih membutuhkan.. Dan kakak juga harus inget, kita ini mau melakukan perbuatan yang baik.. Tuhan pasti akan ngasih kemudahan..” Lelakinya tersenyum. Mengusap puncak kepalanya penuh sayang.

“Kamu emang paling bisa meredakan ketegangan.. Beruntung banget kamu ada di sini..”

“Hahaha.. Aku kan emang selalu membawa keberuntungan..” katanya. Membuat Alex mencubit pipinya dengan gemas. “Gimana bahunya? Masih bengkak?”

“Udah kempes kok bengkaknya.. Dan aku bersyukur banget anak-anak orchestra yang jadi korban gempa di kampus kemarin Cuma sedikit, bsia dihitung sama jari.. Jadi kita bisa tetep ngelaksanain konser amal kita ini.. Yah, walaupun aula jadi nggak bisa dipake sementara waktu..” kata Alex sambil menatap langit-langit gedung serbaguna yang berhiaskan lukisan langit lengkap dengan awan dan burung yang berterbangan. “Lagi-lagi semua karena kamu.. Kamu yang bisa ngasih solusi kilat buat ngegunain gedung ini.. Makasih, Marissa..”

Dia tersenyum mendengarnya. Membiarkan hatinya menjabarkan betapa bahagianya dia karena bisa melakukan hal ini. Sebuah hal kecil yang dia harap bisa berpengaruh besar pada kehidupan banyak orang yang membutuhkannya. Merasa sedikit lebih dekat pada tujuan awalnya, ingin seperti Mario. Kakaknya yang baik hati. Yang bahkan setelah kematiannya tak henti memberikannya ‘perlindungan’  karena kebaikan hatinya.

“Riri!” teriak Hamid dari ambang pintu aula. Membuatnya menolehkan kepalanya cepat ke arah sumber suara. Kemudian dia melihat Hamid yang tengah berlari kecil ke arahnya. “Lu pasti lupa deh. Hari ini kan lu ada janji meeting sama klien.”

Dia kaget, menyadari kealpaannya kali ini. Dia segera merogoh kantung celananya dan terbelalak kaget saat melihat puluhan panggilan tak terjawab dari nomor yang sama.

“Sekarang pak Musa udah ada di depan sana. Lu temuin dulu. Nggak enak sama dia. Gue masih ada janji sama klien yang lain..”

“Oke.. Gue ke sana sekarang..” Katanya sebelum Hamid beranjak pergi. “Kak, aku keluar dulu sebentar.. Nanti aku ke sini lagi..”

Dia beranjak dari sebelah Alex. Berjalan cepat keluar gedung untuk menemui kliennya yang tak sengaja terlupakan janjinya.

“Marissa!” dia mencari-cari sumber suara dan menemukan orang yang di carinya sedang bersandar di mobilnya yang mewah.

“Pak Musa! Maaf saya lupa kalau hari ini kita ada janji ketemu..” katanya sambil menjabat tangan lelaki paruh baya di hadapannya.

“Hahaha.. Nggak apa-apa.. Saya maklum kok.. Kamu kan lagi sibuk nyiapin konser amal ini kan?” dia mengrenyit heran. Darimana Pak Musa tahu? Dia bahkan tidak mengatakannya pada satupun klien yang dia temui.

“Tadi saya ke kantor kamu.. Kata Ratih kamu lagi ada di sini.. Tega nggak bilang-bilang mau ngadain konser amal.. Saya juga mau ngeliat acara yang di handle sama CEO dari Show in Max.. Kamu juga ikut berpartisipasi kan?”

“Ini Cuma konser amal kecil-kecilan kok, pak.. Nggak ada artis terkenal kayak yang biasa diselenggarakan sama perusahaan-perusahaan besar yang disiarkan televisi..”

“Saya nggak peduli sama artis-artis yang ada di luaran sana.. Saya Cuma mau ngeliat permainan kamu yang mendiang Rio sering bangga-banggakan sama saya dulu.. Saya boleh datang kan?” dia tercekat mendengarnya. Tak bisa memungkiri rasa haru yang ada dalam dadanya tiap kali nama itu terlontar dari bibir orang lain dengan penuh takzim.

“Boleh lah.. Tapi tetep harus beli tiketnya ya.. Hahaha..”

“Oke, saya pasti datang.. Sabtu malam nanti kan? Dan saya akan bawa beberapa teman saya.. Biar mereka beramal sedikit..”

“Wah, makasih kalau begitu.. Sekarang gimana kalau kita ke rumah makan sebelah buat membicarakan kontrak kita?” ajaknya yang disetujui oleh pak Musa dengan segera.

