Selasa, 24 Januari 2012

Love the Ice part 6


Aku duduk di bawah pohon kelapa yang berjajar rapi di tepi pantai. Menekuk lututku dan menonton pertandingan voli yang tersaji di hadapanku. Antara team kak Nino dengan team kak Fred. Sejauh ini team kak Nino unggul beberapa poin dari team kak Fred. Dan aku baru tahu kalau kak Nino itu hebat juga dalam olahraga voli.
Ah, dia terlihat selalu hebat dalam hal apapun. Di bidang akademik, olahraga, music, bahkan bisnis. Dia sosok anak yang pasti di idam-idamkan oleh semua orang tua. Baik, pandai, patuh, penyayang, seperti tak ada sifat buruk yang menempel padanya. Bahkan pada awalnya aku merasa dia seperti malaikat yang mungkin terpeleset jatuh dari surga. Dulu aku bertanya-tanya, adakah orang yang seperti itu, yang sungguh mendekati sempurna. Dan kini aku menemukan contoh nyatanya dalam kehidupanku sendiri. Ya kak Nino itu.
Dan dia seperti duplikat dari ayah dan ibu. Semuanya memiliki sifat yang serupa. Membuatku tak heran darimana asal muasal datangnya semua sifat-sifat yang indah itu. Aku juga takkan heran kalau kak Rio memiliki sifat yang sama. Karena memang dia hidup dengan mereka semenjak kecil. Sejak dia ditemukan menangis sendirian di tepi jalan Den Haag.
Aku bingung saat mendapati Nate yang memandang ngeri ke arahku. Kejadiannya terjadi dengan sangat cepat. Aku mendengar dia meneriakkan sesuatu sambil merentangkan tangannya kearahku, seperti hendak menarikku dari tempatku berada.
Lalu tiba-tiba saja badanku condong kebelakang hingga bisa kurasakan punggungku yang menyentuh batang pohon kelapa. Dan tanganku telah terangkat menengadah.
‘buukkk’
Aku masih tak tahu apa yang terjadi sampai mereka semua datang mendekatiku dan mengangkat sesuatu dari tadahan telapak tanganku. Sedangkan aku, masih menatap ke kanan dan ke kiri mencaritahu apa yang terjadi di tengah kebingungan yang aku alami.
“Kamu nggak kenapa-kenapa, Ri?” tanya kak Nino.
“Hah?”
“Tangannya sakit nggak? Ada yang keseleo?” tanyanya lagi sambil sibuk memeriksa telapak tanganku. Dan saat melihat telapak tanganku yang memerah, rasa sakit baru datang menyambangi. Membuatku tak kuasa untuk meringis. Dan aku baru menyadari semuanya. Kepalaku hampir tertimpa kelapa yang terjatuh jika saja tubuhku tak condong ke belakang dan kedua tanganku tak menangkap kelapa itu tepat waktu. Dan akibatnya kini jahitan di tangan kananku berdenyut sakit.
“Ayo kedalam, kakak periksa dulu jahitannya.. Takut kebuka..” katanya sambil mengangkat tubuhku dari pasir.
“Nggak kenapa-kenapa kok, kak.. Nggak ada darah yang rembes.. Jadi jahitannya baik-baik aja..” Tapi dia tetap saja memboyongku ke dalam cottage. Sesampainya di dalam, dia segera mengambil kotak kesehatan yang tak pernah lupa dia bawa.
Perlahan sekali dia membuka perban yang membebat tanganku. Dan aku bersyukur saat jahitan yang ada terlihat baik-baik saja. Hanya sedikit memerah karena tertimpa kelapa yang (lumayan) berat. Dengan telaten dia membersihkan bekas jahitanku dan kembali membebatnya dengan perban yang baru.
“Kak, tahu nggak?”
“hmmmh?” jawabnya tanpa mengalihkan wajahnya dari tanganku.
“Kayaknya minum es kelapa muda enak deh..” dia tersenyum mendengarnya. Menahan tawanya, sedikit.
“Kenapa?”
“Nggak kenapa-kenapa.. Lucu aja ngedenger kamu mau minum es kelapa muda setelah tangan kamu ketimpa kelapa tadi.. Sounds like you want to take a revenge.. Hahaha..”
“Ah, kakak..”
