Aku
duduk di bawah pohon kelapa yang berjajar rapi di tepi pantai. Menekuk lututku
dan menonton pertandingan voli yang tersaji di hadapanku. Antara team kak Nino
dengan team kak Fred. Sejauh ini team kak Nino unggul beberapa poin dari team
kak Fred. Dan aku baru tahu kalau kak Nino itu hebat juga dalam olahraga voli.
Ah,
dia terlihat selalu hebat dalam hal apapun. Di bidang akademik, olahraga,
music, bahkan bisnis. Dia sosok anak yang pasti di idam-idamkan oleh semua
orang tua. Baik, pandai, patuh, penyayang, seperti tak ada sifat buruk yang
menempel padanya. Bahkan pada awalnya aku merasa dia seperti malaikat yang
mungkin terpeleset jatuh dari surga. Dulu aku bertanya-tanya, adakah orang yang
seperti itu, yang sungguh mendekati sempurna. Dan kini aku menemukan contoh
nyatanya dalam kehidupanku sendiri. Ya kak Nino itu.
Dan
dia seperti duplikat dari ayah dan ibu. Semuanya memiliki sifat yang serupa.
Membuatku tak heran darimana asal muasal datangnya semua sifat-sifat yang indah
itu. Aku juga takkan heran kalau kak Rio memiliki sifat yang sama. Karena
memang dia hidup dengan mereka semenjak kecil. Sejak dia ditemukan menangis
sendirian di tepi jalan Den Haag.
Aku
bingung saat mendapati Nate yang memandang ngeri ke arahku. Kejadiannya terjadi
dengan sangat cepat. Aku mendengar dia meneriakkan sesuatu sambil merentangkan
tangannya kearahku, seperti hendak menarikku dari tempatku berada.
Lalu
tiba-tiba saja badanku condong kebelakang hingga bisa kurasakan punggungku yang
menyentuh batang pohon kelapa. Dan tanganku telah terangkat menengadah.
‘buukkk’
Aku
masih tak tahu apa yang terjadi sampai mereka semua datang mendekatiku dan
mengangkat sesuatu dari tadahan telapak tanganku. Sedangkan aku, masih menatap
ke kanan dan ke kiri mencaritahu apa yang terjadi di tengah kebingungan yang
aku alami.
“Kamu
nggak kenapa-kenapa, Ri?” tanya kak Nino.
“Hah?”
“Tangannya
sakit nggak? Ada yang keseleo?” tanyanya lagi sambil sibuk memeriksa telapak
tanganku. Dan saat melihat telapak tanganku yang memerah, rasa sakit baru
datang menyambangi. Membuatku tak kuasa untuk meringis. Dan aku baru menyadari
semuanya. Kepalaku hampir tertimpa kelapa yang terjatuh jika saja tubuhku tak
condong ke belakang dan kedua tanganku tak menangkap kelapa itu tepat waktu.
Dan akibatnya kini jahitan di tangan kananku berdenyut sakit.
“Ayo
kedalam, kakak periksa dulu jahitannya.. Takut kebuka..” katanya sambil
mengangkat tubuhku dari pasir.
“Nggak
kenapa-kenapa kok, kak.. Nggak ada darah yang rembes.. Jadi jahitannya
baik-baik aja..” Tapi dia tetap saja memboyongku ke dalam cottage. Sesampainya
di dalam, dia segera mengambil kotak kesehatan yang tak pernah lupa dia bawa.
Perlahan
sekali dia membuka perban yang membebat tanganku. Dan aku bersyukur saat
jahitan yang ada terlihat baik-baik saja. Hanya sedikit memerah karena tertimpa
kelapa yang (lumayan) berat. Dengan telaten dia membersihkan bekas jahitanku
dan kembali membebatnya dengan perban yang baru.
“Kak,
tahu nggak?”
“hmmmh?”
jawabnya tanpa mengalihkan wajahnya dari tanganku.
“Kayaknya
minum es kelapa muda enak deh..” dia tersenyum mendengarnya. Menahan tawanya,
sedikit.
“Kenapa?”
“Nggak
kenapa-kenapa.. Lucu aja ngedenger kamu mau minum es kelapa muda setelah tangan
kamu ketimpa kelapa tadi.. Sounds like you
want to take a revenge.. Hahaha..”
“Ah,
kakak..”
“Selesai!
Sekarang ayo kita cari kelapa muda..” katanya sambil membereskan peralatannya.