Setelah mengetikkan pesan singkat untuk Alex, dia langsung masuk ke dalam mobil pak Musa. Menutup pintunya, menimbulkan suara bedebum yang mahal. Dan meluncur ke tempat yang mereka tuju meski hanya berjarak beberapa puluh meter dari tempat mereka berada sekarang.

**********

Suasana malam ini terasa begitu menegangkan sekaligus menyenangkan. Jam telah menunjukkan pukul tujuh malam. Dan gedung serbaguna sudah hampir terisi penuh. Tiket sudah terjual habis, bahkan kurang. Hingga panitia mengakalinya dengan memberikan stempel pada punggung tangan tamu yang tidak mendapatkan tiket.

Para panitia tentu saja senang dengan hal ini. Target yang mereka tetapkan sebelumnya bisa tercapai, bahkan terlewati. Lebih senang lagi saat melihat banyaknya para mahasiswa yang ikut mengundang orang tuanya untuk ikut berpartisipasi.

Dan suasana makin ramai saat beberapa pasangan yang berpakaian formal masuk ke dalamnya. Membuat panitia keheranan, siapa gerangan pasangan-pasangan ini.

Saat ini Alex tengah menyampaikan kata-kata pembukaannya yang menandai dibukanya acara konser amal yang baru kali ini dilaksanakan oleh Universitas Letkol Sugiyono.

“Riri mana? Dia belum dateng juga dari tadi?” tanya salah seorang anggota orchestra yang ada di balik panggung.

“Belum. Nggak ada kabar.” Jawab Billy.

“Terus sekarang gimana? Bentar lagi Alex selesai ngasih sambutan. Dan setelah itu kita harus mulai tampil dan dia ada bagian di sana..” yang mendengarnya hanya terdiam. Ikut memikirkan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah ini. Sementara Billy masih sibuk dengan ponselnya untuk mencoba menghubungi Riri.

“Sampai saat ini dia masih belum bisa dihubungin. Jadi kita langsung main Love, Death, Birthaja dulu.” Putus Billy sambil memutuskan hubungan teleponnya yang tak diangkat oleh Riri. “Six minutes. Hope she’ll make it in time.”

“Kalau sampe kita selesai mainin lagunya dia belum juga dateng, well, gue nggak berharap hal itu terjadi.” Sambung Fred. Wajahnya terlihat tidak suka dengan adanya masalah seperti ini.

“Tiga menit!” teriak salah satu kru di balik layar. Memberitahukan pada anggota orchestra berapa waktu yang tersisa untuk bersiap.

Kini mereka berdoa sejenak. Meminta restu dari pemilik segala kuasa. Berharap agar niat baik mereka diberi kemudahan dan kelancaran.

Mereka mulai memasuki panggung dan menempati ‘station’nya masing-masing. Mempersiapkan mental yang sempat sedikit terkikis karena ketidak hadiran Riri hingga saat ini. Saat conductor mengayunkan baton-nya, denting piano segera beradu dengan gesekan biola. Memberikan harmonisasi yang membuai telinga.

Semua tamu undangan terpaku menatap penampilan para anggota orchestra. Terbuai oleh nada-nada yang semula lembut, kemudian berubah tegas dengan cara yang elegan. Terlebih saat nada yang mengalun kembali melembut dan membuai pendengaran. Bahagia dan kehilangan tergambar meski secara samar dalam tiap nada yang mereka hasilkan.

Denting piano yang sedikit melengking dan sisa-sisa suara gesekan biola yang semakin menghilang mengkahiri rentetan nada itu. Dan gedung serbaguna tetap sepi. Semuanya masih berada di bawah pengaruh sihir yang dihasilkan dari permainan anggota orchestra tadi. Hingga panitia yang ada di sana harus bertepuk tangan dulu, baru para tamu undangan tersadar dari rasa terkesima dan ikut bertepuk tangan.

Dalam perjalanan menuruni tangga panggung, Fred mendengar bahwa Riri masih juga belum datang dari bisik-bisik antara pembawa acara dan panitia. Membuatnya menghentikan langkahnya dan kembali ke arah panggung.

Terdengar suara petikan gitar yang kini ada di pangkuan Fred. Memainkan intro lagu yang cukup familiar di telinga mereka.

There’s a woman crying out tonight. Her world has changed, she ask God why. Her only son has died and now her doughter cry. She can’t sleep at night.”

Dengan segera mereka tahu kalau Fred tengah mengulur waktu untuk menutupi keterlambatan Riri. Dan dengan cepat, pemain drum, gitar dan bass yang ada di sana naik ke panggung. Turut mengambil alat musiknya dan mengiringi lantunan bait yang dinyanyikan Fred.