“Selesai! Sekarang ayo kita cari kelapa muda..” katanya sambil membereskan peralatannya. Aku tersenyum dan bangkit. Sedikit sempoyongan karena kakiku yang memang masih sedikit sakit saat menapak. Tapi aku tak mau lagi di gendong-gendong. Aku bukan bayi yang masih tak becus berjalan sendiri.
Begitu aku mencapai pintu cottage, aku melihat mereka semua sedang membawa beberapa buah kelapa utuh. Dan mereka berjalan ke arahku.
“Ada yang bilang minum es kelapa?” kata kak Hamid. Sambil menenteng 2 buah kelapa di tangannya. Aku mengangguk antusias. Dan aku kembali merangsek kearah mereka yang berhenti beberapa meter di dekat cottage. Mengantri untuk mendapatkan jatah kelapa yang terlihat menggiurkan. Mengusir dahaga yang senang sekali bersemayam dalam tenggorokanku
Kak Nino yang ikut bergabung beberapa saat kemudian menyerobot es kelapa yang ada di dalam genggamanku. Aku kembali mengambil gelas berisi es kelapa muda milikku dari tangan kak Nino. Tapi dia kembali mengambilnya lagi dariku. Begitu saja seterusnya. Hingga yang lain menertawai kami. Hahahaha.. Akhirnya kami makan segelas berdua. Padahal es kelapa yang tersisa masih banyak. Entah kenapa rasanya menyenangkan saat bisa makan bersama seperti ini. Aku harap ini masih bisa ku lakukan berkali-kali lagi. Tak  hanya untuk kali ini saja. Semoga..
**********
“Ayo bakar udangnya!!” seru Nate.
Yang lain mengangguk setuju. Waktunya pas sekali untuk memulai acara bakar-bakar sambil menunggu tahun baru tiba. Menurut estimasiku, acara bakar-bakar ini akan berlangsung selama 2 jam. Lalu makan, paling lambat 45 menit. Setelah itu, dapat dipastikan kami semua akan bergelimpangan karena kekenyangan di tepi pantai. Dan tadaaaa! New year!
Tapi itu estimasiku saja. Dan meleset. Acara bakar-bakar berlangsung lebih cepat dari perkiraanku. Hanya perlu satu setengah jam saja untuk mematangkan semua bahan makanan yang kami beli di pasar tadi siang. Dan untuk melenyapkannya hanya butuh setengah jam saja. Sepertinya semua sudah kelaparan. Hahaha..
Nita dan Billy terlihat mesra dengan makan sepiring beruda dan suap-suapan. Membuat iri saja. Nate dan Hamid sedang ribet membakar jagung. Aduh, anak itu.. Aku saja sudah tak bisa lagi memasukkan makanan ke dalam perutku. Kenapa mereka masih saja membakar jagung? Ckckck.
“Kak, diolesin margarine dulu.. baru dibakar.. Kalau sudah setengah matang, diolesin lagi.. Biar gurih..” kata Nate.
“Dih, dibakar dulu tau.. baru diolesin margarine kalau sudah matang..” kata Hamid tak mau kalah.
“Iih.. salah, kak..”
“Lu yang salah..”
“Lu yang salah..”
Ampun deh. Itu anak berdua ribet banget. Padahal sama saja. Mau dioles dulu baru di bakar, atau dibakar dulu baru dioles hasilnya akan tetap jadi jagung bakar juga. Dan aku tertawa terbahak-bahak melihat hasil kerja mereka. Jagung bakar model baru. Hitam a.k.a gosong. Kebanyakan adu mulut sih. Hahahaha..
Saat mataku menyapu pinggir pantai, aku melihat Riri yang tengah terduduk  di atas batu besar. Sendiri dengan sunyi. Aku merasakan tawaku seketika lenyap. Entah terbang kemana. Aku bangkit berdiri dan berjalan menghampirinya perlahan. Ingin menebus semua waktu yang tak sempat terlewatkan bersamanya saat masih ada Rio di antara kami. Setidaknya menemaninya agar tak terlalu larut dalam rasa kehilangan. Memberitahukannya bahwa dia tak pernah benar-benar sendiri. Bahwa Rio tak pernah benar-benar meninggalkan kami. Dia masih bersemayam dengan nyaman di hati.