Aku tersenyum dan bangkit. Sedikit sempoyongan karena kakiku yang memang masih
sedikit sakit saat menapak. Tapi aku tak mau lagi di gendong-gendong. Aku bukan
bayi yang masih tak becus berjalan sendiri.
Begitu
aku mencapai pintu cottage, aku melihat mereka semua sedang membawa beberapa
buah kelapa utuh. Dan mereka berjalan ke arahku.
“Ada
yang bilang minum es kelapa?” kata kak Hamid. Sambil menenteng 2 buah kelapa di
tangannya. Aku mengangguk antusias. Dan aku kembali merangsek kearah mereka
yang berhenti beberapa meter di dekat cottage. Mengantri untuk mendapatkan
jatah kelapa yang terlihat menggiurkan. Mengusir dahaga yang senang sekali
bersemayam dalam tenggorokanku
Kak
Nino yang ikut bergabung beberapa saat kemudian menyerobot es kelapa yang ada
di dalam genggamanku. Aku kembali mengambil gelas berisi es kelapa muda milikku
dari tangan kak Nino. Tapi dia kembali mengambilnya lagi dariku. Begitu saja
seterusnya. Hingga yang lain menertawai kami. Hahahaha.. Akhirnya kami makan
segelas berdua. Padahal es kelapa yang tersisa masih banyak. Entah kenapa
rasanya menyenangkan saat bisa makan bersama seperti ini. Aku harap ini masih
bisa ku lakukan berkali-kali lagi. Tak
hanya untuk kali ini saja. Semoga..
**********
“Ayo
bakar udangnya!!” seru Nate.
Yang
lain mengangguk setuju. Waktunya pas sekali untuk memulai acara bakar-bakar
sambil menunggu tahun baru tiba. Menurut estimasiku, acara bakar-bakar ini akan
berlangsung selama 2 jam. Lalu makan, paling lambat 45 menit. Setelah itu,
dapat dipastikan kami semua akan bergelimpangan karena kekenyangan di tepi
pantai. Dan tadaaaa! New year!
Tapi
itu estimasiku saja. Dan meleset. Acara bakar-bakar berlangsung lebih cepat
dari perkiraanku. Hanya perlu satu setengah jam saja untuk mematangkan semua
bahan makanan yang kami beli di pasar tadi siang. Dan untuk melenyapkannya
hanya butuh setengah jam saja. Sepertinya semua sudah kelaparan. Hahaha..
Nita
dan Billy terlihat mesra dengan makan sepiring beruda dan suap-suapan. Membuat
iri saja. Nate dan Hamid sedang ribet membakar jagung. Aduh, anak itu.. Aku
saja sudah tak bisa lagi memasukkan makanan ke dalam perutku. Kenapa mereka
masih saja membakar jagung? Ckckck.
“Kak,
diolesin margarine dulu.. baru dibakar.. Kalau sudah setengah matang, diolesin
lagi.. Biar gurih..” kata Nate.
“Dih,
dibakar dulu tau.. baru diolesin margarine kalau sudah matang..” kata Hamid tak
mau kalah.
“Iih..
salah, kak..”
“Lu
yang salah..”
“Lu
yang salah..”
Ampun
deh. Itu anak berdua ribet banget. Padahal sama saja. Mau dioles dulu baru di
bakar, atau dibakar dulu baru dioles hasilnya akan tetap jadi jagung bakar
juga. Dan aku tertawa terbahak-bahak melihat hasil kerja mereka. Jagung bakar
model baru. Hitam a.k.a gosong. Kebanyakan adu mulut sih. Hahahaha..
Saat
mataku menyapu pinggir pantai, aku melihat Riri yang tengah terduduk di atas batu besar. Sendiri dengan sunyi. Aku
merasakan tawaku seketika lenyap. Entah terbang kemana. Aku bangkit berdiri dan
berjalan menghampirinya perlahan. Ingin menebus semua waktu yang tak sempat
terlewatkan bersamanya saat masih ada Rio di antara kami. Setidaknya
menemaninya agar tak terlalu larut dalam rasa kehilangan. Memberitahukannya
bahwa dia tak pernah benar-benar sendiri. Bahwa Rio tak pernah benar-benar
meninggalkan kami. Dia masih bersemayam dengan nyaman di hati.
**********
Tahun
baru. Dan aku harus melewatinya tanpa kehadiran seorang Mario Stevano Kusuma.
Entahlah. Rasanya masih terlalu sulit untuk beranjak dari rasa kehilangan ini.