So this world is too much for you to take, just lay it down and follow me. I’ll be everything you need. In every way..”

Dan gema suara yang dihasilkan dari kelompok paduan suara yang ikut menyanyikan lagu itu membuat suasana jadi semakin membuat pendengarnya tak bisa berkata-kata.

We believe.. We believe.. We believe.. We believe.. We believe.. We believe.. In this love..”

Tepuk tangan kembali mewarnai akhir dari penampilan mereka. Tepuk tangan yang sarat dengan rasa takjub.

“Ya! Barusan kita saksikan penampilan yang begitu mengagumkan dari anggota orchestra universitas Letkol Sugiyono dan Fred. Dan-Oh! Itu dia! Salah satu pihak yang membantu mewujudkan penyelenggaraan konser amal ini sudah datang. Beri tepuk tangan untuk CEO Show in Max, Marissa Anastacia Putri..”

Pandangan para penonton yang tadinya mengarah tepat ke arah panggung, kini beralih ke arah pintu gedung serbaguna. Melihat orang yang tadi sempat disebutkan namanya oleh pembawa acara. Dan yang disebutkan namanya, hanya bisa diam mematung di ambang pintu dengan napas yang memburu. Masih dengan sebelah tangan yang membiarkan helm full face menggantung di sana.

Semuanya tak bisa memalingkan matanya dari orang itu. Tampil mempesona meski hanya mengenakan skinny jeans hitam, boots sebetis dan kemeja longgar sabrina warna putih. Rambutnya yang tadinya dikepang menyamping kini malah terlihat seperti bergaya loose braid  karena sedikit berantakan setelah memakai helm tadi.

Riri berdecak sedikit kesal. Dia lupa meminta pada Nia untuk tidak menyebutkan statusnya di perusahaan. Dan beginilah akhirnya. Dia benar-benar jadi pusat perhatian dengan cara yang kurang dia suka, diketahui statusnya yang merupakan seorang CEO oleh teman-temannya. Dia berani bertaruh, pasti nanti bisik-bisik tentang dirinya kembali santer terdengar.

“Nah, kembali ke acara.. Mari kita nikmati kolaborasi yang apik dari permainan orchestra universitas Letkol Sugiyono dengan kelompok Gita Suara dalam lagu When You Believe..

Dia segera sadar dari keterkejutan dan sedikit rasa tidak sukanya atas kejadian itu kemudian menitipkan helmnya pada salah satu panitia yang ada di dekatnya. Dia melangkah tergesa karena saat ini dia harus berada di atas panggung dan ikut ambil bagian dalam penampilan itu.

“Kostum lu kemana?” bisik salah satu panitia.

“Nggak cukup waktu buat ganti. Nggak mungkin gue naik motor pake gaun kayak gitu.” Jawabnya sambil berbisik kesal. Bukan kesal pada panitia yang masih saja meributkan masalah kostum, bukan. Tapi kesal pada dirinya sendiri karena terlalu lama beristirahat guna mengatasi rasa tidak nyaman pada tubuhnya.

Many nights we pray with no proof anyone could hear. In our hearts a hopefull song we barely understood. Now we aer not afraid. Although we know there’s much to fear. We were moving mountains long before we knew we could..”

“There can be miracle, when you believe. Though hope is frail, it’s hard to kill. Who knows what miracle, you can achieve. When you believe somehow you will.. You will when you believe..”

Semua yang ada di sana larut dengan perpaduan yang disajikan oleh anggota UKM orchestra dan paduan suara. Suara murni yang mampu menggetarkan sanubari. Menyentuh tiap jiwa yang ada di sana.

They don’t always happen when you ask. And it’s easy to give in to your fears. But when you blinded by your pain, can’t see your way straight trought the rain. A small but still resilient voice says hope is very near..”

“There can be miracle, when you believe. Though hope is frail, it’s hard to kill. Who knows what miracle, you can achieve. When you believe somehow you will.. You will when you believe..”

Nyanyian telah mencapai puncaknya. Membuat remang bulu kuduk pendengarnya. Mengingatkan kalau selalu ada harapan untuk bisa terus bertahan. Pasti akan ada keajaiban yang mengiringi menuju kehidupan yang lebih baik lagi nantinya. Meminta pada semuanya untuk percaya jika hal itu benar-benar ada, membantu mewujudkan semua harapan dan memetik keajaiban yang terhampar.

Kali ini, para penonton memberikan standing ovation untuk penampilan mereka. Tidak menunggu hingga permainan selesai. Tak bisa menahan diri mereka masing-masing untuk memberikan penghargaan seperti itu setelah lagu yang dimainkan berakhir.