**********
Tahun baru. Dan aku harus melewatinya tanpa kehadiran seorang Mario Stevano Kusuma. Entahlah. Rasanya masih terlalu sulit untuk beranjak dari rasa kehilangan ini. Kepedihan ini memelukku terlalu kuat. Dan rasa bersalah menjelma serupa baja yang membelitku hingga makin jauh tenggelam dalam rasa ini dan tak mempu membebaskan diri.
Aku tak pernah bisa menahan pikiranku untuk tak berandai-andai. Seperti saat ini. Kalau saja aku tak pergi sore itu, andai saja aku mendengarkan apa keinginannya, kak Rio pasti masih akan ada di sini. Menemaniku. Mendampingiku menjalani hari-hariku. Memelukku hingga aku terlelap. Menyamankan hatiku. Tapi sekarang, aku harus kehilangan dia.
“Tahun baru kedua gue tanpa kehadiran lu, kak.. Tapi rasa kehilangan ini masih saja ada. Makin mendarah daging sepertinya..” kataku lirih.
Tak kuduga, iPodku memutar ‘Music in Our Life’. Membuat kenangan dengan kak Rio semakin kental menguar di sekitarku. Membuatku tak mampu menahan tetesan air mata.
‘Sial! Gue harus tegar!’ seruku dalam hati sambil menghapus kasar butiran air mata yang mengalir. Lalu kehangatan yang familiar datang melingkupiku.
“Kakak juga masih merasa kehilangan dia.. Memang butuh waktu yang lama untuk bangkit dari rasa ini, Ri.. Tapi kakak yakin kamu pasti bisa.. Kita pasti bisa bangkit dari keterpurukan ini.. Kakak yakin dengan pasti..” ternyata kak Nino yang memelukku dari belakang. Dia melepaskan headset dari telingaku dan mulai bersenandung kecil untukku.
Tak mampu melepasnya walau sudah tak ada. Batinmu tetap merasa masih memilikinya. Rasa kehilangan hanya akan ada jika kau pernah merasa memilikinya.
Pernahkah kau mengira kalau dia kan sirna? Walau kau tak percaya dengan sepenuh jiwa. Rasa kehilangan hanya aka nada jika kau pernah merasa memilikinya.
“Kita semua merasakan rasa yang sama. Kehilangan. Karena kita pernah memiliki seorang Rio dalam hidup kita. Sekarang yang harus kita lakukan adalah selalu mendoakannya  dan terus melangkah menapaki kehidupan. Tak pernah melupakan semua kenangan manis yang pernah diciptakannya. Tak pernah berhenti mencintainya. Tak pernah melupakan sedikitpun tentang dirinya..”
Kurasakan napas kak Nino memberat. Dia juga bersedih. Dan aku yang membangkitkan kesedihan itu. Tuhan! Kenapa akhir-akhir ini aku tak bisa melakukan sesuatu dengan benar? Maafin Riri, kak. Mataku memanas. Dan menyadari kesedihan itu juga kembali bangkit dalam diriku. Tidak! Aku tidak mau menangis lagi. Aku harus tegar seperti permintaan kak Rio.
“Kak?”
“Hmmh?”
“Kakak harusnya kemarin dirawat kan?” dia mengangguk.
“Lalu kenapa kakak nggak dirawat?”
“Nggak lucu kan kalau harus ngerayain tahun baru di rumah sakit..” katanya sambil mengeratkan pelukannya atas diriku. Aku merasa dia menutupi sesuatu. Tapi aku tak mau mengganggu privasinya. Biarkanlah dia yang memberitahukan aku kalau dia memang mau.
Dan langit menjadi berwarna karena kembang api. Menandakan pergantian tahun telah tiba. Memberitahukan kalau sang Janus telah tiba dengan dua wajahnya yang saling bertolak belakang. Menuntun untuk meninggalkan masa lalu dan menyongsong masa depan. Tapi aku masih tetap terpaku di tempat. Tak mampu beranjak. Terikat simpul mati di masa lalu.
**********
“Gimana keadaan lu” tanya Hamid.
“Masih sedikit lemes.. Sedikit doang tapinya..” jawab Nino.
“Lagian kenapa lu nggak dirawat aja sih? Kalau lu dirawat kemarin, lu pasti udah bener-bener sehat sekarang..” omel Hamid.
“Gue mau ngerayain tahun baru bareng-bareng sama yang lain, Mid.. Dan lu pasti tahu alasan terbesar gue nggak mau dirawat..”