Kepedihan ini memelukku terlalu kuat. Dan rasa bersalah menjelma serupa baja
yang membelitku hingga makin jauh tenggelam dalam rasa ini dan tak mempu
membebaskan diri.
Aku
tak pernah bisa menahan pikiranku untuk tak berandai-andai. Seperti saat ini. Kalau
saja aku tak pergi sore itu, andai saja aku mendengarkan apa keinginannya, kak
Rio pasti masih akan ada di sini. Menemaniku. Mendampingiku menjalani
hari-hariku. Memelukku hingga aku terlelap. Menyamankan hatiku. Tapi sekarang,
aku harus kehilangan dia.
“Tahun
baru kedua gue tanpa kehadiran lu, kak.. Tapi rasa kehilangan ini masih saja
ada. Makin mendarah daging sepertinya..” kataku lirih.
Tak
kuduga, iPodku memutar ‘Music in Our Life’. Membuat kenangan dengan kak Rio
semakin kental menguar di sekitarku. Membuatku tak mampu menahan tetesan air
mata.
‘Sial!
Gue harus tegar!’ seruku dalam hati sambil menghapus kasar butiran air mata
yang mengalir. Lalu kehangatan yang familiar datang melingkupiku.
“Kakak
juga masih merasa kehilangan dia.. Memang butuh waktu yang lama untuk bangkit
dari rasa ini, Ri.. Tapi kakak yakin kamu pasti bisa.. Kita pasti bisa bangkit
dari keterpurukan ini.. Kakak yakin dengan pasti..” ternyata kak Nino yang
memelukku dari belakang. Dia melepaskan headset
dari telingaku dan mulai bersenandung kecil untukku.
Tak mampu melepasnya walau sudah tak ada. Batinmu
tetap merasa masih memilikinya. Rasa kehilangan hanya akan ada jika kau pernah
merasa memilikinya.
Pernahkah kau mengira kalau dia kan sirna? Walau kau
tak percaya dengan sepenuh jiwa. Rasa kehilangan hanya aka nada jika kau pernah
merasa memilikinya.
“Kita
semua merasakan rasa yang sama. Kehilangan. Karena kita pernah memiliki seorang
Rio dalam hidup kita. Sekarang yang harus kita lakukan adalah selalu mendoakannya
dan terus melangkah menapaki kehidupan.
Tak pernah melupakan semua kenangan manis yang pernah diciptakannya. Tak pernah
berhenti mencintainya. Tak pernah melupakan sedikitpun tentang dirinya..”
Kurasakan
napas kak Nino memberat. Dia juga bersedih. Dan aku yang membangkitkan
kesedihan itu. Tuhan! Kenapa akhir-akhir ini aku tak bisa melakukan sesuatu
dengan benar? Maafin Riri, kak. Mataku memanas. Dan menyadari kesedihan itu
juga kembali bangkit dalam diriku. Tidak! Aku tidak mau menangis lagi. Aku harus
tegar seperti permintaan kak Rio.
“Kak?”
“Hmmh?”
“Kakak
harusnya kemarin dirawat kan?” dia mengangguk.
“Lalu
kenapa kakak nggak dirawat?”
“Nggak
lucu kan kalau harus ngerayain tahun baru di rumah sakit..” katanya sambil
mengeratkan pelukannya atas diriku. Aku merasa dia menutupi sesuatu. Tapi aku
tak mau mengganggu privasinya. Biarkanlah dia yang memberitahukan aku kalau dia
memang mau.
Dan
langit menjadi berwarna karena kembang api. Menandakan pergantian tahun telah
tiba. Memberitahukan kalau sang Janus telah tiba dengan dua wajahnya yang
saling bertolak belakang. Menuntun untuk meninggalkan masa lalu dan menyongsong
masa depan. Tapi aku masih tetap terpaku di tempat. Tak mampu beranjak. Terikat
simpul mati di masa lalu.
**********
“Gimana
keadaan lu” tanya Hamid.
“Masih
sedikit lemes.. Sedikit doang tapinya..” jawab Nino.
“Lagian
kenapa lu nggak dirawat aja sih? Kalau lu dirawat kemarin, lu pasti udah
bener-bener sehat sekarang..” omel Hamid.
“Gue
mau ngerayain tahun baru bareng-bareng sama yang lain, Mid.. Dan lu pasti tahu
alasan terbesar gue nggak mau dirawat..”
“Riri?”
Nino mengangguk.