“Terima kasih untuk penampilan yang begitu mengagumkan..” kata Nia sambil naik ke arah panggung dan mendekati Riri. “Tapi ada salah satu hadirin yang bertanya pada saya, bisakah dia mendengar permainan solo dari seorang Marissa?”

Riri yang mendengar hal itu hampir saja menjatuhkan saxophone yang tadi di genggamnya. Segera dia mengalihkan pandangannya pada Nia. Melayangkan ketidak setujuan dengan usulan itu.

“Tadi kan kita sudah mendengar permianan saxophone dari Marissa. Sekarang bagaimana kalau kita mendengarkan permainan piano darinya? Setuju?”

Dengan langkah yang sedikit ogah-ogahan dia berjalan mendekati grand piano hitam yang letaknya agak dibelakang. Melemparkan tatapan kesal pada Nia.

“Tega! Gue nggak ada persiapan tampil solo dalam keadaan kayak gini!” bisikan kesal dia tujukan pada Nia saat tengah berjalan menuju grand piano. Dan si pembawa acara hanya bisa melemparkan cengiran tanpa dosa.

Riri tediam sejenak. Memikirkan lagu apa yang bisa dia bawakan. Sebuah lagu sederhana saja menurutnya.

Lagu yang kini ada di pikirannya harusnya bisa dia mainkan dengan mudah. Sialnya, tangannya mulai bergetar. Bukan karena gerogi. Tapi karena kedinginan. Dia ingin menyerah, tapi ada rasa mengganjal yang akan menyiksanya jika membatalkan niatnya untuk bermain saat ini. Dia tidak mau mengecewakan orang-orang yang telah menunggu permainannya.

I just can’t sleep tonight. Knowing the things ain’t right. It’s in the papers, it’s on the TV, it’s everywhere that I go. Children are cying, soldiers are dying, some people don’t have a home. But I know there’s sunshine behind that rain. I know there’s good times behind that pain. Hey, can you tell me how I can make a change?”

Riri menutup matanya. Pandangannya sedikit berputar. Kepalanya terasa semakin sakit. Tapi dia mengesampingkan semuanya. Dia harus tetap melanjutkan pertunjukkannya.

I close my eyes and I pray for the broken-hearted. I pray for the life not started. I pray for all the ones not breathing. I pray for all the soul in need, I pray. Can you give’em today?”

Riri benar-benar membawakan kehangatan pada relung jiwa semua hadirin yang ada di sana. Seperti mengetuk tiap pintu hati yang ada di sana untuk ikut berdoa agar Tuhan memberikan rencana yang lebih baik dibalik tiap bencana yang terjadi sekarang ini. Menyadarkan tiap pikiran yang tengah menyaksikan penampilannya, agar tak melulu memikirkan tentang dirinya sendiri.

Berbagi, itu yang ingin Riri sampaikan. Berbagi kebahagiaan dengan yang lain, dengan yang kurang beruntung.

Tepuk tangan menggema keras menenggelamkan denting piano terakhir dari lagu yang dibawakan Riri. Dan yang diberikan tepuk tangan bangkit dari duduknya. Tapi kemudian dia terpaku sebentar.

Pandangannya menghitam, walau dia masih bisa merasakan kakinya yang berdiri tegak menopang tubuhnya. Dia membungkuk memberi hormat dengan sedikit kaku. Tak lama karena kepalanya yang terasa semakin sakit, diikuti oleh rasa sakit yang menyerang sekujur tubuhnya.

Riri kemudian berbalik dan mulai melangkah, hendak mencapai tangga yang akan membawanya menghilang ke balik panggung. Tangannya sedikit terangkat untuk meraba benda di sekitarnya. Tak bisa mengandalkan pandangannya yang sudah berputar sejak beberapa detik yang lalu.

Fred tidak bisa untuk tidak memperhatikan hal itu. Dia segera pergi ke tangga di belakang panggung. Ingin membantu Riri untuk menuruni anak tangga yang cukup curam.

Baru saja dia sampai di dekat anak tangga paling bawah, tubuh Riri tiba-tiba saja limbung dan jatuh, tepat saat panggung tertutup sempurna oleh tirai yang menggantung di atasnya. Fred segera menangkap tubuh Riri sebelum membentur tangga besi yang keras. Dengan sigap dia membawa Riri menuju ruangan yang biasanya digunakan untuk make up.

Sementara Lea yang ada di sana, menyaksikan hal itu dengan hati yang mencelos sakit. Melihat lelakinya yang hingga saat ini masih saja membagi perhatiannya untuk gadis lain, gadis yang selama ini mengisi hati lelakinya.