“Riri?” Nino mengangguk.
“Dia sepertinya masih belum bisa mengatasi SindromaFred-nya..”
“SindromaFred? Nggak suka rumah sakit maksud lu?” tanya Hamid.
“Yup. Dan gue nggak mau nyiksa dia karena rasa nggak sukanya sama rumah sakit dengan berlama-lama ada di tempat itu..”
“Yah, terserah lu aja deh..” kata Hamid sambil membaringkan tubuhnya di kasur. Bersiap mengarungi lautan mimpi. Sedangkan Nino masih berdiam di tepi jendela cottage. Enggan menyusul Hamid yang telah terlelap. Memikirkan bagaimana kelanjutan hidup adik semata wayangnya. Sembari memandangi langit nyaris pagi buta yang mulai memudar.
Sementara itu, ada seseorang yang secara tak sengaja mendengar pembicaraan singkat mereka. Dan merasa tak enak karena telah mendengar hal itu. Mengetahui kalau lagi-lagi dialah alasan orang-orang terdekatnya lebih mementingkan untuk menjaga perasaannya dibandingkan diri mereka sendiri. Membuat dia merasa lagi-lagi merepotkan orang-orang di sekitarnya. Membuat dia merasa seperti hanya menjadi beban untuk orang-orang terdekatnya.
**********
Mentari sudah menggenlincir saat mereka rampung merapikan barang bawaan mereka. Jelas saja. Saat matahari bersinar kelewat terik, mereka baru bangkit. Inilah efek dari baru tidur saat ayam berkokok di pagi hari.
Setelah memastikan tak ada yang tertinggal, mereka kembali ke Jakarta. Mempersiapkan keperluan untuk memulai aktivitas pertama di tahun yang baru esok pagi. Memulai rutinitas yang sama, di tahun yang berbeda.
Jalanan cukup padat. Karena orang-orang juga baru saja kembali dari liburan untuk merayakan pergantian tahun. Sama seperti mereka. Tapi tidak terlalu macet sih. Kecuali saat sudah masuk ke daerah Jakarta. Tahu sendirilah bagaimana keadaan lalu lintas ibu kota.
Mereka semua langsung pulang ke rumah masing-masing. Masih ingin melanjutkan tidur yang sempat tertunda. Menyimpan tenaga untuk beraktivitas esok hari.
Sesampainya di rumah, Lucky ternyata telah menunggunya di pintu masuk. Seperti hendak menyambut kepulangan Riri dan Nino ke rumah. Saat Riri keluar dari mobil, Lucky langsung saja menggonggong keras dan berlari menyongsong Riri. Bermanja di kaki Riri. Seperti biasa.
“Halo, Lucky.. Happy new year ya..” kata Riri sambil berjongkok dan menggaruk kepala Lucky.
“guk!” lalu Riri memeluk Rottweiler hitam itu dengan sayang. Salah satu hadiah terbaik yang pernah diberikan oleh Mario dan Nino selain kasih sayang yang tiada tara dan keluarga yang hangat.
Riri segera menurunkan barang-barangnya dari bagasi dan mengangkutnya ke kamarnya. Menolak bantuan Hamid dan Nino yang dengan senang hati ingin membawakan barang bawaan Riri ke kamarnya. Sedangkan Lucky berjalan mengikuti Riri ke kamarnya.
“Dia masih ingin meyakinkan kita kalau dia adalah wanita yang mandiri dan kuat..” kata Nino.
Still pretending that she’s ok..” sambung Hamid.
“Sampai kapan dia harus terus bersikap seperti ini?”
“Sampai dia bisa mengikhlaskan sepenuhnya kepergian Rio..” jawab Hamid sambil membawa masuk barang bawaannya dan Nino. Sedangkan Nino masih termangu di samping mobil.
Setibanya di kamar, Riri segera merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Diikuti oleh Lucky yang bergelung di dekat pahanya.
I miss him.. Really really miss him.. Do you miss him?” kata Riri pada Lucky. Seolah Lucky bisa menjawab pertanyaannya saja. Tapi Lucky seperti mengerti. Dia mengeluarkan suara yang lirih. Seperti ikut bersedih.
Dan Riri kembali tersentak. Kenapa dia selalu membuat semuanya bersedih?
**********
“Gimana acara tahun barunya? Seru ya?” tanya suara  di sebrang sana.