“Dia
sepertinya masih belum bisa mengatasi SindromaFred-nya..”
“SindromaFred?
Nggak suka rumah sakit maksud lu?” tanya Hamid.
“Yup.
Dan gue nggak mau nyiksa dia karena rasa nggak sukanya sama rumah sakit dengan berlama-lama
ada di tempat itu..”
“Yah,
terserah lu aja deh..” kata Hamid sambil membaringkan tubuhnya di kasur.
Bersiap mengarungi lautan mimpi. Sedangkan Nino masih berdiam di tepi jendela
cottage. Enggan menyusul Hamid yang telah terlelap. Memikirkan bagaimana
kelanjutan hidup adik semata wayangnya. Sembari memandangi langit nyaris pagi
buta yang mulai memudar.
Sementara
itu, ada seseorang yang secara tak sengaja mendengar pembicaraan singkat
mereka. Dan merasa tak enak karena telah mendengar hal itu. Mengetahui kalau
lagi-lagi dialah alasan orang-orang terdekatnya lebih mementingkan untuk
menjaga perasaannya dibandingkan diri mereka sendiri. Membuat dia merasa
lagi-lagi merepotkan orang-orang di sekitarnya. Membuat dia merasa seperti
hanya menjadi beban untuk orang-orang terdekatnya.
**********
Mentari
sudah menggenlincir saat mereka rampung merapikan barang bawaan mereka. Jelas
saja. Saat matahari bersinar kelewat terik, mereka baru bangkit. Inilah efek
dari baru tidur saat ayam berkokok di pagi hari.
Setelah
memastikan tak ada yang tertinggal, mereka kembali ke Jakarta. Mempersiapkan
keperluan untuk memulai aktivitas pertama di tahun yang baru esok pagi. Memulai
rutinitas yang sama, di tahun yang berbeda.
Jalanan
cukup padat. Karena orang-orang juga baru saja kembali dari liburan untuk
merayakan pergantian tahun. Sama seperti mereka. Tapi tidak terlalu macet sih.
Kecuali saat sudah masuk ke daerah Jakarta. Tahu sendirilah bagaimana keadaan
lalu lintas ibu kota.
Mereka
semua langsung pulang ke rumah masing-masing. Masih ingin melanjutkan tidur
yang sempat tertunda. Menyimpan tenaga untuk beraktivitas esok hari.
Sesampainya
di rumah, Lucky ternyata telah menunggunya di pintu masuk. Seperti hendak
menyambut kepulangan Riri dan Nino ke rumah. Saat Riri keluar dari mobil, Lucky
langsung saja menggonggong keras dan berlari menyongsong Riri. Bermanja di kaki
Riri. Seperti biasa.
“Halo,
Lucky.. Happy new year ya..” kata
Riri sambil berjongkok dan menggaruk kepala Lucky.
“guk!”
lalu Riri memeluk Rottweiler hitam itu dengan sayang. Salah satu hadiah terbaik
yang pernah diberikan oleh Mario dan Nino selain kasih sayang yang tiada tara
dan keluarga yang hangat.
Riri
segera menurunkan barang-barangnya dari bagasi dan mengangkutnya ke kamarnya.
Menolak bantuan Hamid dan Nino yang dengan senang hati ingin membawakan barang
bawaan Riri ke kamarnya. Sedangkan Lucky berjalan mengikuti Riri ke kamarnya.
“Dia
masih ingin meyakinkan kita kalau dia adalah wanita yang mandiri dan kuat..”
kata Nino.
“Still pretending that she’s ok..”
sambung Hamid.
“Sampai
kapan dia harus terus bersikap seperti ini?”
“Sampai
dia bisa mengikhlaskan sepenuhnya kepergian Rio..” jawab Hamid sambil membawa
masuk barang bawaannya dan Nino. Sedangkan Nino masih termangu di samping
mobil.
Setibanya
di kamar, Riri segera merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Diikuti oleh Lucky
yang bergelung di dekat pahanya.
“I miss him.. Really really miss him.. Do you
miss him?” kata Riri pada Lucky. Seolah Lucky bisa menjawab pertanyaannya
saja. Tapi Lucky seperti mengerti. Dia mengeluarkan suara yang lirih. Seperti ikut
bersedih.
Dan
Riri kembali tersentak. Kenapa dia selalu membuat semuanya bersedih?
**********
“Gimana
acara tahun barunya? Seru ya?” tanya suara
di sebrang sana.