“Dia masih Fred yang dulu. Sekuat apapun lu berusaha untuk membuat dia lupa dan nggak peduli sama Riri, itu nggak akan berhasil. Terima kenyataan kalau Fred Cuma bisa ngasih semua rasanya buat Riri, bukan buat lu. Jangan siksa diri lu dengan membiarkan dia tersiksa karena terus lu tahan buat berdiri di sisi lu.” Kata Hamid yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang Lea.

“Nggak usah ikut campur sama urusan orang lain.” Kata Lea tanpa mengalihkan pandangannya dari titik dimana terakhir kalinya dia bisa melihat punggung Fred sebelum menghilang dihalangi pintu kayu.

“Cinta itu terlalu kuat untuk di kekang, Lea. Lu nggak akan bisa mengendalikan cinta. Nggak akan pernah bisa.”

Lea tidak mau mendengarkan apa yang baru saja Hamid katakan. Dia malah melangkahkan kakinya untuk kembali ke bangku penonton. Mengurungkan niatnya untuk memberikan semangat kepada Fred sebelum kembali tampil setelah ini. Menolak untuk melihat tatapan khawatir yang pastinya akan dilayangkan Fred untuk Riri. Menolak untuk menikmati rasa cinta yang masih saja tersisa di diri seorang Fred untuk Riri, bukan untuk dirinya.

**********

Gelap. Membuatku merasa sangat tidak nyaman. Tapi kali ini tidak membuatku takut, atau belum. Hanya merasa tidak aman karena tak bisa melihat apapun. Telingaku berdenging. Tak bisa mendengar apapun. Dan tubuhku tak bisa di gerakkan.

Rasanya lelah sekali.

Apa yang terjadi padaku?

Suara dengingan di telingaku lambat laun berubah. Suara ini, aku tak tahu siapa pemiliknya. Tidak jelas terdengar di telingaku.

Tuhan! Aku ingin segera keluar dari kegelapan ini. Tapi aku tidak dapat bergerak.

“Ri..”

Suara dengingan itu kini telah benar-benar hilang dan berganti dengan suara yang benar-benar aku kenal.

“Ri.. Astaga, jangan bikin kakak takut kayak gini..”

Bisa kulihat pendar cahaya yang berada jauh dari sana. Aku ingin mencapainya. Berharap mendapatkan sedikit sinar untuk mengusir kegelapan yang sekarang mulai membuatku takut. Masalahnya adalah, aku bahkan tak bisa merasakan tubuhku saat ini.

Kemudian cahaya itu menguat dan membesar. Mendekat dengan kecepatan yang tidak manusiawi. Membuatku kaget dan merasakan sakit di kedua mataku. Refleks aku berusaha untuk memejamkan mata-Hei! Aku sudah bisa menggerakkan tubuhku!

“Riri..” Aku membuka kembali mataku. Semuanya tampak samar.

“Ri?” kukerjapkan mataku beberapa kali. Dan kini aku bisa melihat dengan jelas betapa khawatirnya kak Nino.

“Kak Nino..” kataku. Aku sedikit mengrenyit saat mendengar suaraku yang sedikit serak. Seperti suara nenek sihir.

“Ya ampun, Riri! Kamu kenapa nekat pergi ke sini walau lagi sakit sih? Kakak khawatir tahu!” katanya sambil menangkup kedua pipiku dengan tangannya yang besar.

Dan aku merasa sangat bahagia saat melihat wajahnya. Membuat semua rasa takut dan tidak aman yang kurasakan memudar dengan cepat. Kedua tanganku terjulur ke depan. Ingin memeluk kak Nino. Tapi tubuhku terlalu sulit untuk ku angkat dari sofa yang menjadi alasku selama tak sadarkan diri.

Kak Nino yang melihat hal itu segera mengangkat tubuhku dari sofa. Membawaku ke dalam pelukannya yang hangat. Merengkuhku dengan erat. Sebelah tangannya mengusap lembut kepalaku.

“Maaf Riri udah bikin kak Nino khawatir.. Maaf Riri udah bikin kak Nino takut..” dan tiba-tiba saja aku terisak dalam dekapannya. Entah ini tangis penyesalan, ketakutan, atau kebahagiaan.

“Sssshh.. Nggak apa-apa.. Nggak apa-apa.. Nggak ada yang salah.. Ssshh.. Itu kakak aja yang berlebihan..” aku merasakan air mataku yang tak juga mau berhenti bergulir. Membasahi kemeja kak Nino tanpa ragu. Kak Nino kemudian melepaskan pelukannya terhadapku.