“Seru banget, kak.. Coba kalo kakak sama kak Darren ada di sini.. Pasti makin rame deh..” sahut wanita itu sambil mengeluarkan pakaian kotor dari tasnya. Handphonenya dia apit menggunakan bahu dan pipinya. Sebuah postur yang kalau dilihat-lihat akan membuat pegal leher.
“Tahun baru kakak di sana gimana?”
“Sepi.. Nggak ada kamu sih..”
“Aih, tahun baru langsung digombalin.. “
“Tapi seneng kan? Suka kan?” dan Nate tak dapat menahan senyum yang terkembang di wajahnya saat mendengar Darrel berkata seperti itu. Tak dapat memungkiri kalau dia menyukainya.
“Aku nggak suka.. Tapi sukaaaa bangeet.. Kyaaaa…” jawab Nate dengan suara dibuat-buat. Hingga Darrel tertawa di sana.
“Hahahahaha… Aku nggak bisa ngebayangin wajah kamu saat ngomong kaya’ begitu.. Oh iya, akhir bulan ini aku pulang.. Liburan di sana..”
“Oh ya? Asiikk!! Akhirnya kakak pulang juga..” seru Nate kegirangan. Hampir saja handphone yang masih menempel di antara pipi dan bahunya jatuh.
“Iya.. Tunggu aku ya..”
“Pasti.. Sama kak Darren and kak Prita juga?”
“Kalo Darren masih nggak tahu ikut atau nggaknya.. Tapi kalau kak Prita, dia nggak bisa ikut.. Kantornya kan nggak ikutan libur..”
“Oh, oke.. Salam buat semuanya di sana ya, kak..”
“Iya.. Salam juga buat yang lain.. Udah dulu ya.. Miss you..” Kata Darrel.
Miss you.. Love you..” jawab Nate mengkahiri sambungan teleponnya.
Awal tahunnya jadi cerah seketika. Membuatnya tak bisa berhenti tersenyum. Tak sabar menunggu akhir bulan ini. Agar bisa segera bertemu dengan pujaan hati. Dan tiba-tiba saja ada ide menarik yang menggelitik hati. Membuatnya tersenyum penuh misteri.
**********
Siang hari di kantin belakang kampus, ada yang sedang memohon-mohon untuk berguru. Bukan berguru bela diri. Tapi berguru untuk membuat masakan yang enak. Tak lain dan tak bukan Nate yang ingin memberikan kejutan untuk menyambut kedatangan sang pujaan hati yang akan kembali ke tanah air akhir bulan nanti.
“Ayolah, kak.. Ajarin bikin makanan kesukaannya kak Darrel..”
“Nggak mau..”
Please, kak..”
“Agak susah itu bikinnya..”
“Makanya gue minta ajarin lu, kak.. Yayaya.. Please.. Kakak ganteng deh..” Rayu Nate.
“Ehm!” Nita berdehem berpura-pura cemburu.
“Nggak usah cemburu.. Tetep kamu yang paling cantik kok..” kata Billy sambil merengkuh bahu Nita dan mendekatkannya ke tubuhnya.
“Hahaha.. I know that..” kata Nita sambil menyandarkan kepalanya ke bahu Billy.
“Jadi, mau nggak ngajarin gue?” tanya Nate memastikan.
“Oke. Tapi lu harus dateng tepat waktu. Telat, dan gue nggak mau ngajarin lu masak.” Kata Billy.
“Huaaaahhh.. Kak Billy baik banget.. Makasih..” seru Nate sambil menggenggam tangan Billy yang bebas dan mengguncang-guncangkannya dengan penuh semangat.
Sementara Riri, Hamid dan Fred hanya tersenyum melihatnya. Dan Lea masih saja sibuk mengamati objek yang ada di hadapannya. Wajah lelaki itu, yang telah mampu menarik hatinya sejak pertama kali berjumpa.
“Nate.. Nate.. Kalo lu terus meremas dan mengguncang tangan gue, hari Minggu nanti gue bisa batal ngajarin lu masak gara-gara tangan gue yang keseleo..” kata Billy.
“Oh, Sorry, kak.. Ah.. Gue seneng banget.. Kyaaa… Makasih, kak..” Billy hanya mengangguk menanggapinya. Lalu sebelah tangannya mengeluarkan sebuah kotak dari dalam tasnya dan memberikannya pada Nita.