“Seru
banget, kak.. Coba kalo kakak sama kak Darren ada di sini.. Pasti makin rame
deh..” sahut wanita itu sambil mengeluarkan pakaian kotor dari tasnya. Handphonenya dia apit menggunakan bahu
dan pipinya. Sebuah postur yang kalau dilihat-lihat akan membuat pegal leher.
“Tahun
baru kakak di sana gimana?”
“Sepi..
Nggak ada kamu sih..”
“Aih,
tahun baru langsung digombalin.. “
“Tapi
seneng kan? Suka kan?” dan Nate tak dapat menahan senyum yang terkembang di
wajahnya saat mendengar Darrel berkata seperti itu. Tak dapat memungkiri kalau
dia menyukainya.
“Aku
nggak suka.. Tapi sukaaaa bangeet.. Kyaaaa…” jawab Nate dengan suara
dibuat-buat. Hingga Darrel tertawa di sana.
“Hahahahaha…
Aku nggak bisa ngebayangin wajah kamu saat ngomong kaya’ begitu.. Oh iya, akhir
bulan ini aku pulang.. Liburan di sana..”
“Oh
ya? Asiikk!! Akhirnya kakak pulang juga..” seru Nate kegirangan. Hampir saja handphone yang masih menempel di antara
pipi dan bahunya jatuh.
“Iya..
Tunggu aku ya..”
“Pasti..
Sama kak Darren and kak Prita juga?”
“Kalo
Darren masih nggak tahu ikut atau nggaknya.. Tapi kalau kak Prita, dia nggak
bisa ikut.. Kantornya kan nggak ikutan libur..”
“Oh,
oke.. Salam buat semuanya di sana ya, kak..”
“Iya..
Salam juga buat yang lain.. Udah dulu ya.. Miss
you..” Kata Darrel.
“Miss you.. Love you..” jawab Nate
mengkahiri sambungan teleponnya.
Awal
tahunnya jadi cerah seketika. Membuatnya tak bisa berhenti tersenyum. Tak sabar
menunggu akhir bulan ini. Agar bisa segera bertemu dengan pujaan hati. Dan
tiba-tiba saja ada ide menarik yang menggelitik hati. Membuatnya tersenyum
penuh misteri.
**********
Siang
hari di kantin belakang kampus, ada yang sedang memohon-mohon untuk berguru.
Bukan berguru bela diri. Tapi berguru untuk membuat masakan yang enak. Tak lain
dan tak bukan Nate yang ingin memberikan kejutan untuk menyambut kedatangan
sang pujaan hati yang akan kembali ke tanah air akhir bulan nanti.
“Ayolah,
kak.. Ajarin bikin makanan kesukaannya kak Darrel..”
“Nggak
mau..”
“Please, kak..”
“Agak
susah itu bikinnya..”
“Makanya
gue minta ajarin lu, kak.. Yayaya.. Please..
Kakak ganteng deh..” Rayu Nate.
“Ehm!”
Nita berdehem berpura-pura cemburu.
“Nggak
usah cemburu.. Tetep kamu yang paling cantik kok..” kata Billy sambil merengkuh
bahu Nita dan mendekatkannya ke tubuhnya.
“Hahaha..
I know that..” kata Nita sambil
menyandarkan kepalanya ke bahu Billy.
“Jadi,
mau nggak ngajarin gue?” tanya Nate memastikan.
“Oke.
Tapi lu harus dateng tepat waktu. Telat, dan gue nggak mau ngajarin lu masak.”
Kata Billy.
“Huaaaahhh..
Kak Billy baik banget.. Makasih..” seru Nate sambil menggenggam tangan Billy
yang bebas dan mengguncang-guncangkannya dengan penuh semangat.
Sementara
Riri, Hamid dan Fred hanya tersenyum melihatnya. Dan Lea masih saja sibuk
mengamati objek yang ada di hadapannya. Wajah lelaki itu, yang telah mampu
menarik hatinya sejak pertama kali berjumpa.
“Nate..
Nate.. Kalo lu terus meremas dan mengguncang tangan gue, hari Minggu nanti gue
bisa batal ngajarin lu masak gara-gara tangan gue yang keseleo..” kata Billy.
“Oh,
Sorry, kak.. Ah.. Gue seneng banget..
Kyaaa… Makasih, kak..” Billy hanya mengangguk menanggapinya. Lalu sebelah
tangannya mengeluarkan sebuah kotak dari dalam tasnya dan memberikannya pada
Nita.