“Udah dong.. Jangan nangis lagi..” kata kak Nino sambil menyeka air mataku dengan kedua tangannya.

“Nggak bisa berenti keluar air matanya..” jawabku dengan kedua tangan yang ikut sibuk menyeka air mataku. Kak Nino meletakkan punggung tangannya di dahiku kemudian tersenyum.

“Kayaknya kamu nggak bisa berenti nangis gara-gara demam kamu yang lumayan tinggi deh.. Kamu kan emang biasanya juga begitu..” aku bahkan bingung mendengarnya. Memang apa hubungannya antara tak bisa berhenti menangis dengan demam yang tinggi?

“Kita pulang aja ya..” ajaknya. Aku mengangguk saja. Kak Nino meletakkan sebelah tangannya melintang di punggungku dan sebelah tangannya lagi di belakang lututku. Aku juga melingkarkan tanganku di bahunya. Tak ingin terjatuh meski aku tahu dia takkan membiarkan aku terjatuh.

“Makasih udah nolongin Riri tadi..” aku menoleh ke arah pandangan kak Nino dan mendapati kak Fred yang berdiri di sana. Dan aku merasa gelenyar menyenangkan dalam tubuhku saat mendengar hal itu. Diselamatkan oleh kak Fred. Oke itu terdengar sedikit berlebihan.

Aku kembali memutar kepalaku saat kak Nino telah berjalan menuju pintu belakang gedung yang ada di balik panggung. Dan sekali lagi aku bisa menatap dia dengan sesuka hatiku. Apakah perasaan ini wajar?

Wajahku menghangat. Terlebih saat kak Fred mengatakan sesuatu meski tanpa suara.

Get well soon, Marissa.

Dan aku langsung menenggelamkan wajahku di lekukan leher kak Nino karena malu. Merasakan malu yang entah kenapa terasa menyenangkan setelah kak Fred mengatakan kalimat sederhana itu. Juga malu karena kini semua tatapan dari orang-orang yang ada di ruang make up tertuju padaku.

**********

Mereka berdua merebahkan tubuh lelahnya di atas ranjang. Sang lelaki telah mengganti kemejanya sejak tadi. Begitu juga dengan sang wanita. Lelaki itu meletakkan kepala wanita yang ada di dekatnya di atas dadanya. Memeluknya dengan sebelah tangannya. Kemudian menaikkan selimut hingga bisa menutupi keduanya.

“Kamu kenapa tetep pergi ke konser itu sih? Kalau kamu lagi sakit, mendingan kamu istirahat aja di rumah..”

“Riri juga mau ikut ambil bagian dalam konser amal itu, kak.. Riri nggak mau kalah sama demam kayak begini doang.. Riri juga punya tanggung jawab sama anak-anak yang lain.. Bahkan pak Musa dan teman-temannya berinisiatif untuk datang ke acara itu karena mau ngeliat Riri tampil.. Masa iya Riri mau ngecewain mereka semua?”

“Ck, kamu tetep keras kepala kayak biasanya ya.. Untung tadi Fred nolongin kamu.. Kalau nggak, mungkin badan kamu udah makin ringsek gara-gara gegulingan di tangga panggung..”

“Ish, kakak.. Masa badan Riri dibilang ringsek.. Emangnya mobil.. Ketabrak dikit langsung ringsek..” kata Riri sambil memainkan jarinya, membentuk pola polkadot di dada Nino.

“Hahaha.. Bercanda.. Nih, minum dulu.. Biar panasnya cepet turun..” katanya sambil menyambar gelas besar berisi air putih yang ada di sebelah ranjang Riri dengan sebelah tangannya yang bebas. Dengan beberapa tegukan besar, Riri meminumnya hingga tersisa setengah.

“Udah, istirahat ya.. Kakak temenin..”

“Sampe pagi, ya..” kata Riri sambil menumpukan dagu Riri di atas dada Nino. Agar Nino bisa melihat dengan jelas binar pengharapan di matanya.

“Maunya.. Males ah kalau sampe pagi..”

“Kakaak.. Please..

“Hmmmm.. Iya.. Iya..” Riri tersenym mendengarnya dan kembali menyandarkan kepalanya ditempatnya semula.

“Kakak seneng dengan kamu yang sedikit manja kayak begini.. Terlihat lebih mirip sama Riri yang dulu.. Sama Riri yang kakak dan Rio kenal.. Yang manis, yang nggak bisa diam seperti bola karet, yang ceria dengan segala tingkah lakunya yang menggemaskan.. Our cute little sister..”  gumam Nino setelah sekian lama. Tangannya membelai kepala Riri dengan lembut. Tak ingin membangunkan Riri yang telah tertidur.