Nita langsung membukanya dan berbinar bahagia. Brownies panggang kesukaannya. Segera saja dia memasukkan potongan-potongan brownies itu ke dalam mulutnya. Merasakan kelembutan yang menggoda di tengahnya dan lapisan sedikit crunchy di pinggiran kuenya.
Lalu Billy kembali mengeluarkan sebuah kotak yang lebih besar dan meletakkannya di tengah meja. Mempersilakan yang lain untuk turut mencicipi hasil karyanya. Dia juga mengambil sepotong kecil brownies dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Dan dia tidak berencana untuk memakan sepotong lagi. Karena dia tidak terlalu menyukai makanan dan minuman yang manis.
“Nanti abis ngajarin Nate masak, ajarin aku bikin brownies panggang ya, kak..” kata Nita dengan mulut yang masih sibuk mengunyah brownies. Billy mengangguk. Sebelah tangannya bergerak untuk membersihkan serpihan kue yang bertengger di pinggir bibir Nita dengan lembut dan menepuk pelan puncak kepalanya dengan mesra. Ah, pasangan ini. Memang selalu saja membuat iri tiap pasang mata yang melihatnya dengan keromantisan mereka yang terkadang tak pandang tempat.
Dilain tempat, ada sepasang mata yang tengah mengamati mereka tanpa berkedip sekalipun. Atau lebih tepatnya mengamati Riri yang sedari tadi hanya mencuil-cuil kecil brownies di tangannya dan memasukkannya ke mulutnya.
Dia begitu mempesona.. Semua tindak tanduknya seperti magnet yang menarik perhatianku dengan kuat.. Bahkan hingga senyum kering yang tak mampu menyentuh bening matanya pun turut menarik perhatianku.. Dapatkah aku mendekatinya? Dapatkah aku memilikinya? Tapi bagaimana caranya? Jika dia selalu saja bersikap dingin pada tiap orang yang belum dikenalnya. Menjelma menjadi sebongkah es yang sulit untuk dilelehkan keberadaannya. Dapatkah hatiku mencairkan segala kebekuan di dirinya?’ batin sepasang mata itu.
Riri menghentikan acara cuil-mencuil potongan brownies yang sejak tadi belum juga rampung dimakannya. Dia merasa seperti ada yang sedang memperhatikannya. Diedarkannya pandangannya ke segala penjuru kantin. Tapi dia tak bisa menemukan mata siapa yang sejak tadi dia rasa sedang mengamatinya. Ataukah itu hanya perasaannya saja? Dia tak tahu. Dan kembali mencuil-cuil browniesnya. Lalu dia teringat akan sesuatu yang sejak kemarin ingin dilakukannya dan memutuskan untuk melakukannya hari ini juga.
**********
Dia berjalan di lorong gedung B sambil menenteng sesuatu. Sebuah jaket yang pemiliknya sempat mengusik pikirannya. Membuat rasanya seperti merasakan getar-getar yang hingga saat ini masih tak sanggup diterjemahkannya.
Dia berhenti di sebuah ruangan. Sebelah tangannya sedikit ragu untuk membuka pintu dan masuk ke dalamnya. Tapi dia tetap harus mengambalikan jaket ini. Bagaimanapun caranya.
Akhirnya dia membulatkan kemauannya dan memutar kenop pintu. Ruangan yang tadinya ramai, seketika berubah hening saat melihat siapa yang baru saja memasuki ruang kelas mereka. Riri.
Dengan cepat dia memindai keberadaan orang itu. Dan dia menemukannya sedang duduk membelakanginya. Seperti tengah berbincang dengan kawan-kawannya yang lain. Dia melangkah panjang menghampiri orang itu. Melewati para senior lain yang masih terus saja memperhatikannya.
Lalu dia melihat seraut wajah yang cukup familiar. Senior yang waktu itu merusak kalungnya. Tapi dia tak mau memperdulikan orang itu. Dia terus melangkah untuk mengembalikan jaket yang kini ada dalam genggamannya.
Thanks..” katanya sambil mengangsurkan jaket itu pada pemiliknya.
Pria yang kini ada di hadapannya masih diam. Tak segera mengambil jaket yang ditujukan padanya. Riri menggoyangkan jaket itu di depan wajah pria itu. Akhirnya pria itu sadar juga dari kekagetannya dan bergerak untuk mengambil jaketnya.