Nita
langsung membukanya dan berbinar bahagia. Brownies panggang kesukaannya. Segera
saja dia memasukkan potongan-potongan brownies itu ke dalam mulutnya. Merasakan
kelembutan yang menggoda di tengahnya dan lapisan sedikit crunchy di pinggiran kuenya.
Lalu
Billy kembali mengeluarkan sebuah kotak yang lebih besar dan meletakkannya di
tengah meja. Mempersilakan yang lain untuk turut mencicipi hasil karyanya. Dia
juga mengambil sepotong kecil brownies dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Dan
dia tidak berencana untuk memakan sepotong lagi. Karena dia tidak terlalu
menyukai makanan dan minuman yang manis.
“Nanti
abis ngajarin Nate masak, ajarin aku bikin brownies panggang ya, kak..” kata
Nita dengan mulut yang masih sibuk mengunyah brownies. Billy mengangguk.
Sebelah tangannya bergerak untuk membersihkan serpihan kue yang bertengger di
pinggir bibir Nita dengan lembut dan menepuk pelan puncak kepalanya dengan mesra.
Ah, pasangan ini. Memang selalu saja membuat iri tiap pasang mata yang
melihatnya dengan keromantisan mereka yang terkadang tak pandang tempat.
Dilain
tempat, ada sepasang mata yang tengah mengamati mereka tanpa berkedip sekalipun.
Atau lebih tepatnya mengamati Riri yang sedari tadi hanya mencuil-cuil kecil
brownies di tangannya dan memasukkannya ke mulutnya.
‘Dia begitu mempesona.. Semua tindak
tanduknya seperti magnet yang menarik perhatianku dengan kuat.. Bahkan hingga
senyum kering yang tak mampu menyentuh bening matanya pun turut menarik perhatianku..
Dapatkah aku mendekatinya? Dapatkah aku memilikinya? Tapi bagaimana caranya?
Jika dia selalu saja bersikap dingin pada tiap orang yang belum dikenalnya.
Menjelma menjadi sebongkah es yang sulit untuk dilelehkan keberadaannya.
Dapatkah hatiku mencairkan segala kebekuan di dirinya?’ batin sepasang mata
itu.
Riri
menghentikan acara cuil-mencuil potongan brownies yang sejak tadi belum juga
rampung dimakannya. Dia merasa seperti ada yang sedang memperhatikannya.
Diedarkannya pandangannya ke segala penjuru kantin. Tapi dia tak bisa menemukan
mata siapa yang sejak tadi dia rasa sedang mengamatinya. Ataukah itu hanya
perasaannya saja? Dia tak tahu. Dan kembali mencuil-cuil browniesnya. Lalu dia
teringat akan sesuatu yang sejak kemarin ingin dilakukannya dan memutuskan
untuk melakukannya hari ini juga.
**********
Dia
berjalan di lorong gedung B sambil menenteng sesuatu. Sebuah jaket yang
pemiliknya sempat mengusik pikirannya. Membuat rasanya seperti merasakan
getar-getar yang hingga saat ini masih tak sanggup diterjemahkannya.
Dia
berhenti di sebuah ruangan. Sebelah tangannya sedikit ragu untuk membuka pintu
dan masuk ke dalamnya. Tapi dia tetap harus mengambalikan jaket ini.
Bagaimanapun caranya.
Akhirnya
dia membulatkan kemauannya dan memutar kenop pintu. Ruangan yang tadinya ramai,
seketika berubah hening saat melihat siapa yang baru saja memasuki ruang kelas
mereka. Riri.
Dengan
cepat dia memindai keberadaan orang itu. Dan dia menemukannya sedang duduk
membelakanginya. Seperti tengah berbincang dengan kawan-kawannya yang lain. Dia
melangkah panjang menghampiri orang itu. Melewati para senior lain yang masih
terus saja memperhatikannya.
Lalu
dia melihat seraut wajah yang cukup familiar. Senior yang waktu itu merusak
kalungnya. Tapi dia tak mau memperdulikan orang itu. Dia terus melangkah untuk
mengembalikan jaket yang kini ada dalam genggamannya.
“Thanks..” katanya sambil mengangsurkan
jaket itu pada pemiliknya.
Pria
yang kini ada di hadapannya masih diam. Tak segera mengambil jaket yang
ditujukan padanya. Riri menggoyangkan jaket itu di depan wajah pria itu.
Akhirnya pria itu sadar juga dari kekagetannya dan bergerak untuk mengambil
jaketnya.