“Kakak nggak mau muluk-muluk dengan berharap kamu bisa kembali jadi Riri yang seperti dulu.. Kakak ngerti, kamu pasti akan berubah karena kejadian itu.. Kakak ngerti.. Cuma satu yang kakak nggak ngerti dan nggak bisa terima dari dulu, perubahan kamu yang terlalu ekstrim..” Nino menghela napas sejenak.

“Kak Rio.. Kak.. Kak Rio..” terdengar Riri yang mengigau dalam tidurnya.

“Kakak masih bisa ngeliat kalau kamu masih belum bisa mengikhlaskan kepergian Rio. Kakak juga.. Kakak tetep aja ngerasa sedih tiap nginget Rio.. Kakak tetep ngerasa ingin membunuh Sammael tiap inget kalau penyebab dari kepergian Rio adalah karena dia yang membunuhnya.. Tapi kakak tahu, itu semua nggak ada gunanya.. Rio tetap nggak akan kembali.. Kita harus bisa mengikhlaskan kepergian Rio, Ri.. Rio nggak akan tenang kalau kita terus seperti ini.. Kakak nggak mau Rio tersiksa karena keegoisan kita yang masih saja nggak bisa melepaskan dia untuk kembali kepadaNya.”

“Tanggung semua beban dan tanggung jawab yang sanggup kamu pikul, yang sepantasnya kamu pikul.. Sisanya, biarkan kami yang memikulnya.. Jangan biarkan kamu lelah dan akhirnya menyerah dengan kehidupan karena menanggung semua itu sendirian..” Nino mengeratkan dekapannya atas Riri.

“Jangan biarkan semua itu merenggut semua kebahagiaan kamu, Ri.. Karena bagi kami, kebahagiaanmulah yang terpenting.. Kebahagiaan dari milik kami yang paling berharga.. Semuanya jadi bener-bener nggak berarti kalau kamu nggak bahagia, Ri..  Katakan  semua sumber kebahagiaan kamu, dan kakak akan mati-matian menjaga supaya sumber kebahagiaan kamu tetap hidup.. Kakak mungkin lalai menjaga sumber kebahagiaanmu yang telah lalu. Rio. Tapi kali ini akan berbeda. Apapun akan kakak lakuin supaya kamu tetep bisa berbahagia.. Apapun.. Walau kebahagiaan kamu harus kakak bayar sama nyawa kakak sekalipun..”  kata Nino sambil mengecup puncak kepala Riri. Cukup lama dan penuh khidmat.

**********

Dia mengganti pakaiannya dengan perlahan. Merasa lelah setelah menggeluti konser yang tadi diadakan. Juga lelah karena dicecar pertanyaan dari lelaki itu, Alex.

Alex tak ada di sana saat Riri jatuh tak sadarkan diri. Saat itu Alex sedang ada di meja penerima tamu untuk mengurusi sumbangan yang diberikan oleh para hadirin yang datang. Dan dia tak tahu apa lagi yang Alex lakukan setelah itu hingga memakan waktu yang cukup lama.

Selain itu, ada satu lagi yang mengganggu pikirannya. Lea yang tak kunjung datang saat konser diadakan tadi. Apakah Lea mengurungkan niatnya untuk datang? Lalu kenapa Lea tidak memberitahunya? Apa terjadi sesuatu dengan Lea?

Itu yang membuatnya khawatir. Karena biar bagaimanapun Lea adalah kekasihnya saat ini. Dia mencoba menghubungi Lea, tapi tak ada jawaban.

“Liat Lea nggak?” tanyanya pada salah satu panitia. Dia yakin kalau orang itu tahu siapa Lea karena Lea sering terlihat bersama Riri dan yang lainnya, dulu. Atau semoga saja orang itu benar tahu siapa yang bernama Lea.

“Tadi kayaknya dia pergi ke backstage deh.. Masa iya lu nggak ketemu sama dia?” dia menggeleng menjawabnya.

“Kapan dia pergi ke sini?” orang itu terlihat mengingat-ingat peristiwa itu.

“Hmmhhh.. Kayaknya beberapa saat sebelum Riri pingsan tadi deh..”

Fred tersentak mendengarnya. Sebelum Riri pingsan? Apa Lea melihatnya yang bergerak menolong Riri? Apakah Lea marah karena hal itu? Apakah itu bisa dianggap sebagai pengingkaran atas janjinya tempo hari?

“Oh, thanks.” Kata Fred sebelum meninggalkan orang itu.

Apakah Lea merasa kecewa karena hal itu? Apa salah jika dia menolong Riri? Jika ya, bukankah itu adalah sebuah keegoisan dan kecemburuan yang membabi buta?