“Sama-sama, cantik..” kata pria itu sambil tersenyum. Riri tersentak.
Tanpa diduga, Riri segera memutar badannya dan beranjak pergi. Meninggalkan pria itu tanpa mengucapkan salam perpisahan atau apapun. Masih terlalu terkejut untuk dapat berkata-kata.
“Maksud lu apa sih, Lex?” tanya seorang temannya.
“Nggak ada maksud apa-apa..” jawabnya sambil tersenyum penuh arti.
**********
Astaga! Apa yang baru saja dikatakan orang itu?! Unpredictable!
Aku tak kuasa untuk menahan tubuhku yang langusng berbalik dan pergi meninggalkan dia. Tanpa mengucapkan salam perpisahan apapun. Ucapannya benar-benar membuatku kaget setengah mati.
“Sama-sama, cantik..”
Tapi yang paling membuatku terkejut adalah senyumnya. Senyum yang sama dengan milik orang itu. Dan setelah kuingat-ingat lagi, dia benar-benar mirip dengannya. Garis mukanya, postur tubuhnya, matanya, bibirnya, benar-benar serupa dengannya. Dia, orang yang telah menyakiti hatiku sekaligus membahagiakan hatiku sedemikian rupa. Kenneth.
Misteri kembali muncul dalam benakku. Siapa sebenarnya Alexander itu? Adakah hubungan antara dia dan Ken?
**********
Dia merebahkan tubuhnya di kasur. Memandang lanit-langit, menyangga kepalanya dengan kedua tangannya yang dilipat. Memutar memori tadi siang. Tersenyum sendiri. Merasa ada yang menggelitik perutnya. Membuatnya senang.
Membayangkan wajah gadis itu yang terkejut dengan ucapannya. Membuat senyum di wajah pria itu mengembang semakin lebar.
Tapi ada yang mengusik pikirannya. Mengapa sorot mata gadis itu selalu sama saat melihatnya? Seakan mereka pernah bertemu sebelumnya. Terlihat manis sekaligus getir. Seperti dia telah melakukan kesalahan fatal yang  telah melukai hati gadis itu sedemikian dalamnya. Apakah dia pernah melakukan itu? Tapi dia tak mengingatnya.
Atau jangan-jangan itu menjadi bagian dari memori yang hingga saat ini belum dia ketahui keberadaannya?
**********
Pria itu masih sama. Dingin. Seperti sejak pertama kali aku berjumpa dengannya. Tapi sikapnya yang dingin itulah yang telah membuatku jatuh hati padanya. Matanya yang tajam. Raut wajahnya yang tak pernah mampu menampilkan gejolak emosi yang ada dalam dadanya. Sikapnya yang tenang cenderung sinis. Oh Tuhan!
Dia benar-benar pria idamanku.
Tapi kenapa dia tak pernah melihatku yang selalu berputar di sekelilingnya?
Kenapa dia hanya melihat gadis itu saja?
Gadis yang sama saja dengan dirinya. Dingin. Tak mampu berekspresi selain menampilkan wajah yang sedih penuh luka.
Atau aku harus menjadi seperti dirinya agar dia melihatku juga?
Haruskah, Tuhan?
**********
“Pertama-tama, nyalain kompornya..” katanya sambil menyalakan kompor. Gadis yang ada di sebelahnya turut menyalakan kompor.
“Siapkan Teflon, kasih sedikit minyak. Taruh dia tas kompor.” Lanjutnya sambil menyemprotkan sedikit olive oil ke atas Teflon. Gadis itu juga melakukan hal yang sama.
“Huaaaaa!!” serunya saat ada api yang menyambar wajannya. Lelaki yang ada di sebelahnya tentu saja kaget dengan teriakan itu.
“Kenapa?”
“Apinya!” Dengan cepat lelaki itu mengambil alih wajan dari tangan gadis itu dan menjauhkannya dari api.
“Emang suka begini, Nate.. Kalau mau masak itu, harus tenang.. calm..
“Kan gue kaget, kak..” jawabnya sambil menepuk-nepuk dadanya. Billy kembali mengangsurkan wajan untuk Nate dan menyuruhnya untuk menyemprotnya dengan olive oil.