“Sama-sama,
cantik..” kata pria itu sambil tersenyum. Riri tersentak.
Tanpa
diduga, Riri segera memutar badannya dan beranjak pergi. Meninggalkan pria itu
tanpa mengucapkan salam perpisahan atau apapun. Masih terlalu terkejut untuk
dapat berkata-kata.
“Maksud
lu apa sih, Lex?” tanya seorang temannya.
“Nggak
ada maksud apa-apa..” jawabnya sambil tersenyum penuh arti.
**********
Astaga!
Apa yang baru saja dikatakan orang itu?! Unpredictable!
Aku
tak kuasa untuk menahan tubuhku yang langusng berbalik dan pergi meninggalkan
dia. Tanpa mengucapkan salam perpisahan apapun. Ucapannya benar-benar membuatku
kaget setengah mati.
“Sama-sama, cantik..”
Tapi
yang paling membuatku terkejut adalah senyumnya. Senyum yang sama dengan milik
orang itu. Dan setelah kuingat-ingat lagi, dia benar-benar mirip dengannya.
Garis mukanya, postur tubuhnya, matanya, bibirnya, benar-benar serupa
dengannya. Dia, orang yang telah menyakiti hatiku sekaligus membahagiakan hatiku
sedemikian rupa. Kenneth.
Misteri
kembali muncul dalam benakku. Siapa sebenarnya Alexander itu? Adakah hubungan
antara dia dan Ken?
**********
Dia
merebahkan tubuhnya di kasur. Memandang lanit-langit, menyangga kepalanya
dengan kedua tangannya yang dilipat. Memutar memori tadi siang. Tersenyum
sendiri. Merasa ada yang menggelitik perutnya. Membuatnya senang.
Membayangkan
wajah gadis itu yang terkejut dengan ucapannya. Membuat senyum di wajah pria
itu mengembang semakin lebar.
Tapi
ada yang mengusik pikirannya. Mengapa sorot mata gadis itu selalu sama saat
melihatnya? Seakan mereka pernah bertemu sebelumnya. Terlihat manis sekaligus
getir. Seperti dia telah melakukan kesalahan fatal yang telah melukai hati gadis itu sedemikian
dalamnya. Apakah dia pernah melakukan itu? Tapi dia tak mengingatnya.
Atau
jangan-jangan itu menjadi bagian dari memori yang hingga saat ini belum dia
ketahui keberadaannya?
**********
Pria itu masih sama. Dingin. Seperti sejak pertama kali aku berjumpa dengannya. Tapi sikapnya yang dingin itulah yang telah membuatku jatuh hati padanya. Matanya yang tajam. Raut wajahnya yang tak pernah mampu menampilkan gejolak emosi yang ada dalam dadanya. Sikapnya yang tenang cenderung sinis. Oh Tuhan!Dia benar-benar pria idamanku.Tapi kenapa dia tak pernah melihatku yang selalu berputar di sekelilingnya?Kenapa dia hanya melihat gadis itu saja?Gadis yang sama saja dengan dirinya. Dingin. Tak mampu berekspresi selain menampilkan wajah yang sedih penuh luka.Atau aku harus menjadi seperti dirinya agar dia melihatku juga?Haruskah, Tuhan?
**********
“Pertama-tama,
nyalain kompornya..” katanya sambil menyalakan kompor. Gadis yang ada di
sebelahnya turut menyalakan kompor.
“Siapkan
Teflon, kasih sedikit minyak. Taruh dia tas kompor.” Lanjutnya sambil menyemprotkan
sedikit olive oil ke atas Teflon.
Gadis itu juga melakukan hal yang sama.
“Huaaaaa!!”
serunya saat ada api yang menyambar wajannya. Lelaki yang ada di sebelahnya
tentu saja kaget dengan teriakan itu.
“Kenapa?”
“Apinya!”
Dengan cepat lelaki itu mengambil alih wajan dari tangan gadis itu dan
menjauhkannya dari api.
“Emang
suka begini, Nate.. Kalau mau masak itu, harus tenang.. calm..”
“Kan
gue kaget, kak..” jawabnya sambil menepuk-nepuk dadanya. Billy kembali
mengangsurkan wajan untuk Nate dan menyuruhnya untuk menyemprotnya dengan olive oil.
Lalu
dia membumbui salmon fillet dengan
lada hitam, sedikit garam dan daun basil kering. Setelah wajan panas, dia
memasukkan salmon yang telah dibumbui dengan hati-hati. Lalu menunggu sebentar,
kemudian dia mengecilkan api dan menutup wajan dengan penutupnya. Tak lama
kemudian dia mematikan apinya.