Keegoisan dan kecemburan yang membabi buta itu adalah sebuah kesalahan, sesuatu yang tidak patut untuk diperlihatkan jika keadaannya seperti tadi. Lea salah jika membiarkan sikap itu bersarang dalam dadanya. Tapi kenapa sekarang malah dia yang merasa bersalah?

**********

Lelaki itu melajukan motornya secepat yang dia bisa dan diijinkan oleh jalanan ibukota yang tetap saja padat meski lewat tengah malam. Masih merasa khawatir dengan keadaan gadisnya. Rasa khawatir yang patut dia syukuri keberadaannya karena bisa menekan rasa cemburunya setelah mengetahui gadisnya disentuh oleh lelaki lain.

Sesampainya di tempat yang ingin dia tuju, dia segera masuk ke pekarangan rumah besar itu. Tentu saja setelah pagar yang melindungi rumah itu dari dunia luar dibukakan oleh satpam.

“Marissa udah ada di rumah, pak?”

“Iya, den.. Udah sampai deritadi sama den Nino..”

“Kalau gitu saya masih boleh masuk buat jenguk Marissa kan?” tanya Alex memastikan. Karena dia merasa kurang sopan saat harus pergi bertandang ke rumah orang di waktu yang tidak biasa seperti ini.

“Oh, nggak apa-apa, den.. Sini saya anter masuk..” katanya sambil berjalan di depan Alex. Mengantarnya sampai ke ambang pintu kayu dan membukakan pintunya dengan kunci duplikat yang memang diberikan padanya. “Biasanya kalau lagi sakit, non Riri tidur sama den Nino di kamar den Rio.. Kamarnya di lantai atas..”

“Makasih, Pak.. Saya nggak lama kok..”

Dia menaiki tangga yang melingkar itu dengan perlahan. Tak ingin menimbulkan suara yang bisa saja mengganggu waktu istirahat orang-orang yang ada di dalamnya. Tangannya baru saja meraih kenop pintu saat dia mendengar sayup-sayup suara Nino di dalamnya.

“Kakak masih bisa ngeliat kalau kamu masih belum bisa mengikhlaskan kepergian Rio. Kakak juga.. Kakak tetep aja ngerasa sedih tiap nginget Rio.. Kakak tetep ngerasa ingin membunuh Sammael tiap inget kalau penyebab dari kepergian Rio adalah karena dia yang membunuhnya.. Tapi kakak tahu, itu semua nggak ada gunanya.. Rio tetap nggak akan kembali.. Kita harus bisa mengikhlaskan kepergian Rio, Ri.. Rio nggak akan tenang kalau kita terus seperti ini.. Kakak nggak mau Rio tersiksa karena keegoisan kita yang masih saja nggak bisa melepaskan dia untuk kembali kepadaNya.” Dia terdiam mendengarnya. Ayahnya kembali tersebut namanya di sini. Dan tiap kali nama itu berrkumandang, dia merasa sangat bersalah.

“Tanggung semua beban dan tanggung jawab yang sanggup kamu pikul, yang sepantasnya kamu pikul.. Sisanya, biarkan kami yang memikulnya.. Jangan biarkan kamu lelah dan akhirnya menyerah dengan kehidupan karena menanggung semua itu sendirian..”

“Jangan biarkan semua itu merenggut semua kebahagiaan kamu, Ri.. Karena bagi kami, kebahagiaanmulah yang terpenting.. Kebahagiaan dari milik kami yang paling berharga.. Semuanya jadi bener-bener nggak berarti kalau kamu nggak bahagia, Ri..  Katakan  semua sumber kebahagiaan kamu, dan kakak akan mati-matian menjaga supaya sumber kebahagiaan kamu tetap hidup.. Kakak mungkin lalai menjaga sumber kebahagiaanmu yang telah lalu, Rio. Tapi kali ini akan berbeda. Apapun akan kakak lakuin supaya kamu tetep bisa berbahagia.. Apapun.. Walau kebahagiaan kamu harus kakak bayar sama nyawa kakak sekalipun..”

Alex meremas kenop pintu dalam genggamannya. Ayahnya telah merenggut kebahagiaan gadisnya. Menimbulkan luka yang hingga saat ini masih terbuka lebar dan berdarah-darah. Lalu sekali lagi ragu menguat dalam dadanya. Apakah dia masih pantas untuk mendampingi gadis itu?

To be continue,

Posted at my house, Tangerang City.

At 11:13 a.m

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan inspirasi keatas kertas, bercerita.
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
Don’t be a silent reader, please.. :D