Lalu dia membumbui salmon fillet dengan lada hitam, sedikit garam dan daun basil kering. Setelah wajan panas, dia memasukkan salmon yang telah dibumbui dengan hati-hati. Lalu menunggu sebentar, kemudian dia mengecilkan api dan menutup wajan dengan penutupnya. Tak lama kemudian dia mematikan apinya.
“Sekarang coba.” Katanya. Nate mengangguk dan mulai mempraktekkan apa yang baru saja dilihatnya. Awalnya berjalan lancar.
“Nate, kelamaan masak salmonnya.. Itu udah nggak juicy lagi dalemnya..”
“Hah? Masa?”
“Coba aja potong.”
Nate memotong salmon buatannya dengan garpu dan benar saja. Bagian dalamnya sudah terlalu matang.
“Coba sekali lagi.” Kata Billy. Nate kembali melakukan apa yang diminta Billy. Setelah beberapa saat dia mematikan kompornya.
“Terlalu mentah.”
“Emang yang pas kaya’ gimana sih, kak?” kata Nate. Lalu Billy menunjukkannya dengan memotong salmon buatannya. Dan Nate terkesima dibuatnya. Terlihat menggoda.
“Oke, gue coba sekali lagi.” Kata Nate.
Dalam hati Billy bersyukur dia membeli banyak salmon pagi ini. Karena dia yakin Nate tidak akan sukses dalam sekali percobaan saja. Lalu dia menghabiskan ikan yang pertama dia buat tadi dan membuat lagi yang baru. Saat dia rampung membuat salmon yang kedua, Nate pun akhirnya selesai memasak salmon. Dan kali ini berhasil.
Good. Sekarang kita bikin poach eggnya. Ini lebih sulit lagi. Siap?” Nate mengangguk yakin.
Kali ini mereka menyiapkan panci yang tidak terlalu besar dan mengisinya dengan air dan sedikit cuka. Dan menyalakan apinya. Nate menatap bingung dengan apa yang baru saja dilakukan Billy.
“Kenapa pake cuka, kak?”
“Biar lebih gampang. Sekarang gue mau ngasih lihat teknik yang biasa gue sebut pusaran air.” Nate mengangguk dan mulai memperhatikan apa yang dilakukan Billy.
Pertama-tama dia mengambil sendok dan mengaduk air yang ada di dalam panci. Setelah tercipta pusaran air, dia langsung memecahkan telur kedalamnya dan membiarkannya hingga pusaran air itu berhenti. Tak lama juga dia memasak telur itu. Karena dia memerlukan kuning telur yang masih setengah matang untuk menjadi saus dari salmon yang tadi telah dibuatnya. Saus ciptaan Tuhan yang benar-benar nikmat.
Tanpa komando, Nate langsung mempraktekkan apa yang tadi dilihatnya. Kali ini pun dia tak berhasil pada percobaan pertama. Kebanyakan sih karena kuning telurnya yang pecah saat dia akan mengangkatnya. Tapi dia tak menyerah. Dia terus mencoba.
“Yeey!! Gue berhasil, kak!!” serunya kegirangan.
“Jangan seneng dulu. Ini masih belum selesai. Lu masih harus misahin kuning telur sama putihnya. Jangan sampai pecah.”
Nate dengan hati-hati memotong putih telur agar kuning telur yang masih setengah matang itu tak meluber. Dan kali ini dia berhasil dalam satu kali percobaan. Mari sorak untuk Nate. Yipyip hore!
Setelah membuat mashed potato, akhirnya acara belajar masakpun usai. Kini saatnya dia mencicipi hasil masakannya. Dia meletakkan kuning telur yang telah berhasil dia pisahkan di  atas salmon. Bersisian dengan segumpal mashed potato yang telah dia kuasai cara pembuatannya sejak jauh-jauh hari.
Itadakimasu!” serunya sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dadanya.
Dia membelah bongkahan kuning telur yang ada di atas salmon. Dan kuning telur itu meluber melumuri salmon yang ada di bawahnya. Dia memotongnya kecil dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Lalu dia terdiam dengan ekspresi yang tak terbaca.
“Ini..”

To be continue..

Posted at my house, Tangerang City.

At 9:38 p.m

Puji Widiastuti,
Seseorang yang baru saja belajar menuangkan ide ka atas kertas, bercerita..
Dan saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
Don’t be a silent reader, please..
Bersuaralah wahai pembaca..
:)