“Sekarang
coba.” Katanya. Nate mengangguk dan mulai mempraktekkan apa yang baru saja
dilihatnya. Awalnya berjalan lancar.
“Nate,
kelamaan masak salmonnya.. Itu udah nggak juicy
lagi dalemnya..”
“Hah?
Masa?”
“Coba
aja potong.”
Nate
memotong salmon buatannya dengan garpu dan benar saja. Bagian dalamnya sudah
terlalu matang.
“Coba
sekali lagi.” Kata Billy. Nate kembali melakukan apa yang diminta Billy.
Setelah beberapa saat dia mematikan kompornya.
“Terlalu
mentah.”
“Emang
yang pas kaya’ gimana sih, kak?” kata Nate. Lalu Billy menunjukkannya dengan
memotong salmon buatannya. Dan Nate terkesima dibuatnya. Terlihat menggoda.
“Oke,
gue coba sekali lagi.” Kata Nate.
Dalam
hati Billy bersyukur dia membeli banyak salmon pagi ini. Karena dia yakin Nate
tidak akan sukses dalam sekali percobaan saja. Lalu dia menghabiskan ikan yang
pertama dia buat tadi dan membuat lagi yang baru. Saat dia rampung membuat
salmon yang kedua, Nate pun akhirnya selesai memasak salmon. Dan kali ini
berhasil.
“Good. Sekarang kita bikin poach eggnya. Ini lebih sulit lagi.
Siap?” Nate mengangguk yakin.
Kali
ini mereka menyiapkan panci yang tidak terlalu besar dan mengisinya dengan air
dan sedikit cuka. Dan menyalakan apinya. Nate menatap bingung dengan apa yang
baru saja dilakukan Billy.
“Kenapa
pake cuka, kak?”
“Biar
lebih gampang. Sekarang gue mau ngasih lihat teknik yang biasa gue sebut
pusaran air.” Nate mengangguk dan mulai memperhatikan apa yang dilakukan Billy.
Pertama-tama
dia mengambil sendok dan mengaduk air yang ada di dalam panci. Setelah tercipta
pusaran air, dia langsung memecahkan telur kedalamnya dan membiarkannya hingga
pusaran air itu berhenti. Tak lama juga dia memasak telur itu. Karena dia
memerlukan kuning telur yang masih setengah matang untuk menjadi saus dari
salmon yang tadi telah dibuatnya. Saus ciptaan Tuhan yang benar-benar nikmat.
Tanpa
komando, Nate langsung mempraktekkan apa yang tadi dilihatnya. Kali ini pun dia
tak berhasil pada percobaan pertama. Kebanyakan sih karena kuning telurnya yang
pecah saat dia akan mengangkatnya. Tapi dia tak menyerah. Dia terus mencoba.
“Yeey!!
Gue berhasil, kak!!” serunya kegirangan.
“Jangan
seneng dulu. Ini masih belum selesai. Lu masih harus misahin kuning telur sama
putihnya. Jangan sampai pecah.”
Nate
dengan hati-hati memotong putih telur agar kuning telur yang masih setengah
matang itu tak meluber. Dan kali ini dia berhasil dalam satu kali percobaan.
Mari sorak untuk Nate. Yipyip hore!
Setelah
membuat mashed potato, akhirnya acara
belajar masakpun usai. Kini saatnya dia mencicipi hasil masakannya. Dia
meletakkan kuning telur yang telah berhasil dia pisahkan di atas salmon. Bersisian dengan segumpal mashed potato yang telah dia kuasai cara
pembuatannya sejak jauh-jauh hari.
“Itadakimasu!” serunya sambil
menangkupkan kedua tangannya di depan dadanya.
Dia
membelah bongkahan kuning telur yang ada di atas salmon. Dan kuning telur itu
meluber melumuri salmon yang ada di bawahnya. Dia memotongnya kecil dan
memasukkannya ke dalam mulutnya. Lalu dia terdiam dengan ekspresi yang tak
terbaca.
“Ini..”
To
be continue..
Posted
at my house, Tangerang City.
At
9:38 p.m
Puji
Widiastuti,
Seseorang
yang baru saja belajar menuangkan ide ka atas kertas, bercerita..
Dan
saya mengharapkan kritik konstruktif dari anda..
Don’t be a
silent reader, please..
Bersuaralah
wahai pembaca..
:)